Rabu, 29 Oktober 2008

Kita Memang Harus Menulis

“…orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah…" (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca)

Menulis. Kata kerja ditambah awalan me-. Susah dikerjakan. Itulah kesan awalku tentang ilmu merangkai kata ini.

Berbagi pengalaman mulai dari aku “tahu” membaca, hingga kini jadi “penulis” lewat tulisan, paling tidak, ajang pembuktian diri: aku bisa menulis.

Aku masih hijau dalam hal membaca. Terlebih menulis. “I’m still green,” kata penutur bahasa Inggris. Terbukti. Aku belum bisa menyamai, bukan, bukan menyamai tepatnya, -mengikuti jejak mungkin lebih pas- penulis favoritku. Usia mereka sudah tua. Mereka sudah menulis lama sekali. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer. Penulis hebat. Hebat karena menulis puluhan ribu lembar tulisan. Luar biasa. Tulisannya bisa menginspirasi orang untuk berdiri tegak melawan arus deras: semakin menambah keluarbiasaannya. Membawa perubahan pola pikir yang membaca: menambah poin untuk yang luar biasa tadi. Itu salah satu penulis yang sangat ingin aku menjadi sepertinya.

Parakriti Tahi Simbolon. Wartawan senior Harian Kompas. Kolumnis yang mampu menggerakkan penanya dan menghasilkan untaian kata-kata penuh makna. Kata-kata yang mampu membuat orang sedih di tengah keramaian. Gembira di tengah kesedihan. Analisa tajamnya dibungkus dengan lelucon segar dengan balutan kalimat sastrawi bermutu tinggi.

Goenawan Mohammad. Lawan Pram (sebutan untuk Pramoedya Ananta Toer) pada masa Orde Lamanya Soekarno. Penulis yang mapan dengan analogi-analogi. Dia terkenal dengan Catatan Pinggir di Majalah Mingguan Tempo. Majalah yang didirikannya, dengan kawan sejuang, dengan tumpahan keringat dan air mata.

Daniel Dhakidae. Orang Flores. Tamatan sekolah teologia bagi yang berminat untuk tidak menikah seumur hidup (seminari). Dunia filsafat digulutinya. Sastra dilibasnya. Sejarah, apalagi: dilahap bagaikan lezatnya kembang gula bagi anak di bawah umur. Mampu meringankan masalah berat di tulisannya. Esais ulung. Pemahaman membumi di bidangnya.

Wiji Thukul. Penyair kerakyatan bermuka jelek. Puisinya bagaikan peluru. Siap melesat ke jantung penguasa/kekuasaan yang selalu berpura-pura baik dengan mengedepankan tindak kekerasan bagi siapa saja yang tahu bahwa mereka hanyalah pura-pura. Hanya ada satu kata: lawan! adalah hasil pergulatannya dengan hidup. Kalimat yang begitu hidup. Menggelegar. Menghantam. Menghujam. Menggetarkan. Kalimat yang begitu ditakuti penguasa lalim. Penyair yang sengaja dihilangkan.

Mereka semua menulis dan jadi penulis.

Keterlaluan rasanya kalau aku membandingkan diri dengan beliau-beliau itu. Tak pantas. Aku memang sudah menulis. Belum jadi penulis.

Tidak ada cara lain. Ingin jadi penulis, ya, menulis. Richard Sambera berhasil meraih medali emas di ASEAN GAMES tidak lain tidak bukan: dia berenang dan jadi perenang. Praktek. Kembali meminjam istilah Inggris itu: Practise makes you perfect!

Kelima penulis di atas menulis untuk sebuah tujuan. Mereka memberontak ketika melihat saudara-saudaranya dipenjarakan tanpa ada proses hokum. Hati mereka meringis melihat tangisan anak negeri miskin di negeri nan kaya. Tangan mereka terkepal ke atas melawan rezim otoriter fasis. Nurani mereka tergores melihat buku-buku gudang ilmu dibakar hanya demi sebuah alas an: di luar kerangka berpikir penguasa. Dan lain-lain. Dan lain-lain. Penulis yang memiliki idealisme. Penulis yang selalu memperpanjang kontrak ketika umat manusia menuntut jam kerja mereka ditambah.

Alasan-alasan ini cukup bagiku mengatakan: aku bisa seperti mereka.

Setelah tamat dari sekolah lanjutan atas dan setelah gagal masuk perguruan tinggi negeri dan setelah itu masuk ke kampus ini (Universitas Methodist Indonesia), membaca bukan sebuah pilihan. Mengatakan sekedar hobi juga tidak. Apalagi kebutuhan. Masih jauh panggang dari api. Membaca tidak lebih tidak kurang sekedar penghantar tidur saja.

Hari itu pun tiba. Perjumpaanku dengan buku itu mengubah semua arah yang dulunya tampak semrawuut kini kelihat begitu jelas di depan mata. Tetralogi Pulau Buru: Pramoedya Ananta Toer. Buku yang tanpa sengaja terbacaku di ruang referensi Perpustakaan Daerah Sumatera Utara. Kubuka. Kubaca. Halaman pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Mengalir bagaikan Sungai Bengawan Solo. Tanpa henti. Satu jam pun berlalu. Jujur. Rekor tertinggiku. Inilah yang membuat aku bolak-balik ke tempat itu. Setiap hari sepulang kuliah.

Awal yang indah. Aku mulai asik dengan kegiatan baruku ini. Makin banyak lembaran buku kubaca, makin aku sadar semakin banyak pula lembaran-lembaran yang belum kubaca. Mungkin inilah maksud pepatah kuno itu: makin banyak kita tahu makin kita sadar bahwa makin banyak yang belum kita tahu.

Aku pun melangkahkan kakiku keluar dari krengkeng kemalasan mata dan pikiran. Kuberanikan diri mematok target harian: minimal dua jam sehari waktuku untuk membaca. Di luar jam kuliah. Itulah yang terjadi sampai hari ini. Tentunya dengan perubahan target harian tadi. Aku harus selalu merevisinya. Meningkat, meningkat, dan makin meningkat. Hingga sampai pada tingkat tertinggi dalam membaca: membaca sebagai kebutuhan pokok.

Menulis. Pekerjaan memindahkan kata-kata dari kamus ke atas kertas. Sulitnya minta ampun: diawalnya. Kemampuan membacaku berbanding terbalik dengan kemampuan menulisku. Timpang. Pikiran bahwa menulis itu butuh talenta khusus, masih menempel di kepala. Bagiku, saat itu, penulis pastilah orang-orang pilihan para dewa. Orang-orang luar biasa yang kemanusiaannya berbeda dengan manusia pada umumnya. Semua pujian kutujukan ke mereka.

Belakangan aku tahu, itu semua tidak benar. Tidak ada talenta khusus. Mereka juga bukan utusan para dewa. Mereka orang-orang biasa dan memilih untuk tidak menjadi manusia biasa-biasa saja. Itu saja. Tidak lebih. Mereka merutinkan diri. Tekun. Setiap saat adalah saat berharga yang terlalu sayang dilewatkan untuk tidak ditulis.

Karena aku ingin seperti mereka, kupraktekkan apa yang mereka praktekkan. Menulis. Yah, menulis. Ingin jadi penulis dimulai dari menulis. Aku mulai dari menulis puisi sampai menulis surat kaleng tanda protes dengan kebijakan kampus. Kini kemampuaku bertambah satu: membaca untuk menulis.

Kubaca apa saja yang aku anggap enak dibaca. Kalau dulu membaca supaya ngantuk dan bisa langsung tertidur, sekarang membaca supaya tidak ngantuk dan membaca sampai larut. Kenikmatan yang tak tergantikan oleh apa pun.

Mudah-mudahan aku tidak keliru mengatakan aku semakin dekat dengan cita-citaku: penulis.

Aku selalu yakin setiap hal, setiap kejadian, setiap suasana dapat diterangkan dengan tulisan. Menulis sebagai kebutuhan, menulis untuk masa depan, menulis untuk kemanusiaan. Dan ini dia: membaca, menulis, dan berjuang.

Karena keyakinan setiap orang bisa menulis dan bisa jadi penulis, aku memberanikan diri untuk membuat itu nyata.


Selasa, 28 Oktober 2008

Sajak-sajak Winarso


http://jakker.blogspot.com/

SAJAK TANPA KATA
Syair : Winarso

inilah kata-kataku yang pertama
biarlah negri ini hancur
sebab negri ini sudah carut marut tak karuan

para senimannya
asyik beronani dengan seninya
para elit politiknya ribut tak karuan
mulutnya berbusa
sedangkan tangannya yang hitam bergentayangannya kemana saja
mereka bersilat lidah
menyembunyikan tangannya
yang berlumur darah
dengan meminjam bait-bait suci tuhan

negri ini sudah tak bertuan kawan
sebab para penguasa
hanya sibuk bersuara tanpa makna
karena itu kita mesti kepalkan tinju
memukul mulut mereka yang bau
memotong tangan mereka yang penuh dengan dosa

apalagi yang kalian tunggu
menunggu tak akan pern ah menghasilkan apa-apa
selama badut-badut itu masih bisa kentut
kita pasti akan ditikam dari belakang
selama badut-badut itu masih bernafas
kita pasti akan digilas

mari...
bersama-sama kita lemparkan mereka ke kantong sampah
kita benamkan ke lumpur hitam
agar mereka diam
mati tak bersuara


SAJAK BINTANG MERAH

kalau kain merah
sudah kami bentangkan
itu pertanda darah kami sudah bergejolak
karena amarah dalam dada
karena sebuah penindasan

kalau bintang merah sudah ditangan
itu pertanda kami bangkit
dan melakukan perlawanan

apa yang membuat dirimu ketakutan
ketakutan hanyalah bayang-bayang yang sangat menakutkan

memang keberanian harus dilatih kawan
kalau tidak kita akan selalu ditindas
penindasan itu akan selalu datang
penindasan demi penindasan
kalau kita tidak berani melawan bayang-bayang
matilah kita
dalam sebuah proses kehidupan

Winarso, Januari 2002


PESAN SANG IBU
Syair: Winarso

tatkala aku menyarungkan pedang
dan bersimpuh di atas pangkuannya
tertumpah rasa
kerinduanku pada sang ibu

tangannya yang halus mulus membelai kepalaku
tergetarlah seluruh jiwa ragaku
musnahlah seluruh api semangat juangku
namun sang ibu berkata

anakku sayang
apabita kakimu sudah melangkah ditengah padang
tancapkanlah kakimu dalam dalam
dan tetaplah terus bergumam
sebab gumam adalah mantra dari dewa dewa
gumam mengandung ribuan makna

apabila gumam
sudah menyatu dengan jiwa raga
maka gumam akan berubah
menjadi teriakan teriakan
yang nantinya akan berubah menjadi gelombang salju yang besar
yang nantinya akan mampu
merobohkan istana yang penuh kepalsuan
gedung gedung yang di huni kaum munafik

tatanan negeri ini sudah hancur anakku
di hancurkan oleh sang penguasa negeri ini
mereka hanya bisa
bersolek didepan kaca
tapi membiarkan punggungnya penuh noda
dan penuh lendir hitam yang baunya
kemana mana

mereka selalu menyemprot kemaluannya dengan parfum luar negeri
di luar berbau wangi
di dalam penuh dengan bakteri
dan hebatnya sang penguasa negeri ini
pandai bermain akrobatik
tubuhnya mampu di lipat lipat
yang akhirnya pantat Dan kemaluannya sendiri mampu dijilat jilat

anakku
apabila pedang sudah kau cabut
janganlah surut
janganjah bicara soal menang dan kalah
sebab menang dan kalah
hanyalah mimpi mimpi
mimpi mimpi muncul dari sebuah keinginan
kenginan hanyalah sebuah khayalan-
yang hanya akan melahirkan harta dan kekuasaan
harta dan kekuasaan bagaikan
balon balon sabun yang terbang di udara

anakku
asahlah pedang
ajaklah mereka bertarung ditengah padang
lalu tusukkan pedangmu
ditengah tengah selangkangan mereka
biarkan darah tertumpah di negeri ini
satukan gumammu menjadi : REVOLUSI


KABAR UNTUK ANAK
Syair : Winarso

anakku
aku tidak bisa memberi apa apa
hanyalah bunyi genderang perang
kabar dari ayahmu

saat ini aku berada di persimpangan jalan
apakah aku harus memilih
berjalan di atas kebenaran
ataukah kedamaian

ternyata aku memiiih kebenaran
biarpun kebenaran itu penuh darah dan nanah
apalah arti kedamaian
kalau hanya menjadi budak
tidak anakku
kalian tidak boleh menjadi budak di negeri sendiri
mereka sengaja memberikan mimpi tentang kedamaian
sementara kebenaran tetah di robek robek
jiwa dan raga kitta telah tercabik cabik
terbuang dalam lautan debu yang sangat hitam

anakku
biarpun aku rindu
rindu untuk memelukmu
rindu untuk membelaimu
rindu untuk menumpahkan kasih sayang
namun aku relakan kerinduan ini untuk tetap berjuang
apabila ditengah padang
terdengar suara genderang
disanalah ayahmu mengangkat pedang

anakku
apabila aku harus mati nanti
dengarlah kata kataku ini
kebenaran tidak akan pernah terwujud
apabila tidak kit REBUT!

Beberapa Puisi

http://jakker.blogspot.com/

Karena Kami Arus Kali, dan Kamu Batu tanpa Hati
Oleh: Rendra

karena kami makan akar, dan terigu menumpuk di gudangmu
karena kami hidup berhimpitan, dan ruanganmu berlebihan.
maka, kita bukan sekutu.

karena kami kucel, dan kamu gemerlapan.
karena kami sumpek, dan kamu mengunci pintu
maka kami mencuri kamu.

karena kami terlantar di jalan, dan kamu memiliki semua keteduhan.
karena kami kebanjiran, dan kamu berpesta di kapal pesiar.
maka kami tidak menyukaimu.

karena kami dibungkam, dan kamu nyerocos bicara.
karena kami diancam, dan kamu memaksakan kekuasaan.
maka kami bilang, tidak ...! Kepadamu.

karena kami tidak boleh memilih, dan kamu bebas berencana.
karena kami cuma bersandal, dan kamu bebas memakai senapan.
karena kami harus sopan, dan kamu punya penjara.
maka, tidak ...!, dan tidakkk ...! Kepadamu.

karena kami arus kali, dan kamu batu tanpa hati.
maka air akan mengikis batu.

***

Mengenang para reformis yang gugur
disatu sembilan sembilan delapan...

Melambaikan senja padamu
bersama air mata yang terasa asin di bibir
mata yang berkaca melewati jendela
menatap kematian dengan begitu bersahaja

Amboi, langkah ini hendak menuju ke mana
selain menjejak pada kemungkinan hari-hari penuh kegelisahan,
kehampaan dan kesunyian diri sendiri
meraba kegelapan yang melumuri isi kepala

Kereta warna hitam yang kau sorongkan
melewati pelataran yang begitu lengang
tawarkan sebuah kenangan di masa lalu
ketika kehidupan baru di hembuskan ke dalam dadamu...
bikin perjanjian untuk kembali pada asal mulamu, anak manusia

Sepertinya tak ada yang patut ditangiskan
selain mengaca pada hari yang penuh warna
dan cerita penuh deru di masa lalu.

(Tuhan, aku hantarkan doa melewati senja ini)

***

Jangan Meyerah Bud...

Terakhir kita bertemu sebelum pemogokan
dalam percakapan singkat yang sepele
tentang sebuah film Amerika Latin di televisi:
Fera Ferida, katamu
kau juga suka film itu
ada cinta dan ada politiknya

Kita tak bisa sebut akrab, Bud
tapi sebagai kawan satu partai
sudah pasti ada ikatan yang tak bisa dilerai
sebagaimana hidup dan mati
Selain itu, tak ada yang istimewa dan manis
untuk seorang ketua partai
kehidupan telah memilih jalannya yang terbaik

Tentu saja, kita jarang sekali bertemu
kau sibuk dengan rapat-rapat
dan kerja-kerja politikmu
sedang kami hari demi hari hidup dalam penindasan
dan menerangkan kepad setiap orang
bahwa ketidakadilan harus dilawan

Kapan aksi kita yang terakhir?
Kulihat kau berbicara kepada massa
memimpin mereka
dengan kemeja lusuh yang itu-itu juga
dibelakangmu bendera merah partai berkibar
menentang angin kemarau yang berdebu

(Oh ya, ada pesan dari Rum; dia akan membelikan kemeja baru
di pasar kaget, kemeja bagus yang dijahit sendiri
harganya mahal sekali)

Sementara matahari menyorot garang
ke ubun-ubun ribuan buruh yang bergerak
di jantung kota
tubuhmu yang kurus
kelihatan seperti titik cahaya
dari kemenangan rakyat dimasa depan

Kami belum dapat menengokmu dipenjara, Bud
Kau tentu paham betapa sulitnya kita sekarang
Kawan-kawan di pabrik menyuruhku menulis puisi ini:

“Jangan menyerah! Kita belum menang.”

[Dari kawan-kawan buruh dan disebarluaskan oleh
Jaringan Kerja Kesenian Rakyat --ormas kebudayaan PRD--, dengan catatan:
Harap disampaikan kepada Ketua Budiman Sudjatmiko]

***

SEBUTIR MATA
Mengingat: Wiji Thukul

Perempuan itu, istri seorang demonstran, berkata:
karena perjuangan harus dilanjutkan, kang mas,
aku relakan sebutir mataku untukmu
menggantikan mata kirimu yang pecah saat unjuk rasa.

Malang, 1996

Antologi Puisi JAKER

http://jakker.blogspot.com/


- Cuty -

SANDAL JEPITKU
seperti biasa tanggal 20

aku menerima upah
dan seperti biasa pula tanggal 20
aku membayar sewa rumah
serta arisan
sudah lama sendal rusak
aku ingin menggantinya

dengan langkah penuh semangat
aku menuju kios kecil
di pojok belakang KBN
aku memilih milih sandal, sepatu
aku kaget
dan aku menggerutu:
“mahal sekali”
uangku tak cukup buat beli

aku keluar dengan langkah gontai
dan bertanya dalam hati
kapan aku bisa beli..?

diatas sebuah metromini
24 mei 2005


UPAH
kami tidak minta banyak
kami tidak minta kemewahan
kami hanya ingin hidup layak
inilah keinginan kecilku

kami buruh!
kami adalah roda penggerak ekonomi negara
tapi..
nasibku selalu tertindas
kami jadi budak di negeri sendiri

tenaga
pikiran
umurku
;selalu jadi obyek kepentingan
upah yang kami dapat; terlalu murah

sedangkan kebutuhan hidup terlalu mahal
upahku tidak cukup buat menopang hidup
terus dengan siapa nasib ini kusandarkan??..
tapi…ingat !
kami tidak akan pernah diam
kami akan tetap menuntut
ke…se…jah…teraan


KEADILAN
keadilan tak mungkin kita tunggukawan
jangan pernah takut
untuk menggungkap kebenaran

kebenaran haruslah diungkap
walau sepahit apapun itu
buang rasa takutmu
karena ketakutan
akan menghilangkan akal sehat kita
dan yakini bahwa kita di jalan kebenaran

kawan..
kita ini buruh!
rakyat kecil!

kawan…
buruh sendirilah yang tegakkan kebenaran untuk gapai keadilan
hidup buruh yang haus
akan keadilan!

Jakarta, 4 Januari 2006
__________________________________
Cuty tinggal di Jakarta Utara, bekerja
di PT Golden Continental Kawasan Berikat
Nusantara Cakung, ia juga aktif sebagai
Pengurus Kota Front Nasional
Perjuangan
Buruh Indonesia (FNPBI) Jakarta Utara.


- Lami -

UPACARA di PABRIK

setiap hari senin mengingatkanku
waktu aku masih sekolah

tapi upacaraku tidak di tengah lapangan
melainkan di tengah tengah mesin tua
disamping tumpukan baju
diatas lipatan karton
hanya berdiri tegak sempurna
mendengarkan lagu indonesia raya

kuperhatikan kawan kawan
ada yang acuh
ada yang ngantuk
ada yang bersandar
ada juga yang bercanda

hanya aku yang merasa buruh belum merdeka
selama kita masih ditindas di negeri sendiri

Semper, 25 Mei 2005


SAKIA

dengan tergesa gesa
turun dari tangga
dengan teriakan:
“Aima aigo sakia a.. cepat! a..”

tadinya aku menganggap
itu judul lagu saja

diulang lagi
“Sakia export a.. cepat!..”

rasa penasaranku memaksa
bahasamu yang tidak aku mengerti
apa Sakia itu?

setelah aku tahu ternyata
Sakia itu ANJING
dengan geram aku bergumam
setan yang lebih lebih dari setan!

Semper, 24 Mei 2005

PROSES

dari sehelai benang
menjadi gulungan bahan
digudang telah berdiri dan berbaris
seakan antri untuk digelar
dan digambar
lalu potong oleh cating

sewing duduk membungkuk
menunduk pijakan jarum yang lincah
diatas kain dengan kaki menginjak mesin

qiusi memeriksa baju yang sudah jadi
dimana yang bagus dan jelek
hanya dengan menandai tanda gambar panah

finishing aku ambil baju satu persatu
aku congkel congkel benang yang nyelip
aku cubit cubit benang yang pendek
kukupasi sticker angka
kulihati dan kubersihkan
goresan kapur putih

packing beribu ribu karton tersusun tinggi
berbondong bondong karton terangkat

staping masuk kontainer
export membutuhkan proses yang lama
dan waktu yang melelahkan

Jakarta, 3 juni 2005

BERMALAM di PABRIK

sepet mataku memasuki area pabrik
dengan menatap nanar aku melihat
karton karton malang melintang
box kayu dipenuhi tumpukan baju
suara deru mesin
jeritan bunyi lakban
di tambah geretan rolly
membuat suasana semakin panas

dari jauh teriakan dan gemboran pengawas
dengan menggebrak meja
memukulkan obeng ditiang besi
membuatku takut dan gugup

hari mulai petang
tidak terpikirkan kapan kita pulang
hingga keringatpun tidak sempat kita lap

jam 12 malam
buruh buruh mulai terlihat keluar masuk mandi sambil membasuh muka muka yang kusut –
dengan mata sayup karna menahan ngantuk

pagi menjelang siang
pekerjaan yang tidak terkejar
bau keringat dimana mana
karna dari pagi ketemu pagi
kita tidak mandi
dari pagi ketemu pagi
kita tidak gosok gigi

terasa matahari diatas kepala
dengan muka pucat badan gemetar
aku melangkah pulang dengan
menahan lapar tanpa membawa upah

Jakarta, 1 Juni 2005


BURUH KONTRAK

nasib buruh kontrak
waktu kerja yang tidak ditentukan
kapan saja bisa terlempar
kerja tak tenang selalu dihantui PHK masal

aku buruh kontrak
hakku dibedakan dengan karyawan tetap
cuty haid tak kudapat
uang transport tak diberi
aku rajin tetap tersingkir
aku takut semakin terpuruk
aku melawan nasibku terancam
aku diam semakin tertindas

siang malam tenagaku terkuras
bila saat waktunya aku dikeluarkan
inilah kebijakan pemerintahan yang-
membuat buruh semakin terjepit.

Jakarta 9-juni-2005


PAGI MENJEMPUT LELAHKU

lelapku terjaga sang matahari
siang meninggalkan malam
lelahku telah menunggu
tidak siang tidak malam
dipaksa menghamba

di satu tempat..
tempat yang takut
tempat yang terpaksa
tempat tak berani dan melelahkan
rasa takut dan tak berani
yang tidak pernah aku ketahui
yang membuatku harus menghambakan diri..

Jakarta 21-12-2005

_____________________________________
Lami tinggal di Jakarta Utara, bekerja di
PT Myungsung Kawasan Berikat Nusantara
Cakung, ia juga merupakan Koordinator
Sanggar KAPUAS Cakung.

- Atin -

DROP OUT

seminggu yang lalu aku di PHK
seminggu yang lalu aku kehilangan pekerjaan
seminggu sudah aku jadi pengangguran
seminggu sudah aku berpisah
dengan kawan-kawan di pabrik

tapi…
aku tidak menyesal
dengan kenyataan ini
aku harus menatap ke depan
dan hari esok akan kusambut
dengan penuh harap
dan aku akan tetap berjuang
demi menggapai keinginan ku

aksi Katexindo 14-16 mei
mengantarkan aku di phk

Jakarta Utara, 18 juni 2005


PUISI BUAT KAWANKU Di VILLA TUGU 146

kawanku yang manis
kau hindari aku dengan acuhmu
kau palingkan aku dengan romanmu
di saat berpapasan

tetapi……
di belakang kau sempat perhatikan aku
disaat keluar dari tempat bekerja
padahal aku tak pernah punya
yang namanya pikiran kotor ataupun jahat
terhadapmu
juga aku merasa senang
bila aku melihatmu walaupun
sekedar dari jauh

ingin sekali aku akrab
dan jadi kawan ataupun saudara
karna memang kita adalah saudara
kenapa…
karena menurutku
kau seorang yang unik

18 Juni 2005
_____________________________
Atin, ex-PT Karwell KBN Cakung.
Tinggal di Tanjung Priok


- Ika Qodarwati -

BERJUANGLAH BURUH

dimata mereka yang tinggi
rendahlah kamu
diantara yang besar
kecillah kamu
namun janganlah kamu mundur atau takut
walaupun mereka tinggi
ada lagi yang lebih tinggi
walaupun mereka besar
ada lagi yang lebih besar

memeras dan menindas
sudah menjadi kerja mereka

tapi buruh harus beringas
agar mereka susah untuk bernafas
kalau buruh diam jangan harap..
belenggu akan terlepas.

Jakarta, 25 Mei 2005
_________________________________________
Ika Qodarwati tinggal di Tanjung Priok Jakarta
Utara, bekerja di PT Sainath I Pelabuhan 1
Tanjung Priok.

- Vera Astuti -

PERJUANGAN TANPA BATAS
semakin hari langkahmu
semakin mantap
setiap pijakanmu adalah
semangatmu
sinar bola matamu
memancarkan keyakinan

lelah mungkin itu yang kau rasa saat ini
namun kau tak pernah gentar menghadapinya

kau berdiri tegak diatas kerikil kerikil tajam
walau keringat selalu membasahi dahimu
kau tetap yakin dengan pendirianmu

beribu ancaman kau terima
namun tak sedikitpun menggoyahkan hatimu
kau telusuri jalan demi jalan
untuk mencapai tujuanmu

maju..
majulah pahlawanku
lawan..
lawan setiap tangan yang selalu mencambukmu
jangan pernah menyerah menghadapi mereka
dan jangan pernah runtuh meski mereka
akan menggempur barisanmu

Jakarta, 27 Mei 2005
_____________________________________________
Vera Astuti tinggal di Tanjung Priok Jakarta Utara,
selain berkesenian juga sebagai Programmer
di Bimbingan Belajar KUMON.

- Rita Kontriawati –

MAWAR DI TEPI JURANG
kau indah tapi sulit di jangkau
tiap mata yang melihat pasti menyukaimu
semua ingin memilikimu
tapi itu tak mungkin
kau begitu indah berada disana

walau begitu..
tapi kau kadang menyakitkan

duri..
yah duri di tangkaimu
bisa melukai tangan seseorang

mawar di tepi jurang
kau jauh
namun teras begitu dekat

Jakarta, 26 Mei 2005


IBU
kau adalah orang yang kukagumi
tiap kata katamu
adalah butiran mutiara
kau selalu tersenyum dihadapan anakmu
walau aku tahu hatimu terluka

ibu..
dengan apa aku harus
membalas jasamu
kasih sayangmu jadikan aku dewasa
hanya doa yang dapat keberi padamu ibu..

Jakarta, 27 Mei 2005

KOTA KELAHIRANKU
jakarta itulah nama kota kelahiranku
disinilah diriku dilahirkan dan dibesarkan
dikota ini juga aku bekerja
dan kukenali lingkunganku

jakarta penuh dengan hiruk pikuk
kebisingan dan kekerasan
tapi itu semua kurasakan sudah biasa

gedung gedung pencakar langit
tempat tempat hiburan
rumah dan kendaraan mewah
bahkan rumah-rumah kumuh
semuanya tumpah disini

impian indah ingin ke jakarta slalu ada
dalam benak tiap orang yang belum ke jakarta
jakarta walau kau kadang begitu kejam
namun kau tetap kota tempat tinggalku.

Jakarta, 30 Mei 2005
______________________________________
Rita Kontriawati tinggal di Tanjung Priok,
sehari hari ia bekerja di PT Sainath I Pelabuahan I
Tanjung Priok.

- Marhamah -

BURUH
seberapa jauh jarak yang kita tempuh
namun semua akan bertemu kembali
seberapa berat kerjaan yang kita pikul
kalau kita giat pasti akan bisa dilakukan

buruh..
apa sih yang diharapkan dari buruh?
kerja dipaksa
tenaga habis
masa depan suram
mana pernah kita mengeluh dengan keadaan kita

apa yang bisa kita lakukan?
apakah kita akan selamanya akan ditindas
mana keberanian kita
untuk memenangkan hak hak kita

ayo semuanya..
harus berani melawan penindas
hidup buruh!

Jakarta, 4 Juni 2005
_______________________________
Marhamah tinggal di Warakas, bekerja di
PT Karwel Pelabuhan I Tanjung Priok

Jakarta Utara.

KEADILAN YANG BUTA
ketika demo..
tak ada satupun yang membela kita
pengusaha menindas dan menjajah semua buruh
kaum buruh sengsara hingga kini menderita
nasib tak datang dengan jelas
penyelesaian tak kunjung tiba
yang ada hanya derita
luka yang kian membara
buruh terus di injak injak
hak hak kita tak diberikan

kapan.. kapan semua ini akan berakhir?
apakah kita harus menerima
tanpa ada perlawanan dan usaha

ingat kawan..
mari kita bersama sama
tolak penindasan galang kemenangan
karena hanya pada diri kita sendiri
nasib akan berubah

______________________________
Kiriman Retno FNPBI Jawa Tengah.
Diambil dari Kolom Budaya;
Seruan Buruh Edisi XVII,
Januari 2002


- Lina, KOBAR Kapuk Jakarta Utara -

RINDU KAMI
sungguh, buruh selalu bertanya
kapan hari itu tiba?
dimana hari itu
buruh bisa membeli barang hasil karyanya
yang harganya 10 x lipat
melebihi upah yang di terima

dimana hari itu
buruh bisa merasakan menu KFC
tanpa memikirkan bon yang menumpuk di warung

bila hari itu: transport, biaya kesehatan, kontrakan-
ditanggung pengusaha
buruh boleh dibilang sejahtera

dimana hari itu
buruh bebas mendirikan organisasi
tak ada pemaksaaan untuk
masuk SPSI
itulah kemerdekaan

dimana hari itu
sistem kapitalis
tumbang-berganti sosialis
dimana buruh ikut menentukan roda pemerintahan

itulah kemenangan
sungguh, kami rindu itu
dimana buruh bebas dari segala bentuk penindasan
dan kami tidak hanya menanti
akan kami rebut
hari kami yang terenggut

buruh bersatu tak bisa dikalahkan!
_______________________________

Diambil dari Kolom Budaya;
Seruan Buruh Edisi ke III,
Agustus 1999


SAMA YANG BERBEDA
kau dan aku sama tapi berbeda
setiap tetes keringatku adalah kerja
sementara kau tinggal berpangku tangan
menanti hasil.. menerima
menimpakan kesalahan padaku

kau dan aku sama tapi beda
karena kau bela pengusaha
sementara aku singsingkan lengan baju
bahu membahu merebut hak hak-ku
hanya karena kau duduk di kursi rotan
sedangkan aku di bangku kayu
kamu lupa ada yang sama pada kita kita

oh.. mandorku, ada yang kamu lupa
kita adalah sama
sekumpulan buruh yang ditindas
diperas tenaga tanpa terasa
sementara dia ongkang ongkang
ngitung laba di kursi goyang

oh.. mandorku, berapa sich yang kau terima?
hingga sikapmu berubah
bertindak melebihi boss
ikut ikutan menindasku
seolah ini pabrik moyangmu

oh.. mandorku, sadarlah
kita sama:kuli, buruh pabrikan
bersama mencari penghidupan
karena itu ikutlah aku
lupakan segala beda
bersatu melangkah maju!

_____________________________________
Kiriman buruh PT Binoli Inti Karya Jakarta Utara.
Diambil dari Komite Buruh untuk Aksi Reformasi
(KOBAR) edisi VII Minggu ke II – November 1998


AKU MENUNTUT PERUBAHAN
seratus lubang kakus lebih
berharga bagiku
ketimbang mulut besarmu
tak penting siapa yang menang nanti
sudah bosan kami dengan model urip kayak gini

ngising bingung
hujan bocor

kami tidak butuh mantra
jampi jampi atau janji
atau sekarung beras dari gudang
makanan kaum majikan
tak bisa menghapus kemelaratan
belas kasihan dan derma baju bekas
tak bisa menolong kami
kami tak percaya lagi pada itu partai politik
omongan kerja mereka tak bisa bikin perut kenyang
mengawang jauh dari kami punya persoalan
bubarkan saja itu komedi gombal
kami ingin tidur pulas utang lunas
betul betul merdeka tidak tertekan

kami sudah bosan dengan model urip kayak gini
tegasnya: AKU MENUNTUT PERUBAHAN!
__________________________________

Diambil dari Kolom Budaya;
Komite Buruh untuk Aksi Reformasi (KOBAR)
Edisi ke V Minggu ke II September 1998

- Gita, KOBAR Kapuk Jakarta Utara -

SATUKANLAH
merdeka dan bebas
itu yang selalu diteriakkan dengan lantang
namun pernahkah kita rasakan
kebebasan dan kemerdekaan itu?..
saat menyuarakan hati
untuk menuntut hak hak kita sebagai buruh

memang kita telah merdeka
memang kita telah bebas
tapi.. kawan harus ingat
disana dibalik tembok tembok pabrik
yang berdiri dengan kokoh dan megah
beribu ribu buruh menjerit
menangis dan meronta
mereka dipaksa lembur
mereka dipaksa untuk kejar target
mereka dipenjara di tempat yang telah merdeka
untuk kaum kapitalis yang haus dan rakus

saatnya telah tiba
mari kita satukan langkah
rapatkan barisan
bulatkan tekad
dengan satu kata:LAWAN!

buruh bersatu
lawan penindasan!
______________________________

Diambil dari Kolom Budaya;
Seruan Buruh Edisi ke V,
Desember 1999

KEPADA PARA PEJUANG BURUH
dari pancaran raut wajah kalian
kulihat sinar kelelahan
kulihat sinar kemarahan
kulihat sinar kekuatan
cahaya itu bukan ada di satu – dua orang buruh
tapi di semua wajah buruh
selalu memancarkan sinarnya
laksana wajah seorang bayi
laksana seorang muslim
yang wajahnya dibasuh air wudhu
laksana wajah kasih seorang suster
laksanan raut wajah pasrah seorang rahib

pada raut wajah itu
kulihat masa depanku
masa depan rakyat dan negeriku.
____________________________

Diambil dari Kolom Budaya;
Seruan Buruh Edisi XIV
Januari 2001

PERJUANGAN
perjuangan kita adalah tetes keringat
yang bersatu geramnya hati
pahit manisnya perjuangan kita
adalah tidur berganti mimpi

perjuangan kita
adalah susunan perjuangan yang terbagi dalam tiga fatamorgana;
perjuangan, persatuan dan pengorbanan
untuk terus diperjuangkan, diresapi dan dimengerti
agar kita kelak tidak terus tertindas.

perjuangan kita tercipta
karena adanya persatuan
bukan karena hasutan dan bujukan
kita tuntun perjuangan kita bersama
agar mendapatkan hak kita
kami ingin adanya persatuan
dimanapun kalian berada
kami ingin terus berjuang
maka kita jangan bercerai berai
kita harus bersatu padu
___________________________________

Diambil dari Kolom Budaya;
Seruan Buruh Edisi XIV Januari 2001


KITA AKAN BALAS
hari ini kudengar kabar kawan – kawan ditangkap
satu orang diculik
puluhan preman telah disewa pengusaha
untuk gagalkan aksi kita
sambil mabuk – teler mereka pukuli kita
beberapa buruh perempuan dengan jilbabnya disunduti
kasar menyuruh masuk pabrik; kerja!
padahal tuntutan kalian
hanyalah cuti haid, ubah status buruh kontrak jadi buruh tetap
dan yang lebih mengagetkan lagi
pimpinan mereka adalah ‘pak haji’

Tuhanku
aku bukanlah Muhammad
yang bisa mendoakan umatnya yang berdosa untuk dimaafkan
aku berdoa untuk kawan kawan yang berjuang
agar KAU beri kekuatan
dan kawan kawan yang takut; KAU beri keberanian

semoga kawan dari pabrik lain mendukung aksi kita
kawan kawan mahasiswa bisa ikut mendukung kita
kawan kawan dari masyarakat sekitar juga
semoga aksi ini membawa persatuan rakyat tertindas
kudengar kabar kalian semua ditangkap
dengan diiringi pentungan, pukulan dan letusan pistol
aku tahu kali ini doaku belum KAMU dengar
suatu saat doa itu akan menjadi kenyataan
kita akan balas
____________________________

Diambil dari Kolom Budaya;
Seruan Buruh Edisi XIV Januari 2001

- Widji Thukul -

SEORANG BURUH MASUK TOKO
masuk toko
yang pertama kurasa adalah
cahaya
yang terang benderang
tak seperti jalan-jalan sempit
di kampungku yang gelap

sorot mata para penjaga
dan lampu-lampu yang mengitariku
seperti sengaja hendak menunjukkan
dari mana asalku
aku melihat kakiku jari-jarinya bergerak
aku melihat sendal jepitku
aku menoleh kekiri kekanan-bau-bau harum
aku menatap betis-betis dan sepatu
bulu tubuhku berdiri merasakan desir
kipas angin
yang berputar-putar halus lembut
badanku makin mingkup

aku melihat barang-barang yang dipajang
aku menghitung-hitung
aku menghitung upahku
aku mrnghitung harga tenagaku
yang menggerakkan mesin-mesin di pabrik

aku melihat harga-harga kebutuhan
di estalase
aku melihat bayanganku
makin letih
dan terus diisap

10 september 1991


BUKAN KATA BARU
ada kata baru kapitalis,
baru? Ah tidak, tidak..
sudah lama kita dihisap
bukan kata baru, bukan..

kita dibayar murah
sudah lama, sudah lama
sudah lama kita saksikan
buruh mogok dia telpon kodim, pangdam
datang senjata sebataliyon
kita dibungkam

tapi tidak, tidak
dia belum hilang kapitalis
dia terus makan tetes..
ya tetes tetes keringat kita
dia terus makan

sekarang rasakan kembali jantung
yang gelisah memukul mukul marah
karena darah dan otak jalan

kapitalis
dia hidup
bahkan berhadap - hadapan

kau aku buruh; mereka kapitalis
sama sama hidup
bertarung
ya, bertarung..
sama sama?
tidak, tidak bisa
kita tidak bisa bersama sama

sudah lama ya.. sejak mula
kau aku tahu
berapa harga lengan dan otot kau aku?
kau tahu berapa upahmu?
kau tahu jika mesin mesin berhenti?
kau tau berapa harga tenagamu?

mogoklah
maka kau akan melihat
dunia mereka
jembatan ke dunia baru
dunia baru.. ya dunia baru

Tebet, 9 / 5 / 1992


SATU MIMPI SATU BARISAN
di lembang ada kawan sofyan
jualan bakso kini karena dipecat perusahaan
karena mogok karena ingin perbaikan
karena upah ya karena upah

di ciroyom ada kawan sodiyah
si lakinya terbaring di amben kontrakan
buruh pabrik teh
terbaring pucet dihantam tipes
ya dihantam tipes
juga ada neni
kawan bariah
bekas buruh pabrik kaos kaki
kini jadi buruh di perusahaan lagi
dia dipecat ya dia dipecat
kesalahannya: karena menolak
diperlakukan sewenang-wenang

di cimahi ada kawan udin buruh sablon
kemarin kami datang dia bilang
umpama dironsen pasti nampak
isi dadaku ini pasti rusak
karena amoniak ya amoniak

di cigugur ada kawan siti
punya cerita harus lembur sampai pagi
pulang lunglai lemes ngantuk letih
membungkuk 24 jam
ya 24 jam

di majalaya ada kawan eman
buruh pabrik handuk dulu
kini luntang-lantung cari kerjaan
bini hamin tiga bulan
kesalahan : karena tak sudi
terus diperah seperti sapi

di mana-mana ada sofyan ada sodiyah ada bariyah
tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
di mana-mana ada neni ada udin ada siti
di mana-mana ada eman
di bandung - solo - jakarta - tangerang

tak bisa dibungkam kodim
tak bisa dibungkam popor senapan
satu mimpi
satu barisan

Bandung 21 mei 1992

MAKIN TERANG BAGI KAMI
tempat pertemuan kami sempit
bola lampu kecil cahaya sedikit
tapi makin terang bagi kami
tangerang - solo - jakarta kawan kami

kami satu: buruh
kami punya tenaga

tempat pertemuan kami sempit
di langit bintang kelap-kelip
tapi makin terang bagi kami
banyak pemogokan di sanasini

tempat pertemuan kami sempit
tapi pikiran ini makin luas
makin terang bagi kami
kegelapan disibak tukar-pikiran

kami satu: buruh
kami punya tenaga

tempat pertemuan kami sempit
tanpa buah cuma kacang dan air putih
tapi makin terang bagi kami
kesadaran kami tumbuh menyirami

kami satu: buruh
kami punya tenaga
jika kami satu hati
kami tahu mesin berhenti
sebab kami adalah nyawa
yang menggerakkannya

Bandung 21 mei 1992


LEUWIGAJAH MASIH HAUS

leuwigajah tak mau berhenti
dari pagi sampai pagi
bis-bis-mobil pengangkut tenaga murah
bikin gemetar jalan-jalan
dan debu-debu tebal membumbung

mesin-mesin tak mau berhenti
membangunkan buruh tak berkamar-mandi
tanpa jendela tanpa cahaya matahari
jejer berjejer alas tikar
lantai dinding dingin lembab pengap

mulut lidah-lidah penghuni rumah kontrak
terus bercerita buruk
lembur paksa sampai pagi
tubuh mengelupas-jari jempol putus –

upah rendah
mogok - pecat
seperti nyabuti bulu ketiak

tubuh-tubuh muda
terus mengalir ke leuwigajah
seperti buah-buah disedot vitaminnya
mesin-mesin terus menggilas
memerah tenaga murah
satu kali duapuluhempat jam
masuk - absen - tombol ditekan
dan truk-truk pengangkut produksi
meluncur terus ke pasar

leuwigajah tak mau berhenti
dari pagi sampai pagi

asap crobong terus kotor
selokan air limbah berwarna
mesin-mesin tak mau berhenti
terus minta darah tenaga muda
leuwigajah makin panas
berputar dan terus menguras

Bandung 21 mei 1992


E D A N
sudah dengan cerita mursilah?
edan!
dia dituduh maling
karena mengumpulkan serpihan kain
dia sambung-sambung jadi mukena
untuk sembahyang
padahal mukena tak dibawa pulang
padahal mukena dia taroh
di tempat kerja
edan!
sudah diperas
dituduh maling pula

sudah dengan cerita santi?
edan!
karena istirahat gaji dipotong
edan!
karena main kartu
lima kawannya langsung dipecat majikan
padahal tak pakai wang
padahal pas waktu luang
edan!
kita mah bukan sekrup

Bandung 21 Mei 1992

BUKAN DI MULUT POLITIKUS
BUKAN DI MEJA SPSI

berlima dari solo berkeretaapi kelas ekonomi murah
tak dapat kursi melengkung tidur di kolong
pas tepat di kepala kami bokong-bong
kiri kanan telapak kaki tas sandal sepatu
tak apa di pertemuan ketemu lagi kawan
dari krawang-bandung-jakarta-jogya-tangerang
buruh pabrik plastik, tekstil, kertas dan macam-macam
datang dengan satu soal

dari jakarta pulang tengah malam dapat bis rongsok
pulang letih tak apa diri telah ditempa
sepanjang jalan hujan kami jongkok tempat duduk
nempel jendela
bocor
bocor
sepanjang jalan tangan terus mengelapi
agar pakeyan tak basah
dingin
dingin
tapi tak apa
diri telah ditempa
kepala dan dada masih penuh nyanyi panas
hari depan buruh di tangan kami sendiri
bukan di mulut politikus
bukan di meja spsi

Solo 14 mei 1992
______________________________________________

Wiji Thukul. Lahir di Sorogenen Solo, 26 Agustus 1963
Seorang penyair kerakyatan dan seniman dari kelompok teater
Jagat, juga aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD).


- S Nurhasanah, Driyorejo -

PERJUANGAN

bermula dari ketidakadilan

kami teriakkan penderitaan

tapi mereka tak mendengarkan

kami ini ramah itu hanya katanya

masih banyak diantara kami

berjuang hanya untuk mendapatkan yang seharusnya kami terima

tanpa ada teriakan; yang memekakkan telinga

tanpa ada derita; karena luka

tanpa ada iri hati; karena berbeda

semua karena kesombongan dan keangkuhan

kami memang punya tenaga

tapi bukan untuk ditindas dan diperas

selama darah masih mengalir

perjuangan kami tak menyerah

‘tuk melawan kapitalis serakah!
_______________________________

Diambil dari Kolom Budaya;
Seruan Buruh Edisi ke VII, Maret 2000.

- Rokhati -

KEHIDUPAN
begitu banyak perbedaan
bersaing keras
tak ada yang mau mengalah
ingin slalu diterima
semua…….
dengan pendiriannya

inikah yang dinamakan kehidupan……
kebingunganpun datang…
‘tuk mencari kesamaan

bersuara….
tak ada yang mau mendengar
sangat terasa dihati
untuk saling menghancurkan

begitu sulitkah kawan….
kebebasan yang didapat
jangan.. kau jadikan suatu kemenangan

kehidupan ini… kawan
milik semua..
tanggung jawab bersama.

Jakarta, 12 Juni 2005


TUJUH DIAM
adalah ibadat tanpa perlu bersusah payah
adalah perhiasan tanpa berhias
adalah kehebatan tanpa kerajaan

diam; berarti….
benteng tanpa pagar
dan kekayaan tanpa minta maaf kepada orang
diam menjadikan istirahat
bagi kedua malaikat pencatat amal

diam menutup segala keaiban
menjadi…keindahan bagi yang baik
dan menutup… bagi yang bodoh

diam mengandung 7000 kebaikan

Jakarta , 26 Desember 2005.
______________________________________
Rokhati, bekerja di PT.Golden Continental
Kawasan Berikat Nusantara Cakung
Jakarta Utara.


KEBANGKITAN
kau nyalakan semua mesin
dari banyaknya keringat yang terlepas
kuselesaikan banyaknya target yang kau minta
dari sisa tenaga yang tersisa

telah lama aku mengabdi
diantara deru mesin
telah lama aku memberi
makanan kapitalis dan keluarganya
sewindu sudah aku terperas
dari banyak tubuh yang terkelupas
dari hidup yang terkoyak
dari tidur yang tidak nyenyak

kau tegakkan pabrikmu
dengan akal bulusmu
kau langgengkan pabrikmu
dengan seperangkat alat

kini aku tahu janji - janjimu
hanya suara dan khayalan
kini aku tahu penyelesaiannmu
tukang pukul dan militer

akan kubalas akal bulusmu
dengan kekuatan perjuanganku
akan kuhadang tukang pukulmu
dengan kesatuan kaumku
akan kuserukan kebebasan kaumku
dari perasan kaummu

lingkungan yang tak bermoral
suasana yang tertekan
maka bersatulah dalam perjuangan
maka kumpulkanlah kekuatanmu
untuk mencapai hidup baru


Dari SUARA BURUH 1993


DUNIA BARU
ketika tidak ada penindas
maka tidak ada lagi yang tertindas
ketika tidak ada lagi majikan
maka tidak ada lagi buruh
ketika tidak ada lagi si kaya
maka tidak ada lagi si miskin
ketika tidak ada lagi penguasa
maka tidak ada lagi yang dikuasai
ketika semua hanya dijadikan renungan
ketika perubahan hanya sekedar ucapan
ketika kesadaran hanya ada dalam pikiran

kapankah ini semua akan berakhir?
gedung bertingkat dan rumah mewah
rumah sangat sederhana dan kolong jembatan
perbedaan itu masih dapat kita lihat

pemilik modal yang ongkang-ongkang kaki
buruh yang kerja keras dan hampir mati
perbedaan yang masih kita rasakan

kapankah ini akan berakhir?
dan siapakah yang akan membebaskan kita?

ternyata semua hanya bohong
tidak ada yang mau menolong kita
kalau bukan diri kita sendiri

sekarang juga harus kita lakukan
kita galang kesadaran kaum buruh yang tertindas
kita galang kesadaran kaum tani yang tertindas
kita galang kesadaran kaum nelayan yang tertindas
kita galang seluruh kekuatan rakyat yang tertindas
sekarang juga kita satukan barisan
sekarang juga kita maju bergerak
sekarang juga kita bangun bersama
sebuah dunia baru; tanpa penindasan

Agustus 2000
_________________
Tukilo. FNPBI Cakung

DERITA SANG ANAK
ketika fajar menyinsing
seorang anak kecil menangis sedih
melihat bapaknya duduk seorang diri
meratapi nasibnya yang tak pasti

lusuh.. kusut….
diraut wajahnya
marah.. menangis….
yang ada dihatinya

mereka.. para penguasa
merampas….
menghancurkan cita citanya
jerit hatinya

apakah ini yang dinamakan keadilan
apakah ini yang dinamakan kemerdekaan

tidak!!!
teriak hatinya
ini namanya perampasan
ini namanya ketidakadilan
kelak, aku harus bangun
aku, harus bangkit
aku harus teruskan perjuangan bapakku
‘tuk melawan penindasan
aku harus sekolah
aku harus raih cita citaku
aku akan berjuang
dan……….
aku harus merdeka!!

- Tari Adinda -

AKU
Aku adalah aku
bukan kamu, dia, atau siapapun
aku sudah lelah bersandiwara
disini…aku ingin mencari dan menjadi diriku
aku ingin menangis, ketika aku merasa sedih
dan kunikmati setiap tetes air mataku
aku ingin tertawa, ketika aku gembira
dan kubiarkan tawa itu lepas tanpa batas
aku ingin tersenyum, ketika aku merasa bahagia
lalu kuterbangkan anganku hingga keatas awan
aku ingin tak ada seorangpun yang melarangku bernyanyi
karena aku ingin bernyanyi dan bernyanyi kapanpun aku mau
aku ingin tak ada seorangpun yang mengusik
saat aku mendengar atau memainkan musik
aku ingin berteriak, ketika dadaku terasa sesak
dan aku ingin menulis…
ketika ada sesuatu yang menyentuh perasaanku


BUKAN MIMPIKU
duniaku saat ini
dunia yang penuh emosi dan caci maki
serasa diri tak punya arti

ada perasaan yang dikorbankan
ada kerelaan yang dipaksakan
ada kemauan yang diharuskan
demi perut yang harus diisi
agar tetap hidup di esok hari

berbaris pertanyaan menanti jawab;
“sampai kapan aku bisa bertahan?”
bercengkrama dengan bising mesin
yang mengalunkan irama tak senada
bercanda dengan bahan dan aromanya
plus debu – debu sintetisnya

“harus berapa lama aku berada disana??”
berperang melawan waktu dan angka – angka
memutar otak - peras keringat
tuk’ dapatkan hasil tertinggi

“dimanakah harus kucari jalanku?”
menuju dunia seniku yang indah
aku bosan dengan teriakan;
target!!... target!!.. target!!.. dan target!!....


Jakarta, 18 Desember 2004
_____________________________________
Tari Adinda, tinggal di Jakarta Utara dan bekerja
pada sebuah PT di Kawasan Berikat Nusantara –
KBN Cakung. Selain menulis puisi Tari juga telah
menghasilkan puluhan lagu – lagu balada.