Sabtu, 31 Juli 2010

Prestasi, yes; Jujur, harus!!

Prestasi, yes; Jujur, harus!!
Dian Purba*

Dimuat di Analisa, 22 Januari 2010


Kalau di akhir tahun 2008 dunia pendidikan berduka lantaran undang-undang Badan Hukum Pendidikan disahkan, bulan-bulan di akhir 2009 ditandai betapa “keras kepala”-nya pemerintah menyangkut ujian nasional. Puncak kebebalan pemerintah ditunjukan dengan pengabaian putusan Mahkamah Agung menolak kasasi pemerintah terkait ujian nasional.

Berawal dari 58 siswa yang tidak lulus ujian beserta sejumlah orangtua yang anaknya tak lulus ujian mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2006. Inti gugatan: meminta ujian nasional tidak dijadikan syarat kelulusan dan meminta kebijakan pendidikan dievaluasi. Pada 12 Mei 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian guga-tan tersebut. Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan, dan Ketua Badan Standarisasi Nasional Pendidikan dijadikan pihak tergugat. Mereka dinilai lalai dalam meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta infor-masi pendidikan, khususnya di daerah pedesaan.

Para tergugat melalui Kejaksaan Agung mengajukan banding. Kembali, pengadilan menolak banding ini. Tidak puas dengan hasil tersebut pemerintah mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. September lalu kembali pemerintah harus gigit jari: kasasi ditolak. Keputusan pengadilan terdahulu yang mewajibkan pemerintah meningkatkan kualitas guru dan kelengkapan sarana-prasarana pendidikan dan akses informasi pendidikan di seluruh daerah sebelum mengeluarkan kebijakan ujian nasional, tetap berlaku.

Nah, apa tanggapan Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan Kabinet Indonesia Bersatu II? “Jika mengacu pada pemenuhan kualitas guru dan sarana prasarana, sampai kiamat pun tak akan terlaksana.” Pemerintah bersikukuh melaksanakan ujian nasional. Karena menurut pemerintah akan sia-sia belaka jika ujian nasional difungsikan hanya sebagai pemetaan kualitas pendidikan.

Naga-naganya pemerintah tidak pernah peduli dengan beban para siswa dan guru-guru, dan orang-tua para murid. Bukankah para guru setiap hari mengajar murid-muridnya, mengikuti setiap perkembangan belajar anak didiknya, dan di akhir semua proses belajar-mengajar itu pemerintah datang dengan otoritas tunggal sebagai penentu kelulusan? Bayangkan, Saudara. Dengan sarana-prasarana pendidikan dan kualitas guru berkualitas sekarat di Papua sana dipaksa bekerja keras mengejar tingkat kelulusan yang sudah dipatok dari Ja-karta. Tentu ini tidak adil.

Di tempat lain, dalam sebuah wawancara dengan koran nasional, Menteri Pendidikan menelurkan istilah: „Prestasi, yes; Jujur, harus!” Siapa yang berprestasi dan jujur kepada siapa? Muhammad Nuh dalam kesempatan yang sama menegaskan dalam lima tahun masa jabatannya akan menjadikan dunia pendidikan dengan prinsip No Discrimina-tion. Kemampuan siswa mampu dan tidak mampu harus disejajarkan dalam proses pendidikan. Semua akan mendapat kesempatan sama. Benarkah demikian?

Undang-undang Badan Hukum Pendidikan akan berkata lain. Undang-undang ini adalah pemutarbalikan logika berpikir pemerintah. Bagaimana bisa pendidikan dijadikan badan hukum? Bukankah badan hukum mewajibkan lembaga pendidikan menyetor pajak ke negara? Inilah sesat pikir pertama. Seharusnya pemerintah mengalokasikan dana secukupnya hingga setiap anak bisa bersekolah setinggi-tingginya dari hasil pajak, bukan memajaki lembaga pendidikan.

Sesat pikir selanjutnya adalah ketidaksetiaan negara menjalankan amanat pembukaan Undang-undang Dasar: mencerdaskan kehidupan bangsa. UU BHP pasal 4 bagian f berbunyi: “akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominnya.” Pasal ini akan segera bertentangan dengan pasal 46 bagian (1) dan: “Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru.”

Lantas, warga miskin yang tidak memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi yang jumlahnya berjimbun itu hendak dikemanakan? Apakah mereka bukan Warga Negara Indonesia?

Sepertinya Pak Menteri hanyalah menabur angin saja dengan slogan No Discrimination itu. Mari kita anggap ini silat lidah pemerintah saja. Belum lagi kita bicara dengan kualitas guru, hal yang tidak bisa dilupakan.

Sertifikasi guru tujuannya baik: meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru. Namun, fakta berkata lain. Dari sekitar 2,7 juta guru, baru sekitar 350.000 guru yang lulus sertifikasi dan mendapat tunjangan sebesar satu kali gaji. Segera setelah lulus, mereka tidak lagi bergairah mengikuti seminar, membuat makalah, dan hal lain yang berkaitan dengan peningkatan kualitas guru. Sertifikasi dimaknai hanya mengumpulkan sebanyak-banyaknya sertifikat untuk sekedar lulus. Setelah itu cukup sudah.

Begitu karut-marutnya pendidikan kita dan begitu gamangnya pemerintah mengantisipasinya. Pemerintah cukup berpuas diri hanya dengan menyediakan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN. Pemerintah sepertinya berdiri terpisah dari warganya. Hingga saat ini, pendidikan dasar wajib sembilan tahun yang berkualitas belum mencakup semua warga dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah melupakan hakikat pendidikan: mencerdaskan dan membebaskan. Pemerintah gencar mendirikan sekolah bertaraf internasional di kota-kota besar namun lalai dengan sekolah bertaraf karatan di pelosok-pelosok.

Ternyata pemerintah belum jujur. Rupanya pemerintah belum berprestasi di mata warganya. Dengan demikian slogan "Prestasi, yes; Jujur, harus!‟ kita kembalikan saja ke pemerintah. Dan barangkali kita tambahi saja dengan satu slogan: "Bercermin, musti!‟ (*)


*Aktif di Komunitas Mata Kata, Medan

2 komentar:

Ananta Politan Bangun mengatakan...

great writing. kapan bisa gabung waspada Online? hehh

pontifex.ID mengatakan...

hmm. sepertinya boleh jualah kam pindahkan beberapa catatan di Beranda Sua ke blog ini, senina. :)

Maaf komentar yang lama kam hapus saja. Sudah tidak nyambung lagi. hehehehe.