Minggu, 14 Desember 2008

Selamat Bertempur Sobat


Mereka berdualah kelompok paling narsis di kampus ini. Lihat apa yang melingkar di leher mereka. Kalung berwarna keemasan itu dikalungkan di leher Rektor tanggal 17 Desember nanti. Sementara yang satunya lagi, warna perak, berada satu peringkat di bawah. Itu untuk Dekan. Sebenarnnya ada satu lagi untuk Guru Besar. Bentuknya seperti pin yang dilengketkan di baju yang mirip jubah Harry Potter itu.

Nah, adegan apa gerangan yang mereka praktekkan? Saya teringat dengan gelar tinju dunia yang baru saja di gelar itu. Petinju Filippina melawan petinju Meksiko. Naas betul nasib petinju Meksiko tersebut. Setelah dianggap tidak sanggup lagi untuk melanjutkan pertandingan, dia dinyatakan TKO. Gambar di atas adalah adegan wajib sebelum pertarungan resmi dipertontonkan. Lantas, apakah mereka juga akan naik ring?

Di sebelah kiri Anda baru saja disidang dan diminta pertanggungjawabannya atas karya penentu kesarjanaannya. Dia berhasil. Dan segera pula dia akan berbaris dengan teman-teman freshgraduated yang lain dan menunggu giliran dipanggil maju ke depan untuk difoto ketika tali yang di topi persegi itu dipindahkan posisinya. Tentunya sambil menunduk dan salaman setelah itu.

Di sebelah kanan Anda itu adalah mahasiswa yang selalu merasa diri benar dengan pilihannya. Terkadang dia tidak peduli dengan hasil keringat orangtuanya di kampung. Jangankan di sidang, saudara-saudari, berpikir untuk ke situ saja rasanya masih sesuatu yang mustahil. Mungkin MAPALA tepatlah kita namai dia, mahasiswa paling lama. Belakangan dia berpikir untuk pindah saja dari kampus yang selalu dimakinya dengan plesetan “Universitas Macam apa Ini?”. Banyak hal yang bisa dia ajukan untuk membenarkan pilihannya itu. Dia merasa tidak pernah menguasai sastra Inggris yang semenjak kelas 2 SMA menjadi cita-cita utamanya. Alasan lain yang selalu terucap dari mulutnya, “apa yang kau dapat dari kampus yang tidak pernah memberikan penunjang akademik untuk meningkatkan kegiatan akademik mahasiswanya?”. Mungkin dia tidak pernah sadar bahwa semua alasan-alasan itu hanyalah pembenaran dari tindakannya yang berulang kali membuat luka di hati keluarganya harus bernanah untuk kesekian kalinya.

Sebelum kalung itu dilingkarkan di leher yang empunya, mereka berdua telah mendahuluinya. Mari kita artikan aksi mereka itu sebagai persiapan untuk bertempur di arena yang lebih kejam dari sebuah panggung yang digunakan untuk bertinju. Setelah yang di sebelah kiri Anda itu terpampang foton wisudanya di dinding ruang tamu rumahnya, segera dia akan disibukkan oleh ratusan lowongan kerja yang harus segera diisi. Mari kita doakan biar dia tidak terlalu lama menganggur. Menganggur dan menjadi pengangguran masih terlalu dekat dengan alumni kampus yang hitungan hari akan ditinggalkannya. Dan untuk yang di sebelah kanan, dia masih akan terus bergulat merenung diri dengan apa saja yang sudah dilakukan di masa lalu sembari pusing memikirkan masa depan teramat panjang yang harus dilalui.

10 Tanda Gizi Baik


Singgahlah sejenak dan luangkan waktu Anda untuk membaca plakat di depan Badan Keuangan Negara.


10 Tanda Gizi Baik

1. Bertambah umur, bertambah berat badan
2. Postur tubuh tegap dan otot padat
3. Rambut berkilau dan kuat
4. Kulit dan kuku bersih dan tidak pucat
5. Wajah ceria, mata bening dan bibir segar
6. Gigi bersih dan gusi merah muda
7. Nafsu makan dan buang air besar teratur
8. Gerak aktif dan berbicara lancer sesuai umur
9. Penuh perhatian dan bereaksi aktif
10. Tidur nyenyak


Apa yang terbesit di kepala teman-teman setelah membacanya?

Tempat plakat itu didirikan tidak jauh dari sebuah kampus swasta yang cukup terkenal karena “kualitasnya”. Di sana juga ada benda semacam itu didirkian. Sangat besar ukurannya. Isinya berbeda. Wawasan almamater. Kampus lain juga memajangnya di sudut yang paling mudah dijangkau mata. Kalau Anda tanya saya apa itu wawasan almamater, jujur seratus persen saya akan menjawab: saya tidak tahu. Karena memang tidak ada niat untuk tahu. Dan karena itulah mungkin papan pengumuman berlatar biru dan warna tulisan putih itu tidak pernah saya baca.

Benda itu sudah lama berdiri di situ. Dan benda itu juga sudah lama dilewati ribuan masyarakat kampus dan tidak pernah, menurut saya, memberikan perhatian khusus untuk membacanya. Apalagi mendiskusikannya.

Kembali ke plakat gizi baik. Jalan Diponegoro, tempat plakat itu berada, adalah jalan “elite”. Berbeda dengan jalan Jamin Ginting, misalnya. Kalau Anda sepakat ijinkan saya menyebut jalan yang namanya diambil dari Jenderal dari Tanah Karo itu jalan “bukan elite”. Cobalah Anda menumpang angkot lewat dari jalan tersebut. Ada becak yang parkir di tengah badan jalan. Pengendara sepeda motor yang tidak pernah merasa puas kalau gas motornya belum habis kena gas. Stasiun mobil antarkota/antarpropinsi yang tidak menyediakan cukup kursi tunggu sehingga calon penumpang dan dan yang bukan penumpang akan memilih berdiri di pinggir jalan sambil melihat segala kesibukan jalan. Dan yang tidak ketinggalan, aksi ugal-ugalan dari supir angkot. Mereka selalu setia dengan alas an klasik itu: mengejar setoran.

Nah, Jalan Dipenogoro ini berbanding terbalik dengan jalan yang baru saja kita bahas. Jangan pernah menyetop angkot di sana. Anda akan didatangi lalat-lalat liar dari selokan karena sudah trlalu lama berdiri. Yang akan kita jumpai di sana adalah segala sesuatu yang menggambarkan tentang kemajuan. Segala sesuatu yang menggambarkan kemewahan. Semua jenis mobil bermerek kualitas tinggi menjejali semua ruas jalan. Inilah pusat kota Medan. Tidak pantas rasanya gubuk berdiri di sekitar jalan itu. Yah, yang cocok adalah apa yang bisa kita sekarang ini: bank, kantor konsulat, mall, kantor gubernur, mesjid raksasa, gereja arsitektur Eropa. Itulah kenapa jalan itu saya namakan jalan “elite”.

Memang sebuah kesalahann kalau jalan ada tingkatan kelasnya. Toh, yang membangun semua itu adalah pajak dari hasil keringat kita-kita yang bukan “elite”.

Ini semualah yang terbersit di kepala saya ketika selesai membaca iklan dari Subdis Promosi Kesehatan dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Medan tersebut.

Plakat itu tidak akan efektif didirikan di sana, kalau tidak mau dikatakan sebuah kesia-siaan. Orang yang punya segalanya untuk dimakan, dan punya segalanya untuk membuat meja makannya selalu tersedia empat sehat lima sempurna, akan ketawa terkekeh-kekeh membaca plakat tersebut. “Untuk apa kami ini?,” mungkin mereka akan memberi komentar.

Mungkin lebih kalau benda itu didirikan di tempat-tempat kumuh yang notabene semua masyarakat di situ pasti tidak akan pernah menikmati sepuluh poin itu. Dan jauh lebih baik lagi kalau pemerintah melalui Dinas Kesehatan mencari cara apa saja agar penduduk yang tidak pernah tidur nyenyak di malam hari karena lapar (poin terakhir) jadi punya kesempatan untuk menikmati semua itu kelak.

Senin, 08 Desember 2008

Kampus Siang Ini

Bangsa kita memang bukan bangsa yang membiasakan diri untuk menyimpan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan masa lalu. Terlalu sering kita lihat tulisan-tulisan yang sepantasnya bermukim di kumpulan arsip, terbuang begitu saja.

Kampus, tempat masyarakat ilmiah-paling tidak menurut wawasan almamater-ikut-ikutan latah, kalau tidak mau dikatakan sudah terbiasa, menjamurkan budaya yang tidak baik ini.

Universitas Methodist Indonesia, siang ini, menambah barisan panjang pembuang masa lalu dan lebih memilih menukarkannya dengan uang recehan tak seberapa. Tak seberapa bila disandingkan dengan nilai dari sebuah tulisan yang tergeletak dengan indahnya dalam sebuah buku. Dengan demikian keabadian dari sebuah karya tulis serta merta akan hilang dengan sendirinya.

Kita masih ingat dengan mahakarya dari seorang penulis yang selalu membawa gunting ke mana pun dia pergi. Pramoedya Ananta Toer. Penulis yang setengah hidupnya dihabiskan di penjara ini akan menggunting apa saja, mulai dari koran sampai bungkus goreng yang sudah berada di tempat sampah, dan dimasukkannya ke dalam tas untuk ditempel malam harinya di atas kertas. “Budaya mengkliping belum ada di masyarakat kita,” katanya suatu waktu. Mungkin dialah orang paling banyak koleksi klipingannya di negeri ini. Suatu saat Pram, sebutan akrab Pramoedya, “dipaksa” jadi tenaga pengajar di sebuah universitas. Tentunya dia heran. “Saya ini tamat SMA saja tidak, masa disuruh ngajar di universitas,” demikian kira-kira menanggapi ajakan tersebut.

Karena bingung mau mengajarkan apa, Pram menyuruh mahasiswanya mengkliping koran. Jadilah mahasiswanya pemburu koran apa saja. Demikianlah, dari hasil klipingan itu tercipta sebuah buku sejarah Kartini versi berbeda dari versi yang biasa kita baca. Luar biasa. Tulisan sarat dengan data, fakta. Semua yang tertulis di sana seolah-olah menciptakan sejarah baru dalam penulisan sejarah.

Keterlaluan rasanya kalau kita mencoba menerapkan hal yang sama untuk dilakukan di kampus ini. Jangankan mengkliping tulisan, menemukan karya tulis dari masyarakat ilmiah tadi sepertinya memaksa kita untuk mencari jarum yang jatuh dalam sekam.

Begitulah. Tulisan dan karya tulis bisa kita jadikan sebagai pembanding lurus antara keilmiahan sebuah masyarakat dan masyarakat yang lebih mengutamakan unsur kebetulan dalam segala hal.

Akka Puisi

Selain penderitaan, jatuh cinta dan cinta juga amat membantu seseorang jadi bertambah kreatif. Sebut saja satu contohnya, menulis puisi. Tiba-tiba saja seorang anak manusia yang hatinya lagi diisi bebungaan cantik jadi ahli berpuisi. Cinta memang teramat banyak misterinya. Justru itu mungkin, misterinya makin berkurang setelah dituangkan dalam tulisan. Juga, cinta itu teramat besar, teramat indah, teramat suci, teramat sayang untuk tidak dijaga. Karena kepercayaan bahwa cinta, suatu hari nanti, akan membuktikan dirinya pantas dimiliki oleh dua insan yang mendapat kepercayaanNya untuk dijalani.


Sore Itu

Kuputuskan untuk memandangnya daru kejauhan.

Oh, tidak. Dia menatapku.

Jantungku berlari entah ke mana.

Mataku segera kubuang ke arah yang berlawanan.

Kucoba untuk melirik dia kembali.

Oh, my. Kenapa dia masih memandangku?

Tapi… ngak apa-apa.

Kupertahankan posisi mataku ke arah dia.

Waw… Matanya menarik mataku.

Kakiku tertarik untuk melangkah.

Jantungku berdetak tak menentu. Kucoba memberanikan diri.

“Hai, …” kata pertamaku keluar.

“Bi-bi-bisa aku tahu siapa namamu?”

Jantungku membuat mulutku kaku.

“……,” jawabnya singkat.

Perbincangan hangat pun berlanjut.

Awal yang bagus.

21 Maret 2007

Teganya

Aku mengetuk pintu.

Tak kau buka.

Itu kuulang berkali-kali.

Tak juga kau buka.

Aku mengambil kesimpulan.

Aku tidak tahu diri.

8 Juni 2007

Lucu

Aku kadang merasa lucu sendiri.

Kenapa ya begitu banyak orang yang hidup.

Yang lucunya mereka lucu.

Lucu, ya, karena mereka lucu.

Mereka hidup namun tidak hidup.

Terkadang semua nasi terbuang percuma.

Bukankah makanan identik dengan kehidupan?

Atau apa mereka tidak makan sama sekali?

Tidak mungkin, tidak mungkin.

Nasi tersedia tiap pagi di meja makan.

Dan memang itu sudah tradisi.

Tapi kenapa mereka hidup dan tidak hidup?

Lucu memang.

8 Juni 2007


Tak Ada

Aku duduk di dekatnya.

Jantungku berdetak tak menentu.

Aku meninggalkannya.

Hatiku berkata jangan.

Aku datang lagi.

Mulutku terkunci rapat.

Jemari tanganku kumain-mainkan.

Dan mereka pun kelelahan dan diam.

Trus ‘gimana lagi.

Tak ada.

Tak ada yang kudapat.

8 Juni 2007

Engkau dan Aku

Engkau berpikir:

tamannya indah,

gunungnya bersih,

suasananya sunyi,

dan anak-anak itu pasti senang.

Sedang aku beerpikir:

dirimu anggun,

dirimu cantik,

sifatmu mempesona,

rambutmu panjang,

dan…

eh, tasmu bagus.

8 Juni 2007

Mau Tidur

Mata sudah mengecil

tapi kipas angina tetap berhembus

Tidur dulu ah…

Capek.

Selamat malam semua.

8 Juni 2007

Nggak Bisa Tidur

Karena memikirkanmu aku tak bisa tidur.

Karena tidak bisa tidur aku makin memikirkanmu.

Dan malam mengalir seperti sebelumnya.

Satu pertanyaan timbul tiba-tiba.

“Tidakkah engkau capek semalaman berlari-lari dalam pikiranku?

9 Juni 2007

Selalu

Dalam satu minggu ada tujuh hari.

Dalam satu hari ada 24 jam.

Dalam satu jam ada 60 detik.

Dalam tiap detik ada bayanganmu.

9 Juni 2007

Manusia Jadi Apa ya?

Kijang menjadi burung.

Kuda menjadi serigala.

Tikus menjadi elang.

Ular menjadi ulat. Kelelawar jadi laba-laba.

Aduh,

Manusia jadi apa ya?

10 Juni 2007

-----------?

Aku lupa namanya.

Dia lupa namaku.

Bagaimana kami bisa jadi sahabat?

10 Juni 2007

----------

Anak ada di rantau.

Gembira dan senang.

Orangtua ada di kampong.

Berkeringat dan lelah.

Bodoh

Aku cemburu.

Ada laki-laki tak kukenal di sampingnya.

Prasangka pun timbul.

Tidak mungkin!!!

21 Juli 2007

Cinta

Aku menyukai seorang cewek

Kuungkapkan perasaanku.

Kukerjar-kejar dia.

Angan-angan pun timbul entah dari mana.

Lalu dia bilang, “…tunggu dulu…”

Sakit harti, mungkin.

Tiba-tiba sebuah bisikan mendengung di telinga.

“Jangan pernah berhenti untuk mencoba sebelum mendapatkannya.”

21 Juli 2007

Apa Salahnya

Menurutku menyukai seseorang itu tidak salah.

Menurutku mengagumi seseorang itu juga tidak salah.

Apa salahnya?

Apa salahnya untuk menyukai dan mengagumi?

Ketika rasa suka, rasa kagum itu meningkat,

apa itu juga salah?

Menolak untuk disukai dikagumi,

mungkin itulah yang salah.

21 Juli 2007

Menurutmu Apa

Kata orang cinta itu buta.

Aku bilang cinta itu perjuangan.

Sebuah perjuangan.

Perjuangan untuk menguasa pikiran, tentunya.

21 Juli 2007

Ternyata Tak Kutepati

Malam ini aku telah berjanji

untuk berkunjung ke sana.

Kubatalkan niatku.

Kulangkahkan kakiku.

Dan pandangan sekilas

menggantikan keberadaanku di sana.

23 Juli 2007

Mungkin

Aku tidak tahu,

apa aku yang salah atau perasaanku yang keliru.

Yang jelas malam ini aku tidak senang sama sekali.

Peristiwa itu terullang kembali.

Aku agak sedikit mati langkah.

Aku dihadapkan pada satu kesimpulan:

semua itu sia-sia, semua itu harus diakhiri.

Mungkin.

Mungkin inilah untuk sesaat.

Untuk sesaat saja.

Kutinggalkan tempat itu dengan mengucapkan sebuah janji:

Cukup!!!

“Tepati janjimu yang telah kau buat.”

26 Juni 2007

Kok Bisa ya?

Kadang aku tak habis pikir,

apa sih gunanya aku ke sana tiap hari?

Apa yang aku dapat dari sana?

Apakah kehadiranku diharapkan?

Apakah keberadaanku diperlukan?

Apakah kata-kata yang keluar dari mulut

pantas untuk didengarkan?

Apakah mata yang melirik-lirik

dapat menjadi sebuah pengaruh?

Apakah gerak tubuh yang kaku

menjadi sebuah pengikat?

Terus, apa tidak ada kegiatan lain?

Bukankah lebih bagus berdiam diri dan merenung?

Bukankah lebih bagus menata langkah ke depan?

Apa memang keadaan sekarang lebih bagus dibandingkan

dengan keadaan yang silam?

Ini semua butuh pembuktian.

Ini semua butuh komitmen.

Ini semua butuh ikatan kontrak.

Ini semua butuh kamauan.

Semoga, semoga aku bisa.

26 Juli 2007

Tulisan-tulisan Lama

Suatu pagi aku membuka

arsip-arsipku.

Ada begitu banyak puisi

di dalam

Puisi cinta mendominasinya.

Ada satu kata yang membuatku

sedikit geli:

Ada laki-laki tak kukenal di sampingnya.

Aku cemburu.

Apakah Anda tahu

laki-laki itu siapa?

Sungguh cinta itu

penuh dengan rasa cemburu.

Laki-laki itu adalah

Bapaknya.

Tidak lain tidak bukan.

13 Februari 2008

Dunia dalam Satu Kalimat

Kita, yang merasa diri benar, telah dikelilingi

Oleh manusia-manusia berperilaku binatang.

16 Februari 2008

Perpustakaan Hari Ini

Perpustakaan hari ini

Sangat ramai.

Mungkin karena banyak tugas.

Tugas untuk dkumpulkan besok.

22 Februari 2008

Dosen Kurang Ajar

Dosen kurang ajar.

Datang melewati waktu

pulang mengurangi waktu.

Dosen kurang ajar.

Datang bawa diktat

pulang bawa duit.

Dosen kurang ajar.

Engkau punya ilmu?

Engkau masih punya harga diri?

Dosen kurang ajar.

Dosen pemamah biak teks-teks usang.

Dosen diktat, kalau aku boleh bilang.

Pernahkah eengkau berpikir:

“who am I?’

Pernahkah engkau merenung:

“what’s my really duty?”

Setahuku

dosen itu, ya dosen.

Pendidik

dan

juga

terdidik.

16 Maret 2008

Makan Juga Ada Tingkatannya

Setelah senja mendatangi bumi dan kemudian gelap, makan adalah tindakan yang paling tepat untuk menutup hari. Kemudian hari ini yang akan segera diganti dengan hari selanjutnya menelurkan sebuah pertanyaan baru: “Apa besok makan?” Itulah pertanyaan teramat klasik bagi mereka yang kehilangan segala sesuatu alat untuk sekedar bertahan hidup di hari ini saja.

Sedikit berbeda dengan mereka yang sudah memiliki sedikit kepastian tentang makanan yang hendak di makan esok harinya. Mereka akan bertanya: “Besok makan apa?”

Lalu, mereka yang sudah sangat pasti punya makanan yang hendak disantap tiap harinya dan sudah terlalu sering bosan dengan menu harian di rumah, akan bertanya: “Besok makan di mana?”

Dan akhirnya, kelompok yang sudah kehabisan segala sesuatu yang bisa dimakan dan kelompok yang teramat rakus, akan bertanya: “Besok makan siapa?”

Sabtu, 06 Desember 2008

Sekedar Melewatkan Sore

Selalu menghabiskan sore dengan mengolah badan jauh lebih baik dari sekedar nongkrong di warung kopi sambil menggoda setiap cewek yang lewat. Itulah yang kami pilih. Setiap sore. Hedon, tidak seluruhnya benar. Bukan juga artinya menghilangkan makna penting kegiatan lain. Sungguh terlalu banyak kegiatan positif lain yang pantas dan layak untuk dilakoni.

Kami lebih menikmati memainkan bola bulat itu. Selain bisa melibatkan banyak orang, juga menambah keakraban di antara kami yang masih kurang merasa akrab. Kerjasama juga terjalin di sini. Egois artinya kehilangan kesempatan untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Keahlian mengolah bola bukan syarat mutlak untuk mengendalikan permainan dan memenanginya. Semuanya itu efek samping dari efek utama: menyehatkan badan.

Sebetulnya bukan ini kebiasaan kami. Dulu, sewaktu kejayaan itu masih kami genggam, kami asik kusuk berdiskusi. Berdiskusi tentang apa saja yang kami anggap perlu didiskusikan. Menyinggung semua itu hanya memaksa kami bernostalgia seraya sesekali merasa bangga bahwa pernah suatu saat kami berada di titik di mana setiap orang pasti bangga menceritakannya kepada generasi penerusnya.

Kampus tempat kami menapak masa depan, bisa suram bisa seram, bukanlah kampus yang patut dibanggakan. Kampus kami hampir-hampir kehilangan segala sesuatu dari yang dinamakan kampus sebagai masyarakat ilmiah yang mengutamakan segala sesuatu dari sudut pandang keilmiahan. Tentang keilmiahan ini semua sudah tercatat rapi dalam buku dan itu dinamakan wawasan almamater. Dibuat pula dalam plakat berukuran jumbo sehingga setiap orang bisa membacanya. Dan memang seperti menyamakan pepatah kuno: pengumuman dipampang bukan untuk dibaca. Kita tidak tahu apakah ini berbanding lurus dengan keseharian warga kampus yang masih canggung untuk mengilmiahkan pikiran dan perbuatan.

Kita akan kesulitan menemui kampus ini bergelut dengan data-data mentah untuk diolah menjadi sesuatu yang ringan dan bisa dinikmati masyakat dalam bentuk karya nyata. Sulit juga rasanya merasakan aroma kegiatan yang bisa membuat otot leher meregang bagaikan tali tambang karena alotnya sebuah debat. Tidak akan. Kita tidak akan pernah menjumpainya di sini. Mengangkat tangan dan mengatakan tidak sepakat dengan pendapat sang penceramah dan mencoba memberikan tambahan dari sudut pandang lain, juga, sesuatu yang sangat jarang kita dapati di sini. Kalau kawan-kawan kami di kampus lain sudah mendekatkan diri dengan akar sosialnya dan sudah hidup di tengah-tengah mereka, kami di sini masih asik berdebat tentang tempat mana paling enak untuk duduk dan makan sepuasnya. Dan inilah yang paling memilukan dari semua yang bisa disebut pilu sembilu sepilu-pilunya. Perpustakaan, gudang dari gudangnya ilmu, bukanlah tempat istimewa di hati setiap mereka. Kalau pun mereka berada di sana, lebih sering hanya menggosip. Tukar-menukar informasi tentang lagu paling hits, produk kosmetik terbaru, dan tak ketinggalan harga baju paling murah.

Semua itu yang kami diskusikan. Kami selalu berusaha percaya dan sepenuh hati memraktekkan teori lama dan masih uptodate: belajar, berorganisasi, dan berjuang. Untuk yang disebutkan terkahir itulah kami kawinkan dengan yang kedua sehingga tercipta sebuah kesadaran baru yang menolak semua segala sesuatu yang sudah dianggap mapan.

Dan sore-sore dalam beberapa bulan ini sudah kehilangan semua itu. Tidak ada diskusi. Tidak ada organisasi. Berjuang? Berjuang dengan mempertahankan kesadaran yang terlalu sayang untuk dihapus dari kepala, menjadi pilihan satu-satunya. Naif juga mengatakan semuanya waktulah yang menjawab. Menyandarkan segala sesuatu kepada waktu hanyalah bukti dari ketidaksanggupan mempertahankan idealisme yang sudah sempat berakar dan sempat pula tumbuh dan hampir menjadi sebatang pohon.

Untuk sementara kami memilih untuk menghentikan semua itu. Baiklah untuk sore-sore bulan ke depan kami jalani saja menyepak bola. Badan sehat, sahabat bertamabah, dan semakin paham akan arti kerjasama. Biarlah waktu, ops, maksudnya biarlah mengalir bagaikan air. Air yang akan menemui bebatuan terjal di hilir dan akan menunjukkan sifat abadinya: membelokkan arah dan mencapai tempat yang lebih rendah.