Sabtu, 31 Juli 2010

Solo Menantang Medan

Solo Menantang Medan
Dian Purba*
Analisa, 5 Juli 2010



Pada goresan Drs. Naurat Silalahi, “PKL: "Dilema yang Tak Teratasi"” (Analisa, 21/6), pedagang kaki lima diperlakukan sangat tidak sepantasnya, sekedar berkata tidak manusiawi. Mengutip salah satu berita Analisa di bulan Mei, Naurat menilai pedagang kaki lima dari sudut pandang yang sangat parsial, berat sebelah. Silalahi pun sepertinya merekayasa percakapan dialog antara pemilik toko emas di Pringgan dengan pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di “emperan” toko. Simak kutipan berikut: “Maaf jangan berjualan di sini karena kami terganggu berjualan." Dan menurut Naurat pedagang kaki lima itu tidak mengindahkan dan ngotot berjualan di situ lantaran: “... bisa jadi dia berani bertahan karena ada oknum tertentu yang membeking, sehingga si oknum PKL menjadi nekat.”

Saya mengkuatirkan kalimat tersebut: “... dia berani bertahan karena ada oknum tertentu yang membeking, sehingga si oknum PKL menjadi nekat.” Adalah kenekatan berpikir mengandaikan pedagang kaki lima berlindung di bawah oknum tertentu sehingga mereka bisa berjualan. Barangkali juga kenaifan persepsi mengatakan pedagang kaki lima digolongkan oknum nekat. Dengan mereka dikejar-kejar Satpol PP tiap kali rajia digelar saja telah mematahkan pendapat tersebut.

Bagaimana kita menempatkan pedagang kaki lima dalam kehidupan bernegara? Pertanyaan mengenai tujuan bernegara akan menemukan jawab saat bagaimana negara memperlakukan warganya, dalam hal ini pedagang kaki lima. Tulisan Naurat Silalahi (NS) akan membantu kita menemukan pola pemerintah memperlakukan pedagang kaki lima.

“Tanya yang tak terjawab sampai ke pikiran, kenapa dibiarkan,” cemas NS. “Apa tidak ada pihak berwenang yang menangani mereka ini.” Kenapa dibiarkan? Pertanyaan bernada disfemisme. Andai kita hilangkan prasa sebelum koma di kalimat pertama dan kedua kata terakhir di kalimat kedua, hasilnya: “Kenapa dibiarkan mereka ini?” Dan sepertinya saya tidak teramat keliru menafsirkan tujuan kalimat itu demikian.
Pemerintah memandang pedagang kaki lima laiknya buronan teroris di satu sisi dan gadis jelita di sisi yang lain. Buronan teroris menyangkut perlakuan yang mereka terima: derap langkah angkuh Satpol PP dengan pentungan di tangan dan buldoser penghancur di belakang mereka. Gadis jelita lantaran petugas pemungut pajak tidak pernah absen membawa kuitansi ke pinggiran jalan itu.

Pedagang kaki lima juga mesti mengorbankan segala sesuatunya saat mereka digusur. Termasuk harga diri dengan cara bertelanjang di depan Satpol PP. Tentulah alasan tidak adanya budaya malu dan kesadaran tinggi seperti yang tidak NS jumpai pada pedagang kaki lima di Seoul itu mesti dibuang secepat mungkin ke dasar laut. Karena ketika alasan itu diajukan sama saja kita menghilangkan semua faktor-faktor pendukung yang di Korea Selatan diterapkan berdasarkan hati nurani. Di sini, mereka digusur untuk sebuah alasan yang sangat subjektif: supaya keindahan kota terjaga dengan sempurna. Kita kerap lupa, indah menurut Wali Kota berbeda dengan indah menurut pedagang kaki lima. Dengan sendirinya pula, warga Medan yang berdagang di kaki lima, barangkali warga-warga lain, merasakan betapa tidak enaknya berpemerintah.

Di Solo PKL Bisa Ditata dan Mau

Ternyata kita tidak mesti pergi ke Seoul dan mengambil tempat duduk di bagian kanan bus sembari memainkan peran pengawas: ada atau tidaknya pedagang kaki lima yang berjualan sembarangan di pinggir jalan. Kita punya Solo. Menarik sekali menelaah motto kota ini: Solo masa depan adalah Solo Masa lalu, Solo modern adalah Solo yang tradisional. Majalah Mingguan Tempo memilih kota ini sebagai kota terbaik: Rumah Pedagang Kaki Lima (Tempo, 23 Agustus 2009). Joko Widodo wali kotanya sungguh takkan kita gelari wali kota edan lantaran menjadikan pedagang kaki lima sebagai mitra. Jokowi, panggilan akrab Joko Widodo, melibatkan masyarakat dalam membangun kota. Beberapa hal di bawah ini dia lakukan untuk mewujudkan motto tersebut.

Jokowi berhasil memindahkan hampir seribu pedagang kaki lima dari kawasan Monumen Juang Banjarsari ke Pasar Klitik tanpa gejolak. Di tempat baru itu mereka mendapat shelter, gerobak, dan celemek. Semua gratis. Juga disediakan lapangan parkir, pohon-pohon peneduh di taman. Setiap pedagang yang dipindahkan mendapat kios baru tanpa biaya. Juga mereka dilengkapi dengan surat hak penempatan dan kartu tanda pedagang. Akses transportasi ke sana juga dibuka. Semua tanpa biaya. Kok bisa?

Dialog dibuka buat meredam potensi konflik. Joko butuh 54 kali jamuan makan selama tujuh bulan untuk meyakinkan mereka bahwa pemindahan itu sangat penting. Setelah semua bersepakat, pawai besar-besaran pun digelar menghantar para pedagang kaki lima ke tempat yang baru. Tentu Satpol PP juga ikut serta di sana. Dan tentu pula tidak dengan pentungan, melainkan mengenakan pakaian tradisional Jawa.

Pemerintah Solo berusaha melindungi pedagang kecil dengan Peraturan Wali Kota membatasi berdirinya mal besar dan melarang penjamuran minimarket. Solo hanya memiliki satu mal. Toh, Solo tidak kelihatan tampak kolot ketinggalan jaman lantaran memaksimalkan yang tradisional sebagai penghuni mayoritas sudut-sudut kota.
Kota Medan punya ambisi berbeda. Hendak meniru Jakarta, semua perangkat untuk menjadikan kota ini tampak “indah” diperlengkapi sedemikian rupa. Masyarakat Medan boleh jadi teramat terluka hatinya sebab menjadi korban langsung pemenuhan ambisi itu.

Lihatlah, di beberapa sudut kota Medan, masyarakat berhadap-hadapan langsung dengan pemodal raksasa tanpa mendapat dampingan dari pemerintahnya. Katakanlah misalnya pendirian pusat perbelanjaan Carefour di Padang Bulan. Pedagang tradisional bermodal kere itu dilaga di atas ring yang semua sarana pertandingan tidak pernah akan memihak kepada mereka. Mereka diusir dari ladang penghidupannya yang notabene sudah berada di sana jauh-jauh-jauh sebelum perusahaan dari Perancis itu menjejakkan kaki di Indonesia. Atas nama menjadikan Medan menaikkan statusnya dari kota metropolitan menjadi kota megapolitan, para pembayar pajak ini dihempaskan ke liang teramat gelap sehingga cahaya kehidupan tidak lagi mereka temukan di sana.

Kini para pejabat kota Medan, mengutip B Herry Priyono (Kota dan Harta, 2009), bertindak sebagai “pengusaha” yang menjual kota, wilayah, dan apa yang bisa ditawarkan kepada investor global. Policy disebut sukses apabila pengusaha berdatangan melakukan investasi, dalam supermarkets dan malls, sekolah dan rumah sakit internasional.

Tentulah kota yang begini akan meninggalkan hati nurani dalam derap langkahnya membangun kota. Kota tidak lagi ditujukan untuk manusia, melainkan kota disediakan buat memfasilitasi pemodal mengakumulasi fulus. Dan akan semakin mensemrawutkan akal tatkala penguasa merangkap pengusaha. Meskipun hal-hal yang begini sudah menjadi keumuman di banyak tempat.

Herry Priyono menamai kota yang demikian ini sebagai kota “zona kritis”. Dia menulis, dengan mengutip Henri Levebvre: “jika bukan manusia yang menjadi pusat kota, untuk siapakah kita masih membangun? Bagaimana kita membangun? … Apa yang penting? Siapa yang masih berpikir? Siapa yang masih bertindak? Siapa yang masih berbicara dan berbicara untuk siapa?”


*Bergiat di Komunitas Mata Kata, tinggal di Medan

Tidak ada komentar: