Senin, 16 Februari 2009

Politik Citra


Fatwa MUI terbaru yang menghebohkan itu (Gus Dur), tidak kalah saing dengan iklan-iklan partai politik besar di negeri ini. Tidak tanggung-tanggung, mereka memasang iklan ukuran jumbo. Tentu mereka harus bayar mahal untuk itu. Ambil saja contoh “perseteruan” dua partai besar yang jarang “akur” : PDI-P dan Partai Demokrat. Seperti tidak mau kalah, “musuh bebuyutan” itu saling menyerang. Kontestan pertama berteriak lantang: rakyat berhak harga BBM lebih murah lagi. Kontestan kedua menyahut: pertama kali sepanjang sejarah pemerintah menurunkan harga BBM hingga tiga kali.


Setiap hari kita dicekcoki iklan partai politik, yang terkadang terasa menggelikan. Bertabur janji-janji yang konon tak bakal mampu terealisasikan. Dalam bahasa pemasaran, “janji” seperti itu kita kenal dengan istilah positioning. Positioning bercerita tentang janji-janji calon yang dilemparkan ke publik, bisa lewat iklan maupun lewat selebaran/baliho.

Sama seperti iklan bisnis, iklan kampanye cenderung melebih-lebihkan “kualitas” produk yang ditawarkan. Kita ambil satu contoh jargon yang sudah sangat sering kita dengar dan lihat:berjuang untuk rakyat. Jargon seperti ini mungkin efektif di masa lalu, tapi untuk zaman “cyber game” sekarang seperti sudah tak cocok lagi. Masyarakat tidak terlalu bodoh untuk sekadar menganalisa dan menentukan pilihan. Ini terbukti dari banyaknya jumlah golput di sejumlah pemilihan kepala daerah.


Positioning tidak sesederhana teori aslinya. Seiring bergeraknya pendulum zaman, positioning menuntut partai politik sedikit lebih kreatif. Iklan harus bisa meyakinkan konsumen bahwa produk yang ditawarkan betul-betul dibutuhkan, karena iklan menyangkut tentang kepercayaan, keyakinan, dan trust kepada pelanggan.


Sebelum memproduksi sebuah produk dan kemudian mengiklankannya, ada beberapa tahap yang harus dilalui. Produk yang ditawarkan harus betul-betul berasal dari kajian mendalam tentang kondisi masyarakat. Kemudian kajian harus dilanjutkan pada kekuatan internal partai sang calon. Selanjutnya kajian juga harus mengkaji tentang kekuatan dan kelemahan pesaing. Terakhir partai harus senantiasa mengkaji perubahan yang terjadi dalam masyarakat.


Jika positioning ini tidak bisa diwujudkan kelak, ia akan merupakan janji-janji kosong yang tidak punya nilai apa-apa di mata masyarakat. Dan sepertinya inilah realita dalam masyarakat. Banyak anggota legislatif yang dulu sangat gemar mengumbar janji dan setelah duduk di kursi empuk itu terbukti tidak melakukan banyak hal berarti. Dan terkadang kita menerima kabar menyakitkan dari mereka. Banyak anggota dewan terlibat korupsi, mangkir dari sidang dan terlibat kejahatan sosial. Sangat memprihatinkan.


Realitas yang menyakitkan inilah yang yang kita sebut politik klaim. Bahasa gaulnya: politik citra. Yasraf Amir Piliang menyebutnya dengan narsisisme politik. Dalam politik citra, kecakapan, kepemimpinan, dan prestasi politik bukan sebuah keharusan. Gaya lebih dominan dari substansi, citra lebih penting dari realitas, retorika lebih diutamakan ketimbang intelektualitas. Bagaimana dengan pendidikan politik? Lupakan saja, selain membutuhkan waktu panjang melakukannya, juga membutuhkan pengorbanan yang lebih besar dari sang calon.


Kesalahan sejarah membentuk kita menjadi generasi instant. Proses tidak dianggap sebagai bagian yang harus dilalui. Televisi, radio, baliho, pamflet, blog, adalah alat paling cepat melejitkan nama partai. Mereka meminta masyarakat memilih partainya kendatipun tidak ada program nyata yang ditawarkan. Mereka mendadak peduli pada rakyat, dekat dengan petani, pejuang buruh, pembela wong cilik, pemberantas korupsi. Bukan cuma sekali mereka memanfaatkan musibah dengan memberikan bantuan dan setelah itu mengklaim mereka dekat dengan rakyat.


Narsisisme politik seperti itu diharapkan mampu menghimpun massa sebanyak mungkin. Membangun masyarakat cerdas, sehat, dan keberlanjutan politik cuma bualan kosong. Cukup uang segepok dan media organizer yang memproduksi iklan, mereka sudah biasa merayu masyarakat untuk menyedekahkan suaranya dibalik bilik suara. Inilah ironi demokrasi yang melilit bangsa ini dan seolah tanpa mempunyai ujung.

Apa yang Terjadi Ketika Banjir Sudah Dianggap Teman Karib?


UNGKAPAN lama yang sudah terlalu lama belum diubah tersebut kini menemukan jati dirinya kembali: kecil jadi teman besar jadi lawan. Sungguh, tidak ada kisah mengasikkan tentang banjir. Tidak ada cerita menarik tentang meluapnya air sungai. Terlebih lagi tidak ada satu pun berharap akan bangga bercerita tentang harta benda hanyut. Tentang barang-barang elektronik yang takkan pernah berfungsi baik kembali.

Setelah semalam meraka teramat sibuk mengungsikan barang-barang ke tempat yang tak terjangkau air, pagi ini mereka sudah tersenyum kembali. Aktifitas lazimnya pun bergiat kembali. Anak-anak sudah berlarian berkejaran. Ibu-ibu sudah nongkrong di depan rumah di sempitnya gang. Pedagang “eceran” menggelar dagangannya. Rumah sudah bersih dari lumpur.

Melintasi lorong-lorong itu, kita akan tahu seberapa tingginya “tamu” semalam menggenang. Dinding rumah membuktikannya. “Banjirnya sampai segini semalam,” ungkap ibu setengah baya itu sambil mengangkat tangannya ke leher. Dua minggu terakhir sudah dua kali banjir di kampung ini, Kampung Lembah Aur Lingkungan IV Kecamatan Medan Maimun.

Kampung Aur - demikian biasa disebut- adalah bentaran sungai Deli. Sungai yang melintasi kota Medan. Aur adalah bahasa Minang atau dalam bahasa Indonesia bambu menjadi penanda khas lembah ini. Pemukiman padat penduduk dan dihuni mayoritas orang Padang. Mereka sudah menempati daerah ini jauh sebelum peristiwa Gestapu 1965 terjadi.

“Oh, cucu nenek sudah sebesar kamu. Nenek kemari sebulan sebelum pemilihan tahun lima puluhan itu,” ujar Tek, sebutan nenek untuk orang Padang, sambil mempersilakan saya masuk ke rumahnya. Pemilihan tahun lima puluhan yang dimaksud adalah pemilihan umum pertama yang dilangsungkan tahun 1955. Aku nenek itu, di tahun tersebut tempat itu masih semak ditumbuhi pisang. Juga masih belum seramai sekarang. “Masih sepi. Depan rumah ini dulu semak dan pisangnya banyak,” tambahnya.

Amir Hamzah, 27 tahun, memilih tidur melepaskan lelah. “Bapak lagi tidur, capek ngangkat barang semalam,” istrinya mengeluh sambil mendiamkan si buah hati yang menangis. Rumah Amir teramat dekat dengan air, kalau tidak mau disebut di atas air. Gubuk kecil itu kini makin miring terhantam pusaran air. “Minggu lalu kami baru mengganti papan-papannya dengan triplek karena banyak yang lepas dibawa air,” jawaban yang menyayat hati.

Dalam setahun kelurahan ini bisa banjir sampai lima kali. “Kami sudah menganggapnya teman karib,” ungkap Rizal yang sudah tinggal di sana selama 40 tahun. Mereka sudah akrab dengan sang tamu.

Hampir semua rumah di sana bertingkat. Ini semacam benteng pertahanan terampuh yang mereka punya. Begitu air sungai membludak, dengan segera mereka bergerak cepat menggotong semua barang yang bisa diselamatkan ke atas.

Kalau di tempat lain sungai dipermak tempat tongkrongan orang-orang berduit melepas penat di sore hari, di sini mereka menjadikannya “sekolah”. Kita bisa sandingkan namanya dengan istilah keren: sekolah anak usia dini. Bagaimana tidak, setiap anak setelah bisa berdiri dan berlari, bagaikan itik baru menetas dari cangkang telur, buurrr, menceburkan diri ke sungai. Berenang. Yang bisa mengajari yang tidak bisa. Semua ini akan membantu mempercepat evakuasi barang-barang ketika si benda cair itu mengamuk. Kalau anak-anak seumuran mereka di tempat lain dianggap ketinggalan jaman ketika tidak punya friendster, blogspot, itu tidak penting dan bukan kebutuhan bagi mereka. Pilih mana, tidak tahu berenang dan semua harta benda hanyut atau latah mengikuti trend anak-anak muda cengeng yang bisanya sekedar meminta dan menghamburkan uang?

Setiap banjir, setiap itu pula persaudaraan di antara mereka makin terjalin. Sejauh ini belum pernah terjadi percekcokan. “Kami di sini akur-akur, uda semacam saudaralah,” sahut ibu yang dari tadi sibuk mengangkat barang yang basah untuk dijemur. Ibu itu berkomentar mereka tidak akan pindah dari daerah itu. “Mulai kecil kami da hidup di sini. Sekarang anak-anak kami da besar-besar.”

Banjir kali ini mereka sedikit terhibur. Calon-calon legislatif dari beberapa partai yang menempel posternya di bagian-bagian gampang di tengok mata, menyempatkan diri datang dan memberi bantuan.

Makan Juga Ada Tingkatannya

Setelah senja mendatangi bumi dan kemudian gelap, makan adalah tindakan yang paling tepat untuk menutup hari. Kemudian hari ini yang akan segera diganti dengan hari selanjutnya menelurkan sebuah pertanyaan baru: “Apa besok makan?” Itulah pertanyaan teramat klasik bagi mereka yang kehilangan segala sesuatu alat untuk sekedar bertahan hidup di hari ini saja.

Sedikit berbeda dengan mereka yang sudah memiliki sedikit kepastian tentang makanan yang hendak di makan esok harinya. Mereka akan bertanya: “Besok makan apa?”

Lalu, mereka yang sudah sangat pasti punya makanan yang hendak disantap tiap harinya dan sudah terlalu sering bosan dengan menu harian di rumah, akan bertanya: “Besok makan di mana?”

Dan akhirnya, kelompok yang sudah kehabisan segala sesuatu yang bisa dimakan dan kelompok yang teramat rakus, akan bertanya: “Besok makan siapa?”