Senin, 03 November 2008

Natal dan Rupiah

Merayakan Natal (N sengaja huruf besar karena mewakili nama yang teramat agung) dengan menganggap itu sebuah tradisi, sama saja pengikut iklan biskuit Roma: “Sudah tradisi.” Juga menganggapnya sebagai rutinitas spritiual. Sama saja bohong. Ini yang dikatakan sang mantan rektor Paramadina itu, Nurcholis Majid (alm), agama simbolis. Agama yang hanya berhenti pada simbol saja. Tentu seharusnya adalah agama harus dilihat dari segi esensisnya. Esensi sebuah agama, salah satunya, harus mampu melepaskan diri dari tradisi dan rutinitas.

Agama tanpa simbol juga tidak tepat. Salib, rosario, altar, perjamuan kudus, dan yang lainnya adalah simbol-simbol dalam sebuah agama. Dalam hal ini agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Itu perlu. Dan sepertinya sudah sebuah keharusan. Simbol-simbol ini digunakan sebagai representasi atau pun wujud dari Sang Khalik.

Natal tidak lebih tidak kurang sama: simbol. Simbol dari sebuah peristiwa terbesar dan terakbar sepanjang sejarah manusia di samping Hari Paskah. Toh sejarah belum mencatat dengan pasti kapan tanggal kelahiran itu sebetulnya. Sekumpulan orang bersepakat menjadikan tanggal 25 Desember sebagai tanggal yang paling beruntung di antara tanggal-tanggal yang lain.

Kita kembali ke esensi sebuah agama. Saya teringat tentang ucapan Yesus yang kira-kira isinya begini: “Hari Sabat ada untuk manusia, bukan manusia ada untuk hari Sabat.” Yesus sangat tepat menganalogikakannya. Dan memang Dia rajanya analogi. Sama seperti Goenawan Mohamad wartawan Tempo itu. Inilah kemudian yang menginspirasi Soekarno mengatakan: “fajar menyingsing bukan karena ayam berkokok tapi sebaliknya ayam berkokok karena fajar menyingsing.” Yesus mau mengatakan bahwa Natal ada untuk manusia bukan manusia ada untuk Natal.

Nah, Natal yang kita pahami dan Natal yang kita rayakan setiap tahunnya, terkadang melenceng dari arti sejatinya.

Pak Dekan yang terhormat. Tentunya sebuah kemajuan berarti kalau di penghujung tahun ini mahasiswa fakultas sastra yang Bapak pimpin bisa merayakan Natal sendiri. Ini sejarah baru. Saya mungkin mahasiswa terlama yang masih “betah” tinggal di sini. Tentunya ada alasan tersendiri untuk itu. Dan kalau ini jadi “dream comes true” saya pribadi merasa sangat bangga. Karena apa yang kami cita-citakan dulu akhirnya terwujud di tahun ini. Saya tidak mengatakan ini hasil dari sebuah perjuangan. Saya lebih sepakat mengatakan ini sebuah niat baik. Niat baik karena memang merayakan Natal itu baik adanya.

Dan saat itu pun tiba. Seorang kawan, seperti biasa, selalu resah dengan kondisi kampus. Selalu tidak terpuaskan hatinya melihat kampusnya bertambah hancur. Selalu bertanya-tanya dalam hatinya apakah UMI bisanya hanya begini saja. Dan puluhan pertanyaan memilukan lainnya. Dia pun bercerita. Baiklah saya sarikan saja inti keluh-kesahnya itu.

Pada intinya dia tidak keberatan merayakan Natal. Apalagi dia tahu fakultasnya merayakannya terpisah dari Natal umum. Dia pun menyusun 1001 bayangan di kepalanya. Mulai dari menulis puisi dan membacakannya saat hari H tiba, sampai mengajak teman-temannya untuk sudi kiranya menyumbangkan suara mereka di atas panggung nantinya. Dia memang ada bakat di bidang itu.

Bagaikan disambar petir di siang bolong: harus bayar Rp 25.000. Petir berlalu hujan pun datang. Kuhujani dia dengan pertanyaan. Apa ini? Natal atau seminar? Kenapa harus bayar? Bukankah sudah ada dana tersedia untuk itu? Apakah ini keputusan Dekan sendiri atau bagaimana? Terus apa tindakanmu? Bayar?