Sabtu, 31 Juli 2010

Prestasi, yes; Jujur, harus!!

Prestasi, yes; Jujur, harus!!
Dian Purba*

Dimuat di Analisa, 22 Januari 2010


Kalau di akhir tahun 2008 dunia pendidikan berduka lantaran undang-undang Badan Hukum Pendidikan disahkan, bulan-bulan di akhir 2009 ditandai betapa “keras kepala”-nya pemerintah menyangkut ujian nasional. Puncak kebebalan pemerintah ditunjukan dengan pengabaian putusan Mahkamah Agung menolak kasasi pemerintah terkait ujian nasional.

Berawal dari 58 siswa yang tidak lulus ujian beserta sejumlah orangtua yang anaknya tak lulus ujian mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2006. Inti gugatan: meminta ujian nasional tidak dijadikan syarat kelulusan dan meminta kebijakan pendidikan dievaluasi. Pada 12 Mei 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian guga-tan tersebut. Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan, dan Ketua Badan Standarisasi Nasional Pendidikan dijadikan pihak tergugat. Mereka dinilai lalai dalam meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta infor-masi pendidikan, khususnya di daerah pedesaan.

Para tergugat melalui Kejaksaan Agung mengajukan banding. Kembali, pengadilan menolak banding ini. Tidak puas dengan hasil tersebut pemerintah mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. September lalu kembali pemerintah harus gigit jari: kasasi ditolak. Keputusan pengadilan terdahulu yang mewajibkan pemerintah meningkatkan kualitas guru dan kelengkapan sarana-prasarana pendidikan dan akses informasi pendidikan di seluruh daerah sebelum mengeluarkan kebijakan ujian nasional, tetap berlaku.

Nah, apa tanggapan Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan Kabinet Indonesia Bersatu II? “Jika mengacu pada pemenuhan kualitas guru dan sarana prasarana, sampai kiamat pun tak akan terlaksana.” Pemerintah bersikukuh melaksanakan ujian nasional. Karena menurut pemerintah akan sia-sia belaka jika ujian nasional difungsikan hanya sebagai pemetaan kualitas pendidikan.

Naga-naganya pemerintah tidak pernah peduli dengan beban para siswa dan guru-guru, dan orang-tua para murid. Bukankah para guru setiap hari mengajar murid-muridnya, mengikuti setiap perkembangan belajar anak didiknya, dan di akhir semua proses belajar-mengajar itu pemerintah datang dengan otoritas tunggal sebagai penentu kelulusan? Bayangkan, Saudara. Dengan sarana-prasarana pendidikan dan kualitas guru berkualitas sekarat di Papua sana dipaksa bekerja keras mengejar tingkat kelulusan yang sudah dipatok dari Ja-karta. Tentu ini tidak adil.

Di tempat lain, dalam sebuah wawancara dengan koran nasional, Menteri Pendidikan menelurkan istilah: „Prestasi, yes; Jujur, harus!” Siapa yang berprestasi dan jujur kepada siapa? Muhammad Nuh dalam kesempatan yang sama menegaskan dalam lima tahun masa jabatannya akan menjadikan dunia pendidikan dengan prinsip No Discrimina-tion. Kemampuan siswa mampu dan tidak mampu harus disejajarkan dalam proses pendidikan. Semua akan mendapat kesempatan sama. Benarkah demikian?

Undang-undang Badan Hukum Pendidikan akan berkata lain. Undang-undang ini adalah pemutarbalikan logika berpikir pemerintah. Bagaimana bisa pendidikan dijadikan badan hukum? Bukankah badan hukum mewajibkan lembaga pendidikan menyetor pajak ke negara? Inilah sesat pikir pertama. Seharusnya pemerintah mengalokasikan dana secukupnya hingga setiap anak bisa bersekolah setinggi-tingginya dari hasil pajak, bukan memajaki lembaga pendidikan.

Sesat pikir selanjutnya adalah ketidaksetiaan negara menjalankan amanat pembukaan Undang-undang Dasar: mencerdaskan kehidupan bangsa. UU BHP pasal 4 bagian f berbunyi: “akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominnya.” Pasal ini akan segera bertentangan dengan pasal 46 bagian (1) dan: “Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru.”

Lantas, warga miskin yang tidak memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi yang jumlahnya berjimbun itu hendak dikemanakan? Apakah mereka bukan Warga Negara Indonesia?

Sepertinya Pak Menteri hanyalah menabur angin saja dengan slogan No Discrimination itu. Mari kita anggap ini silat lidah pemerintah saja. Belum lagi kita bicara dengan kualitas guru, hal yang tidak bisa dilupakan.

Sertifikasi guru tujuannya baik: meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru. Namun, fakta berkata lain. Dari sekitar 2,7 juta guru, baru sekitar 350.000 guru yang lulus sertifikasi dan mendapat tunjangan sebesar satu kali gaji. Segera setelah lulus, mereka tidak lagi bergairah mengikuti seminar, membuat makalah, dan hal lain yang berkaitan dengan peningkatan kualitas guru. Sertifikasi dimaknai hanya mengumpulkan sebanyak-banyaknya sertifikat untuk sekedar lulus. Setelah itu cukup sudah.

Begitu karut-marutnya pendidikan kita dan begitu gamangnya pemerintah mengantisipasinya. Pemerintah cukup berpuas diri hanya dengan menyediakan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN. Pemerintah sepertinya berdiri terpisah dari warganya. Hingga saat ini, pendidikan dasar wajib sembilan tahun yang berkualitas belum mencakup semua warga dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah melupakan hakikat pendidikan: mencerdaskan dan membebaskan. Pemerintah gencar mendirikan sekolah bertaraf internasional di kota-kota besar namun lalai dengan sekolah bertaraf karatan di pelosok-pelosok.

Ternyata pemerintah belum jujur. Rupanya pemerintah belum berprestasi di mata warganya. Dengan demikian slogan "Prestasi, yes; Jujur, harus!‟ kita kembalikan saja ke pemerintah. Dan barangkali kita tambahi saja dengan satu slogan: "Bercermin, musti!‟ (*)


*Aktif di Komunitas Mata Kata, Medan

Ekonomi Kita Belum Mandiri

Ekonomi Kita Belum Mandiri
Dian Purba*
Dimuat di Analisa, 3 April 2010


Pertanyaan ini sungguh menggoda untuk dijawab: apakah kemerdekaan 64 tahun telah menghantar kita menjadi bangsa berdaulat? Atau pertanyaan selanjutnya: sudah betul-betul merdekakah kita?

Sebelum menguraikannya lebih jauh, ijinkan saya berujar: negara ini masih jauh, kalau tidak sudi dikatakan teramat jauh, dari kemandirian ekonomi. Ada ironi pada bangsa ini dan itu sudah berlangsung cukup lama. Tanah dan air, negeri kepulauan terbesar ini, memiliki semua dengan apa yang disebut “sorga dunia.” Hampir setiap jengkal tanah mengandung kekayaan yang sesungguhnya sanggup memberikan kehidupan. Kita semakin malu dan tidak mampu berdiri tegak karena ternyata semuanya itu tidak berujung dengan kesejahteraan bagi sang empunya: rakyat Indonesia. Inilah negeri tempat mayoritas penghuninya menatap kesejahteraan itu masih sebatas impian. Kenapa bisa demikian?

Soekarno dan Demokrasi Ekonomi

Soekarno dalam buku supertebalnya Di Bawah Bendera Revolusi (1964) tidak pernah memisahkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dia mengutip pidato Jean Jaures yang luar biasa itu. Kala itu Jean Jaures berdiri di gedung parlemen Prancis yang mayoritas anggotanya berasal dari wakil borjuis. Baiklah saya kutip saja. “ Tuan mendirikan republik, dan itu adalah kehormatan yang besar. Tuan membuat republik teguh dan kuat, tak dapat dirobah atau dibinasakan oleh siapa pun juga, tetapi justru karena itu Tuan telah mengadakan pertentangan hebat antara susunan politik dan susunan ekonomi…, semua penduduk bisa bersidang mengadakan rapat yang sama kuasanya dengan rapatnya raja-raja… Tetapi pada saat yang [sic] si buruh itu menjadi tuan di dalam urusan politik, pada saat itu juga ia adalah budak-belian di lapangan ekonomi… Tenaga kerjanya hanyalah satu barang dagangan, yang bisa dibeli atau ditampik menurut semau-maunya kaum majikan.”

Soekarno menyebutnya kepincangan demokrasi. Sesuatu yang masih berlangsung hingga kini. Memang, hak-hak politik rakyat kini lebih luas dari yang dulu. Mereka bisa memilih di pemilihan umum. Mereka bisa “masuk” parlemen. Mereka bebas turun ke jalan meneriakkan aspirasi karena undang-undang untuk bersuara sudah dibuat. Namun ada satu yang tidak mereka dapat lakukan: merubah keporakporandaan nasib “budak” yang sudah berlangsung cukup lama. Di lapangan politik rakyat adalah “raja”. Di lapangan ekonomi mereka hanyalah budak belian. Dengan demikian perkawinan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi adalah kemustian. Barangkali kita bisa menyandingkan ini dengan tesis Atolio A. Boron (The Truth of Capitalism Democracy, 2006) yang menempatkan demokrasi ekonomi bertengger di urutan teratas sebagai demokrasi paling diidam-idamkan. Demokrasi yang menghapus keistimewaan yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang atas sumber daya ekonomi sembari membuka akses yang luas kepada masyarakat kebanyakan mengontrol dan mengendalikan sumber daya ekonomi yang terbatas itu. Demokrasi di mana tidak akan kita jumpai lagi pemisahan antara ekonomi dan politik, atau masyarakat sipil dengan politik.

Dengan pemaparan di atas, kita dipaksa bertanya kembali, sudahkan kita bebas melangkahkan kaki ekonomi kita selaras kehendak kita hendak mau melangkahkan kaki ke arah yang kita kehendaki?

Ketidakmerdekaan Ekonomi

Wawan Tunggal Alam (Di bawah Cengkeraman Asing, Membongkar Akar Persoalannya dan Tawaran Revolusi untuk Menjadi Tuan di Negeri Sendiri, 2009) akan menghantar kita terhadap realitas mengerikan tentang betapa terjajahnya perekonomian negeri ini oleh asing. Mulai bangkit dari tempat tidur hingga berbaring kembali, kita akan bertemu, dan barangkali mengonsumsi, barang-barang yang persenan sahamnya mayoritas dikuasai oleh perusahaan-perusahan multinasional. Mari kita mulai. Hendak minum aqua (74 persen sahamnya dikuasai Danone asal Prancis), menikmati Teh Celup Sariwangi (100 persen Unilever), mandi dengan sabun Lux, sikat gigi Pepsodent (Unilever), bahkan rokok sekalipun (Sampoerna) 97 persen sahamnya milik Philips Morris asal Amerika Serikat. Belum lagi beras yang kita tanak sebagian adalah beras impor. Gula yang kita larutkan dengan kopi, sama saja. Belanja ke Carrefour milik perusahaan Prancis itu. Demikian juga dengan bank (BCA, Danamon, BII, Bank Niaga). Silakan uraikan dengan barang-barang yang lain yang hanya akan membuat kita malu sekadar untuk menyebut kita telah benar-benar merdeka dalam arti yang sesungguhnya.

Ini hanyalah dampak dari apa yang terjadi sebelum Presiden kedua kita, Soeharto, mengundurkan diri. Lewat kejadian tersebut bangsa besar ini dipaksa menjadi kerdil hanya sekedar mengasih makan rakyatnya. “Usaha” sekeras apa pun dari pemimpin memperbaiki nasib bangsa, dana sebesar apa pun digelontorkan, seakan-akan tidak berdampak apa-apa. Apa yang terjadi sebelum Jenderal Besar yang gemar senyum ini lengser ke perabon?

20 Januari 1998. Michael Camdessus, Managing Director IMF, “memaksa” Soeharto menandatangani Indonesia Memorandum of Economic and Financial Policies (Kebijakan Ekonomi dan Finansial Indonesia). Kesepakan ini berisi 50 paragraf yang kemudian lebih dikenal dengan 50 poin Letter of Intent IMF. Ke 50 poin ini kemudian diubah pemerintah menjadi empat kebijakan, yaitu kebijakan moneter (10 poin), kebijakan anggaran (13 poin), restrukturisasi financial (17 poin), dan reformasi struktural (21 poin).

Mari kita simak beberapa poin yang hanya akan membuat bangsa ini tidak akan pernah tinggal landas.

Poin 2 kebijakan anggaran memaksa pemerintah Indonesia menaikkan tarif dasar listrik dan BBM per 1 April 1998 ketika daya beli rakyat sedang lesu-lesunya. Poin 16 kebijakan finansial mengharuskan pemerintah memberi kebebasan kepada bank asing membuka cabangnya di seluruh Indonesia sebelum Februari 2008. Pemerintah juga mesti membuat undang-undang yang menghapus batasan penanaman modal asing di bank-bank yang sudah go public sebelum Juni 1998.

Rasanya belum cukup sampai di situ. Pemerintah juga dipaksa mempersiapkan perangkat agar asing boleh membeli aset bank-bank pemerintah yang akan diprivatisasi. Ditambah lagi pemerintah menyiapkan lembaga untuk menswastakan bank-bank pemerintah. Dan ini harus diikuti dengan tidak diperbolehkannya pemerintah menyuntik dana kepada bank-bank negara, kecuali yang hendak diswastakan (restrukturisasi finansial poin 3 dan 4).

Pada reformasi struktural pemerintah didesak menghapus semua pajak ekspor mulai 1 Februari 1998 (poin 3). Masih kebijakan reformasi struktural (poin 6), IMF memaksa pemerintah menghapus larangan investasi asing di bidang eceran dan grosir sebelum Maret 1998. Pasca kebijakan ini, Carreforur segera berlari membuka puluhan cabangnya di Indonesia. Impor gula dibuka lebar-lebar (poin 13). Pada poin 15 pemerintah musti menjual sejumlah BUMN go public dan pemerintah harus menjual seluruh sahamnya (Ishak Rafick: Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, Jalan Baru Membangun Indonesia, 2009).

Apa kepentingan IMF memaksakan kebijakan yang berada di luar akal sehat tersebut? Prof. Sritua Arief akan membantu kita menemukan jawab. Menurut ekonom kerakyatan ini IMF selalu mendasarkan modus operandinya atas beberapa persyaratan. Pertama, memaksakan mekanisme pasar bebas sebagai penentu pembentukan harga barang dan jasa sebagai proses pengalokasian sumber-sumber ekonomi ke tingkat yang optimal. Kedua, swastanisasi seluas-luasnya dalam ekonomi. Ketiga, pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal yang kontraktif dengan tujuan mencegah meningkatnya inflasi. Keempat, segala bentuk proteksi dihapuskan dan liberalisasi impor dilaksanakan demi menimbulkan daya saing dan efisiensi unit-unit ekonomi domestik. Terakhir, memperbesar dan memperbesar arus masuk investasi asing dengan fasilitas yang lebih luas dn liberal ke seluruh sektor ekonomi dalam berbagai skala investasi (kecil, menengah, dan besar) (Prof. Dr. Sritua Arief: IMF/Bank Dunia dan Indonesia, 2001). Resep-resep inilah yang menghancurkan kedaulatan negara ini mulai 1966-1998.

Langkah awal

Di awal sudah disebutkan, inilah negeri tempat mayoritas penghuninya menatap kesejahteraan itu masih sebatas impian. Begitu banyak perangkat yang diperlukan untuk menyejahterakan rakyat sudah diserahkan ke asing. Barangkali kita masih ingat petuah ini: semakin miskin seseorang atau keluarga, maka semakin besar bagian dari penghasilannya dihabiskan untuk makan. Kita miris menyaksikan yang terjadi di atas bumi pertiwi ini. Air yang dianugrahkan Tuhan sebagai anugrah gratis, di tangan investor berubah menjadi barang dagangan supermahal. Perut bumi begitu kayanya. Yang ada bukan eksplorasi, akan tetapi eksploitasi membabi buta. Dan semua keuntungan yang didapat dibawa kabur ke negara orang.

Semestinya kita jangan melupakan peran permanen pemerintah: membuka akses selebar-lebarnya bagi rakyat yang mereka pimpin menikmati kekayaan negeri ini, tanpa terkecuali. Itu hanya bisa terwujud tatkala semua peraturan-peraturan yang menghalangi jalan menuju ke sana dienyahkan dari semua kitab undang-undang. Termasuk ke 50 poin Letter of Intend IMF yang sudah disebutkan di atas yang hingga kini masih bercokol rapi di meja pembuat kebijakan negeri ini.


*Aktif di Komunitas Mata Kata, Tinggal di Medan


Kepustakaan:

Atolio A. Boron. The Truth of Capitalism Democracy. http://www.socialisregister.com/

Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. 1964.

Ishak Rafick. Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Jalan Baru Membangun Indonesia. Ufuk Press Cetakan Ketiga, Maret 2009.

Prof. Dr. Sritua Arief. IMF/Bank Dunia dan Indonesia. Muhammadiyah University Press Universitas Mumahmmadiyah Surakarta, Cetakan Pertama, 2001.

Wawan Tunggul Alam. Di Bawah Cengkeraman Asing: Membongkar Akar Persoalannya dan Tawaran Revolusi untuk Menjadi Tuan di Negeri Sendiri. Ufuk Press Cetakan Pertama. Juli 2009

Jaman Sebelum Sofyan Tan

Jaman Sebelum Sofyan Tan
Dian Purba*
Dimuat di Analisa, 6 April 2010


Sofyan Tan menjadi kandidat walikota Medan periode 2010-2015 saat Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sudah disahkan. Sofyan Tan mengibarkan spanduk keyakinan akan meraih dukungan di pemilihan nanti tatkala bangsa ini sudah menyaksikan beberapa tahun terakhir barongsai meliuk-liuk di keramaian perayaan Tahun Baru Cina. Dokter yang jarang berpraktek ini pun mencoba menerobos dinding sekat tebal yang tersemat di setiap pundak orang Tionghoa saat terjun ke dunia politik. Goresan ini tidak akan mengupas tentang peluang Sofyan Tan dalam pertarungan menaklukkan sembilan kandidat lain. Tidak pula hendak berkisah tentang perjalanan panjang dia hingga berhasil mendapat nomor urut sepuluh. Ada jaman-jaman tidak enak didendangkan ke kuping anak-cucu kita saat berkisah tentang Tionghoa. Kisah-kisah yang selalu tersembunyi, kalau tidak ingin dikatakan disembunyikan, di bawah tikar sejarah. Nah, tulisan ini hanya menyajikan sekelumit saja dari berjibunnya kisah-kisah tersembunyi itu.

Hilmar Farid (2008) menulis artikel berjudul “Menulis Sejarah Bukan Perkara Gampang.” Menurut Hilmar, “…kita bebas menafsirkan dan menulis sejarah. Ada prinsip dasar yang membatasi kebebasan tafsir: pijakan pada fakta atau kenyataan yang diketahui berdasarkan sumber informasi yang tersedia dan dapat diuji. Kita tidak dapat menyandarkan penulisan sejarah pada desas-desus dan dugaan.” Mengatakan orang Indonesia keturunan Tionghoa (Pramoedya Ananta Toer menyebutnya Hoakiau) berhasil menikmati limpahan harta melalui jalur curang adalalah jelas-jelas desas-desus. Dan pastilah dugaan semata saja ketika kita berujar bahwa semua orang Tionghoa cukup makmur. Kita akan kembali ke topik ini nanti.

Kedatangan Orang Tionghoa

Orang Tionghoa adalah sejarah panjang. Jauh sebelum Belanda tiba di Indonesia, dan jauh sebelum nama Indonesia ditemukan, mereka sudah tiba dengan kapal-kapal layar dan berdagang di Nusantara. Benny G. Setiono (Tionghoa dalam Pusaran Politik, 2008) menandaskan bahwa tidak diketahui pasti keberadaan pertama kali orang Tionghoa di Nusantara. Namun, dari hasil temuan benda-benda kuno, diketahui komunitas Tionghoa sudah berjejal di Nusantara tahun 600 SM sampai abad ke-3 Masehi.

Benda-benda kuno, seperti tembikar Tiongkok ditemukan di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari, dan Kalimantan Barat. Juga penemuan kapak batu giok atau zamrud berpoles dari jaman Neolithikum yang ternyata juga ditemukan di Tiongkok dan berada pada jaman yang sama. Di Sumatera Selatan juga ditemukan sejumlah genderang perunggu berukuran besar. Genderang ini diproduksi di Dongson, sebuah desa kecil di propinsi Thanh Hoa, sebelah utara Vietnam pada tahun 600 SM sampai 300 Masehi. Genderang ini mempunyai persamaan dengan genderang perunggu Tiongkok dari Dinasti Han.

Benny lebih lanjut menulis, hubungan lalu lintas pelayaran antara orang Tionghoa dari Tiongkok dengan Nusantara telah berlangsung sejak jaman purba. Pada masa pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (1-6 SM) Tiongkok menamai Nusantara dengan Huang-tse.

Teknologi perkapalan belumlah secanggih sekarang. Perjalanan pulang pergi dari Tiongkok ke Nusantara butuh waktu satu tahun akibat musim. Para pedagang terpaksa menunggu selama enam bulan. Alam Nusantara yang indah dan makmur, ditambah dengan gadis-gadisnya bermuka ayu, membuat banyak di antara mereka memilih tinggal tetap di Nusantara. Mereka jatuh cinta dengan alamnya, juga gadis-gadisnya. Dan memang, penduduk pribumi menerima kehadiran mereka dan hidup berdampingan dengan damai. Tidak sedikit di antara mereka meminang putri pribumi dan mendirikan bahtera rumah tangga.

Selaras dengan Benny, Pramoedya dalam bukunya Hoakiau di Indonesia (1998) membenarkan penemuan itu. Dia bertanya: “Dan sudah berapa lama orang-orang Tionghoa itu boyong ke Indonesia? Sebelum lahirnya Isa dan sebelum lahirnya Muhammad, atau jelasnya: sebelum lahirnya nasionalisme Indonesia.”

Begitulah. Ratusan tahun selepas itu, ada berbagai kejadian mengerikan yang dialami orang Tionghoa. Untuk menyebut beberapa: pembantaian di tahun 1740; penerapan sistem apartheid pemerintahan kolonial Hindia Belanda dengan mendirikan perkampungan khusus bagi mereka; penjarahan toko-toko Tionghoa oleh Jepang tahun 1942 (Onghokham, 2008).

Warga Negara dan Bisnis

Pertanyaan terbesar di banyak benak warga Indonesia sekarang adalah: kenapa orang Tionghoa begitu kaya; dan kenapa mereka tidak begitu tertarik dengan politik. Dan jawaban untuk pertanyaan inilah yang kerap dibengkokkan oleh sejarah.

Pramoedya Ananta Toer menulis beberapa pucuk surat kepada sahabatnya, Hs-y di Tiongkok. Pram, sebutan akrab Pramoedya, “memberontak”. Saat itu Peraturan Presiden No. 10 tahun 1959 mengharuskan semua pedagang eceran di wilayah pedalaman menutup usaha mereka sebelum 1 Januari 1960. Dalihnya: pedagang-pedagang eceran Hoakiau (sebutan Pram untuk orang Tionghoa) akan membahayakan keselamatan ekonomi nasional Indonesia. Sekitar tahun 1960-1961 sebagai akibat dari PP-10/1959, lebih dari seratus ribu orang Tionghoa meniggalkan Indonesia. Dalam benak “pemerintah” saat itu orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia bukanlah warga negara Indonesia. Mereka itu orang asing.

Surat pertamanya kepada Ch. Hs-y. di P (menurut Sumit Kumar Mandal Hs-y itu adalah singkatan nama Chen Xiaru di P: Peking) amat keras. Pram menulis: “Apakah mereka yang sudah berabad-abad di Indonesia berketurunan dan mempunyai tradisi harus dimasukkan ke dalam golongan orang asing atau golongan warganegara Indonesia baru?” Selanjutnya: “Setengah juta orang! Setengah juta! Dengarkan ini, Hs-y.: setengah juta. Apakah jumlah ini tidak bicara apa-apa? Apakah sudah begitu rusak instalasi kemanusiaan kaum rasialis ini? Setengah juta orang akan puyang-poyong hidup tidak menentu. Setengah juta.”

Orang Tionghoa amat kuat dalam perdagangan. Mereka datang ke Nusantara lantaran di negeri asalnya, Tiongkok, tanah adalah kutukan karena gersang dan tandus. Ditambah lagi peperangan yang tak kunjung usai. Pramoedya di suratnya keempat kepada Hs-y mengajukan pertanyaan: “… apa sebabnya hampir seluruh sektor perdagangan dikuasai oleh Hoakiau hingga sekarang. Lalu apakah sebabnya pedagang-pedagang pribumi kalah dalam persaingan dagang dengan orang-orang luar di dalam perdagangan internasional?”

Menurut Pram, faktor alamlah menjadi penyebabnya. Alam Indonesia sangat subur sehingga hampir seluruh lapisan masyarakat hidup bertani. Sementara itu, pedagang-pedagang Tionghoa dan pedagang-pedagang luar lainnya yang datang ke Indonesia telah mempunyai tradisi dagang yang kuat, dengan sendirinya pedagang-pedagang pribumi yang lemah itu terdesak dan ketinggalan jaman. Orang Tiongkok sudah mampu membuat kapal bermuatan besar. Orang pribumi belum mengenal teknik pembuatan kapal besar.

Onghokham (Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, 2008) memberikan tambahan. Menurut sejarahwan cemerlang ini, “Tanda keunggulan dalam ekonomi ini merupakan perkembangan dari toko-toko yang dimiliki orang Cina di sepanjang jalan-jalan utama di seluruh kota-kota kecil dan besar Indonesia. Perdagangan eceran merupakan aspek penting dalam kehidupan yang diciptakan masyarakat Cina di Indonesia.” Orang Tionghoa dan Belanda datang ke Nusantara untuk tujuan yang sama: berdagang. Belanda bermitra dengan orang Tionghoa. Belanda, lewat VOC, bergerak di bidang distribusi dan Tionghoa sebagai pedagang perantara. Dari kegiatan inilah orang Tionghoa mendapatkan uang tembaga dari orang-orang desa, yaitu uang kecil yang biasa digunakan membeli barang-barang di desa. Mereka kemudian menjualnya ke VOC di kota.

Kembali ke bulan terakhir tahun 1959 hingga bulan awal tahun 1960. Salah satu pihak yang tidak senang dengan ketangguahan Tionghoa dalam berdagang adalah borjuasi Indonesia. Jelaslah masalah utamanya berkisar tentang rebutan “lahan basah.” Mereka juga hendak berdagang. Tapi, kembali kita harus mengutip Pramoedya. “Mereka lebih enak duduk-duduk bermewah dengan menekan rakyat tanpa memikirkan dunia perdagangan mereka sendiri.”

Setelah tahun 1965, pasca-G30S, menjadi babak penderitaan tambahan bagi orang Tionghoa. Perang dingin, perang antara dua kubu berlainan ideologi, masing-masing mengeluarkan taringnya. Amerika Serikat dan Inggris, negara kapitalis Barat, berusaha membendung pengaruh komunis dari Utara, yang identik dengan Republik Rakyat Tiongkok. Negara Barat mempunyai kepentingan besar menggelorakan anti-Tionghoa, termasuk di Indonesia.

Benny G. Setiono mencatat intensitas kerusuhan anti-Tionghoa makin menjadi-jadi. Penjarahan, perusakan, dan pembakaran rumah-rumah, toko-toko, sekolah-sekolah, dan mobil-mobil etnis Tionghoa terjadi di mana-mana. Mereka dituduh sama sekali tidak peduli dengan kepentingan rakyat Indonesia. Juga mereka dituduh mempunyai loyalitas ganda dan selalu berusaha mentransfer uangnya ke luar negeri.

Kampanye dan berbagai aksi anti-Tionghoa ini, ditambah tindakan represif dari militer inilah yang menimbulkan kekuatiran dan trauma berkepanjangan bagi orang Tionghoa. Selama pemerintahan Soeharto, mereka mati-matian berusaha menghindari wilayah politik. Mereka memusatkan seluruh perhatian dan kegiatannya hanya di bidang bisnis.

Di sinilah kita menemukan kaitan antara kesuksesan mereka di bisnis dan keengganan mereka terlibat dalam kegiatan politik. Tidak pernah kita temukan menteri di pemerintahan Orde Baru dari keturunan Tionghoa. Dengan demikian, kita sudah bisa beralih ke pertanyaan kedua: kenapa mereka sukses berbisnis di bawah pemerintahan otoriter Soeharto?

Onghokham akan membantu kita menemukan jawab. Selain pengasingan melalui antibudaya Tionghoa (larangan penggunaan huruf Cina, orang Cina harus ganti nama, melarang pertunjukan-pertunjukan kesenian Cina), Onghokham berpendapat orang Tionghoa berhasil di bisnis karena bobroknya birokrasi selama Orde Baru. Baiklah saya kutip saja. “Kita mengenal satu sistem yang aneh selama Orde Baru. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara didapatkan dari utang-utang. Birokrasi, militer dan polisi memiliki kekuasaan yang sangat besar, tapi sewenang-wenang dan tidak ada kontrol, tidak ada pengawasan. Anehnya, meskipun kekuasaan mereka sangat besar, tapi gajinya kecil. Sementara itu, ada golongan Cina yang relatif cukup mampu. Logikanya, mana ada orang berkuasa yang mau kelaparan, tidak menyekolahkan anak-anaknya, tidak memenuhi kebutuhannya? Akhirnya, orang-orang Cina menjadi sapi perah.”

Sofyan Tan

Sofyan Tan adalah warga negara Indonesia. Tulen. Yah, dia warga keturunan Tionghoa. Dan tidak kita temukan masalah cukup berarti dengan itu. Mari kita anggap itu anugerah. Kekayaan dari salah satu bagian kecil saja dari Bhinneka Tunggal Ika. Medan mencatat, Sofyan Tan menjadi satu-satunya calon pertama dari keturunan Tionghoa yang pernah bertarung merebut kursi Walikota. Sepanjang sejarah.

Bangsa yang bajik adalah bangsa yang bijak memahami sejarahnya. Bangsa yang senantiasa menulis kembali sejarahnya. Menyusunnya dengan informasi baru dan menginterpretasinya dengan cara berbeda. Tentunya tanpa meninggalkan satu hal: pijakan pada fakta.

Sofyan Tan akan bertarung antara visi-misi yang ditawarkan dengan sejarah “kelam” yang melekat pada warga keturunan Tionghoa.


*Aktif di Komunitas Mata Kata, tinggal di Medan

Jaman Sebelum Sofyan Tan

Jaman Sebelum Sofyan Tan
Dian Purba*
Dimuat di Analisa, 6 April 2010


Sofyan Tan menjadi kandidat walikota Medan periode 2010-2015 saat Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sudah disahkan. Sofyan Tan mengibarkan spanduk keyakinan akan meraih dukungan di pemilihan nanti tatkala bangsa ini sudah menyaksikan beberapa tahun terakhir barongsai meliuk-liuk di keramaian perayaan Tahun Baru Cina. Dokter yang jarang berpraktek ini pun mencoba menerobos dinding sekat tebal yang tersemat di setiap pundak orang Tionghoa saat terjun ke dunia politik. Goresan ini tidak akan mengupas tentang peluang Sofyan Tan dalam pertarungan menaklukkan sembilan kandidat lain. Tidak pula hendak berkisah tentang perjalanan panjang dia hingga berhasil mendapat nomor urut sepuluh. Ada jaman-jaman tidak enak didendangkan ke kuping anak-cucu kita saat berkisah tentang Tionghoa. Kisah-kisah yang selalu tersembunyi, kalau tidak ingin dikatakan disembunyikan, di bawah tikar sejarah. Nah, tulisan ini hanya menyajikan sekelumit saja dari berjibunnya kisah-kisah tersembunyi itu.

Hilmar Farid (2008) menulis artikel berjudul “Menulis Sejarah Bukan Perkara Gampang.” Menurut Hilmar, “…kita bebas menafsirkan dan menulis sejarah. Ada prinsip dasar yang membatasi kebebasan tafsir: pijakan pada fakta atau kenyataan yang diketahui berdasarkan sumber informasi yang tersedia dan dapat diuji. Kita tidak dapat menyandarkan penulisan sejarah pada desas-desus dan dugaan.” Mengatakan orang Indonesia keturunan Tionghoa (Pramoedya Ananta Toer menyebutnya Hoakiau) berhasil menikmati limpahan harta melalui jalur curang adalalah jelas-jelas desas-desus. Dan pastilah dugaan semata saja ketika kita berujar bahwa semua orang Tionghoa cukup makmur. Kita akan kembali ke topik ini nanti.

Kedatangan Orang Tionghoa

Orang Tionghoa adalah sejarah panjang. Jauh sebelum Belanda tiba di Indonesia, dan jauh sebelum nama Indonesia ditemukan, mereka sudah tiba dengan kapal-kapal layar dan berdagang di Nusantara. Benny G. Setiono (Tionghoa dalam Pusaran Politik, 2008) menandaskan bahwa tidak diketahui pasti keberadaan pertama kali orang Tionghoa di Nusantara. Namun, dari hasil temuan benda-benda kuno, diketahui komunitas Tionghoa sudah berjejal di Nusantara tahun 600 SM sampai abad ke-3 Masehi.

Benda-benda kuno, seperti tembikar Tiongkok ditemukan di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari, dan Kalimantan Barat. Juga penemuan kapak batu giok atau zamrud berpoles dari jaman Neolithikum yang ternyata juga ditemukan di Tiongkok dan berada pada jaman yang sama. Di Sumatera Selatan juga ditemukan sejumlah genderang perunggu berukuran besar. Genderang ini diproduksi di Dongson, sebuah desa kecil di propinsi Thanh Hoa, sebelah utara Vietnam pada tahun 600 SM sampai 300 Masehi. Genderang ini mempunyai persamaan dengan genderang perunggu Tiongkok dari Dinasti Han.
Benny lebih lanjut menulis, hubungan lalu lintas pelayaran antara orang Tionghoa dari Tiongkok dengan Nusantara telah berlangsung sejak jaman purba. Pada masa pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (1-6 SM) Tiongkok menamai Nusantara dengan Huang-tse.

Teknologi perkapalan belumlah secanggih sekarang. Perjalanan pulang pergi dari Tiongkok ke Nusantara butuh waktu satu tahun akibat musim. Para pedagang terpaksa menunggu selama enam bulan. Alam Nusantara yang indah dan makmur, ditambah dengan gadis-gadisnya bermuka ayu, membuat banyak di antara mereka memilih tinggal tetap di Nusantara. Mereka jatuh cinta dengan alamnya, juga gadis-gadisnya. Dan memang, penduduk pribumi menerima kehadiran mereka dan hidup berdampingan dengan damai. Tidak sedikit di antara mereka meminang putri pribumi dan mendirikan bahtera rumah tangga.

Selaras dengan Benny, Pramoedya dalam bukunya Hoakiau di Indonesia (1998) membenarkan penemuan itu. Dia bertanya: “Dan sudah berapa lama orang-orang Tionghoa itu boyong ke Indonesia? Sebelum lahirnya Isa dan sebelum lahirnya Muhammad, atau jelasnya: sebelum lahirnya nasionalisme Indonesia.”

Begitulah. Ratusan tahun selepas itu, ada berbagai kejadian mengerikan yang dialami orang Tionghoa. Untuk menyebut beberapa: pembantaian di tahun 1740; penerapan sistem apartheid pemerintahan kolonial Hindia Belanda dengan mendirikan perkampungan khusus bagi mereka; penjarahan toko-toko Tionghoa oleh Jepang tahun 1942 (Onghokham, 2008).

Warga Negara dan Bisnis

Pertanyaan terbesar di banyak benak warga Indonesia sekarang adalah: kenapa orang Tionghoa begitu kaya; dan kenapa mereka tidak begitu tertarik dengan politik. Dan jawaban untuk pertanyaan inilah yang kerap dibengkokkan oleh sejarah.

Pramoedya Ananta Toer menulis beberapa pucuk surat kepada sahabatnya, Hs-y di Tiongkok. Pram, sebutan akrab Pramoedya, “memberontak”. Saat itu Peraturan Presiden No. 10 tahun 1959 mengharuskan semua pedagang eceran di wilayah pedalaman menutup usaha mereka sebelum 1 Januari 1960. Dalihnya: pedagang-pedagang eceran Hoakiau (sebutan Pram untuk orang Tionghoa) akan membahayakan keselamatan ekonomi nasional Indonesia. Sekitar tahun 1960-1961 sebagai akibat dari PP-10/1959, lebih dari seratus ribu orang Tionghoa meniggalkan Indonesia. Dalam benak “pemerintah” saat itu orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia bukanlah warga negara Indonesia. Mereka itu orang asing.

Surat pertamanya kepada Ch. Hs-y. di P (menurut Sumit Kumar Mandal Hs-y itu adalah singkatan nama Chen Xiaru di P: Peking) amat keras. Pram menulis: “Apakah mereka yang sudah berabad-abad di Indonesia berketurunan dan mempunyai tradisi harus dimasukkan ke dalam golongan orang asing atau golongan warganegara Indonesia baru?” Selanjutnya: “Setengah juta orang! Setengah juta! Dengarkan ini, Hs-y.: setengah juta. Apakah jumlah ini tidak bicara apa-apa? Apakah sudah begitu rusak instalasi kemanusiaan kaum rasialis ini? Setengah juta orang akan puyang-poyong hidup tidak menentu. Setengah juta.”

Orang Tionghoa amat kuat dalam perdagangan. Mereka datang ke Nusantara lantaran di negeri asalnya, Tiongkok, tanah adalah kutukan karena gersang dan tandus. Ditambah lagi peperangan yang tak kunjung usai. Pramoedya di suratnya keempat kepada Hs-y mengajukan pertanyaan: “… apa sebabnya hampir seluruh sektor perdagangan dikuasai oleh Hoakiau hingga sekarang. Lalu apakah sebabnya pedagang-pedagang pribumi kalah dalam persaingan dagang dengan orang-orang luar di dalam perdagangan internasional?”

Menurut Pram, faktor alamlah menjadi penyebabnya. Alam Indonesia sangat subur sehingga hampir seluruh lapisan masyarakat hidup bertani. Sementara itu, pedagang-pedagang Tionghoa dan pedagang-pedagang luar lainnya yang datang ke Indonesia telah mempunyai tradisi dagang yang kuat, dengan sendirinya pedagang-pedagang pribumi yang lemah itu terdesak dan ketinggalan jaman. Orang Tiongkok sudah mampu membuat kapal bermuatan besar. Orang pribumi belum mengenal teknik pembuatan kapal besar.

Onghokham (Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, 2008) memberikan tambahan. Menurut sejarahwan cemerlang ini, “Tanda keunggulan dalam ekonomi ini merupakan perkembangan dari toko-toko yang dimiliki orang Cina di sepanjang jalan-jalan utama di seluruh kota-kota kecil dan besar Indonesia. Perdagangan eceran merupakan aspek penting dalam kehidupan yang diciptakan masyarakat Cina di Indonesia.” Orang Tionghoa dan Belanda datang ke Nusantara untuk tujuan yang sama: berdagang. Belanda bermitra dengan orang Tionghoa. Belanda, lewat VOC, bergerak di bidang distribusi dan Tionghoa sebagai pedagang perantara. Dari kegiatan inilah orang Tionghoa mendapatkan uang tembaga dari orang-orang desa, yaitu uang kecil yang biasa digunakan membeli barang-barang di desa. Mereka kemudian menjualnya ke VOC di kota.

Kembali ke bulan terakhir tahun 1959 hingga bulan awal tahun 1960. Salah satu pihak yang tidak senang dengan ketangguahan Tionghoa dalam berdagang adalah borjuasi Indonesia. Jelaslah masalah utamanya berkisar tentang rebutan “lahan basah.” Mereka juga hendak berdagang. Tapi, kembali kita harus mengutip Pramoedya. “Mereka lebih enak duduk-duduk bermewah dengan menekan rakyat tanpa memikirkan dunia perdagangan mereka sendiri.”

Setelah tahun 1965, pasca-G30S, menjadi babak penderitaan tambahan bagi orang Tionghoa. Perang dingin, perang antara dua kubu berlainan ideologi, masing-masing mengeluarkan taringnya. Amerika Serikat dan Inggris, negara kapitalis Barat, berusaha membendung pengaruh komunis dari Utara, yang identik dengan Republik Rakyat Tiongkok. Negara Barat mempunyai kepentingan besar menggelorakan anti-Tionghoa, termasuk di Indonesia.

Benny G. Setiono mencatat intensitas kerusuhan anti-Tionghoa makin menjadi-jadi. Penjarahan, perusakan, dan pembakaran rumah-rumah, toko-toko, sekolah-sekolah, dan mobil-mobil etnis Tionghoa terjadi di mana-mana. Mereka dituduh sama sekali tidak peduli dengan kepentingan rakyat Indonesia. Juga mereka dituduh mempunyai loyalitas ganda dan selalu berusaha mentransfer uangnya ke luar negeri.

Kampanye dan berbagai aksi anti-Tionghoa ini, ditambah tindakan represif dari militer inilah yang menimbulkan kekuatiran dan trauma berkepanjangan bagi orang Tionghoa. Selama pemerintahan Soeharto, mereka mati-matian berusaha menghindari wilayah politik. Mereka memusatkan seluruh perhatian dan kegiatannya hanya di bidang bisnis.

Di sinilah kita menemukan kaitan antara kesuksesan mereka di bisnis dan keengganan mereka terlibat dalam kegiatan politik. Tidak pernah kita temukan menteri di pemerintahan Orde Baru dari keturunan Tionghoa. Dengan demikian, kita sudah bisa beralih ke pertanyaan kedua: kenapa mereka sukses berbisnis di bawah pemerintahan otoriter Soeharto?

Onghokham akan membantu kita menemukan jawab. Selain pengasingan melalui antibudaya Tionghoa (larangan penggunaan huruf Cina, orang Cina harus ganti nama, melarang pertunjukan-pertunjukan kesenian Cina), Onghokham berpendapat orang Tionghoa berhasil di bisnis karena bobroknya birokrasi selama Orde Baru. Baiklah saya kutip saja. “Kita mengenal satu sistem yang aneh selama Orde Baru. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara didapatkan dari utang-utang. Birokrasi, militer dan polisi memiliki kekuasaan yang sangat besar, tapi sewenang-wenang dan tidak ada kontrol, tidak ada pengawasan. Anehnya, meskipun kekuasaan mereka sangat besar, tapi gajinya kecil. Sementara itu, ada golongan Cina yang relatif cukup mampu. Logikanya, mana ada orang berkuasa yang mau kelaparan, tidak menyekolahkan anak-anaknya, tidak memenuhi kebutuhannya? Akhirnya, orang-orang Cina menjadi sapi perah.”

Sofyan Tan

Sofyan Tan adalah warga negara Indonesia. Tulen. Yah, dia warga keturunan Tionghoa. Dan tidak kita temukan masalah cukup berarti dengan itu. Mari kita anggap itu anugerah. Kekayaan dari salah satu bagian kecil saja dari Bhinneka Tunggal Ika. Medan mencatat, Sofyan Tan menjadi satu-satunya calon pertama dari keturunan Tionghoa yang pernah bertarung merebut kursi Walikota. Sepanjang sejarah.

Bangsa yang bajik adalah bangsa yang bijak memahami sejarahnya. Bangsa yang senantiasa menulis kembali sejarahnya. Menyusunnya dengan informasi baru dan menginterpretasinya dengan cara berbeda. Tentunya tanpa meninggalkan satu hal: pijakan pada fakta.

Sofyan Tan akan bertarung antara visi-misi yang ditawarkan dengan sejarah “kelam” yang melekat pada warga keturunan Tionghoa.


*Aktif di Komunitas Mata Kata, tinggal di Medan

Bahasa dan Kekuasaan

Bahasa dan Kekuasaan
Oleh: Dian Purba


Januari sihotang, sh dan Sarma Dichris Panggabean, S.Pd barangkali tidak begitu cermat membaca buku sejarah yang terselip di rak buku mereka.

Pada tulisan mereka (Analisa, 05 April 2010), dilengkapi dengan tambahan memberikan acungan jempol, Pusat Bahasa bernasib naas. Naas lantaran semua sejarahyang membentuknya dihempaskan tanpa tedeng aling-aling dengan kalimat berikut: "Ketika melihat bahwa ‘pengerdilan’ bahasa Indonesia sudah semakinparah, pemerintah Orde Baru merasa perlu membentuk sebuah pusat pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Hal ini diwujudkan dengan pembentukan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah, kemudian saat ini berubah menjadi Pusat Bahasa."

Di paragraf sebelumnya mereka menulis: "Bahasa Indonesia dilecehkan. Mulai kalangan bawah hingga pejabat tinggi negara seakan berlomba - lomba melukai dan mengobrak-abrik Bahasa Indonesia. Hal ini berlangsung terus-menerus dan semakin parah." Maka, pelecehan bahasa Indonesia kali ini tidak datang dari kalangan bawah, pun pejabat tinggi negara. Pengobrak-abrikan bahasa Indonesia semakin parah lantaran sebuah badan yang dibentuk menjaga keberlangsungan bahasa Indonesia itu diobrak-abrik sedemikian rupa oleh lulusan seorang sarjana hukum dan sarjana bahasa Indonesia.

Andai saja sarjana berdua ini meringankan tangan membuka laman Pusat Bahasa, pengerdilan sejarah ini akan terhindarkan. Dan ini akan menghantarkan kita kepada dua bahasan sebagai tanggapan atas tulisan itu. Pertama, kesalahan fatal menuliskan sejarah. Dan kedua, hubungan bahasa dan kekuasaan. Ini tidak lebih karena mereka menyenggol tentang bahasa dan Orde Baru.

Sejarah Pusat Bahasa

Buku Tesaurus, terbitan Pusat Bahasa, di sampul bagian belakang berkisah tentang sejarah Pusat Bahasa (Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan, 2009). Kita juga dibantu wikipedia Indonesia melengkapi data sejarah tentang badan yang sudah beberapa kali beralih nama ini.

Pusat Bahasa adalah lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan bahasa dan sastra Indonesia. Lembaga ini berdiri tahun 1947 dengan nama Instituut voor Taal en Cultuur Onderzoek. Dan merupakan bagian dari Universitas Indonesia pada tahun 1947 dan dipimpin oleh Prof. Dr. Gerrit Jan Held. Sementara itu, pada Maret 1948 pemerintah Republik Indonesia membentuk lembaga bernama Balai Bahasa di bawah Jawatan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.

Pada tahun 1952, Balai Bahasa dimasukkan ke lingkungan Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan digabung dengan ITCO menjadi Lembaga Bahasa dan Budaya. Selanjutnya, mulai 1 Juni 1959 lembaga ini diubah menjadi Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, dan menjadi bagian Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.

Pada tanggal 3 November 1966 lembaga ini berganti nama menjadi Direktorat Bahasa dan Kesusastraan yang berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak 27 Mei 1969 lembaga itu kembali berubah nama menjadi Lembaga Bahasa Nasional dan secara struktural berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Pada 1 April 1975 Lembaga Bahasa Nasional berganti nama menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Lembaga yang kerap disingkat dengan nama Pusat Bahasa ini, secara berturut-turut dipimpin oleh Prof. Dr. Amran Halim, Prof. Dr. Anton M. Moeliono, Drs. Lukman Ali, Dr. Hasan Alwi, dan Dr. Dendy Sugono.

Kemudian berdasarkan Kep pres tahun 2000, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa berubah nama menjadi Pusat Bahasa. Lembaga ini berada di bawah naungan Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional.

Nah, barangkali yang dimaksud Januari dan Sarma, kalau saya boleh memanggilnya demikian, adalah pergantian nama dari Lembaga Bahasa dan Kesusastraan tahun 1959 menjadi Direktorat Bahasa dan Kesusastraan tahun 1966. Dari rentetan-rentetan tahun di atas, memastikan kita berkesimpulan bahwa Pusat Bahasa bukan didirikan di jaman Orde Baru. Karena Orde Baru menampakkan dirinya mulai tahun 1966, bukan tahun 1947.

Bahasa dan Kekuasaan

Bahasa menunjukkan bangsa boleh jadi akan teramat sukar dipahami andai kita tidak berpaling ke sejarah. Sangat menarik menilik tentang jaman di mana Raden Ajeng Kartini hidup dan hubungannya dengan betapa bahasa begitu berkuasa sebagai tembok pembeda kelas penjajah dan kelas terjajah. Selepas dari sana kita akan singgah sejenak di jaman Orde Baru, dan mengakhiri perjalanan di jaman sekarang, jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jaman di mana Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan disahkan.

Kartini hidup saat jaman feodalisme Jawa masih teramat lama akan berakhir. Sebuah jaman di mana keluasaan wawasan, kebijak-bajikan, kekayaan pengetahuan bukanlah syarat mutlak seseorang menduduki jabatan tinggi. Pramoedya Ananta Toer menulis biografi Kartini dengan sangat baik (Panggil Aku Kartini Saja, 2003). Buku ini berhasil mengungkap hubungan jaman feodalisme Jawa, sering juga disebut feodalisme Pribumi Jawa, dengan usaha-usaha Belanda menjadikan mereka tak tersentuh dan takkan mungkin dikejar orang-orang Pribumi dalam segala hal. Salah satu alat yang cukup ampuh melanggengkan itu adalah dengan bahasa. Pramoedya meneliti karya-karya Kartini, yakni surat-suratnya ke beberapa sahabatnya di Negeri Belanda.

Kebudayaan Jawa di saat itu mampu membuat Kartini terkejut. "Seorang adikku, lelaki maupun wanita, tak boleh melewati aku, atau kalau toh harus melewati, dia mesti merangkak di atas tanah. Kalau seorang adik duduk di atas kursi dan aku hendak lalu, mestilah dia segera meluncur diri ke tanah dan di sana duduk menekuri tanah itu sampai aku tak nampak lagi olehnya. … Wanita-wanita yang lebih tua daripada aku, tetapi merupakan bawahanku sejauh mengenai kebangsawanannya, menghormati aku, karena hal itu sudah jadi hakku."

Maka, "Kehormatan manusia," tulis Pram, "terletak pada nilai kebangsawanannya, tak peduli orang itu bodoh atau tidak, beradab atau tidak, kejam atau tidak." Karena, "Barangsiapa tinggi kebangsawanannya, dia berhak dihormati oleh siapa pun yang kurang keningratannya, tak peduli orang itu lebih terpelajar, lebih berbudi, atau pun lebih bijaksana."

Corak kehidupan feodal Jawa lain adalah tingkatan dalam penggunaan bahasa. Di tempat lain, di sebuah wawancara, Pramoedya mengeluarkan ketidaksepakatannya dengan tingkatan bahasa di Jawa (Menuju Demokrasi Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah, 2001). "Sudah sejak usia 17 saya merasa bahwa sebagai orang Jawa saya ditindas. Dalam menggunakan bahasa Jawa saya merasa ditindas. Masak dalam menggunakan bahasa saja orang harus tahu diri di mana tempat sosialnya."

Belanda teramat cerdas memanfaatkan budaya Jawa ini. Kartini menulis, "Mula-mula aku dulu mengira, hanya si Jawa goblok itu yang gila hormat, tapi sekarang aku tahu, bahwa orang Barat (orang Belanda) yang beradab dan terpelajar itu juga tidak menolaknya, malah mencandu."

Candu itu bertemu dalam penggunaan bahasa. Belanda menggunakan Melayu babu atau bahasa pasar berkomunikasi dengan Pribumi. Menurut Pram, ada tiga hal yang mendasari Belanda menggunakan bahasa itu. Pertama, bahasa Melayu babu tidak lain daripada manifestasi penghinaan, bahwa Belanda kurang merasa hormat, mengenal, dan menghargai Pribumi. Belanda tidak membutuhkan Pribumi yang berada di tingkat bawah dibandingkan mereka.

Kedua, penggunaan bahasa Melayu babu, yang menolak penggunaan bahasa Belanda oleh Pribumi, juga merupakan manifestasi pihak Belanda untuk menolak keterpelajaran Pribumi.

Ketiga, penggunaan bahasa Melayu babu juga berfaal sebagai tabir prestise orang-orang Belanda untuk tidak memungkinkan Pribumi bisa melakukan penilaian atasnya di bidang kemampuan intelektualnya. Ketiga, manifestasi ini berubah menjadi benteng pembatas kolonial terhadap kemungkinan Pribumi menyetarakan kedudukannya setingkat dengan kedudukan Belanda.

Kartini paham betul dengan ini. Wanita muda cerdas ini – yang sudah menghidupkan alam demokrasi di pikirannya, bahkan demokrasi itu sendiri sudah jadi bagian dari dirinya – amat fasih berbahasa Belanda. Langkah selanjutnya bagi dia adalah menjadikan penguasaan terhadap bahasa Belanda sebagai alat perjuangan. Kenapa demikian?

Yang menjadi penghubung antara dunia Belanda dan dunia Pribumi adalah bahasa Belanda itu sendiri. Dengan alat ini ia dapat melakukan kritik dan penolakan terhadap tingkah orang-orang Belanda dan dapat menyampaikan keinginan-keinginan rakyatnya ke percaturan politik yang berarti.Juga, dengan alat ini, ia begitu kecanduan melahap buku-buku berbahasa Belanda. Sebut saja pengarang yang sangat ia kagumi, Multatuli, lewat bukunya Max Havelar. Ia juga begitu aktif menulis di usianya yang masih belia (baca salah satu kumpulan surat-suratnya: Kartini: Surat-surat kepada Ny. R. M. Abendanon-Mandri dan suaminya, 2000). Tidak terlalu salah menamai jaman ini sebagai jaman kebangkitan cikal-bakal berdirinya bangsa Indonesia.

Satu setengah abad lebih dari jaman Kartini, Soeharto berhasil menduduki bangku presiden. Sosok ini begitu berkuasa. Sosok yang mampu memutarbalikkan sejarah sebuah negara sebesar Indonesia. Dan untuk urusan ini, kita masih begitu gamang mengatakan yang benar itu. Atau barangkali saja kita sudah jadi bangsa pelupa yang sangat abai dengan sejarah bangsanya sendiri. Namun, mengutip Arief Budiman, sejarah senantiasa bergerak lurus. Andai ia dibengkokkan di tengah perjalannya, maka anak-anak bangsa akan mengembalikannya kembali ke jalur semestinya.

Dalam mempertahankan kekuasaannya, di samping kekerasan fisik, Soeharto juga melengkapi diri dengan menjadikan bahasa sebagai kekuasaan dan kekuasaan sebagai bahasa. Daniel Dhakidae, doktor ilmu politik dari Cornell University, lewat bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003), menelaah kaitan antara bahasa dan kekuasaan.

Daniel Dhakidae memeriksa tiga jenis bahasa yang digunakan Soeharto dan menghubungkannya dengan politik, yang dengan sendirinya juga kekuasaan: akronim, eufemisme, dan disfemisme.

Tidak ada yang begitu menyakitkan dari seseorang yang diadili lantas dijebloskan ke penjara lantaran memplesetkan akronim. Adalah Nuku Suleiman dari Yayasan Pijar yang mengubah SDSB, Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, dibengkokkan menjadi "Soeharto Dalang Segala Bencana". Di pengadilan dia didakwa dengan tuduhan menghina Presiden Soeharto, Kepala Negara.

Masyarakat menganggap SDSB tidak lebih dari judi. Pemerintah berdiri berseberangan dengan masyarakat. Pemerintah berdalih sumbangan itu adalah murni untuk bantuan sosial. Uang yang terkumpul bukanlah uang dari lotre tetapi sumbangan sukarela. Sesuatu yang di belakangan hari terbantah, oleh pengadilan juga. Nuku menangkap keresahan rakyat kecil yang sudah sekarat hidupnya dan "dipaksa" membeli kupon SDSB. "Dengan demikian," tulis Dhakidae, "pengadilan Nuku Suleiman adalah suatu pengadilan bahasa, pengadilan pikiran tentang siapa yang berkuasa menentukan apakah sesuatu itu kriminal atau bukan."

Eufemisme, penghalusan bahasa, menjadi kata-kata yang teramat lembut di permukaan dan begitu kasar bila kita telisik hingga ke dalam-dalamnya saat ia diucapkan seseorang yang begitu berkuasa. "Aman dan terkendali," akan diterjemahkan bebas oleh semua aparat keamanan untuk melakukan apa saja demi "mengamankan" dan "mengendalikan". Maka, yang kita saksikan kemudian adalah penculikan aktivis-aktivis yang bersuara lantang dan berseberangan dengan suara kekuasaan. "Demi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi," maka, segera setelah itu menyusul datangnya berbondong-bondong pemodal asing mengeksploitasi perut bumi Indonesia dan membawa kabur semua keuntungan ke negeri asalnya. Dan terjadilah penyimpangan makna sesungguhnya dari eufemisme itu: suatu gejala berbahasa yang sangat normal untuk "mengurangi" sedikit demi sedikit intensitas kenyataan itu demi mengungkapkan rasa hormat, suatu substitusi untuk mengungkapkan rasa takut terhadap suatu tabu, atau ketidakberdayaan terhadap kedahsyatan alam dan sebagainya.

Daniel Dhakidae menjelaskan disfemisme dengan: "Ham pir tidak ada pengetahuan yang lebih melekat dalam diri seorang Indonesia daripada pengetahuan tentang akibat dicap pe-ka-i." Dia mengutip anekdot Dr. Abdurrachman Suryomihardjo, sejarawan LIPI, tentang betapa ngerinya terror pe-ka-i itu. "Seorang dikejar oleh kelompok keamanan, tetapi pihak keamanan tidak mampu melewati untuk menangkapnya. Akhirnya karena putus asa mereka berteriak: tangkap itu pe-ka-i! Akhirnya orang yang dikejar tersebut berhenti, dan berbalik kepada orang yang mengejarnya dan berkata: saya bukan pe-ka-i! saya tukang copet! Dia tidak menyerahkan diri. Ketakutan menjadi pe-ka-i begitu merasuk mental semua orang Indonesia, maka lebih baik dia ditangkap karena menjadi maling, daripada dituduh."

Daniel menyimpulkan, "Ba hasa adalah milik semua orang. Yang tidak menjadi milik semua orang adalah kekuasaan yang mampu melaksanakan the will to truth, yaitu kontrol bahwa suatu jenis bahasa boleh dipakai dan tidak boleh dipakai.

Bagaimana kita menjelaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan bahasa? Dengan mengucapkan "the bottlenecking" untuk "hambatan", "national summit" untuk "rembuk nasional", maka SBY menjadi orang pertama yang seharusnya yang paling bertanggung jawab berdiri paling depan melaksanakan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan menjadi pelanggar pertama atas undang-undang yang ia tanda tangani sendiri. Hendak mempertahankan kekuasaankah ia dengan berbahasa begitu? Atau, seperti Kartini, hendak menjadikan bahasa sebagai alat perjuangan, perjuangan mencerdaskan bangsa? Saya kira tidak untuk kedua-duanya. Pencitraan. Semata-mata untuk keperluan itu.

Maka, menjadi relevanlah mengundang Remy Sylado menjelaskan gejala berbahasa ini. Di bukunya, Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005) ia menulis: "…orang-orang Indonesia, khususnya kalangan yang ingin tampil berkesan sebagai orang-orang terpelajar, kini terlihat seperti pelari-pelari tanpa piala yang sedang berlomba, berjor-joran bercakap lisan ataupun tulisan dengan melintaskan banyak kosakata, istilah, dan kalimat bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Saya menyebut gejala ini: ‘nginggris’’.

Lantas, setelah begini, pertanyaan pendekar bahasa Anton Muliono(2009) berikut, menjadi begitu menggoda ditanyakan: "Bagaimana bisa membela Tanah Air, memajukan bangsa, dan mengembangkan bahasa Indonesia jika para pemimpin bangsa dan pemuka masyarakat dengan bangga memamerkan pengenalan bahasa Inggris di muka khalayak ramai?" ***

Penulis Aktif di Komunitas Mata Kata, tinggal di Medan

Revitalisasi Pancasila

Revitalisasi Pancasila

Dian Purba*



Kita niscaya membutuhkan dua tokoh ini guna melacak sepak terjang Pancasila sebagai dasar kita berbangsa dan bernegara: Sukarno dan Suharto. Di tangan mereka berdua Pancasila mendapatkan perlakuan berbeda. Tentunya dengan interpretasi masing-masing. Mencoba membahas Pancasila tanpa menghadirkan kedua tokoh itu sama saja dengan mencoba membuat nasi goreng tanpa nasi.

Salah satu koran nasional mewartakan betapa Pancasila sudah ditinggalkan siswa karena pengajarannya tidak menarik. Kondisi ini bertambah parah karena teramat banyak jumlah anak didik di negeri ini kesulitan sekedar mengurut melafalkan setiap silanya dengan benar. Kita harus memahami ini sebagai akibat dari sebuah kesengajaan yang sudah berlangsung cukup lama. Dan itu terjadi di jaman di mana segala sesuatunya mengacu pada mantra pertumbuhan ekonomi, pembangunan, dan stabilitas politik: Orde Baru. Barangkali tidak terlalu salah mengatakan proses itu masih berlangsung hingga kini.

Semangat awal Pancasila

Semua perangkat yang diperlukan untuk mengaburkan jasa besar Sukarno sebagai penggali Pancasila dikerahkan sedemikian rupa sehingga setiap kepala anak didik negeri ini berkata lain dari sejarah sebenarnya. Terkesan Sukarno tidak cukup besar untuk menelurkan gagasan yang kini kita jadikan sebagai dasar negara itu. Dan itulah yang kita saksikan sepanjang Orde Baru dengan setia menjalankan semua cara demi mempertahankan kekuasaan itu di segelintir orang saja selama tiga dasawarsa lebih. Jalan yang dipilih: memperkecil jasa Sukarno dan memperbesar kehebatan Suharto.

Salah satu koran nasional mengkabarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menghadiri peringatan kelahiran Pancasila tanggal 1 Juni ini. Tentulah ini pertanda baik. Dengan kata lain, SBY sudah tidak mengikuti pendahulunya, Suharto, yang menetapkan hari lahir Pancasila 18 Agustus. Asvi Warman Adam (2004) menulis, kontroversi lahirnya Pancasila dimulai awal Orde Baru dengan terbitnya buku Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi jang Otentik dan Rumusan Pancasila jang Otentik (Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1971). Menurut Nugroho, ada empat rumusan Pancasila: disampaikan Mohammad Yamin 29 Mei; Sukarno (1 Juni 1945); berdasarkan hasil kerja Tim Sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945); dan seperti termaktub dalam UUD 1945 (18 Agustus 1945).

Nugroho berpendapat, rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan 18 Agustus 1945 karena Pancasila seperti dalam pembukaan UUD 1945 dilahirkan secara sah berdasarkan Proklamasi tanggal 18 Agustus 1945. Nugroho berdalih, lahirya Pancasila tidak perlu dikaitkan dengan tokoh secara mutlak. Tentang ini, kita tilik saja pidato Bung Karno pada peringatan lahirnya Pancasila ke XIX 1 Juni 1964 di Jakarta (Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, 2006). “Ada apa dengan diriku sekarang ini?” kata Sukarno. “Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah saya sering katakan bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekadar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia.”

Mari kita lacak pidato presiden pertama Indonesia ini tentang Pancasila tanggal 1 Juni 1945 di muka rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Tubapin: Tudjuh Bahan2 Pokok Indoktrinasi, 1961). Ketua Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (PPKI) mengajukan permintaan kepada sidang PPKI untuk mengemukakan dasar Indonesia merdeka. Sebelum memaparkan dasar Indonesia merdeka, terlebih dahulu Sukarno mengartikan perkataan merdeka itu.

Menurut Sukarno, merdeka ialah political independence. Sukarno tidak sependapat dengan PT Soetardjo yang mengartikan merdeka sebagai: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka. Political independence itu diumpakan seperti satu jembatan. Jembatan emas yang akan menyebrangkan rakyat Indonesia menemui masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi. Sukarno menolak ajakan bahwa untuk memerdekakan sebuah bangsa hendaknya terlebih dahulu rakyatnya berbadan sehat, pemudanya kuat. Karena menurut Sukarno, di seberang jembatan emas itulah, di dalam Indonesia merdeka itulah, kita menyehatkan rakyat, kita mengerahkan segenap masyarakat untuk menghilangkan berbagai penyakit, kita melatih pemuda supaya menjadi kuat.

Lantas Sukarno tiba di inti pidatonya: dasar negara Indonesia merdeka. Dasar pertama adalah dasar kebangsaan. Kebangsaan berarti tidak untuk mendirikan sebuah negara berdasarkan agama, bukan pula berdasarkan satu golongan. Melainkan suatu negara buat semua. Melainkan satu kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian.

Sukarno mencium kelemahan kebangsaan ini karena kemungkian orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme: paham yang melahirkan kebangsaan yang menyendiri, paham yang menganggap bangsa lain tidak memiliki harga sama sekali. Sukarno sangat menekankan bahwa Tanah Air Indonesia hanyalah satu bagian kecil saja dari dunia. Inilah yang disebut Sukarno dengan dasar kedua: internasionalisme. Kebangsaan dan internasionalisme bagaikan saudara kembar: internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.

Dasar ketiga adalah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.” Sukarno mengajak semua agama untuk berkobar-kobar menggerakkan segenap rakyat agar mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan ke dalam perwakilan itu. Islam hendaknya membicarakan tuntutan-tuntutan Islam di permusyawaratan itu. Demikian juga dengan Kristen, Hindu, dan Budha.

Dasar keempat yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Sun Yat Sen, seorang pemimpin nasionalis Tiongkok, menjadi sumber inspirasi Sukarno yang merangkum tiga ideologi: nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Dengan berkobar-kobar Sukarno berujar: “Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya.”

Lebih lanjut Sukarno: “Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratie, yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.” Politik demokrasi ekonomi yang dimaksud Sukarno tidak semata-mata persamaan dalam politik, melainkan juga persamaan di lapangan ekonomi, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Kita akan dibantu Atalio A. Boron dalam mengartikan demokrasi ekonomi. Dalam tulisannya The Turth of Capitalism Democracy (2006), Atalio menyimpukan bahwa demokrasi memiliki empat level yang berbeda: electoral democracy (demokrasi elektoral/pemilu); political democracy (demokrasi politik); social democracy (demokrasi sosial); economic democracy (demokrasi ekonomi). Pada level terkahir, demokrasi ekonomi, pemerintahan yang berkuasa dimandatkan untuk menghapus keistimewaan yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang atas sumberdaya ekonomi, dan membuka akses yang luas kepada mayoritas untuk mengontrol dan mengendalikan sumberdaya ekonomi terbatas itu. Dengan demikian, tidak ada lagi pemisahan antara politik dan ekonomi, atau masyarakat sipil dengan politik. Dengan kontrol atas sumber daya ekonomi yang menyebar, politik tidak lagi merupakan hal yang istimewa yang diperebutkan dengan taruhan nyawa.

Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi prinsip kelima yang diajukan Sukarno. Prinsip ini menjelaskan bahwa Indonesia bukan saja bertuhan, tetapi juga masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan sendiri. Kristiani menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, kaum Muslim bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s. a. w., orang Budha dan Hindu menjalankan ibadatnya menurut kitab yang ada padanya. Hendaknya pula segenap rakyat bertuhan dengan berkebudayaan, yakni dengan tidak mengedepankan egoisme agama.

Sepertinya Sukarno begitu gandrung dengan angka lima mengingat Rukun Islam ada lima, indera pun terdiri dari lima. Inilah yang membuat dia awalnya menamakan lima mutiara galiannya itu Panca Dharma. Karena Dharma memiliki arti ‘kewajiban’, dengan demikian tidak tepat mewakili kata dasar, dia lantas menggantinya menjadi ‘Panca Sila’: lima asas atau dasar. Kemudian Sukarno menawarkan lima sila itu menjadi tiga sila saja apabila ada dari anggota PPKI kurang begitu senang dengan angka lima. Ketiga sila itu: sosial-nasionalisme; sosial-demokrasi; dan ketuhanan. Andai angka tiga kurang berkenan, Sukarno kemudian memerasnya menjadi satu sila saja: gotong royong.

Dengan demikian benarlah Asvi Warman Adam yang menuliskan bahwa memang ada tokoh lain yang berbicara tentang dasar negara, tetapi hanya Sukarnolah yang secara eksplisit menyampaikan gagasan tentang Pancasila, bahkan termasuk nama Pancasila.

Orde Baru dan Pancasila

Barangkali tidak ada yang teramat penting bagi Orde Baru selain mengibaratkan peristiwa Gerakan 30 September itu sebagai ajang untuk membuktikan bahwa Pancasila itu sakti mandraguna. Inilah kemudian yang melahirkan Hari Kesaktian Pancasila dirayakan tiap 1 Oktober. Yang kita saksikan kemudian adalah, tentu mengatasnamakan kesaktian Pancasila, pembantaian massal kepada mereka anggota Partai Komunis Indonesia, simpatisan PKI, pendukung Sukarno, dan semua yang dianggap ada hubungannya dengan gerakan kiri. Beberapa sejarawan menyebut angka mengerikan jumlah korban pembantaian, berkisar tiga juta orang. Apakah Pancasila menunjukkan kesaktiannya lewat membunuh jutaan orang?

Bahwa ada unsur PKI terlibat dalam Gerakan 30 September, tidak dengan sendirinya membenarkan perbuatan biadab itu. Karena menurut John Roosa (2006), PKI tidaklah terlibat secara partai, melainkan hanyalah keterlibatan beberapa elit partai itu saja atas nama pribadi. Yang dikaburkan oleh peringatan itu ialah kekerasan yang jauh lebih besar yang dilakukan kepada pendukung komunis segera sesudah usaha kudeta.

Katharine E. McGregor dalam bukunya Ketika Sejarah Berseragam (2008), menyebutkan hari-hari peringatan adalah bagian yang penting dari kegiatan menempa ingatan nasional. Orde Baru lewat militer menggunakan sejarah untuk membenarkan peran politik mereka, karena itu sumber-sumber militer Indonesia lebih tepat digambarkan sebagai melakukan pelembagaan terhadap “ingatan resmi.” Efek lanjutan dari dominasi militer dalam ranah politik, pun penulisan sejarah lewat Pusat Sejarah ABRI yang dimotori Nugroho Notosusanto, memaksa masyarakat sipil menaati versi sejarah yang dibesar-besarkkan mengenai peran militer dalam sejarah.

Katharine lebih lanjut menulis: “Sikap munafik yang terdapat dalam upaya rezim mengaitkan dirinya dengan pelaksanaan Pancasila secara murni, suatu filsafat yang mencakup prinsip “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan prinsip “keadilan sosial”, hanya bisa disadari sepenuhnya dengan mencermati tindakan yang mereka ambil saat itu terhadap musuh-musuh rezim, terutama orang komunis-atas nama menegakkan Pancasila.”

Wacana para petinggi Majelis Permusyawaratan Rakyat merevitalisasi Pancasila mesti ditanggapi positif. Kita, terlebih mereka yang sudah cukup lama menganggap kesejahteraan itu hanyalah di mimpi saja, sudah cukup lama merasakan hilangnya fungsi negara: mensejahterakan rakyatnya. Perangkat untuk mewujudkan itu terjumpai di Pancasila. Kita tentu akan mengutuk penerapan Pancasila laiknya model Orde Baru. Semangat awal Pancasila memberikan penjelasan cukup mendalam bahwa bangsa ini didirikan di atas keluhuran, di atas kebersamaan, di atas persaudaraan, di atas keterwakilan, di atas kemanusiaan, di atas gotong royong. Namun, apakah MPR menyertakan di agenda mereka untuk mengembalikan kemurnian Pancasila dengan membongkar semua sejarah gelap yang dilekatkan di diri Pancasila?


*Bergiat di Komunitas Mata Kata

Solo Menantang Medan

Solo Menantang Medan
Dian Purba*
Analisa, 5 Juli 2010



Pada goresan Drs. Naurat Silalahi, “PKL: "Dilema yang Tak Teratasi"” (Analisa, 21/6), pedagang kaki lima diperlakukan sangat tidak sepantasnya, sekedar berkata tidak manusiawi. Mengutip salah satu berita Analisa di bulan Mei, Naurat menilai pedagang kaki lima dari sudut pandang yang sangat parsial, berat sebelah. Silalahi pun sepertinya merekayasa percakapan dialog antara pemilik toko emas di Pringgan dengan pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di “emperan” toko. Simak kutipan berikut: “Maaf jangan berjualan di sini karena kami terganggu berjualan." Dan menurut Naurat pedagang kaki lima itu tidak mengindahkan dan ngotot berjualan di situ lantaran: “... bisa jadi dia berani bertahan karena ada oknum tertentu yang membeking, sehingga si oknum PKL menjadi nekat.”

Saya mengkuatirkan kalimat tersebut: “... dia berani bertahan karena ada oknum tertentu yang membeking, sehingga si oknum PKL menjadi nekat.” Adalah kenekatan berpikir mengandaikan pedagang kaki lima berlindung di bawah oknum tertentu sehingga mereka bisa berjualan. Barangkali juga kenaifan persepsi mengatakan pedagang kaki lima digolongkan oknum nekat. Dengan mereka dikejar-kejar Satpol PP tiap kali rajia digelar saja telah mematahkan pendapat tersebut.

Bagaimana kita menempatkan pedagang kaki lima dalam kehidupan bernegara? Pertanyaan mengenai tujuan bernegara akan menemukan jawab saat bagaimana negara memperlakukan warganya, dalam hal ini pedagang kaki lima. Tulisan Naurat Silalahi (NS) akan membantu kita menemukan pola pemerintah memperlakukan pedagang kaki lima.

“Tanya yang tak terjawab sampai ke pikiran, kenapa dibiarkan,” cemas NS. “Apa tidak ada pihak berwenang yang menangani mereka ini.” Kenapa dibiarkan? Pertanyaan bernada disfemisme. Andai kita hilangkan prasa sebelum koma di kalimat pertama dan kedua kata terakhir di kalimat kedua, hasilnya: “Kenapa dibiarkan mereka ini?” Dan sepertinya saya tidak teramat keliru menafsirkan tujuan kalimat itu demikian.
Pemerintah memandang pedagang kaki lima laiknya buronan teroris di satu sisi dan gadis jelita di sisi yang lain. Buronan teroris menyangkut perlakuan yang mereka terima: derap langkah angkuh Satpol PP dengan pentungan di tangan dan buldoser penghancur di belakang mereka. Gadis jelita lantaran petugas pemungut pajak tidak pernah absen membawa kuitansi ke pinggiran jalan itu.

Pedagang kaki lima juga mesti mengorbankan segala sesuatunya saat mereka digusur. Termasuk harga diri dengan cara bertelanjang di depan Satpol PP. Tentulah alasan tidak adanya budaya malu dan kesadaran tinggi seperti yang tidak NS jumpai pada pedagang kaki lima di Seoul itu mesti dibuang secepat mungkin ke dasar laut. Karena ketika alasan itu diajukan sama saja kita menghilangkan semua faktor-faktor pendukung yang di Korea Selatan diterapkan berdasarkan hati nurani. Di sini, mereka digusur untuk sebuah alasan yang sangat subjektif: supaya keindahan kota terjaga dengan sempurna. Kita kerap lupa, indah menurut Wali Kota berbeda dengan indah menurut pedagang kaki lima. Dengan sendirinya pula, warga Medan yang berdagang di kaki lima, barangkali warga-warga lain, merasakan betapa tidak enaknya berpemerintah.

Di Solo PKL Bisa Ditata dan Mau

Ternyata kita tidak mesti pergi ke Seoul dan mengambil tempat duduk di bagian kanan bus sembari memainkan peran pengawas: ada atau tidaknya pedagang kaki lima yang berjualan sembarangan di pinggir jalan. Kita punya Solo. Menarik sekali menelaah motto kota ini: Solo masa depan adalah Solo Masa lalu, Solo modern adalah Solo yang tradisional. Majalah Mingguan Tempo memilih kota ini sebagai kota terbaik: Rumah Pedagang Kaki Lima (Tempo, 23 Agustus 2009). Joko Widodo wali kotanya sungguh takkan kita gelari wali kota edan lantaran menjadikan pedagang kaki lima sebagai mitra. Jokowi, panggilan akrab Joko Widodo, melibatkan masyarakat dalam membangun kota. Beberapa hal di bawah ini dia lakukan untuk mewujudkan motto tersebut.

Jokowi berhasil memindahkan hampir seribu pedagang kaki lima dari kawasan Monumen Juang Banjarsari ke Pasar Klitik tanpa gejolak. Di tempat baru itu mereka mendapat shelter, gerobak, dan celemek. Semua gratis. Juga disediakan lapangan parkir, pohon-pohon peneduh di taman. Setiap pedagang yang dipindahkan mendapat kios baru tanpa biaya. Juga mereka dilengkapi dengan surat hak penempatan dan kartu tanda pedagang. Akses transportasi ke sana juga dibuka. Semua tanpa biaya. Kok bisa?

Dialog dibuka buat meredam potensi konflik. Joko butuh 54 kali jamuan makan selama tujuh bulan untuk meyakinkan mereka bahwa pemindahan itu sangat penting. Setelah semua bersepakat, pawai besar-besaran pun digelar menghantar para pedagang kaki lima ke tempat yang baru. Tentu Satpol PP juga ikut serta di sana. Dan tentu pula tidak dengan pentungan, melainkan mengenakan pakaian tradisional Jawa.

Pemerintah Solo berusaha melindungi pedagang kecil dengan Peraturan Wali Kota membatasi berdirinya mal besar dan melarang penjamuran minimarket. Solo hanya memiliki satu mal. Toh, Solo tidak kelihatan tampak kolot ketinggalan jaman lantaran memaksimalkan yang tradisional sebagai penghuni mayoritas sudut-sudut kota.
Kota Medan punya ambisi berbeda. Hendak meniru Jakarta, semua perangkat untuk menjadikan kota ini tampak “indah” diperlengkapi sedemikian rupa. Masyarakat Medan boleh jadi teramat terluka hatinya sebab menjadi korban langsung pemenuhan ambisi itu.

Lihatlah, di beberapa sudut kota Medan, masyarakat berhadap-hadapan langsung dengan pemodal raksasa tanpa mendapat dampingan dari pemerintahnya. Katakanlah misalnya pendirian pusat perbelanjaan Carefour di Padang Bulan. Pedagang tradisional bermodal kere itu dilaga di atas ring yang semua sarana pertandingan tidak pernah akan memihak kepada mereka. Mereka diusir dari ladang penghidupannya yang notabene sudah berada di sana jauh-jauh-jauh sebelum perusahaan dari Perancis itu menjejakkan kaki di Indonesia. Atas nama menjadikan Medan menaikkan statusnya dari kota metropolitan menjadi kota megapolitan, para pembayar pajak ini dihempaskan ke liang teramat gelap sehingga cahaya kehidupan tidak lagi mereka temukan di sana.

Kini para pejabat kota Medan, mengutip B Herry Priyono (Kota dan Harta, 2009), bertindak sebagai “pengusaha” yang menjual kota, wilayah, dan apa yang bisa ditawarkan kepada investor global. Policy disebut sukses apabila pengusaha berdatangan melakukan investasi, dalam supermarkets dan malls, sekolah dan rumah sakit internasional.

Tentulah kota yang begini akan meninggalkan hati nurani dalam derap langkahnya membangun kota. Kota tidak lagi ditujukan untuk manusia, melainkan kota disediakan buat memfasilitasi pemodal mengakumulasi fulus. Dan akan semakin mensemrawutkan akal tatkala penguasa merangkap pengusaha. Meskipun hal-hal yang begini sudah menjadi keumuman di banyak tempat.

Herry Priyono menamai kota yang demikian ini sebagai kota “zona kritis”. Dia menulis, dengan mengutip Henri Levebvre: “jika bukan manusia yang menjadi pusat kota, untuk siapakah kita masih membangun? Bagaimana kita membangun? … Apa yang penting? Siapa yang masih berpikir? Siapa yang masih bertindak? Siapa yang masih berbicara dan berbicara untuk siapa?”


*Bergiat di Komunitas Mata Kata, tinggal di Medan

Gereja dan Pemanasan Global

Gereja dan Pemanasan Global
Dian Purba*


Memanfaatkan energi dunia saja tidaklah cukup. Kita juga harus menjaga keberlanjutannya. Selama hampir 85 tahun, Chevron telah berkomitmen kepada rakyat Indonesia. Tujuh ribu tenaga kerja nasional membawa kami tumbuh menjadi produsen minyak bumi dan energi panas bumi terbesar di negeri ini, serta penghasil gas bumi terkemuka. Sebagai hasilnya, masyarakat dapat mengakses pekerjaan dan pendidikan yang lebih baik, serta memberikan tiga generasi berikutnya sesuatu untuk dinanti. Beberapa menyebutnya sebagai upaya manusia. Kami menyebutnya sebagai energi insani. Iklan Chevron: Human Energy

Engkau yang melepas mata-mata air ke dalam lembah-lembah, mengalir di antara gunung-gunung, memberi minum segala binatang di padang, memuaskan haus keledai-keledai hutan; di dekatnya diam burung-burung di udara, bersiul dari antara daun-daunan. Mazmur 104: 10-12



Satu hal yang pasti: planet yang kita tempati ini berada pada kondisi (sebentar lagi) tak mungkin didiami. Jakarta banjir, hal biasa. Medan, setali tiga uang. Orchard Road di Singapura banjir? Kota dengan drainase terbagus di dunia ini tidak sanggup menahan gempuran hujan sangat deras selama satu jam. Di Bangladesh lebih 55 orang tewas karena banjir dan sekitar 12.000 warganya mesti mengungsi. Di Myanmar 46 orang tewas karena alasan serupa. Kota Draguignan, Distrik Var, kawasan pantai Cote d’Azur, Perancis, kehilangan 22 nyawa warganya. Kejadian ini banjir terburuk di Perancis sejak tahun 1827. Tidak lama berselang, di wilayah Cina bagian selatan, banjir yang melanda menewaskan 132 orang, 860.000 orang terpaksa mengungsi, 86 orang hilang, 6800 rumah hancur, dan akan berdampak kepada 10 juta warga yang lain. Kerugian diperkirakan Rp 20 triliun.

Itu data terbaru betapa alam sudah sangat jenuh menanggung ulah manusia. Mereka murka. Tepatnya, alam menunjukkan keberbandinglurusan antara tidak bertanggungjawabnya manusia menjaga alam dengan ketahanan alam itu sendiri menjaga dirinya. Saya lantas membayangkan: bumi dan semua isinya, tanpa mengikutsertakan manusia, sedang berkeluh kesah: kami sesungguhnya akan berjalan dengan sangat baik tanpa kehadiran kalian (manusia). Jika yang demikian terjadi, kita sudah sampai pada tahap akhir dari siklus kehidupan itu sendiri: lenyapnya manusia.

Alam sesungguhnya sudah menyediakan batas-batas yang harus kita patuhi. Dan inilah bentuk kompromi-perjanjian alam dengan manusia. Hal-hal yang diterangkan di bawah ini adalah peristiwa-peristiwa saat kontrak itu dilanggar.

Pemanasan global

Pemanasan global berarti adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Pemanasan global terjadi ketika konsentrasi gas-gas tertentu yang dikenal dengan gas rumah kaca terus bertambah di udara. Gas rumah kaca timbul akibat ulah manusia: kegiatan industri, gas karbon dioksida akibat penggunaan berlebihan bahan bakar fosil, penggundulan hutan, penggunaan pestisida, pertambahan jumlah penduduk.

Gas rumah kaca bukanlah gas yang dihasilkan oleh bangunan yang terbuat dari kaca. Segala sumber energi yang terdapat di bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida danchlorofluorocarbon akibat kegiatan industri, asam nitrat dihasilkan oleh emisi kendaraan dan industri, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini.

Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Laiknya rumah yang terbuat dari kaca, gas-gas bebas masuk tapi terperangkap di dalam sehingga tidak bisa keluar. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak pula panas yang terperangkap di bawahnya.

Dampak pemanasan global sudah sangat kasat mata. Selama seratus tahun terakhir, suhu rata-rata global permukaan bumi terus meningkat dari 0,74 °C-0,18 °C. Dan diperkirakan antara tahun 1990 sampai 2100 suhu global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 °C. Artinya sama dengan naiknya permukaan air laut 100 cm disebabkan banyaknya es mencair di kedua kutub bumi. Kota-kota rendah seperti Belanda akan kehilangan enam persen daratannya. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan.

Semua pengetahuan tentang kapan musim hujan bermula, musim kemarau berakhir hampir tidak bisa lagi diajarkan di ruangan-ruangan kelas. Cuaca menjadi anomali. Petani di beberapa daerah dirugikan akibat ledakan hama wereng. Tercatat 30.159 hektar area sawah padi diserang wereng coklat , meliputi daerah Jawa Tengah (10 kabupaten), Jawa Barat (5 kabupaten), Banten (4 kabupaten), dan Aceh (3 kabupaten). Wereng bertengger di peringkat empat perusak tanaman padi. Di peringkat pertama hingga ketiga berturut-turut adalah tikus, penyakit, dan penggerek batang.

Dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu, tahun 2010 semester pertama, pertumbuhan hama wereng meningkat tiga kali lipat. Penyimpangan iklim memengaruhi musim kemarau yang diselingi lebih banyak turunnya hujan menimbulkan kelembaban tinggi. Kondisi ini menyuburkan pertumbuhan hama tanaman, termasuk wereng.

Populasi dunia yang berkisar 6,6 miliar boleh jadi jadi saksi betapa dahsyatnya dampak yang ditimbulkan saat pegunungan es di dua kutub bumi mencair. Sebagian besar dari jumlah itu akan yang bertempat tinggal di pantai akan kehilangan tanah yang mereka tempati selama ini selamanya. Jumlah volume es di Benua Arctic dihitung semenjak 1950 mengalami penurunan drastis. Tahun 1955 volume es di benua itu masih penuh 100 persen. Tahun 2000 berkurang menjadi 74 persen dari volume tahun 1955. Sekitar tahun 2050 diperkirakan volume es tersisa 54 persen dari volume tahun 1955. Seperti sudah disinggung di atas, akan banyak sekali pulau-pulau kecil tenggelam. Penduduk daerah-daerah di pesisir pantai akan menjadi pengungsi terbesar sepanjang sejarah.

Peningkatan ekploitasi lingkungan meningkat dengan marak dan meluasnya perubahan tataguna lahan yang berakibat pada penciutan luas hutan, menyumbang pemanas suhu bumi. Maka, sangat melawan akal sehat saat membaca iklan sebuah perusahaan pengembang property terbesar di negeri ini: “Hadirkan Properti Ramah Lingkungan yang Berkelanjutan.” Nirwana Bogor Residence terletak di kaki Gunung Salak. “Hunian hijau” ini memiliki luas 1200 hektar. Tanah-tanah subur itu kini tertutup dengan semen, diselimuti aspal hitam. Untuk penyiksaan alam ini, pengembang berdalih: kawasan ini memiliki 60 persen ruang terbuka. Poin pertama, 1200 hektar yang dulunya hutan beralih fungsi menjadi tempat berdirinya tembok-tembok raksasa. Dengan sendirinya pula semua fungsi hutan akan menemui ajalnya. Poin kedua, kawasan ini ditujukan bagi mereka berkantong tebal. Artinya, penduduk lokal hanya kebagian limbah orang-orang elite itu sembari menjadi penonton kemewahan di tanah mereka sendiri.

Inilah yang kita namai dengan kamuflase hijau. Perubahan bentuk perusahaan-perusahaan perusak lingkungan menjadi laiknya penyelamat bumi dengan mengenakan topeng “hijau”. Salah satu topeng itu adalah dengan menggunakan media-media besar berpromosi. Iklan-iklan itu akan sangat berbahaya saat anak-anak tumbuh dengan pikiran bahwa perusahaan-perusahaan tersebut jagoan pelestari lingkungan. Dan tidak ada yang lebih menyedihkan selain pemerintah dan organisasi antarpemerintah dapat diyakinkan agar lebih banyak mengalah dalam menuntut penuaian kewajiban dan pertanggungjawaban mereka karena telah merusak alam.

Food Estate di tanah Papua membuat kesedihan itu terjadi. Di bawah panji “Menjaga ketahanan pangan Indonesia”, pemerintah lewat Departemen Pertanian menggulirkan megaproyek penggunaan lahan 1,6 juta hektar tanah Merauke untuk lahan pertanian. Tidak kita temukan masalah cukup berarti andai lahan yang luasnya sama dengan setengah luas Jawa tengah itu diperuntukkan bagi rakyat Papua. Kekuatiran kita memuncak saat pemerintah memastikan proyek ini diserahkan 100 persen ke swasta. Yang kita saksikan kemudian adalah berbondongnya para konglomerat Indonesia membagi-bagi jatah bererbut kue baru di bumi Papua. Sebut saja beberapa: Arifin Panigoro di bawah bendera Medco Foundation & Conservation Internasional mendapat jatah 35.000 hektar; Siswono Yudo Husodo di bawah bendera PT Bangun Tjipta Sarana mendapat jatah 8.000 hektar; Hashim Djojohadikusumo, PT Cemexindo Internasional, mendapat jatah 200 hektar; Tomy Winata, bos Grup Artha Graha, mendapat jatah 2.500 hektar.

Pemerintah memanjakan pengusaha kakap itu dengan insentif semenarik mungkin. Bank Mandiri menggelar acara khusus yang mereka namai “Papua Invesment Day”. Pertemuan ini untuk menyinergikan korporasi sebagai investor dengan pemerintah dan perbankan. Pemerintah juga menjamin, melalui Bupati Merauke John Gluba Gebze, para investor takkan mendapat gangguan dari masyarakat adat di sana. Selain itu, dana awal Rp 3 triliun telah disiapkan guna membangun jalan dan pembangunan pelabuhan.

Tujuan food estate sangatlah mulia: menjaga perut penduduk Indonesia tidak kekurangan makanan. Kita lantas bertanya, kenapa urusan teramat penting ini diserahkan sepenuhnya kepada swasta? Di kemanakan rakyat Papua? Kenapa pemerintah tidak pernah memberdayakan mereka? Para konglomerat itu mendapat tanah gratis, insentif pajak, serta upah buruh murah. Petani Merauke akan semakin terpinggirka karena lahan semakin sempit. Cara pandang pemerintah dengan cara pandang rakyat Papua dengan tanah itu bertolak belakang. Rakyat Papua memperlakukan tanah itu sebagai tanah adat, pemerintah memandangnya sebagai lahan produksi. Sekali lagi, rakyat Papua yang petani kecil akan diposisikan sebagai penonton di pinggiran saja.

Dampak lain penggunaan lahan seluas itu tentu saja menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah menjalankan apa yang sudah disepakatinya sendiri saat KTT Perubahan Iklim berlangsung di Kopenhagen, Denmark, beberapa waktu lalu. Pemerintah RI berjanji akan mereduksi emisi gas rumah kaca hingga 26 persen pada 2020. Target itu hanya akan terjadi apabila pemerintah mengurangi alih fungsi lahan sebesar 14 persen, manajemen sampah yang benar 6 persen, dan efisiensi energi 6 persen.

Selanjutnya kita akan menyaksikan penebangan besar-besaran pohon hutan tropis dan menggantinya dengan tanaman satu jenis. Kekayaan alam berupa fauna dan hayati akan terancam keberadaannya. Pemerintah memandangnya berbeda: “Itu lahan kosong dan tidak terpakai. Jadi, pergilah ke sana, lihatlah betapa luasnya lahan kosong itu,” kata Wakil Menteri Pertanian RI Bayu Krisnamurti. Gejala kebijakan seperti ini dianamai pemerintah sebagai perwujudan “iklim bisnis yang kondusif”. Iklim di mana: “kini pejabat negara bertindak sebagai “pengusaha” yang menjual kota, wilayah, dan apa (pun) yang bisa ditawarkan kepada investor global. Policy disebut sukses apabila pengusaha berdatangan melakukan investasi, dalam supermarket dan malls, sekolah dan rumah sakit internasional (dan juga hutan)”.

Dan sampailah kita ke penyumbang terbesar karbon dioksida: pembakaran bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil terdiri dari minyak bumi, gas alam, dan batubara. Untuk keperluan pembahasan topik ini, kita mesti melebarkan diskusi kita betapa perusahaan-perusahaan besar lintasnegara (perusahaan transnasional: selanjutnya disingkat PTN) memainkan peran maksimal memanaskan suhu bumi. Lantas, kampanye-kampanye raksasa mereka yang “memaksa” kita betapa mereka seolah-olah bertindak sebagai penyelamat bumi harus kita artikan sebagai penggunaan topeng kamuflase hijau semata.

Penggunaan bahan bakar fosil melonjak naik saat revolusi industri abad ke-18 meletus. Saat itu batubara menjadi sumber energi dominan. Pertengahan abad ke-19 minyak bumi menggeser posisi batubara. Abad ke-20 penggunaan gas diperkenalkan. Pasca penemuan mesin uap, industri berkembang laiknya jamur di musim hujan. Dan kini, kegiatan-kegiatan PTN menghasilkan 50 persen lebih dari semua gas rumah kaca yang dikeluarkan oleh seluruh sektor industri.

“Kita” menggali lebih dari enam miliar ton bahan bakar fosil yang menghasilkan gas rumah kaca terbanyak dari bumi setiap tahunnya. Dari ketiga bahan bakar fosil itu, batubara berbiaya paling rendah, harganya murah, berjumlah banyak, dan yang paling kotor dibandingkan koleganya. Kabar buruk kita terima dari negeri Tiongkok. Cina berencana membangun 762 pembangkit listrik tenaga batu bara. Efek yang dihasilkan bagi lingkungan dari pembakaran 2,5 miliar ton batubara setiap tahun sangat serius dan luas cakupannya. Kualitas udara yang buruk mengakibatkan sekitar 400.000 kematian premature setiap tahun di Cina. Dan kemungkinan besar negeri Tirai Bambu ini telah mengalahkan Amerika Serikat sebagai penghasil CO2 terbesar di dunia.

Di perkotaan, kendaraan motor bertanggung jawab atas 90 persen polusi udara. Tahun 1970, jumlah kendaraan bermotor sekurangnya 200 juta kendaraan. Tahun 2006 lebih dari 860 juta. Dan di Amerika Serikat saja, 1,4 miliar bensin dikonsumsi setiap hari tahun 2004.

Inilah akibat dari penggunaan bahan bakar fosil: emisi partikel, SO2, NOx, dan CO2. Emisi partikel, SO2, dan NOx adalah bahan polutan yang berhubungan langsung dengan kesehatan manusia. SO2 menyebabkan problem saluran pernapasan; radang paru-paru menahun; hujan asam yang dapat merusak lingkungan danau, sungai, dan hutan; mengurangi jarak pandang. NOx menyebabkan sakit pada saluran pernapasan; hujan asam; dan ozon menipis yang mengakibatkan kerusakan hutan. Partikel/debu mengakibatkakn iritasi pada mata dan tenggorokan; bronkitis dan kerusakan saluran
pernapasan; dan mengganggu jarak pandang. Emisi CO2 merupakan sumber terbesar yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global dan kerusakan ekosistem. Emisi CO2 tidak berhubungan langsung dengan kesehatan.

Pada tahun 1995 total emisi CO2 sebesar 156 juta 6 ton per tahun dan meningkat menjadi 1.077 juta ton per tahun pada tahun 2025 atau meningkat rata-rata sebesar 6,6 % per tahun dalam kurun waktu 30 tahun. Berdasarkan World Development Report 1998/99 dari Bank Dunia, total emisi CO2 dunia pada tahun 1995, baik berasal dari penggunaan energi maupun dari sumber lain sebesar 22.700 juta ton. Negara yang mempunyai emisi CO2 terbesar adalah Amerika Serikat yaitu sebesar 5.468 juta ton atau sebesar 24,1 % dari total emisi CO2 dunia, sedangkan Indonesia mempunyai emisi sebesar 296 juta ton atau sebesar 1,3 % dari total emisi CO2 dunia.

Pertobatan ekologis

Lantas, setelah begini, langkah kita jejakkan ke sebelah mana? Di mana gereja menempatkan posisinya? Atau pertanyaannya barangkali boleh diubah: bagaimana kesiapan gereja menghadapi arus deras perusakan lingkungan tersebut? Deretan pertanyaan itu mengingatkan kita dengan kelahiran teologi pembebasan di Amerika Latin yang gaungnya juga kedengaran di Indonesia.

Amerika Serikat dan Eropa Barat teramat kuatir paham komunisme menjamur di dunia ketiga. Berbagai cara yang mereka lakukan menghempang penyebaran paham yang bersebarangan dengan paham kapitalisme itu kita kenal dengan Perang Dingin. Amerika dan sekutunya menelurkan istilah “pembangunan” (developmentalism). Penerapan paham ini di lapangan: aliran kenikmatan luar biasa dirasakan rezim-rezim korup dengan bantuan persenjataan dan dana-dana segar. Tentulah rakyat tidak mendapat apa-apa selain “menikmati” asiknya negara memperkaya diri sembari memiskinkan rakyat. Dan senjata-senjata itu terarah langsung ke wajah rakyat saat mereka mencoba berdiri berseberangan. Penolakan dengan kondisi inilah yang melahirkan istilah “pembebasan” itu. Demikianlah, gereja bangkit menggaungkan suara kenabian menentang kezoliman ini. Teologi pembebasan diracik dari perpaduan apik iman Kristen dengan Marxisme.

Di Indonesia kita mengenal Romo Mangunwijaya yang dengan istilah berbeda, teologi pemerdekaan, mengaktualisasikan nalar dan pikiran selaku instrumen pertanggungjawaban sikap manusia beriman terhadap diri sendiri, sesama manusia, dan Tuhan.

Mengacu ke teologi pembebasan di Amerika Latin, Romo Mangun mengartikan teologi pemerdekaan ke dalam dua hal. Pertama, penemuan bahwa, teologi, apalagi gereja, pada hakikatnya bukanlah kumpulan dogma-dogma yang abstrak, tetapi sistematisasi sikap serta peristiwa konkret, kontekstual. Karena itu ia harus selalu diuji dan ditinjau kembali di dalam dan oleh pengalaman serta penghayatan peristiwa-peristiwa dunia, bangsa, maupun perorangan. Kedua, bahwa teologi pemerdekaan pun bukan segugusan tesis-tesis abstrak yang tugas pertamanya harus dikuliahkan, melainkan sesuatu yang dikerjakan, dalam suatu perjalanan praktis konkret dalam dialog dan proses meremajakan diri dengan fakta dan data-data; sekaligus suatu sumbangan hidup demi sejarah pemerdekaan manusia yang tertindas dan terbelenggu.

Gereja-gereja ditantang. Ijinkan saya menghaturkan ini: terima tantangan itu. Semua data-data di atas, dan semua data-data yang belum tercatum tentang betapa planet yang kita tempati ini sudah begitu rusak, mestilah menjadi pengetahuan wajib setiap anggota jemaat. Tantangan ini ditujukan bukan hanya semata ke geraja secara institusional, melainkan wujud mendasar dari pertanggungjawaban iman.

Gereja tidak terpisah dari semua proses itu. Proses penghancuran terjadi kasat mata. Gereja melihat. Gereja mendengar. Gereja mengalami sendiri bagaimana kekuatan-kekuatan itu menjajah kehidupan di bumi. Orang Kristen tidak hidup dalam komunitasnya sendiri. Juga tidak hidup hanya untuk kepentingan komunitasnya sendiri, tetapi hidup bersama dan punya kepentingan dengan yang lain.

Mata air di lembah sudah lama kering. Gunung-gunung tak lagi dikitari aliran air kehidupan. Binatang-binatang di padang sudah lama punah. Siulan burung merdu di pepohonan di antara daun-daun sudah lama tidak bersenandung bersahut-sahutan. Dengan demikian, diskusi ini menemukan kembali awal baru memulai sebuah pembicaraan serius dan kemudian melanjutkan perjalanannya: tindakan apa semestinya dilakoni menyelamatkan bumi?


*Bergiat di Komunitas Mata Kata, tinggal di Medan.

Sabtu, 27 Februari 2010

P2K2

P 2 K 2

Sibolangit, 29-31 Januari 2010

Rasa bangga, sukacita, hangatnya persaudaraan, kegembiraan, memaksa tangan ini berkeliaran di keyboard komputer dan menggoreskan semua kisah berkelindan di Sibolangit. STMIK TGD: terimalah ini sebagai kenang-kenangan dari orang yang tidak akan pernah sedetik pun berniat menghapus kalian dari ingatan.

D i a n P u r b a

Komunitas Mata Kata

akkanasotarsuratdope.blogspot.com

purbadian@gmail.com

catatan.catatan@gmail.com

…orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah…” (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca)


===== Postera Crescam Laude: saya akan bekerja untuk generasi mendatang. Semboyan Universitas Melbourne


D i a n P u r b a



Sepertinya tidak terlalu salah memulai kisah ini dari pertemananku dengan James. Pria yang tidak seberapa cakap ini sudah kukenal enam setengah tahun lampau. Kami dirangkul dalam satu bendera: Universitas Methodist Indonesia. Di kampus inilah kami merangkai tali persaudaraan yang rasanya sudah tidak akan memungkinkan lagi diakhiri. Sampai kapan pun. Bukan tidak banyak kisah-kisah yang tidak enak didendangkan di kuping yang terjadi menyertai perjalanan panjang itu. Tapi memang begitulah, konflik selamanya akan membawa kebaikan bila dikelola dengan baik dan tentu dengan kedewasaan bersikap.


Aku angkatan 2002 di Methodist, James 2003, setahun di bawahku. Awal-awal kuliahnya di kampus biru itu diawali dengan bentakan-bentakan seniornya: termasuk aku. Badannya yang besar, sungguh, tidak berpengaruh banyak dengan berkurangnya kerasnya suara “sok” senior dari pendahulu-pendahulunya. James adalah satu di antara sekian banyak mahasiswa Methodist yang memilih jalan berbeda dari kebanyakan jalan yang teramat sering dilalui banyak mahasiswa. Ya sudahlah, aku persingkat saja pengantar tulisan ini. James pun keluar dari Methodist gara-gara ucapan kotor itu menghambur dari mulutnya. Atau begini saja, tanyakanlah dia untuk kisah lanjutannya. Yang akan diulas di sini bukanlah melulu tentang pria yang doyan sama Boomerang ini. James adalah pintu besar bagiku untuk memasuki hangatnya suhu persahabatan di kampus ini: Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Komputer Triguna Dharma. Dan kisah selanjutnya pun terangkai.


Muliaman Purba


“Bro, ada waktumu? Kami butuh bantuanmu,” demikian James berujar di ujung telepon. Saat itu malam, berkisar pukul sembilan. Sedikit saja basa-basi, langsung kuiakan. “Oke Mes, sampai jumpa di sana,” sahutku menanggapi.


Beberapa orang sudah berkumpul di tempat itu. Setelah merasa cukup bersalaman seraya perkenalan sekenanya, kami pun mulai membahas topik yang bagiku sudah terlalu lama kutinggalkan: organisasi. Sedikit trauma dengan yang namanya organisasi. Sampai usia setua ini aku belum juga berhasil mengkelarkan kuliahku. Teman-teman yang lain hanya butuh empat setengah tahun merampungkannya. Dari 2002 sampai 2009? Tujuh tahun. Tujuh tahun, Saudara. Bayangkan, tujuh tahun hanya mendapatkan gelar sarjana saja. Itulah kenapa James memberi sebutan tidak enak untuk itu: Alumnus (alumni tak lulus). Semenjak 2005 aku meninggalkan semua perkuliahan. Melanglangbuana. Banyak organisasi kuikuti. Dan James barangkali lebih beruntung. Dia daftarkan diri ke STMIK Triguna Dharma. Dan di bulan Oktober ini dia akan boleh memetik buah hasil akhir dari semua perkuliahannya.


Kembali ke pertemuan malam itu. Semangat kawan-kawan itu rasanya mampu melenyapkan semua trauma itu. Mereka begitu antusias. Tampak kesatupaduan langkah di antara mereka. “Mewarnai kampus, tampuk kekuasaan harus kita yang pegang,” demikian aku melancarkan “nasihat” pertama. “Dan ada beberapa cara untuk menggapai itu.” Aku pun tertular semangat dari mereka. Kenangan masa-masa di Methodist pun keluar. Aku pernah jadi ketua badan eksekutif mahasiswa di sana. Aku ceritakan semua langkah-langkah yang kami terapkan. Tidak ada langkah luar biasa sebenarnya. Toh James sudah banyak makan asam-garam tentang semua itu. Muliaman dan Dadung, calon ketua dan wakil ketua, sepertinya merasa terbantu dengan hasil pertemuan itu.


Pertemuan pun berakhir. Semua pulang ke tempat masing-masing. Calon petarung di besok harinya sudah berkeyakinan penuh: harus menang. Semua strategi taktik sudah melekat di kepala. Apa yang harus dipaparkan di depan pemilih sudah dikuasai. Tugas-tugas pun sudah dibagi. Sip, besok tinggal “perangnya”.


Kabar baik itu aku terima di sore hari keesokan harinya. “Kita menang, Pra,” teriak Muliaman lewat telepon genggam. Ucapan selamat pun kuucapkan. Entah kenapa, hati ini rasanya bungah saat itu. Barangkali karena satu marga itu..hehe… Tapi menurutku itu disebabkan pertemuan pertama di malam itu sudah terendus aroma hangat pertemanan. Bukankah pertemanan tidak diukur dari lamanya kita mengenal seseorang?



Persiapan P2K2


Segera Muliaman dan kabinetnya membuat program kerja. Turunannya adalah kegiatan. Nah, kegiatan pertama tergolong besar. Dan membutuhkan tenaga mumpuni mewujudkannya. Butuh pengalaman dari orang yang pernah melakukannya. Butuh banyak energi. Butuh kerjasama yang tidak tanggung-tanggung. Dan butuh banyak orang untuk itu. P2K2: Pengenalan Pembekalan Kebersamaan dan Keorganisasian; kata lembut dari inaugurasi.


STMIK Triguna Dharma tidak memiliki stok melimpah insan-insan yang, katakanlah sudah beberapa kali ikut di kepanitiaan acara seperti itu. James adalah satu di antara yang sedikit itu. Untuk itulah “tender” kegiatan ini dimenangkan olehnya. Mendapat restu penuh dari pengurus Pemerintahan Mahasiswa James bergerak cepat. Panitia P2K2 pun dibentuk. Perekrutan dibuka. Rapat dikebut. Agaknya Panitia P2K2 hanya bisa dikalahkan Panitia Angket Century di Jakarta sana tentang seringnya frekuensi rapat. Yah, mereka bersidang setiap hari. Karena memang waktu yang tersedia tidak lebih dari tiga minggu. Saya menggelengkan kepala entah beberapa kali. Mahasiswa yang akan ikut kegiatan ini nyaris mendekati angka seribu. Sedikit sukar mencari pengisi acara kegiatan untuk pasukan sebegitu banyak. Tempat, tempat untuk menampung berlaksa laskar tidak tersedia banyak. Satu-satunya lokasi terdekat di luar kota yang memungkinkan untuk itu ada di Suka Makmur, Sibolangit. Segera tim survei diluncurkan ke sana. Tanya ini, tanya itu: biaya penginapan, jumlah kamar yang mau dipakai, lapangan terbuka paling tepat untuk digunakan, ongkos makan, sewa sound, dan semua tetek-bengeknya. Ini dua minggu sebelum mata acara: 29-31 Januari 2010. Tim yang tinggal di Medan bergulat dengan ketidakpastian. Acara belum rampung betul. Jumlah peserta yang sudah pasti menyatakan ikut belum juga kelar. Sesama panitia juga masih saja banyak yang tidak setia mengikuti rapat. Bahkan apa yang akan dikerjakan selama tiga hari di sana belum begitu jelas tertuang di kepala dan di kertas. Kalau teman-teman hendak bertanya siapa yang paling tidak yakin acara ini bakal sukses, itu adalah aku. Kenapa? Aku akan bercerita sedikit tentang kegiatan yang sama yang kami lakukan di Methodist.


Jumlah mahasiswa yang tertarik ikut inaugurasi di kampus kami sangat susah menembus angka seratus. Barangkali hanya sekali saja itu terwujud sepanjang aku berdiam di sana. Dan kami bangga luar biasa. Ini prestasi terbesar. Terkadang kami sampai tidak sempat bertanya kenapa bisa begitu. Dan baru sekarang jawaban untuk itu tersua.


Kawan-kawan masih ingat gertakan awal di malam pertama saat perkenalan mentor? Hah, itu masih seperlimanya. Praktek-praktek seperti itulah yang kami pilih. Semua berlomba-lomba memamerkan suara terkeras. Makin kencang makin abdol saja rasanya. Makin nampak kesenioran itu. Semua harus tampil seaneh mungkin. Otot leher harus tegang laksana tali tambang. Semua harus tampak berwibawa. Kami paksa mahasiswa baru itu mengikuti maunya kami. Harus mau. Karena peraturan klasik ini masih cukup efektif saat itu: PERATURAN PERTAMA, SENIOR TIDAK PERNAH SALAH DAN BILA SENIOR SALAH LIHAT PERATURAN PERTAMA. Sekarang saya menyimpulkan: yang ikut inagurasi tidak lebih karena takut dan yang memilih tidak ikut adalah orang yang takut juga, takut “dibantai” di Sibolangit.


Mahasiswa baru memulai perkuliahan di bulan September. Kami, senior, biasanya berlibur panjang akhir tahun ajaran sekitar enam minggu, dimulai minggu ketiga bulan Juni sampai minggu ketiga Agustus. Dua minggu sebelum ujian akhir, badan eksektutif mahasiswa (di STMIK namanya PEMA: Pemerintahan Mahasiswa) membentuk panitia inaugurasi. Setelah terbentuk, panitia segera mengadakan rapat perdana. Biasanya jadi agenda rapat pertama itu hanya membahas berapa seksi yang harus dibentuk dan memastikan semua penghuni tiap seksi sudah terisi. Inaugurasi biasanya diadakan akhir September. Artinya kami ada persiapan kurang lebih satu setengah bulan. Dengan banyaknya waktu yang tersedia selama itu pun tidak pernah berbanding lurus dengan hasil maksimal yang didapat. Nyaris tiap kegiatan selalu disisipi hasil mengecewakan. Dan itu datangnya dari panitia. Menurut James ini akibat dari semua panitia merasa diri pintar. Merasa diri paling layak dihormati. Dan merasa cukup bangga hanya dengan ongkang-ongkang kaki saja tanpa sedikit pun mengeluarkan keringat. Aku sependapat dengan James.


Aku harus katakan: STMIK Triguna Dharma tidak demikian adanya. Paling tidak itu menurutku pribadi. Dan sepertinya aku tidak salah mengatakan itu. Teman-teman di sini mengamini kekurangan mereka. Bahkan banyak sekali di antara teman-teman panitia mengadakan acara inaugurasi kali ini adalah yang pertama kali. Dan mereka cukup berhasil karena mereka cukup cepat belajar menutupi kekurangan itu.


Aku bantu mereka semampuku. Mereka sering mengajak diskusi. Terkadang mereka berkunjung ke rumah. Biarpun di akhir semua persiapan panitia, jumlah mahasiswa baru yang ikut hanya 105 orang, semua sepakat: the show must go on. Toh, panggung sudah tersedia. Walaupun tempat acara tidak berlangsung di lokasi pertama yang direncanakan, lokasi terakhir ini terbukti cukup dapat menampung semua kegiatan P2K2.



P2K2


Jenuh dengan semua kisah persiapan panitia? Aku akan memutar haluan. Akan kulukiskan kisah ini serenyah mungkin, dimulai dari keberangkatan, selama di Sibolangit, hingga tiba kembali di Medan. Baiklah, kita mulai.


STMIK Triguna Dharma, 29 Januari 2010. Matahari persis di atas ubun-ubun. Rasanya ingin terjun saja ke sungai menghalau semua udara panas. Titik-titik keringat bermunculan bersatu padu dan cukup membuat baju basah setengah kuyup. Semua tampak sibuk. Ada yang mondar-mandir entah beberapa kali. Di sudut sana tampak segerombolan pemuda melantunkan lagu paling hits di tangga lagu musik populer Indonesia. Sebagian lagi tampak otot tangannya keluar. Yah, mereka seksi peralatan. Seksi paling sibuk di hari itu. Mereka mencatat semua barang yang masuk dan mengangkatnya ke tempat yang sudah ditentukan. Di sudut yang lain tampak perjaka-perjaka duduk santai. Sepertinya mereka asik menerka apa gerangan yang terjadi di sana, di Sibolangit. Tampak raut wajah mereka masih segar. Barangkali mereka itu mahasiswa baru. Di kantor PEMA tidak kalah serunya. Inilah pusat dari semua kondangan ini. Tampak ketua panitia dan semua konco-konconya berbincang serius. Bendahara tampaknya sudah mulai akrab dengan kuitansi. Hampir setiap saat dia menerima pelapor yang membutuhkan rupiah. Mahasiswa yang tidak ikut pun tampak asik dengan keheranannya.


Semua panitia naik ke lantai tiga. Briefing terakhir. Memastikan semua sudah pada posisi masing-masing dan menegaskan tugas setiap seksi. Saat mereka turun ke bawah, mobil sudah tiba di depan. Sontak semua mahasiswa baru berhamburan mencari tempat duduk. Orang-orang yang sudah ditentukan menumpang di bus yang mana, jadi berantakan. Dan ini tidak masuk dalam skenario panitia. Hanya karena koordinasi yang mantap di beberapa seksilah yang menjadikan ini segera dikembalikan ke jalan yang benar. Butuh lima bus untuk mengangkut peserta ditambah panitia. Berangkat.


Inaugurasi di beberapa tempat sudah dianggap seperti hantu pemangsa darah. Mengerikan. Inilah ajang paling memungkinkan dari senior-senior “mengaktualisasi” diri. Semua tampak sangar. Mereka tiba-tiba jadi gila hormat. Mereka menganggap merekalah pemilik sah kampus. Mahasiswa baru hanya akan jadi ikut pemilik bersama jika dan hanya jika telah melewati pembantaian di alam terbuka. Sibolangit memang selalu tempat idaman melakukan itu. Sarana prasaran di sana memungkinkan untuk itu.


Atas nama kebersamaan dan semua yang bersangkutpaut dengan kolektifitas, mereka dipaksa berjalan merangkak laiknya tentara hendak mempersiapkan diri bertempur. Atas nama kesatuan rasa dalam suka duka, mereka dicelupkan ke sungai laiknya insan yang gemar mencelupkan daun teh ke gelasnya di pagi hari. Atas nama mengagungkan ungkapan ini: sama rata sama rasa, mereka dipaksa mengecap penderitaan buatan yang sebenarnya lebih pantas dikutuk ketimbang diledek. Atas nama senioritas pula, kumpulan pemuda beranjak dewasa ini dilecehkan kepemudaannya. Ya, pemandangan umum ini acap kali, sekedar mengatakan selalu, kita pergoki di kampus-kampus menyambut mahasiswa yang baru lulus ujian seleksi masuk.

Bukan tidak banyak korban berjatuhan akibat ulah senior yang sesungguhnya tidak layak menyandang gelar mahasiswa ini. Nyawa mahasiswa baru banyak melayang. Nah, setelah begini, selanjutnya apa? Dengan cara tunggal inikah senioritas itu harus ditunjukkan?



Hari Pertama


Selamanya udara di Sibolangit sejuk bukan kepalang-tanggung. Sampai kapan pun rasanya kualitas udara sebersih itu takkan kita jumpai di Medan. Cuaca sore itu sedikit mendung. Rindangnya hutan masih saja belum sanggup membosankan kita yang sudah sering berkunjung ke sana. Pegunungan menjulang tinggi naga-naganya juga tidak lelahnya tampil anggun. Suasana seperti itulah menyambut kedatangan rombongan STMIK Triguna Dharma.


Di lapangan rumput luas itu mereka dibariskan. Mereka tampak seperti TKI yang hendak dikirim ke luar negeri. Tas mereka berukuran besar. Sebagian segera merogoh tas dan mengambil baju hangat. Ketua panitia didampingi seksi acara, dikawal seksi keamanan, dan diliput seksi dokumnetasi, tampil di depan barisan. Dengan pengeras suara (toa), yang beberapa jam sebelum berangkat dari Medan dibeli, didekatkan ke mulut.


Setelah memberi pengarahan, “2009?” Serentak angkatan 2009 menyahut, “Siap, Kak!” Sesi ini adalah sesi awal dari semua kegiatan dua hari ke depan. Informasi-informasi penting disampaikan. Mereka diberitahukan tentang kondisi tempat, harus tidur di mana dan bersama siapa. Mereka dikelompokkan. Dalam satu kelompok diusahakan dihuni oleh mereka yang belum kenal satu sama lain. Mereka diacak.


Kemudian mereka diarahkan ke aula. Hujan mengguyur Sibolangit. Mentari sudah kembali ke peraduan dan meninggalkan malam. Waktu istirahat yang cukup lama membuat peserta tampak menganggur. Mereka memanfaatkan kesempatan ini bercengkrama dengan yang lain. Ada yang memilih tiduran. Gadis centil di sana memilih merapikan wajahnya. Menghela rasa jenuh, pemuda di sudut sana pun memilih mendengar musik lewat hadshet.


Di dapur umum seksi logistik menyibukkan diri mempersiapkan makan malam. Panitia memilih memesan makanan dari luar. Artinya tidak dimasak sendiri oleh logistik. Tugas logistik hanyalah mengatur distribusi makanan peserta, pun panitia. Bukan berarti pekerjaan mereka tidak melelahkan. Mereka tampak seperti pegawai Bulog membagi-bagikan beras bagi keluarga berkemampuan pas-pasan. Mereka harus memastikan setiap orang harus mendapat jatah. Sesekali mereka akan menghidangkan kopi dan teh manis untuk menghangatkan badan. Makan malam pun siap digelar.


Ada tradisi bagus yang dipraktekkan panitia P2K2: kenyang dulu mahasiswa baru setelah itu panitia dipersilakan mengisi perut. Peserta bersantap di aula, dan panitia di dapur umum.

Kami diundang panitia untuk mengisi sebagian acara P2K2. Ada beberapa acara yang ditugaskan ke pundakku dan Posan. Kami berdua sudah bertekad dari Medan akan berbuat semampu kami menyukseskan acara ini. Persiapan sematangnya pun sudah kami lakukan. Acara pertama yang harus kami lancarkan adalah membawa games: games perkenalan. Alasannya sederhana saja kenapa games ini harus ada: mereka belum saling kenal satu sama lain. Dan menjadi sangat rumit dan mengundang rasa pesimis di hati tatkala semua peserta sepertinya “keras kepala” dan tidak bisa “diatur”. Bagiku, mereka tampak sembraut. Kacau balau. Mereka tidak seperti kebanyakan mahasiswa baru di kampus lain. Aku tertantang. Target panitia jelas: mereka harus sudah bisa saling kenal di malam pertama. “Mul, aku sebenarnya tidak yakin bisa. Tapi aku terima tantanganmu. Ini jadi pertaruhanku samamu,” unek-unek itu aku utarakan ke ketua PEMA. Hal sama juga kusuarakan ke ketua panitia, ke koordinator seksi acara.


Posan sedari siang sudah tampak gundah. Kepalanya pening melihat semua peserta. Tidak seperti mereka dulu di Methodist yang ngobrol sedikit saja di barisan sudah dibentak habis senior. “Geram kali aku, Dian,” tuturnya bernada kecut. Aku yakinkan dia bahwa metode di Methodist itu sudah harus kita buang ke tempat sampah. Selain tidak mendidik, cara itu hanya akan membuat mahasiswa baru tampil penurut di depan kita dan di dalam hati menghujat berat. James juga entah berapa kali menegaskan itu, “Kondisi di sini beda dengan di Methodist, Bro,” katanya saat di Medan.


Aku tampil ke depan. Toa di tangan kiri. Tampak memang mereka “keras kepala”. Mondar-mandir sejenak. “Kenalkan, aku angkatan 2005 di Triguna Dharma,” aku memulai. Tampak beberapa orang panitia bingung. Lah, sejak kapan pula kawan ini terdaftar mahasiswa TGD? Panggung belum sempurna betul kukuasai. “2009????” bentakku keras sekali. “Siaaappp, Kak!” sahut mereka. Tampak suasana sedikit berubah. Wouuuww… makhluk kecil ini seram juga. Sudah badan kecil, tapi suara kerasnya minta ampun. “Baik, dua hari ini kalian akan bertemu denganku,” lanjutku. “Kalian akan berurusan samaku.” Kali ini akulah penguasa panggung. Tampuk komando itu sudah terletak di tangan. “Silakan kalian senyum, senyum terakhir kalinya. Karena besok kalian akan menderita,” gertakan sempurna yang betul-betul mampu memutar suasana 360 derajat. Mereka pun senyum serentak. Tampak lucu. “Senyummm…,” bentakku. “Hitungan dua, berhenti.” Mereka pun berhenti. “Sekarang, tertawa,” dan mereka tertawa. “Hitungan satu, berhenti.” Suasana senyap seketika.


Mereka duduk masih serampangan. “Hitungan dua puluh sudah harus melingkar,” bentakku dengan tensi tinggi. Mereka tampak terkejut batin. Mereka barangkali tidak pernah terbersit bakalan menemui acara model begini. Hitungan pun berakhir. Mereka sudah melingkar. Betul-betul mereka sudah bisa “dikendalikan”. “Kesepakatan pertama, aku tidak butuh suara kalian,” aku membuat peraturan tanpa merasa perlu mendapat persetujuan dari siapa pun. “Kesepakatan kedua, aku tidak butuh senyum kalian. Karena suara paling lembut adalah suaraku. Karena senyum tercantik adalah senyumku. Paham 2009?” “Pahaammm, Kak!” “Hitungan satu, tangan di atas,” tegasku. “Hitungan setengah, turun,” tangan pun mereka turunkan. “Hitungan dua, pegangan tangan.” “Hitungan satu, lepas.” “Hitungan dua, berdiri,” mereka berdiri. “Hitungan tiga, tangan di atas sambil bergandeng tangan.” “Hitungan satu setengah, tangan turun dan sudah harus duduk,” mereka menurut saja. Bagus, inilah yang disebut anak manis itu.


Ada-ada saja memang yang selalu menyimpang. Di sudut sana kudapati senyumnya merekah. “Bos, aku tidak butuh senyummu. Hitungan satu, tutup mulutmu,” dia terkejut kuperlakukan seperti itu. Dan memang senyumnya tiba-tiba hilang. “Ada yang tidak senang?” gertakku menantang. “Tunjuk tangan.” Tak ada yang tunjuk tangan. “Jangan jadi pengecut, tidak senang katakan tidak senang.” Tidak juga ada yang berani mengangkat tangan. Pasti di antara mereka banyak yang dongkol. Sakit hati, pasti. “Ada yang menantang?” bentakku seolah-olah mengajak berantam. Tidak ada juga. Kudatangi satu orang cowok, “Mukamu sepertinya tidak senang, menantang bos? Ayo ke depan.” “Tidak, Kak,” suaranya lirih. Dalam hati aku ketawa setengah mati. Habis mereka kukerjai. Roh senioritas di Methodist dulu menguasai diriku. Tampak James senyum tertahan. Sepertinya dia berhasil mendatangkan kisah-kisah serupa yang pernah dilakukannya ke kepalanya.


Sudah sepuluh menit berlangsung. Kucoba memecah konstentrasi mereka. “Ya, kau, Bos. Siapa namaku?” “Nggak tahu, Kak,” jawabnya. Jelas-jelas sedari tadi aku belum memperkenalkan namaku. Jadi, tidak mungkin dia tahu siapa namaku. “Apa??? Tidak tahu???” Dia tampak tersudut. “Makanya dengar, Bos. Aku belum ada memperkenalkan nama.” Kawan-kawannya tertawa mendengar jawabannya. Oppsss… “Masih ingat dua kesepakatan itu? Aku tidak butuh suara kalian. Aku tidak butuh senyum kalian.” Mereka diam.


Rasanya aku harus mengakhiri pekerjaan pura-pura ini. Tibalah saatnya ke inti acara: games perkenalan. Aku pun mengalihkan kondisi. “Teman-teman, aku bukan mahasiswa TGD. Aku datang dari Methodis.” Mereka mendesah, “Yahhhh….” Yang lain tampak linglung. “Aku dan Posan diundang teman-teman panitia mendampingi kawan-kawan dua hari ke depan. Namaku Dian Purba,” demikian aku membuyarkan ketertindasan mereka. Sepertinya mereka masih bingung. Tadi bentak-bentak, kok tiba-tiba petantang-petinting mengumbar senyum? Setelah mereka yakin betul tampaklah mereka lebih santai. Mereka berbisik-bisik dengan teman di sampingnya. Semua panitia pun baru menemukan jawab tentang semua alur acara.


“Hanya satu pesan yang ingin aku sampaikan ke teman-teman,” aku berkotbah. “Janganlah harus dibentak dulu kawan-kawan baru bisa diam. Aku yakin kita ini bukan, maaf, binatang. Betul?” Serempak mereka menjawab, “Betulll, Kak!” “Hargailah senior kalian yang sudah capek mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka buat acara ini sepenuhnya untuk kalian.” Mereka mengiakan saran itu. “Kalian tidak anak SMA lagi. Bertindak dan berlakulah laiknya seorang mahasiswa,” aku menambahi isi ceramahku.


Jam menunjuk setengah sepuluh. Suasana sudah cair. “Setengah jam ke depan kita akan bermain games. Kita namakan games ini games perkenalan.” Gamesnya sederhana. Mereka masing-masing disuruh mengambil secarik kertas. Di bagian paling atas kertas ditulis nama masing-masing. Di bawahnya ada dua pertanyaan yang harus disertakan. Pertanyaan pertama, tempat dan tanggal lahir. Pertanyaan kedua, kenapa ikut kegiatan ini dan apa harapannya.


Kemudian kertas dilipat sekecil mungkin. Kotak sudah tersedia di tengah. Mereka kemudian memasukkan lipatan kertas itu ke kotak. Setelah itu instruktur games akan mengkocoknya. Dan kembali mereka akan disuruh mengambilnya kembali. Peraturan bermainnya begini.


Setelah mereka melipat kertas sekecil mungkin dan memasukkannya ke kotak, lantas insrtruktur mengkocoknya, mereka satu-satu maju ke depan dan mengambil satu kertas satu orang. Harus dipastikan tidak ada peserta yang bertemu dengan kertas berisi namanya sendiri. Setelah itu mereka akan membuka kertas itu. Mereka akan bertemu dengan nama yang sama sekali belum mereka kenal. Sebagian kecil memang sudah saling kenal. Kemudian, mereka harus mencari nama itu dan menanyakan kedua pertanyaan dan menuliskan jawabannya di kertas itu juga. Mereka bebas melakukan apa saja sepanjang itu dilakukan untuk keperluan games.


Mulai,” aku memberi aba-aba. Maka, dalam hitungan detik seluruh ruangan dipenuhi suara. Tidak ada yang menyamai kegaduhan di ruangan itu selain keramaian hilir-mudik penjual dan pembeli di pasar sentral Sambu.


Bagi yang sudah kenal dengan nama yang tertera di kertasnya tidak menemui masalah berarti. Tinggal tarik tangannya, wawancarai, dan jawaban pun didapat. Lantar diakhiri dengan, “Horee…”

Bagaimana dengan mereka yang belum kenal sama sekali? Di sinilah letak serunya permainan. Mereka harus berteriak memanggil-manggil. Tidak berhasil dengan metode itu, mereka menanyai kawan-kawannya satu persatu, “Kenal sama si Danang?” “Kenal dengan Juniar?” Ada yang garut-garut kepala. Bukan karena dia harus berjuang keras mencari pemilik nama di kertasnya, ternyata dia bingung membaca deretan huruf-huruf itu. Tulisannya mirip cakar ayam. Dengan demikian, bergandalah tugas untuknya. Ada pula yang sok kenal sok dekat. Belum lagi namanya dipastikan, tangannya ditarik begitu saja. Dibawa ke sudut ruangan dan segera ditanyai. Eh, ternyata salah orang. Serentak mereka terbahak. Terpaksa pencarian diteruskan kembali.


Yang sudah selesai melaksanakan amanah bolehlah berekspresi. Beberapa memilih berpelukan. Ada yang minta digendong. Terdapat pula yang menggandeng tangan. Mereka yang pendiam lebih memilih segera kembali ke posko. Semua tampak gembira. Mereka kelihatan menikmati betul jalannya permainan.


Waktu selesai. Mereka duduk manis kembali. Saatnya memberikan laporan pertanggungjawaban. “Kita akan memilih beberapa orang dan mereka harus berdiri, menunjuk orang yang namanya tertera di kertas, dan membacakan jawabannya.” Giliran pertama dihunjuk. Segera berdiri dan melakukan semua yang diinstruksikan. Berhasil. Sekarang orang kedua. Aihhh, dia salah menghunjuk temannya. “Tadi seingatku dia orangnya, Kak,” ujarnya memberikan pembenaran. Semua yang ada di ruangan itu tertawa. Demikianlah untuk orang ketiga dan seterusnya. Dari permainan sederhana ini mereka belajar banyak hal. Tentang arti sebuah kerjasama. Untuk mengejar tujuan juga kita diharuskan giat mencari cara dan jalan menggapainya. Dan jangan lupa, komunikasi dua arah jadi keniscayaan. Hilangkan ego diri. Buka hati dan pikiran. Sifat malas juga tidak akan banyak membantu, malah akan jadi penghalang.


“Tepuk tangan untuk keceriaan ini,” pintaku dengan senyum manis. Di penghujung games, tiba-tiba saja terngiang dengan Gus Dur, calon pahlawan kita itu. Tentunya tidak mengingat segala sesuatu yang berhubungan dengan cemerlangnya buah pikirannya. Pun tidak terbersit tentang tulisan-tulisannya yang luar biasa itu. Humornya. Humor itu saja yang terlintas.



Humor Gusdur : Siapa yang Paling Berani

Di atas geladak kapal perang US Army tiga pemimpin negara sedang berdiskusi tentang prajurit siapa yang paling berani. Eh, kebetulan di sekitar kapal ada hiu-hiu yang sedang kelaparan lagi berenang mencari makan.

Bill Clinton: Kalau Anda tahu, prajurit kami adalah prajurit terberani di seluruh dunia. Mayor.. sini! Coba kamu berenang, kelilingi ini kapal sepuluh kali.

Mayor: (walau tahu ada hiu) Siap, Pak! Demi “The Star Spangled Banner” saya siap! (akhirnya dia terjun dan mengelilingi kapal 10 kali sambil dikejar hiu)

Mayor: (naik kapal dan menghadap) Selesai, Pak! Long Live America!

Clinton: Hebat kamu, kembali ke pasukan!

Koizumi: (tak mau ketinggal, dia panggil sang sersan) Sersan! Menghadap sebentar (sang Sersan datang) Coba kamu keliling kapal ini sebanyak 50 kali!

Sersan: (melihat ada hiu … glek … tapi) For the queen I’am ready to serve!!! (pekik sang sersan, kemudian membuka baju lalu terjun ke laut dan berenang keliling 50 kali … dan dikejar hiu juga).

Sersan: (menghadap sang perdana menteri) GOD save the queen!!!

Koizumi: Hebat kamu … kembali ke tempat … Anda lihat Pak Clinton … Prajurit saya lebih berani dari prajurit Anda … (tertawa terbahak hebat)

Gus Dur: Kopral ke sini kamu … (setelah Kopral datang) saya perintahkan kamu untuk terjun ke laut lalu berenang mengelilingi kapal perang ini sebanyak 100 kali … ok?

Kopral: Hah … Anda gila yah …! Presiden nggak punya otak … nyuruh berenang bersama hiu … kurang ajar!!! (sang Kopral pun pergi meninggalkan sang presiden)

Gus Dur: (dengan sangat bangga) Anda lihat Pak Clinton dan Pak … Cumi Cumi … kira-kira siapa yang punya prajurit yang paling BERANI?? … Hidup Indonesia … !!!


Semua peserta tertawa terbahak melebihi ketawanya Perdana Menteri Cumi-cumi itu. Acara selanjutnya pun aku serahkan ke panitia. Awal yang baik aku kira. Dan ternyata memang begitu adanya. Target tercapai: mereka telah saling kenal.

Frensus mengisi acara selanjutnya: ceramah umum organisasi. Ceramah yang sangat sulit dijelaskan namun dilakukan Frensus dengan sempurna.


Saat mahasiswa baru terlelap pulas ditemani dinginnya malam, panitia briefing. Persis di tengah malam. Dipimpin ketua panitia, semua seksi diminta mengeluarkan keluh kesahnya. Mereka ditanyai satu persatu. Seksi keamanan sepertinya paling banyak disoroti. Seksi ini adalah seksi terbesar porsi anggotanya. Dari 50 orang jumlah panitia, mereka menyedot 26 orang jadi anggota. Saking banyaknya, banyak di antara mereka yang tidak mengerjakan apa pun. Dan kawan-kawan panitia lain tidak nyaman dengan itu. Toh, ini acara bersama. Semua harus sama-sama bekerja. Selanjutnya seksi dokumentasi. Mereka juga tak luput dari tajamnya pisau penilaian. Ada beberapa adegan fotografernya yang seharusnya tidak wajar dilakoni. Ketahuan mereka berfoto ria dengan peserta P2K2. Mereka mengakui itu sebagai kesalahan dan masalah pun selesai. Seksi logistik tampil sempurna tanpa sedikit pun kelemahan. Seksi peralatan rasa-rasanya hampir sama dengan seksi keamanan. Seksi medis juga tampil primadona. Mereka bekerja dengan baik. Dan salut sama kawan-kawan panitia. Mereka bersedia mengkoreksi dan juga dikoreksi. Dengan demikian tidak kita temui masalah berarti yang bisa memperlambat laju acara. Sebelum briefing disudahi, seksi medis dikawal seksi keamanan ronda keliling kamar peserta cewek. Semua harus terjamin keamanannya. Dan memang begitulah. Saat semua sudah bermimpi, seksi keamananlah yang setia berjaga hingga mentari muncul dari persembunyiannya.


Hari Kedua

Hingga jam lima di pagi hari, saat semua peserta bangun, rembulan masih saja mengintip malu-malu di belakang rindangnya pohon. Cahaya kekuningan itu membuat segala sesuatu yang diterpanya tampak amboi. Aiik makjang, dinginnya udara menusuk hingga ke tulang.

Pepohonan di gunung sana pun mengutus udara teramat bersih untuk kami hirup. Segar. Rasa-rasanya paru-paru ini kurang lapang menampung semua kebaikan dari alam itu. Baiklah, kita wakilkan saja dengan ucapan: Selamat Pagi! Tentunya tak eloklah kalau ucapan syukur tidak kita haturkan ke haribaanNya. Pencipta segenap alam. Pemberi nafas kehidupan.

Sirene toa pun dibunyikan. Membahana. Pekikan dari corong bulat ini akan mengingatkan kita dengan raungan-raungan parade mobil polisi saat melintas di jalan raya. Atau auman mobil ambulance meminta semua jalan dibersihkan dari macetnya lalu lintas lantaran orang sakit di dalam harus segera mendapat pertolongan. Dibunyikan beberapa kali dan segera semua peserta sudah berkumpul di aula.

Maka tampaklah wajah nano-nano itu. Mereka sepertinya belum benar-benar bangun. Barangkali masih ada di antara mereka yang membawa mimpi ikut serta ke aula. Cowok-cowok pastilah belum membersihkan gigi. Gumpalan kecil di sudut mata itu pun masih menempel. Jelas-jelas tidur mereka belum terpuaskan.

Dara-dara cantik itu tampil lebih anggun. Produk kecantikan sudah melekat di wajah. Kaum hawa ini tampak lebih jernih. Bisa saja rasa syukur itu lebih besar porsinya mereka miliki. Tapi apa pun itu, pagi ini mereka akan menggerak-gerakkan badan. Melenturkan semua yang tegang. Melemaskan semua yang keras. Mengganti cadangan udara di paru-paru dengan penghuni baru. Menyambut ramahnya alam. Senam pagi. Dipimpin satu orang di depan, mereka berlari-lari di tempat. Menggerak-gerakkan kaki dan tangan. Menarik napas dalam-dalam lantas mengeluarkan udara stok lama: hahhh…. Menggosok-gosokkan kedua belah telapak tangan, lalu menempelkannya ke wajah. Ummm…hangat. Dan, serempak menyapa: “Selamat pagi, Sibolangit!” Hari kedua pun bermula dari sini.

Jadwal kegiatan sepanjang hari kedua amat padat. Inilah hari inti P2K2. Kalau di malam pertama mereka sudah saling kenal, nah, di hari kedua mereka diharapkan meningkatkannya ke jenjang lebih tinggi. Mereka harus mampu menghilangkan ego diri. Mereka harus mampu bekerja sama. Mereka harus kompak. Rasa takut harus dienyahkan. Mereka harus bisa berkorban untuk tujuan bersama. Mereka harus yakin betul bahwa mereka begitu berharga bagi teman-temannya. Dan lai-lain, dan lain-lain. Bagamaina mewujudkannya? Lewat permainan. Panitia sudah mempersiapkan rancangan rancak untuk itu. Segala sesuatunya sudah dimatangkan semenjak masih di Medan. Dan kisah di bawah ini adalah kisah teramat seru dari berbagai permainan yang sungguh akan sia-sia kalau tidak dituliskan lantas dibagikan.


Games

· Games Perkelompok

Perut sudah terisi. Badan sudah segar. Paru-paru pun sudah diisi penuh udara mahabersih. Jejaka nan cakap dan putri nan jelita sudah siap “bertempur”. Tenaga mereka akan terkuras satu harian ini. Panitia pun sudah mengatakan diri siap. Saat briefing selepas sarapan tadi, mejadi pemasti semua itu. Semua sudah dijatahi tugas dan harus ditunjukkan dengan tanggung jawab penuh. Semua target harus tercapai.

Kita mengenal beragam metode belajar. Diskusi, misalnya. Model belajar tipe ini begitu efektif membangkitkan kehausan akan ilmu pengetahuan. Inilah ajang tempat setiap orang menempati posisi sejajar: tidak ada guru, tidak ada murid. Setara. Belajar sama-sama dan sama-sama belajar. Menggurui dan digurui hendaknya disingkirkan jauh-jauh. Setiap orang bebas mengeluarkan pendapat. Kita juga tidak terbelenggu ikatan kencang menanggaapi pendapat orang. Rasa diri paling jago bukanlah anggota keluarga diskusi. Dia anak tetangga yang tidak boleh diundang masuk lantaran suka mencuri milik orang. Dalam diskusi yang sehat juga akan kita temukan bahwa bertukar wawasan itu bukan sesuatu barang mewah. Inilah proses belajar yang saling menguntungkan itu: memberi dan menerima.

Model lain: seminar. Sedikit serupa dengan diskusi, namun di beberapa segi memiliki perbedaan. Seminar bentuknya lebih besar dari diskusi. Baik dari segi jumlah peserta pun dari tempat menyelenggarakannya. Tidak seperti diskusi, seminar butuh biaya lumayan besar: mengundang pembicara serta honorariumnya, mencetak undangan, ongkos konsumsi, mencetak sertifikitat, dan biaya tempat. Mengharapkan seminar seefektif diskusi dalam berdebat sepertinya tidak teramat pas. Di sini kita menemui lebih sedikit perdebatan. Yang ada adalah penguasaan materi mayoritas oleh narasumber/pembicara. Kalaupun ada ruang untuk bertanya, biasanya kita akan dibatasi oleh keterbatasan waktu. Namun, bukan tidak ada keuntungan yang didapat. Pembicara sebelum memaparkan uraiannya, mereka sudah terlebih dahulu bergulat dengan puluhan buku. Mengutip bagian-bagian yang relevan dan menuliskannya menjadi makalah. Di akhir makalah biasanya tercantum refensi. Dari referensi inilah modal kita memperdalam bagian-bagian uraian pemakalah itu yang kita rasa masih belum sempurna disampaikan. Tentunya juga keuntungan karena kita mendapat informasi melimpah tentang kebaruan dalam khasanah ilmu pengetahuan.

Model selanjutnya: permainan. Dan inilah yang kita gunakan di P2K2. Cuplikan gambar-gambar dan uraian penjelasan akan membantu kita menjelaskan tentang peran apa yang disumbangkan permainan berhubungan dengan proses pembelajaran. Untuk keperluan tulisan ini kita akan menggunakan kata ‘games’ untuk menggantikan kata ‘permainan’.


Di kertas petunjuk pelaksanaan P2K2 tersua dua bagian besar games: games kelompok dan games umum. Games kelompok dipecah menjadi lima macam, sejoli dengan pembagian kelompok peserta. Mereka adalah: drop-dead, duduk bersama, memasukkan spidol ke botol, si bisu dan si buta, dan tangan kait. Games ini dimainkan serempak di lima tempat berbeda. Dan games umum ada uda: barisan terpanjang dan mendirikan menara. Baiklah brother-brother dan sister-sister, jangan beranjak dari tempat mojok Anda karena kisah di bawah ini sepenuhnya dari panitia, oleh kalian, dan untuk kalian.



Drop-dead


Mengambil posisi di tempat tinggi, pemandu games menatap ke bawah. “Ada yang sudah pernah ikut games seperti ini sebelumnya?” Demikian ia memulai. Baguslah, satu pun di antara mereka masih suci tentang permainan ini. Dari kelima games kelompok, bagian inilah yang punya resiko tertinggi. Namanya saja sudah seram. Drop-dead akan memakan korban saat kekompakan tim tidak sempurna. Bisa-bisa seksi medis akan angkat tangan dan menganjurkan klinik terdekat saja menanganinya. Lihatlah gambar di atas. Bisa Anda bayangkan seandainya tidak ada tangan yang menampung dia di bawah? Mampuslah dia.


Awalnya panitia ragu memainkan games ini. Karena, “Terlalu beresiko, Bro,” kata seksi acara kala itu. Dan si kepala botak itu mampu memberi jaminan beserta garansi penuh.


Satu peserta disuruh naik ke atas. Peserta di bawah mengemban tugas sedikit berat. Mereka harus mengkaitkan tangan satu dengan yang lain (lihat gambar di samping). Setiap orang harus memastikan genggaman tangannya dengan genggaman yang lain cukup kuat sehingga mampu menangkap beban puluhan kilo, bahkan ratusan kilo. Tugas peserta yang di atas tadi: dia harus menjatuhkan diri ke rangkaian tangan yang di bawah. Syaratnya: harus jatuh lepas. Semua badan harus jatuh bersamaan, tegak lurus. Dan peserta yang di atas harus membelakangi kawannya yang di bawah. Jatuhnya harus pasrah. Setelah semuanya tampil sempurna, permainan pun dimulai.


Kita akan bertemu banyak hal. Peserta pertama karena ukuran badannya tidak terlalu bongsor, santai saja dia “bunuh diri”nya. Peserta kedua sengaja dipilih bertimbang di atas berat 50 kilo. Selepas petunjuk permainan diingatkan kembali, hitungan pun dimulai, “Dalam hitungan empat jatuhkan dirimu, satu-dua-tiga-empat.” Tidak berani dia. Takut. Eh lihat, tanggannya gemetar. Badannya menggigil. Mukanya memerah. Dia minta diganti saja. Butuh usaha ekstra memastikan peserta kedua ini menghilangkan rasa takutnya. Terpaksa perjaka-perjaka tangguh bertangan kekar ditempatkan di depan. Maka, dia pun merelakan tubunya terjatuh. Bolehlah mencoba games ini untuk memastikan seberapa aduhai nyali Anda.


Posisi jatuh mesti persis di tengah. Dan kepala penangkap di bawah harus dicondongkan ke belakang saat korban jatuh. Demikian games ini digulir. Berganti peserta berganti pula keluhannya. Semua mereka harus mengeluh dulu sebelum terjun. Dan setiap peserta yang berhasil diganjar dengan tepuk tangan.


Setiap games selalu mengandung makna. Karena itulah, mereka duduk melingkar di bawah naungan pohon jengkol merembukkan segala yang dirasakan dan semua yang bisa dipetik artinya dari permainan yang baru saja usai. “Kita diajari untuk mempercayai teman satu tim,” ungkap pengevaluasi pertama. “Wah, takut. Tangan saya sampai gemetar. Tapi seru,” yang lain menimpali. “Untuk mencapai tujuan dibutuhkan tim yang solid, kuat, dan saling melengkapi,” ujar si buyung yang satu ini bernada filosofis. “Rasa takut harus dilawan,” peserta lain menambahi.


Yah, betul. Cara paling ampuh mengusir ketakutan adalah dengan melakukan apa yang ditakutkan itu. Mereka sudah membuktikan itu. Tujuan akhir selamanya bisa dicapai bila ada kombinasi setia antara kerjasama dan kekompakan tim. Juga termasuk di dalamnya kepercayaan. Ada saat-saat di mana kita sungguh tidak berdaya lagi. Dan kita hanya punya sahabat sebagai penolong satu-satunya. Di siang hari yang terik itu mereka telah mengikatkan benang persahabat tersebut di hati dan di jiwa mereka.


Duduk Bersama

Apakah Anda bisa duduk bersamaan dengan banyak orang dalam bentuk melingkar tanpa boleh menyentuh tanah sedikit pun? Games ini akan memberi jawabannya.

Mereka disuruh melingkar. Menghadap ke pemandu games di tengah lingkaran. “Tugas kalian, setiap orang harus bisa duduk tanpa menggunakan alas apa pun. Dan tidak boleh menyentuh tanah. Tidak boleh jongkok.” Segera mereka berkomat-kamit. “Silakan kalian berunding. Temukan caranya,” perintah pemandu. Mereka pun bermusyawarah. Masing-masing melontarkan ide. Percobaan pertama: mereka duduk dengan kaki satu. “Ops, yang begini tidak sesuai dengan peraturan permainan,”kata pemandu mengingatkan. “Duduknya harus serentak.” Mereka merepet. Percobaan pertama gagal.

Kembali mereka berembuk. Masing-masing mengeluarkan ide kreatifnya. Huppss…mufakat pun didapat. Begini caranya: mereka saling membelakangi, merapatkan jarak beridiri sedekat mungkin dengan yang di depannya, dan silakan duduk di lutut teman di belakang Anda. Nilai A plus untuk kalian. Luar biasa. Mereka pun menerapkan teori temuan mereka sendiri. Dan: sukses. Mereka bisa duduk serempak tanpa menggunakan alas dan sama sekali tidak menyentuh tanah.

Jangan pernah takut dengan tantangan. Jangan pula sesekali berniat menghindarinya. Jangan memperlakukan tantangan sebagai masalah besar. Okelah kita anggap itu masalah. Bukankah semakin berjibun masalah yang kita hadapi semakin membuat kita bertambah dewasa? Bukankah daya tahan menggempur beratnya beban hidup akan semakin mudah kita taklukkan saat kita menganggap masalah itu sebagai bukan masalah? Aku sepakat dengan semboyan Kantor Pegadaian: Mengatasi Masalah Tanpa Masalah.

Kelompok ini memecah masalah itu dengan apik. Mereka berdiskusi, berembuk. Sesekali berdebat. Akal sehat mereka gunakan. Ide-ide kreatif mereka hamburkan keluar dari batok kepala. Kegagalan tidak menjadikan mereka lantas berhenti mencoba. Coba lagi, coba lagi, dan coba lagi. Komunikasi tim dibangun. Mereka bekerja sama. Ketika satu orang di antara mereka membentengi diri dengan egoisme, saat itu pula usaha –usaha yang sudah ditempuh menemui jalan buntu.


Masukkan Spidol ke Botol

Wanita muda di samping tidak sedang bertanding dengan Rafael si tukang sulap terkenal itu. Dia juga tidak sedang menganggarkan ilmu kebal banting seraya mencoba menantang Limbat beradu. Bukan. Dia sedang asik menelingai teman-temannya yang berkoak-koak memberi perintah.

Kita namai games ini: memasukkan spidol ke botol. “Kalian harus memasukkan spidol ini ke dalam botol itu. Mata harus ditutup,” pemandu games memberi petunjuk. Lantas, mereka diarahkan membentuk lingkaran. Satu orang dihunjuk maju ke tengah lingkaran. Matanya ditutup dengan kain. Spidol yang sudah diikat dengan tali plastik dilingkarkan ke pinggangnya (gambar di bawah). Setelah itu, dia dituntun berdiri tepat di atas lobang botol (gambar di samping). Untuk sedikit menghasilkan tantangan, tali sengaja dibuat agak panjang ke bawah.

“Nah, kawan-kawanmu bertugas memberi perintah seperlunya sehingga spidol berhasil kamu celupkan ke dalam botol,” ujar pemandu melengkapi petunjuk sebelumnya.

Sontak saja semua mereka berceloteh. ”Jangan kau goyang pinggangmu,” kata gadis berkaca mata itu sambil terkekeh-kekeh. “Ya, terus, terus. Sikit lagi,” perintah yang lain menambahi. “Kiri, kanan, stop,” teriak cowok di sebelah sana. Mereka semua bersuara serempak. Dan ini jelas kedengaran tidak berirama cantik. Si gadis ini pun segera menemukan dirinya kebingungan. Bingung memilah-milah perintah mana yang harus dilaksanakan. “Angkat kakimu. Ya, kurang tinggi. Stooppp. Masukkan!” Semua tertawa.

Segera mereka sadar: terlalu banyak berbicara dan terlalu banyak perintah tidak akan menghasilkan apa-apa. Terjadilah kesepakatan tak tertulis. Tugas memberi aba-aba kini hanya dipegang satu-dua orang saja. “Ya, angkat kakimu. Truusss, kurang tinggi. Tahan, jangan bergoyang,” demikian perintah itu lebih terarah. “Yah, pelan, pelan. Masukkan. Yess…!” Spidol pun masuk ke sarang. Tepuk tangan membahana. Kegembiraan meliputi wajah tiap mereka. Demikian permainan ini digilir ke peserta lain dan tetap tidak kehilangan keseruan yang sama.

Kita dapat apa? “Tidaklah mungkin spidol berhasil masuk tanpa ada perintah dari teman-teman,” ujar peserta yang tadi sudah merasakan arti sebuah kerjasama. “Di awal semua kami memberi perintah. Dan ternyata tidak membawa hasil,” kata peserta yang lain. “Kita harus bekerjasama untuk mencapai sebuah tujuan,” tegas kawan kita ini dengan nada sedikit tinggi. “Tidak harus semua memberi perintah. Ada saat-saat tertentu kita diperintah dan ada pula saat-saat yang lain kita yang memerintah. Permainannya seru,” seru peserta cantik ini.

Pendapat-pendapat di atas melengkapi pendapat ini: kita dituntut mengemban tugas yang dipercayakan kepada kita dengan perintah tepat, tegas, dan tidak membingungkan. Komunikasi dua arah jangan pernah dianggap hal enteng. Kepercayaan juga. Ego diri, buang saja ke laut. Ketenangan akan menggampangkan kita bekerja. Jangan panik. Santai namun serius. Di permainan ini mereka bertemu dengan semua itu. Permainan yang tidak akan terlaksana baik tanpa sumbangsih dari setiap peserta.


Si Buta dan si Bisu

Permainan apa pula ini?

Si buta dan si bisu. Keadaanlah yang membuat mereka berpapasan. Lantas berkenalan dan kemudian berteman. Begitulah, mereka menemukan kecocokan satu sama lain. Sementara itu, kehidupan tidak pernah sedetik pun berhenti. Dunia dan segenap isinya menyibukkan diri dengan persoalan masing-masing. Di jagad yang mengedepankan individualisme itu, mereka harus berjalan dan mencari impian hati. Si buta dan si bisu pun memulai kisahnya.

“Ini kisah si buta dan si bisu,” pemandu games mulai berkisah. “Suatu saat mereka tidak menemukan siapa pun di sekitar mereka selain mereka berdua. Mereka harus melewati jalan yang di sebelah kiri-kanan jalan itu adalah curang. Selangkah saja kaki mereka terpeleset maka nyawa adalah taruhannya. Mereka harus berjalan di jalan teramat sempit nan berkelok. Si buta tidak bisa melihat jalan. Si bisu sebaliknya. Sementara si bisu tidak bisa ngomong. Kalian akan memainkan peran itu di games ini,” ujar pemandu melengkapi kisahnya.

Karena arena gamesnya di tanah datar, dibuatlah jalur dari sepatu. Dirancang berkelok-kelok, sedikit panjang, dan lebar jalur hanya bisa memuat satu orang saja. Yang mendapat peran si buta akan disembunyikan matanya dibelakang kain yang kedua ujungnya diikatkan di belakang kepala. Si bisu hanya diwajibkan untuk tidak mengeluarkan satu patah kata pun selama permainan berlangsung.

Si bisu akan berdiri di belakang si bisu. Si bisu harus memainkan peran lebih. Karena jalan yang hendak dilalui dipenuhi onak duri, mereka berdua harus memastikan sampai di ujung jalan tanpa menemui sesuatu yang tidak diinginkan.

“Teman-teman akan melewati banyak tikungan: kiri dan kanan. Bagaimana cara si bisu memastikan si buta tidak terperosok?” tanya pemandu. “Ingat, si bisu tidak bisa ngomong dan si buta tidak bisa melihat,” tambahnya memastikan. Jawabannya: saat bertemu tikungan mengarah ke kiri, si bisu cukup menepuk bahu kiri si buta, untuk tikungan sebelah kanan juga demikian. Nah, bagaimana jika si buta harus berhenti? Si bisu cukup menepuk di bagian tengah punggung si buta. Untuk jalan lurus cukup tidak menepuk bahu bagian mana pun.

Setelah memastikan segala sesuatunya beres (gambar di atas), permainan pun dimulai.

Maka, tampaklah si bisu segera meletakkan kedua tangannya di bahu si buta. Si buta menunggu perintah tepukan. Tepukan pertama, si bisu menepuk bahu kiri. Si buta pun jalan ke arah kiri. Terus giliran bahu kanan dan si buta pun percaya saja dan melangkahkan kaki ke sebelah kanan. Sesekali mereka menginjak batas jalur. Dan si bisu segera menepuk punggung tengah si buta. Umm..pasangan serasi. Setelah berjalan beberapa meter, pasangan lain pun diluncurkan.

Kehidupan, di segi mana pun itu, selalu memaksa kita untuk menekuni satu bidang. Bidang yang harus kita kuasai dan bidang inilah nantinya akan membantu kita mendapat kemudahan-kemudahan dalam hidup. Kemudahan-kemudahan yang akan melahirkan beribu peluang. Peluang yang dimanfaatkan betul sehingga kebahagiaan adalah keniscayaan berikutnya. Kita juga akan bertemu dengan pribadi-pribadi unggul lain dan mereka membawa keahlian yang tidak kita miliki. Kita harus akui itu. Jangan menganggap kelebihan orang sebagai ancaman. Ada peluang di sana. Karena keterbatasan kita akan dilengkapi orang lain dan kelebihan kita pun bolehlah dinikmati orang lain. Itulah hidup: saling melengkapi.


Tangan Kait

Di tempat lain games ini dinamai “mengurai benang kusut”. Pekerjaan yang sungguh-sungguh harus dijodohkan dengan kesabaran dan keuletan. Di Sibolangit, kami ubah namannya: tangan kait.

Laksana benang kusut, peserta didudukkan. Namun, posisi duduk bukanlah seperti kita hendak mengikuti arisan: teratur. Mereka harus duduk saling membelakangi, saling mendepani, dan saling mensampingi. Segenap penjuru mata angin harus ditempati.

Maka, kita akan lihat: punggung si A bersanding dengan wajah si B, badan samping si C berdekaktan dengan punggung si D. Mereka harus duduk seacak mungkin. Lantas, dengan posisi serba acak, tangan mereka harus dikaitkan. Tangan si A yang duduk sebelah utara berpengangan dengan tangan si E yang posisinya berada di sebelah tenggara. Si D di sisi barat harus bertaut dengan tangan si J di sebelah selatan. Betul-betul menyamai benang kusut. Ada mengulurkan tangannya dari bawah kaki, dari atas kepala temannya, dari bawah ketiak, dari atas pundak. Semua sudah berkelindan. Setelah itu mereka harus bangkit berbarengan. Pautan tangan sangat tidak diijinkan terlepas. “Kalian harus membentuk lingkaran sempurna dan semua dipastikan menghadap ke depan,” ujar pemandu bertitah.

Perhelatan pun dimulai. Mereka segera beradu badan, bertemu muka. Posisi berdiri seperti itu, memaksa kita tersipu. Puteri cantik ini mendapati dirinya berpacak dalam jarak beberapa inci saja dari wajah si tampan. Nyaris lengket, Saudara. Peserta lain tampak kesulitan setengah mampus mempertahankan posisi lantaran tangannya terpaut kacau dengan peserta lain. “Ingat, tangan tak boleh dilepas,” ujar pemandu yang hanya menambah penderitaan peserta.

Setelah begini, tiba giliran mencari akal menempa lingkaran sempurna. “Bro, langkahi tanganku. Ya, hati-hati. Jangan lepas tanganmu,” teriak peserta yang satu. “Jangan begitu, dari belakang aja,” yang lain menimpali. “Tangan kalian jangan terlalu tinggi. Umm…aku masuk dari bawah.” “Tunduk, terus.” “Bukan, bukan begitu. Badanmu putar,” teriak yang lain. “Bukan, bukan ke situ. Kau ke depan.”

Maka, tampaklah “benang” kusut itu perlahahan-lahan terurai. Gambar di bawah adalah tahapan dari hasil sekian banyak pergumulan. Pencapaian yang tidak mudah. Teriakan, repetan, omelan, dukungan, bahkan kekonyolan bersatu padu menjadi permainan sedap.

Suasana serius itu dibalut gemuruh tawa. Sebentar lagi sepertinya sebuah lingkaran bakal tercipta. Namun, oh, lihat. “Seorang teman kalian kok beda sendiri?” teriak pemandu. Teman kita yang satu ini menghadap ke jalan lintas Berastagi-Medan. Jelas-jelas posisi yang tidak akan pernah direstui peserta lain. Setelah jadi bahan ketawaan bersama, mereka cepat-cepat mengeluarkan dia dari jalan menyimpang. Jalan keluar pilihan mereka: memperagakan gerak badan berputar dengan kecepatan lambat. Dan tetap, tangan tidak diperkenankan terlepas. Jadilah dia laiknya Jet Li beraksi saat hendak mengelak dari serangan tajamnya pedang mafia Hong Kong.


Alih-alih tidak ada yang sulit, brother-brother dan sister-sister. Kita hanya memerlukan sentuhan lembut antara keuletan, kesabaran, dan kerjasama. Bolehlah mengikutsertakan gembira hati. Cukuplah aku kira. Atau ada tambahan lain? “Serumit apa pun masalah pasti bisa diselesaikan. Kebersamaan, itulah kuncinya,” ujar si gadis jelita berambut panjang itu. Ada lagi? “Tujuan jelas, arahan juga terarah. Setiap orang harus bekerja.” Umm…hasil evaluasi yang sangat cerdas. Untuk itu, kita anugerahi mereka: tepuk tangan semarak.


· Games Umum

Rona wajah lelah itu tertutup sempurna oleh senyum sumringah. Terbalaskan dengan semua bunga-bunga yang tiba-tiba saja melekat di paras mereka. Keceriaan. Yah, segendang seirama, mereka sebut itu keceriaan. Keceriaan dibungkus dengan balutan kerjasama apik, kepercayaan tingkat, tinggi, dan mengakhirinya dengan evaluasi mumpuni.

Mereka sudah disantaikan barang lima belas menit. Panitia segera memusatkan pemuda-pemuda ini di lapangan utama . Suka cita harus dipastikan sempurna betul.

Kita masih akan berkutat di games. Hanya saja sedikit berbeda dengan yang teman-teman baru saja lalui. Di sini, kita akan mengadu kelompok-kelompok dalam satu permainan bersama. Kalian akan dipacu menjadi kelompok terbaik dan mengakhirinya dengan kemenangan. Tentunya dengan ikatan aturan main. Siap????

Tuan-tuan dan Puan-puan, kendurkan semua otot, keluarkan semua daya, kita akan beraksi.


Barisan Terpanjang

Kelompok satu, kelompok dua, kelompok tiga, kelompok empat, dan kelompok lima. Di lapangan berumput yang di sana-sini masih menyisakan air dari hujan semalam, boleh jadi penambah resep permainan yang hanya akan melezatkan kebersamaan. Kebersamaan? Yakin teman-teman sudah menyandang sebutan itu? Maafkan. Dengan berat hati: aku setengah yakin. Dan sepertinya condong ke tidak yakin sama sekali. Ayo, paksa aku menarik semua keraguan itu.

Games umum pertama: barisan terpanjang. Kelima kelompok akan menunjukkan taji. Siapa terpanjang itu terunggul.

Cakap-cakap kerjasama tim, umm, ini tempat teramat pas untuk itu. Mereka akan mendemonstrasikan itu.

Aturan main: silakan manfaatkan semua yang melekat di badan. “Apa baju bisa dilepas?” tanya ketua kelompok dua. “Semua, bahkan celana sekalipun bila kalian anggap itu harus,” pemandu games menjawab. “Bisa kami pakai bambu yang di pinggir itu?’’ ketua kelompok lima kini bertanya. “Silakan semua gunakan yang melekat di badan kalian. Di luar itu tidak diperkenankan.”

Gambar di atas adalah hal pertama yang mereka lakukan. Gotong-royong segera terracik. Lihat, mereka membuka baju, tidak cewek tidak cowok. Ops, perempuan cukup melepas almamater saja. Menyimpulnya. Terciptalah rangkaian yang dalam waktu singkat sudah berpuluh meter. Seru sekali. “Tariiikkk…,” teriak dari pangkal rangkain. Pendamping games tidak kalah serunya. “Jangan terlalu kuat. Ulurkan tanganmu.” “Jangan terputus.”

Panjang lapangan berkisar 100 meter. Games baru berlangsung lima menit. Alangkah aku dikejutkan, barisan terpanjang itu sudah hampir sampai di ujung lapangan.

Ternyata kesibukan lepas-melepaskan makin gencar. Lihat brother kita di samping. Semangat berjuangnya luar biasa. Dari sekian lapis celana yang dia punya, hanya dia sisakan selapis lagi penjaga setia anggota badan teramat penting itu. Itu hal terakhir yang dia lakukan. Baju almamater sudah lepas. Kemeja putih itu pun direlakan. Ikat pinggang, juga. Sempurna.

Bagaimana dengan gambar di bawah? Selendang sudah dikawinkan denga baju. Baju pun dijodohkan dengan rentangan tangan. Kita tidak tahu inisiatif ini bersumber dari mana. Yang buat kita terperangah: mereka berbaring di tanah berlumpur itu.

Janganlah pula hendak mengingatkan mereka tentang kejorokan. Tidak ada itu. Bagaimana dengan rasa gatal? Akan sia-sia belaka menyinggung itu. Tiba-tiba saja mereka kesurupan antibody penangkal semua itu.

Kaum perjaka bertelanjang dada merayap di rerumputan. Terkadang mereka berguling. Membujur sedemikian rupa. Di ujung jari terpegang ujung baju. Di ujung kaki, jempol terhubung dengan ikat pinggang. Ukuran sekujur badan dijumlahkan dengan panjangnya almamater ditambahkan lagi dengan sambungan ikat pinggang membentuk rantaian yang mau tak mau harus segera ditiru kelompok lain.

Semakin mereka peduli dengan rasa gatal dan kejorokan semakin pastilah kelompok itu akan keluar jadi barisan terpendek.

Di ujung sana terjadi sedikit kesulitan. Mereka bertemu jalan buntu. Mencoba memperpanjang barisan, jurang penuh semak-belukar akan menyambut di bawah. Biarpun begitu, mereka ngotot. Para pemandu games mensyaratkan memundurkan barisan. Di pangkal barisan masih tersisa beberapa meter ke belakang. “Munduurrr….” Tanpa merusak untaian mahacemerlang itu, mereka mundur serentak.

Sudah sepanjang itu mereka berbaris. Mengikat semua yang perlu. Merentangkannya dengan sentuhan kreatifitas. Meneriakkan semua ucapan-ucapan penggelora. Bermesraan dengan lapangan berlumpur. Bersendaugurau dengan rasa gatal. Menyisakan kolor saja di badan. Berkeringat. Berlari.

Berguling. Mengikhlaskan kulit mulus itu terpanggang sinar mentari. Mengenyahkan rasa malu. Menahan haus. Barangkali saja sudah ada perut yang keroncongan.

“Waktu tinggal 2 menit lagi,” pemandu games mengingatkan. Maka, semakin bergiatlah mereka. Pagar pembatas lapangan rumput dengan jurang itu pun sudah diterobos.

“Waktu habis,” ucap pemandu. Tibalah memutuskan siapa pemenangnya. Para pendamping games dihadirkan sebagai saksi. Hasil sudah didapat. Dengan demikian berakhirlah hajatan ini.

Mereka segera kembali berbaris. Baju-baju yang terikat itu pun dilepas satu-persatu. Yang bertelanjang dada segera sadar dengan bercak-bercak merah di tubuh mereka. Mereka kegatalan. Sesuatu yang tidak dirasakan, bahkan terpikirkan pun tidak, selama permainan berlangsung. Kegembiraan hati membuat semuanya tampak elok.

“Pemenangnya adalah…,” pemandu memiripkan para juri Indonesian Idol menggantung mengumumkan hasil. “Pemenangnya adalah…kelompok empat.” Bagi pemenang, hasil itu disambut teriakan: “Kelompok empat, yesss!” Kelompok lain tampak mencibir. Sedikit sukar mereka menerima hasil itu. Ada pula kelompok menilai kelompok empat curang.


What a games, kata orang berbahasa Inggris. Itulah permainan. Terkadang pemenang bukanlah segalanya. Toh, kemenangan bersahabat erat dengan kekalahan. Bukan kekalahan tepatnya. Bagaimana kalau kita sebut saja itu kekurangberuntungan?

Apa pun itu, aku bungkukkan badan ini. Memberi hormat salut teramat tinggi. Mengapresiasi pengorbanan teramat kental. Kerjasama itu, luar biasa. Kebersamaan? Selamat datang. Kami sambut engkau dengan tangan dan hati terbuka.

Keraguan di awal pun sudah berganti haluan. Brothers dan sisters, selamat!


Mendirikan Menara

Matahari nyaris vertikal di atas kepala. Terik. Semua sudah kembali berbaris. Semua pula tampak berseri-seri. Cerah. Senyum itu terlepas sumringah. Semakin pastilah mereka kini semakin terikat emosional. Mereka capek, iya. Umm.. Sangat memungkinkan juga telah tersemai benih-benih menggemari. Wajar saja itu. Dan kita pastikan saja, tidak akan kita percakapkan itu. Kita persembahkan itu sebagai bonus. Selanjutnya, terserah pemilik hati.

Inilah games terakhir. Kita akan rampungkan semua yang terasa bergunduk-gunduk. Mereka pun menyantap sajian terakhir ini.

Perlengkapan games ini amat sederhana: korek api dan botol. Satu kelompok disediakan satu botol dan dua kotak korek api. Kedua bahan itu berjejak tepat di depan barisan masing-masing kelompok. Mereka akan menganggit menara dengan itu. Pemenangnya: menara tertinggi.

Mendirikan menara di atas mulut botol. Anak korek api menjadi bahan satu-satunya untuk itu. Lantas, caranya? Satu orang dicukupkan satu anak korek saja. Mereka akan maju satu per satu. Mengambil korek dari kotaknya dan meletakkannya di atas mulut botol. Setelah siap dia harus kembali ke barisan dan mengambil posisi paling belakang. Orang kedua pun maju. Mengambil anak korek api dan meletakkannya persis di atas mulut botol. Demikian seterusnya.

Laiknya hendak mendirikan menara betulan, hal pertama mesti dipertimbangkan adalah membuat pondasi. Pondasi akan menentukan bangunan di atasnya. Pondasi rapuh, rapuh pulalah seluruh bangunan. Nah, pada orang pertamalah pemegang kunci. Sebelum maju, dia semestinya menggambar menara yang hendak didirikan di benaknya. Atau bolehlah didiskusikan terlebih dahulu. Karena, sekali lagi, satu orang dapat satu anak korek api.

Perlombaan pun dimulai. Segera suasana kompetisi menggerayangi setiap kelompok. Sepertinya mereka cukup tajam akal. Mereka letakkan anak korek itu di pinggir. Orang kedua mengikuti di pinggir satu lagi. Selanjutnya, menimpanya dengan posisi berlawanan. Lihatlah gambar di atas. Tindihan itu bersegi empat. Permainan pun berlari kencang. Di sebelah, mereka sudah sampai di lantai lima belas. Mereka memegang rekor tertinggi sementara.

Gambar ini menjelaskan tentang pondasi tak ideal. Selain memakan banyak sekali “bahan bangunan” juga tidak akan kuasa menahan keseimbangan. Mungkin saat mencapai lantai tujuh, menara ini akan roboh. Pasti pulalah rancangan ini menjadi penghuni peringkat terakhir.

Tidak setiap orang bisa berlaku tenang, santai. Desakan menjadi tim terbaik memaksa mereka berpacu. Namun mereka lupa, lawan terberat itu bukanlah kelompok lain. Menaklukkan diri sendiri, yah, itulah lawan terberat. Games ini butuh ketenangan. Suasana santai adalah keniscayaan. Di salah satu kelompok, kita temukan tindak-tanduk yang hendak melanggar aturan main tak tertulis ini. Yang tadinya sudah berlantai dua puluh, ulah satu orang panik, bangunan itu pun meluncur bebas ke bawah. Roboh. Hancur. Yah, panik. Aku lantas teringat dengan gempa di Sumatera Barat itu. Selain pondasi bangunan yang tak sanggup menahan serangan gempa, korban banyak berjatuhan karena kepanikan. Ada yang loncat dari lantai tiga tanpa sadar. Ada pula yang hanya berlari-lari tak jelas juntrungannya.

Kalau sudah begini, repetan teman-temannya menyerbu. Betapa tidak, mereka harus memulai dari awal kembali.

Tantangan dari luar ternyata menghinggap juga: angin. Tamu kita yang satu ini sekehendak hatinya saja berhembus. Tidak peduli dia dengan si Danang yang wajahnya baru saja diserang puluhan jari telunjuk lantaran kegugupannya telah menghancurkan bangunan yang sudah hampir menyamai Burl Khalifa, bangunan tertinggi di dunia itu. Maka, langkah terbaik harus dilakukan adalah membuat benteng penangkal angin. Gambar pertama di atas adalah solusi untuk itu. Sementara peserta games asyik menyusun lantai demi lantai, pemandu games pun menutup segenap bangunan dengan telapak tangan.

Waktu sudah menjelang akhir. Mereka masih setia bermain-main dengan korek api dan botol. Roboh sekali, bangun dua kali. Justru kelihaian kian menaik. Ketenangan kesantaian, sudah diakrabi. Lengkaplah sudah.

Tibalah penilaian. “Pemenangnya adalah kelompok lima!” teriak pemandu mengumumkan. Tetap saja sama, penolakan hasil itu ada. Dan tetap saja mantra itu aku ujarkan: ini permainan. Kita mafhum. Toh, Malaysia masih cukup bangga dengan Menara Petronasnya karena tidak lagi menjadi gedung tertinggi dunia saat dikalahkan Menara Taipei. Taipe juga demikian. Burl Khalifa di Dubai beberapa saat kemudian menjulang lebih tinggi lagi.

Kebanggaan itu selayaknyalah melekat di dada masing-masing. Mereka bermain maksimal. Hal terbaik sudah mereka curahkan. Kerja sama juga. Mendirikan menara tertinggi bukanlah poin terpenting. Hal utama adalah proses. Yah, proses. Setialah dengan proses. Bonus-bonus kehidupan akan menghampiri. Jujur memainkan aturan main.

Saat berhasil, jangan lupa merayakannya. Itu hak kita sepenuhnya. Dan sepatutnyalah begitu. Maka gambar di bawah ini adalah salah satu jenis dari perayaan itu.


Urusan tunggal menderu: haus disertai lapar. Sekitar empat jam lamanya mereka bermain-main. Berlari. Jungkir balik. Berguling. Merepet. Berpikir keras. Berdiskusi. Berbaris. Menerobos semak belukar. Ego diri perlahan-lahan sudah mereka buang ke tempat sampah. Tertawa lepas. Sesekali marah, dongkol. Memainkan peran-peran yang memancing gelak tawa. Menguji nyali. Menghilangkan rasa takut. Berbaring di lumpur. Menahan rasa gatal. Berkompetisi sehat. Bermandi keringat. Merayakan kemenangan. Tak lupa pula setiap games usai diakhiri dengan evaluasi. Dan mereka cerdas melakukan itu.

Di aula mereka berkumpul. Merasa perlu memperbincangkan yang sudah dinikmati, mereka asyik ngobrol. Mereka punya banyak cerita. Di games kelompok, ada empat jenis permainan lagi yang tidak dicicipi masing-masing kelompok. Kelompok satu bercerita tentang dropdead. Kelompok dua bersenandung tentang tangan kait. Kelompok tiga dengan bangga berkicau tentang duduk bersama. Kelompok empat berseri-seri mengisahkan memasukkan spidol ke botol. Kelompok terakhir pun tak mau kalah: si buta dan si bisu pun games yang sangat memesona. Wajarlah orang luar bila masuk ke aula itu mengira pesta kondangan sedang berlangsung. Hmmm… Sembari menunggu logistik menjatah makan siang, hal terasik lain yang amboi dilakukan adalah berfoto ria. Beberapa sudut aula itu pun tiba-tiba menyerupai studio foto.

Makanan sudah memenuhi segenap celah rongga di lambung. Namun, tetap saja suasana pesta itu membahana. Dan sepertinya bertambah parah. Menu siang itu mampu menyuplai energi lebih.

Lewat diskusi matang antara seksi acara dengan ketua panitia disertai restu dari setiap seksi yang ada, dibulatkan kesepakatan untuk meluangkan tiga jam waktu istirahat. Aku dan Posan memutuskan berteduh di bawah pohon dan memejamkan mata. Panitia memanfaatkan momen ini memuaskan mata karena memang semalam itu banyak mereka tidak tertidur barang sebentar. Cantiknya alam Sibolangit tidak dilewatkan beberapa peserta untuk mengabadikannya dengan jepretan kamera.


Yel-yel

Untuk keperluan ini, panitia cukup kreatif. Mereka mencaplok istilah-istilah dari huruf terakhir STMIK: komputer. Sebut saja misalnya flashdisk, monitor, keyboard, mouse, dan yang lain. Peserta harus meracik ramuan itu menjadi nyanyian merdu. Mereka diperkenankan menjiplak nada lagu band kesukaan mereka. Dan syairnya diganti dengan istilah-istilah tersebut. Menggampangkan pikiran kebanjiran ide kreatif, mereka dilepas di alam bebas. Dalam setengah jam sudah harus tercipta syair lagu baru dengan nada lagu lama.

Mereka pun mengambil tempat ternyaman. Duduk melingkar. Berembuk. Musyarawarah. Lagu siapa hendak ditiru?

Tjipta Lesmana, lewat. Pemusik jazz ini takkan pernah memubat lirik lagu dari organ tubuh komputer. Bagaimana dengan Ahmad Dhani? Umm…kalah. Pemilik Republik Cinta Production ini hanya mencipta lagu-lagu cinta beraroma seksi. Iwan Fals? Barangkali satu tingkat di bawah mereka. Lantas dengan siapa mereka harus disejajarkan?

Sore itu mereka memainkan peran tambahan dari sejumlah peran yang sudah mereka gauli beberapa jam terakhir.

Mengandaikan diri laiknya komponis panutan, tidak membuat mereka canggung. Gitar pun jadi pendamping mesra. Crengg…. Dicocok-cocokkan untaian kata-kata itu dengan petikan lihai sang gitaris. Samakan suara. Tampak betul mereka ingin dijuluki pengaransemen termumpuni. Mirip peserta Indonesian Idol mempersiapkan diri sebelum memanggung di pentas spektakuler, nada-nada sumbang di sana-sini pun didempul.

Kelompok lain tidak kepalang tanggung. Koreografer sekaliber Ari Tulang pun hendak disaingi. Menari-nari mereka. Lagu berirama cepat mengiringi. Pinggul-pinggul lentur itu meliuk-liuk. Sangat rancak. Semakin sempurnalah keelokan Sibolangit di sore itu.

Di bawah pohon jengkol, kelompok yang satu lagi meramu semua aneka bumbu irama. Tak ada batang akar pun jadi. Maksudnya begini. Gitar tersedia terbatas. Dari lima kelompok yang butuh, dua gitar saja yang ada. Mereka pun beralih ke kondisi semanual mungkin. Mulut. Mereka mengandalkan karunia Tuhan teramat vital ini bersenandung.

Panggung spektakuler sudah tergelar di aula. Dewan juri yang belum teruji betul dengan seluk-beluk olah suara itu pun dihadirkan di depan. Mereka akan menilai dari beberapa teori musik kontemporer. Barangkali pun mereka telah mencipta teori baru terkhusus untuk konser ini.

Kelompok satu mendapat giliran pertama. Mereka mengambil tempat. Di depan teman-temannya, mereka akan unjuk gigi. Ambil ancang-ancang dan mereka pun beraksi. Sedikit malu-malu. Kekompakan tim sepertinya tidak mereka miliki betul. Atau bisa saja kurang mempersiapkan segala sesuatunya. “Kuambil flashdisk. Kumasukkan ke komputer. Data pun kubuka...” Kira-kira demikian kutipan lagu mereka. Biarpun begitu, tepuk tangan riuh tetap saja dianugerahkan untuk mereka.

Kelompok dua boleh jadi lebih unggul dari kelompok satu. Selain mereka menyandang gitar penggiring lagu, suara merdu mereka sedikit sukar ditandingi. Apakah mereka pernah mendapat sentuhan ajaran olah vokal dari Agnes Monika? Barangkali mereka mendatangkan Krisdayanti sekedar meloloskan grup ini ke babak final? Entahlah. Penampilan maksimal sungguh mereka sajikan sempurna.

Kelompok tiga, empat, dan lima sepertinya tampil dengan kemampuan maksimal di atas panggung. Segenap daya tercurah. Ada yang mencaplok lagu Armada, Peterpan, D’Massiv. Semua itu memaksa para juri bekerja keras. Tampak mereka mencoret-coret, berbincang dengan sesama kolega.

Setelah semua kelompok sudah tampil, tinggallah menanti keputusan akhir dari dewan juri. Tidak lebih dari dua menit, hasil pemenang sudah mereka putuskan. Betul-betul juri luar biasa. Cepat dan tepat. Pemenangnya: kelompok tiga. Dengan demikian hadiah utama jatuh ke tangan mereka: dua gelas teh manis ditambah foto bersama tiga pucuk pimpinan panitia pelaksana P2K2.

Sungguh hadiah prestisius dan menghadirkan rasa bangga tak terhingga.


Menonton Denias

Matahari sudah mengumpet di balik pegunungan menjulang. Embun yang sedari siang tak menampakkan diri, kini menghampiri bumi dengan kesejukan bersahaja. Gelap pun menyelimuti Sibolangit. Sedu-sedan suara lalu lalang mobil di seberang sana samar-samar terbetik. Menara-menara pemancar sinyal dengan lampu merah berkedip-kedip di ujung tiang menjulang tinggi itu menambah intimnya malam. Mereka semua sekonyong-konyong berkasih-kasihan dan mencipta bingkai alam bernilai artistik tinggi.

Setelah berterima kasih sama seksi logistik, mereka kini duduk manis di aula. Bau badan bekas keringat sepertinya sudah dicampakkan ke saluran pembuangan air.

Slide sudah dipacak di depan. Proyektor pun didudukkan di sebuah kursi. Sound bersuara keras itu pun sudah terhubung ke laptop di atas meja. Saatnya menghadirkan studio Twenty One. Menonton bersama.

Menonton menempati posisi terhormat di jagad pencarian penambah wawasan di luasnya semesta pengetahuan. Tentu saja film yang akan diputar tidak bersangkut-paut dengan panasnya perseteruan anggota dewan dengan presiden kita yang baru saja dilantik itu. Tidak pula berdekatan dengan alur cerita sinetron-sinetron di layar kaca. Sungguh, sinetron tidak mampu berbuat banyak membantu anak-anak STMIK TGD menjadi lebih bijak dan bajik. Pun tidak cukup cakap membantu kita menemukan jawab untuk pertanyaan: di mana posisi kita dalam kehidupan? Ah, kisah sinetron hanyalah kisah rekaan belaka. Kisahnya orang-orang kota berumah mewah. Kisah orang-orang kalah lantaran tidak cukup pintar memainkan sandiwara.

Tentu panitia punya jawaban dengan memilih Denias sebagai menu pengisi acara pertama di malam kedua. Denias cukup digemari di luar negeri. Film ini menyabet seabrek penghargaan bergengsi. Biasalah, kita di Indonesia belum begitu gemar dengan film yang berkisah tentang orang-orang kalah. Ada beberapa film sejenis yang layak direkomendasikan untuk ditonton. Sekedar menyebut beberapa: Daun di Atas Bantal, Pasir Berbisik, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi. Beberapa film itu masih belum sanggup mengejar jumlah penonton film yang berkisah tentang horor dan percintaan.

Oh, lihat. Gayung pun tidak bersambut. Kelelahan menerkam. Mereka letih. Lemas. Sajian makan malam tidak mampu menghalau itu semua. Konsentrasi, alat teramat penting pencerna film, buyar entah ke mana. Mereka mesti distimulus api gelora.

“Aku mengerti betul kondisi teman-teman. Seharian berlari-lari, berguling-guling, menahan terik matahari,” ungkapku memulai. “Semangat layu itu ternyata menular. Dan itulah yang aku rasakan sekarang. Semangat itu lenyap. Aku hanya bersandar ke teman-teman untuk membangkitkan itu kembali.” Mereka pun menerka-nerka tindakan tertepat yang musti dilakukan. “Kita akan latihan yel-yel tambahan sejenak.”

Sebelum makan malam tadi, panitia sudah mengetik yel-yel itu. Sederhana sekali isinya. Dan sangat pendek. Gampang dihafal. Yel-yel ini sebelumnya kami gunakan saat mahasiswa baru fakultas sastra Methodist berinaugurasi. Dan untuk itu, aku pun sudah minta restu James mengaransemennya seperlunya.

GO GO TGD GO

GO GO TGD GO

GOOOO…. TGD


Mereka pun bangkit berdiri. Semua mata mengarah ke slide. Dan, “Tangan kiri terlalu sering kita diskriminasikan. Angkat tangan kiri,” kata pemandu setelah segenap peserta sudah fasih memekikkan yel-yel itu. Tangan kiri pun sudah di arahkan ke langit-langit. “Satu-dua-tiga: GO GO TGD GO, GO GO TGD GO, GOOO… TGD.” “Kurang kuaattt… satu-dua-tiga.” Kebekuan semangat pun perlahan-lahan mencair. “Satu-dua-tiga. Kuatttt….” Pemandu terus menyemangati. Dengan tangan terkepal, mereka meninju-ninju ke langit-langit. “Sekali lagi, satu-dua-tigaaa.” Miriplah mereka dengan pendemo-pendemo yang belakangan hari sering beraksi di jalanan. Ternyata metode ini membuahkan hasil. Mereka pun kembali duduk manis karena bioskop TGD segera dimulai.

Denias diawali dengan tampilan gambar memukau alam papua nanindah. Lapisan salju di puncak gunung tertinggi Indonesia, Jaya Wijaya, itu sungguh menakjubkan. Hutan-hutan masih perawan. Inilah tanah Papua, tanah di kepulauan paling akhir di sebelah timur Indonesia. Tanah mahakaya dengan sumber daya alam. Gunung-gunung menjulang tinggi menjadi penanda khas lain daerah ini.

Kisah ini pun segera tertuju ke seorang bocah miskin, namun kaya impian. Cita-cita besar terbeban di pundaknya. Tidak seperti rekan mereka di kota-kota besar lain, mereka harus mendaki bukit terjal, menuruni lembah berkilo-kilo meter jaraknya dari perkampungan hanya untuk mendapat didikan dari seorang guru berhati mulia. Gubuk kecil di puncak bukit itu sangat tidak pantas disebut memadai untuk disebut sekolah. Bagaimana dengan seragam putih merah itu? Hanya di angan-anganlah itu mereka temukan.

Denias teramat gemar bermain bola. Memisahkan dia dengan bola sama saja memisahkan hayat dari kandung badan. Bersama teman-teman sepermainan, Denias selalu kepincut girang melepaskan anak panah menyasar binatang di hutan. Belakangan, kegemaran berburu inilah penyebab kematian bundanya lantaran api melahap habis rumah mereka saat Denias pergi ke hutan dan meninggalkan ibunya terlelap dalam kondisi sakit demam tinggi.

Beruntung dia memiliki sahabat, seorang tentara dari angkatan darat. Tempat Denias menumpahkan segala unek-unek. Tidak kita temukan kesan militeristik di dirinya. Kematian bunda Denias memukul keras semangat bocah berkulit gelap ini meneruskan sekolah. Keceriaan anak-anak itu telah patah arang. Sekali lagi, dia sangat beruntung memiliki sahabat. Bujuk rayuan, dorongan semangat bersekolah, dan berani bermimpi, senantiasa ia dapatkan dari tentara cakap berbadan tegap itu.

Sekolah reot mereka di pucuk bukit itu diluluhlantakkan gempa. Pupuslah sudah harapan Denias menimba ilmu. Jalan satu-satunya melanjutkan sekolah, ia harus pergi kota dan meninggalkan kampung halaman. Di kota dia bertemu dengan timpangnya perbedaan kelas antara yang miskin dan yang kaya. Ada sekolah diperuntukkan untuk orang berduit saja. Dia tidak punya itu. Hatinya miris. Biarpun begitu, semangat berapi-api hendak bersekolah tidak sedetik pun ia tinggalkan. Lewat beberapa rangkaian peristiwa, ia pun diterima bersekolah di tempat yang dikhusukan untuk orang berkantong tebal itu. Karena memang Denias hanya punya satu impian: “Saya mau sekolah. Itu sudah.”

Penonton bioskop TGD, demikianlah untaian kisah Denias. Aih makjang, lihat, saudara kita di belakang sana sudah terlelap pulas. Mereka ketiduran. Pastilah tidak semua adegan mengharu biru film itu mereka saksikan. Ya, sudahlah. Toh, kita masih memiliki penonton setia yang duduknya di depan dekat slide.

Mari kita buktikan keseriusan mereka mengikuti satu persatu alur cerita film. Dua orang mewakili semua penonton. “Film yang sangat menggugah. Berkisah tentang anak yang sangat terbatas di dana tapi melimpah di semangat,” ujar perjaka tanggung berkulit hitam manis itu memberi resensi. “Jangan takut bercita-cita tinggi. Tuhan akan membantu kita mengejarnya,” gadis putih berambut lurus ini menambahi.

“Saya mau sekolah. Itu sudah.” Kalimat pendek berbobot berat di makna. Kalimat ini memaksaku memalingkan ingatan ke Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Film yang diangkat dari novel luar biasa racikan Andrea Hirata. Laskar Pelangi berkisah tentang perjuangan anak Belitong bergulat dengan tidak diikutsertakannya mereka menikmati layanan pendidikan memadai. Sekolah mereka yang hampir reot itu ditempati manusia di siang hari dan berganti berpenghuni kambing di malam hari. Saat hujan mengguyur saat itu pula mereka harus libur sejenak lantaran atap gedung bocor di sana-sini.

Sang Pemimpi bercerita tentang dahsyatnya kekuatan mimpi. “Kita hanya punya mimpi. Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.” Kutipan dari sebuah percakapan di film itu. Atau ucapan dahsyat seorang guru bahasa Indonesia berikut: “Tidak masalah seberapa besar mimpi kalian. Namun, apakah kalian cukup besar dengan mimpi-mimpi itu?” Di tengah keterbatasan, di ketiga film itu, mereka bermimpi. Berjuang. Bekerja keras. Tekun. Tahan banting. Denias berhasil mewujudkan mimpinya. Arai dan Ikal, pemeran utama Sang Pemimpi, membuktikan mereka cukup besar dengan mimpi-mimpi besar mereka: menimba ilmu di universitas terkenal di Eropa.

Begitulah. Proses itu senantiasa musti dilalui. Tidak ada jalan pintas menuju sukses. Kesuksesan bolehlah kita artikan: hasil penjumlahan antara kemampuan dan kesempatan. Mendatangkan kemampuan memaksa kita betah duduk berjam-jam di depan komputer mengutak-atik segala sesuatunya dan menjadi ahli di bidang itu. Menghadirkan kemampuan memaksa kantong mata membengkak lantaran membaca buku-buku tanpa jedah dalam beberapa jam. Menampilkan kemampuan mengharuskan kita meninggalkan kebiasaan nongkrong di warung kopi lantas mengunci kamar dan bermesraan dengan kertas-kertas bertuliskan kata-kata. Dan saat kesempatan itu menghampiri, saat itu pula pintu kesuksesan sudah terbuka.


Api Unggun

Sepertinya sudah tradisi kalau tidak mau disebut budaya. Bakar-membakar tumpukan kayu di tengah malam ini boleh jadi tidak terpisahkan dari kegiatan inaugurasi. P2K2 memilih api unggun penutup seluruh rangkaian acara.

Ketua PEMA, ketua P2K2 dan segenap jajarannya, masing-masing koordinator tiap seksi, ditambah mentor, berembuk saat peserta lagi asyik-asyiknya menetekkan air mata di aula ketika pembawa renungan suci utusan kampus sanggup menyentuh hati mereka yang paling dalam. Pertemuan di jubir hari itu membahas tata letak dan tata laksana api unggun.

Sibolangit terkenal sedikit angker. Dalam beberapa kesempatan, sering kita kewalahan menangani teman-teman yang kesurupan. Sedikit susah menjelaskan kejadian ini dari sisi ilmiah. Tapi begitulah, keadaanlah yang memaksa kita percaya kekuatan di luar manusia ternyata benar adanya. Panitia menyadari betul segenap resiko ini. Dan panitia sudah bertindak tepat saat semua panitia melalui koordinator diminta memberi masukan. Tempat aman, melakukan apa di sana pun beres.

Suhu dingin itu tidak sanggup ditendang oleh kobaran api. Membakar dua ban bekas dan bertumpuk kayu bakar kering, hanya menghasilkan kehangatan terbatas saja saat kita mendekat beberapa meter darinya. Gerimis itu pun hanya memaksa kita tidak boleh berpisah dengan baju hangat.

Semua mengitari api. Koordinator seksi acara memandu acara di tengah. “Dingin?” bentaknya. Memanaskan kedinginan, semua peserta api unggun, tanpa terkecuali, mengumandangkan yel-yel GO TGD. “Sekali lagi,” pemandu menyemangati. Hembusan angin sepoi-sepoi itu pun seakan-akan ikut beryel-yel. Barangkali juga mereka terkejut karena mereka biasa terganggu oleh suara yang demikian di bulan-bulan September hingga oktober di awal perkuliahan dimulai.

“Jangan melamun. Jangan melamun.” Pengalamanlah yang melahirkan kalimat itu. Mereka yang sering melamun di alam terbukalah yang dihinggapi “arwah” kesurupan. Berpuluh kali aba-aba itu diulang. Boleh jadi “setan” itu tidak butuh muka mutung.

Ketua PEMA yang bertengger di puncak segala kepanitiaan menenteng toa lantas mendekatkannya ke mulut. “Terima kasih teman-teman panitia. Jerih payah kalian ternyata tidak sia-sia. Sungguh, hasil yang kita peroleh ini berada di luar harapan kita. Sekali lagi terima kasih,” Muliaman memberi sanjungan sepantasnya. “Semua mahasiswa baru, terima kasih. Kalian sudah buktikan kebersamaan itu telah kalian genggam. Telah kalian miliki. Luar biasa. Kalian menyuguhkan semua usaha yang hanya akan memaksa bulu tangan kami berdiri saat memikirkan itu semua. Sekali lagi, itu luar biasa. Terima kasih telah melewati dua hari ini bersama kami. Kami bangga memiliki kalian.” Semua tangan tidak ada yang tidak bertepuk. “Malam ini, disaksikan alam Sibolangit, di depan api unggun, dan di hadapan semua kalian, saya, mewakili Pemerintahan Mahasiswa STMIK Triguna Dharma, dengan ini menyatakan mahasiswa angkatan 2009 telah resmi menjadi brother dan sister kami.” Sekarang giliran bulu kudukku yang berdiri. Pidato yang sangat menyentuh hingga ke relung hati.

Simbol keterlepasan mahasiswa baru dari belenggu perintah dan bentakan senior-seniornya ditunjukkan dengan melepas lembaran berukuran 15x20 cm itu dilepas dari leher, dicampakkan ke api, dan hangus terbakar di sana. Selama acara P2K2 berlangsung, mereka wajib mengkalungkan itu dileher. Di sana tertera: nama, kelompok diskusi, formasi kamar, dan nama penyakit bagi mereka yang punya penyakit.

Di api unggun ini, simpul persahabatan itu telah diikatkan kencang sehingga satu orang saja tidak boleh terlepas. Semua sudah menjadi brother dan semua sudah menjadi sister.

Senyum sumringah terpancar dari wajah-wajah ceriah itu. Semakin semarak saat pemandu mengajak peserta melantunkan lagu Joy Tobing Semua Karena Cinta. Sembari memegang pundak teman di depan, sambil bernyanyi, mereka berputar-putar mengedari api.

Saat mereka di Medan, dua hari sebelumnya, genggaman erat tangan gambar di samping barangkali akan sangat sulit kita dapati. Mereka bergandeng tangan bukan karena cinta si cowok baru saja diterima si cewek. Bukan pula genggaman hanya sekedar menghangatkan tangan. Kebersamaan selama dua hari ini telah sanggup membuat kedua tangan itu, dan juga tangan-tangan yang lain, melenggang sempurna dalam dekapan genggaman mesra.

Mereka akan membawa oleh-oleh mahamanis ini ke kampus mereka. Mereka akan merasakan aroma berbeda dari aroma kampus sebelumnya. Aneka warna baru akan menghiasi hari-hari mereka di kampus. Dan jangan pernah salahkan siapa pun ketika jamak di antara mereka memadu cinta selepas ini. Cinta dalam arti sebenarnya. Itu hanyalah efek samping P2K2.

Lagu Kemesraan menjadi sajian terakhir. Semua berbaur. Cowok-cewek selang-seling. Bergandengan tangan. Nyanyian yang mengingatkan kita tentang sakitnya berpisah, biarpun itu sejenak, dengan getar-getar cinta. Di penghujung lagu, dekapan genggaman itu sepertinya bertambah erat saja. Ada hati membara erat bersatu. Getar seluruh jiwa tercurah saat itu. “Kemesraan ini jangalah cepat berlalu. Kemesraan ini ingin kukenang selalu. Hatiku damai, jiwaku tentram di sampingmu,” nyanyian yang memaksa pepohonan di sekitar terkesima terdiam. Angina pun berhenti berhembus sejenak.

Kertas pengenal yang tergantung di leher selama dua hari ini telah ludes dimakan si jago merah. Senandung Kemesraan mendayu-dayu membuai. Juru foto tidak ingin melepas momen ini dari jepretan kamera. Gitaris penggiring lagu semakin bergiat saja memainkan gitarnya. Semua bersatu-padu membuat fajar semakin memikat.

Kembali ke aula, tidak mengurangi kehebohan itu. Tidak ada lagi bentakan. Senioritas-junioritas melebur dalam panggilan akrab: brother.

Panitia merasa perlu sekali lagi menghaturkan ucapan terima kasih mendalam ke sesama panitia, ke mahasiswa angkatan 2009, ke PEMA, dan tak ketinggalan ke pihak sponsor, umm…maksudnya ke mentor.

Jangan pernah meninggalkan pesta sebelum kilatan lampu kamera menerpa tubuh. Jangan pula melewatkan malam terakhir ini tanpa berdesak-desakan di depan juru foto. Jepret sana, jepret sini. Tampilkan wajah segempar mungkin. Tawarkan senyum manis di depan kamera. Jangan pula mengalpakan berpose sebanyak mungkin dengan brother-brother lain. Malam pun beranjak semakin larut. Ayam pun sudah berkokok. Semua kilasan kisah seru sepanjang hari menghantar mereka menemui bunga-bunga tidur.


Pemberian Kado

Setelah sarapan, dan beberapa jam hendak bertolak ke Medan, panitia menyisakan satu acara puncak: pemberian kado. Mahasiswa angkatan 2009 sebelumnya sudah membelanjakan duitnya tidak lebih dari lima ribu rupiah dan membungkus kado itu dengan kertas cantik. Tepatnya mereka dianjurkan membeli kado.

Kado akan diberikan kepada: senior paling baik, senior paling cantik, senior paling nakal, senior paling lucu, senior paling cakap, senior paling bertingkah, dan untuk kedua mentor. Mereka akan memilih satu dari pilihan itu.

Satu per satu mereka dipersilahkan maju ke depan. Sebelum memberi kado, dan sebelum memanggil nama penerima, mereka harus memaparkan alasannya. “Terima kasih kepada kakak-kakak senior. Kami sangat senang. Kami sangat menikmati acara demi acara. Kami jadi kenal satu sama lain. Untuk itu, kado ini aku persembahkan kepada kak James,” orang pertama melepaskan kadonya. Tepuk tangan dan suit-suit segera menyeruak. Orang kedua: “Terima kasih kakak-kakak kami yang tercinta. Kalian sudah membuat acara yang mampu menyatukan kami dalam kebersamaan. Sungguh sangat tidak ternilai itu. Aku sebenarnya tidak membedakan kakak-kakak semua. Kalian semua baik. Dan memang aku hanya punya satu kado. Dan kado ini aku berikan kepada kak Dian. Kami sangat terkesan dengan kebaikannya. Terima kasih, kak!” Uhh…pujian yang menaikkan kuping.

Bergilir mereka menganurahkan kado berlabel tak lebih dari lima ribu itu, tapi begitu bernilai saat diberikan dengan balutan hati tulus. “Aku tidak punya kado yang terbungkus. Aku hanya punya hati tulus. Di doaku selalu akan kusertakan ucapan syukur karena telah bersedia menjadi brother untukku,” ujar brother kita ini dengan wajah tulus pula.

Saat kado hanya bergulir pada orang-orang yang itu juga, seksi keamanan merasa perlu memberitahu keberadaan mereka di sudut sana. Mereka gundah karena belum dihadiahi satu pun kado. Mereka sebenarnya hanya butuh bersabat saja. Karena, “Apa jadinya kita ini tanpa mendapat pengamanan dari kakak-kakak kita yang ganteng ini?” seru pemberi kado pertama kepada mereka.

Acara pemberian kado berakhir tepat saat jam makan siang tiba. Makan siang terakhir di Sibolangit.

Beralihlah kesibukan itu kini ke seksi peralatan. Mereka mesti memastikan perlengkapan tidak berkurang satu pun. Catatan daftar barang-barang pun dikeluarkan. Cek satu-satu. Smentar itu, semua peserta sudah siap mengermas barang bawaan mereka. Suasana kedatangan dua hari lalu terasa amat timpang dengan suasana kepulangan ke Medan.

Seksi acara pun mendaftar ulang semua peserta. Harus dipastikan, jumlah saat berangkat dari Medan musti sama saat pulang. Juga, menghindari kegaduhan berebut naik ke mobil, mereka ditempatkan ke bus berdasarkan kelompok. Saat Borneo datang, semua sudah siap. Masuk teratur ke bus, dan meluncur menuju kota Medan. Ucapkan selamat tinggal Sibolangit. Pasti, kami akan kembali.


Catatan akhir

Pastilah banyak yang luput dari pengamatan. Terlalu banyak kisah-kisah menarik yang belum diracik sempurna. Aku serahkan tugas itu ke brothers dan sisters. Aku hanya mengandalkan ingatan terbatas dan menuangkannya semenarik yang bisa kulakukan. Aku pun harus minta maaf. Karena teramat sering kesalahan itu luput dari pantauan karena terjepit di tempat yang tidak bisa aku temukan. Seandainya teman-teman menemukannya, ambillah itu dan campakkanlah itu ke tempat pembuangan sampah.

Tak bisa pula kututupi rasa banggaku. Cerita yang bermula dari perkenalan dengan satu-dua orang anak TGD saja dan berakhir manis dengan limpahan sahabat-sahabat baru.

Terimalah jabat erat tangan dari seorang sahabat yang tidak pernah berencana sedikit pun hendak melepaskan kalian dari benak. Pun tidak akan lelah membantu brothers dan sisters sepanjang itu bisa aku sumbangkan.

Terakhir, maafkan aku. Janji mengirimi kalian liputan inaugurasi segera setelah kita sampai di Medan tidak sesuai waktu yang dijanjikan. Tidak ada niat memperlambat. Hanya kesibukan seabreklah yang membuat itu berjalan lambat.

Salam hangat dariku: Dian Purba.