Sabtu, 31 Juli 2010

Ekonomi Kita Belum Mandiri

Ekonomi Kita Belum Mandiri
Dian Purba*
Dimuat di Analisa, 3 April 2010


Pertanyaan ini sungguh menggoda untuk dijawab: apakah kemerdekaan 64 tahun telah menghantar kita menjadi bangsa berdaulat? Atau pertanyaan selanjutnya: sudah betul-betul merdekakah kita?

Sebelum menguraikannya lebih jauh, ijinkan saya berujar: negara ini masih jauh, kalau tidak sudi dikatakan teramat jauh, dari kemandirian ekonomi. Ada ironi pada bangsa ini dan itu sudah berlangsung cukup lama. Tanah dan air, negeri kepulauan terbesar ini, memiliki semua dengan apa yang disebut “sorga dunia.” Hampir setiap jengkal tanah mengandung kekayaan yang sesungguhnya sanggup memberikan kehidupan. Kita semakin malu dan tidak mampu berdiri tegak karena ternyata semuanya itu tidak berujung dengan kesejahteraan bagi sang empunya: rakyat Indonesia. Inilah negeri tempat mayoritas penghuninya menatap kesejahteraan itu masih sebatas impian. Kenapa bisa demikian?

Soekarno dan Demokrasi Ekonomi

Soekarno dalam buku supertebalnya Di Bawah Bendera Revolusi (1964) tidak pernah memisahkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dia mengutip pidato Jean Jaures yang luar biasa itu. Kala itu Jean Jaures berdiri di gedung parlemen Prancis yang mayoritas anggotanya berasal dari wakil borjuis. Baiklah saya kutip saja. “ Tuan mendirikan republik, dan itu adalah kehormatan yang besar. Tuan membuat republik teguh dan kuat, tak dapat dirobah atau dibinasakan oleh siapa pun juga, tetapi justru karena itu Tuan telah mengadakan pertentangan hebat antara susunan politik dan susunan ekonomi…, semua penduduk bisa bersidang mengadakan rapat yang sama kuasanya dengan rapatnya raja-raja… Tetapi pada saat yang [sic] si buruh itu menjadi tuan di dalam urusan politik, pada saat itu juga ia adalah budak-belian di lapangan ekonomi… Tenaga kerjanya hanyalah satu barang dagangan, yang bisa dibeli atau ditampik menurut semau-maunya kaum majikan.”

Soekarno menyebutnya kepincangan demokrasi. Sesuatu yang masih berlangsung hingga kini. Memang, hak-hak politik rakyat kini lebih luas dari yang dulu. Mereka bisa memilih di pemilihan umum. Mereka bisa “masuk” parlemen. Mereka bebas turun ke jalan meneriakkan aspirasi karena undang-undang untuk bersuara sudah dibuat. Namun ada satu yang tidak mereka dapat lakukan: merubah keporakporandaan nasib “budak” yang sudah berlangsung cukup lama. Di lapangan politik rakyat adalah “raja”. Di lapangan ekonomi mereka hanyalah budak belian. Dengan demikian perkawinan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi adalah kemustian. Barangkali kita bisa menyandingkan ini dengan tesis Atolio A. Boron (The Truth of Capitalism Democracy, 2006) yang menempatkan demokrasi ekonomi bertengger di urutan teratas sebagai demokrasi paling diidam-idamkan. Demokrasi yang menghapus keistimewaan yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang atas sumber daya ekonomi sembari membuka akses yang luas kepada masyarakat kebanyakan mengontrol dan mengendalikan sumber daya ekonomi yang terbatas itu. Demokrasi di mana tidak akan kita jumpai lagi pemisahan antara ekonomi dan politik, atau masyarakat sipil dengan politik.

Dengan pemaparan di atas, kita dipaksa bertanya kembali, sudahkan kita bebas melangkahkan kaki ekonomi kita selaras kehendak kita hendak mau melangkahkan kaki ke arah yang kita kehendaki?

Ketidakmerdekaan Ekonomi

Wawan Tunggal Alam (Di bawah Cengkeraman Asing, Membongkar Akar Persoalannya dan Tawaran Revolusi untuk Menjadi Tuan di Negeri Sendiri, 2009) akan menghantar kita terhadap realitas mengerikan tentang betapa terjajahnya perekonomian negeri ini oleh asing. Mulai bangkit dari tempat tidur hingga berbaring kembali, kita akan bertemu, dan barangkali mengonsumsi, barang-barang yang persenan sahamnya mayoritas dikuasai oleh perusahaan-perusahan multinasional. Mari kita mulai. Hendak minum aqua (74 persen sahamnya dikuasai Danone asal Prancis), menikmati Teh Celup Sariwangi (100 persen Unilever), mandi dengan sabun Lux, sikat gigi Pepsodent (Unilever), bahkan rokok sekalipun (Sampoerna) 97 persen sahamnya milik Philips Morris asal Amerika Serikat. Belum lagi beras yang kita tanak sebagian adalah beras impor. Gula yang kita larutkan dengan kopi, sama saja. Belanja ke Carrefour milik perusahaan Prancis itu. Demikian juga dengan bank (BCA, Danamon, BII, Bank Niaga). Silakan uraikan dengan barang-barang yang lain yang hanya akan membuat kita malu sekadar untuk menyebut kita telah benar-benar merdeka dalam arti yang sesungguhnya.

Ini hanyalah dampak dari apa yang terjadi sebelum Presiden kedua kita, Soeharto, mengundurkan diri. Lewat kejadian tersebut bangsa besar ini dipaksa menjadi kerdil hanya sekedar mengasih makan rakyatnya. “Usaha” sekeras apa pun dari pemimpin memperbaiki nasib bangsa, dana sebesar apa pun digelontorkan, seakan-akan tidak berdampak apa-apa. Apa yang terjadi sebelum Jenderal Besar yang gemar senyum ini lengser ke perabon?

20 Januari 1998. Michael Camdessus, Managing Director IMF, “memaksa” Soeharto menandatangani Indonesia Memorandum of Economic and Financial Policies (Kebijakan Ekonomi dan Finansial Indonesia). Kesepakan ini berisi 50 paragraf yang kemudian lebih dikenal dengan 50 poin Letter of Intent IMF. Ke 50 poin ini kemudian diubah pemerintah menjadi empat kebijakan, yaitu kebijakan moneter (10 poin), kebijakan anggaran (13 poin), restrukturisasi financial (17 poin), dan reformasi struktural (21 poin).

Mari kita simak beberapa poin yang hanya akan membuat bangsa ini tidak akan pernah tinggal landas.

Poin 2 kebijakan anggaran memaksa pemerintah Indonesia menaikkan tarif dasar listrik dan BBM per 1 April 1998 ketika daya beli rakyat sedang lesu-lesunya. Poin 16 kebijakan finansial mengharuskan pemerintah memberi kebebasan kepada bank asing membuka cabangnya di seluruh Indonesia sebelum Februari 2008. Pemerintah juga mesti membuat undang-undang yang menghapus batasan penanaman modal asing di bank-bank yang sudah go public sebelum Juni 1998.

Rasanya belum cukup sampai di situ. Pemerintah juga dipaksa mempersiapkan perangkat agar asing boleh membeli aset bank-bank pemerintah yang akan diprivatisasi. Ditambah lagi pemerintah menyiapkan lembaga untuk menswastakan bank-bank pemerintah. Dan ini harus diikuti dengan tidak diperbolehkannya pemerintah menyuntik dana kepada bank-bank negara, kecuali yang hendak diswastakan (restrukturisasi finansial poin 3 dan 4).

Pada reformasi struktural pemerintah didesak menghapus semua pajak ekspor mulai 1 Februari 1998 (poin 3). Masih kebijakan reformasi struktural (poin 6), IMF memaksa pemerintah menghapus larangan investasi asing di bidang eceran dan grosir sebelum Maret 1998. Pasca kebijakan ini, Carreforur segera berlari membuka puluhan cabangnya di Indonesia. Impor gula dibuka lebar-lebar (poin 13). Pada poin 15 pemerintah musti menjual sejumlah BUMN go public dan pemerintah harus menjual seluruh sahamnya (Ishak Rafick: Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, Jalan Baru Membangun Indonesia, 2009).

Apa kepentingan IMF memaksakan kebijakan yang berada di luar akal sehat tersebut? Prof. Sritua Arief akan membantu kita menemukan jawab. Menurut ekonom kerakyatan ini IMF selalu mendasarkan modus operandinya atas beberapa persyaratan. Pertama, memaksakan mekanisme pasar bebas sebagai penentu pembentukan harga barang dan jasa sebagai proses pengalokasian sumber-sumber ekonomi ke tingkat yang optimal. Kedua, swastanisasi seluas-luasnya dalam ekonomi. Ketiga, pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal yang kontraktif dengan tujuan mencegah meningkatnya inflasi. Keempat, segala bentuk proteksi dihapuskan dan liberalisasi impor dilaksanakan demi menimbulkan daya saing dan efisiensi unit-unit ekonomi domestik. Terakhir, memperbesar dan memperbesar arus masuk investasi asing dengan fasilitas yang lebih luas dn liberal ke seluruh sektor ekonomi dalam berbagai skala investasi (kecil, menengah, dan besar) (Prof. Dr. Sritua Arief: IMF/Bank Dunia dan Indonesia, 2001). Resep-resep inilah yang menghancurkan kedaulatan negara ini mulai 1966-1998.

Langkah awal

Di awal sudah disebutkan, inilah negeri tempat mayoritas penghuninya menatap kesejahteraan itu masih sebatas impian. Begitu banyak perangkat yang diperlukan untuk menyejahterakan rakyat sudah diserahkan ke asing. Barangkali kita masih ingat petuah ini: semakin miskin seseorang atau keluarga, maka semakin besar bagian dari penghasilannya dihabiskan untuk makan. Kita miris menyaksikan yang terjadi di atas bumi pertiwi ini. Air yang dianugrahkan Tuhan sebagai anugrah gratis, di tangan investor berubah menjadi barang dagangan supermahal. Perut bumi begitu kayanya. Yang ada bukan eksplorasi, akan tetapi eksploitasi membabi buta. Dan semua keuntungan yang didapat dibawa kabur ke negara orang.

Semestinya kita jangan melupakan peran permanen pemerintah: membuka akses selebar-lebarnya bagi rakyat yang mereka pimpin menikmati kekayaan negeri ini, tanpa terkecuali. Itu hanya bisa terwujud tatkala semua peraturan-peraturan yang menghalangi jalan menuju ke sana dienyahkan dari semua kitab undang-undang. Termasuk ke 50 poin Letter of Intend IMF yang sudah disebutkan di atas yang hingga kini masih bercokol rapi di meja pembuat kebijakan negeri ini.


*Aktif di Komunitas Mata Kata, Tinggal di Medan


Kepustakaan:

Atolio A. Boron. The Truth of Capitalism Democracy. http://www.socialisregister.com/

Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. 1964.

Ishak Rafick. Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Jalan Baru Membangun Indonesia. Ufuk Press Cetakan Ketiga, Maret 2009.

Prof. Dr. Sritua Arief. IMF/Bank Dunia dan Indonesia. Muhammadiyah University Press Universitas Mumahmmadiyah Surakarta, Cetakan Pertama, 2001.

Wawan Tunggul Alam. Di Bawah Cengkeraman Asing: Membongkar Akar Persoalannya dan Tawaran Revolusi untuk Menjadi Tuan di Negeri Sendiri. Ufuk Press Cetakan Pertama. Juli 2009

Tidak ada komentar: