Sabtu, 31 Juli 2010

Revitalisasi Pancasila

Revitalisasi Pancasila

Dian Purba*



Kita niscaya membutuhkan dua tokoh ini guna melacak sepak terjang Pancasila sebagai dasar kita berbangsa dan bernegara: Sukarno dan Suharto. Di tangan mereka berdua Pancasila mendapatkan perlakuan berbeda. Tentunya dengan interpretasi masing-masing. Mencoba membahas Pancasila tanpa menghadirkan kedua tokoh itu sama saja dengan mencoba membuat nasi goreng tanpa nasi.

Salah satu koran nasional mewartakan betapa Pancasila sudah ditinggalkan siswa karena pengajarannya tidak menarik. Kondisi ini bertambah parah karena teramat banyak jumlah anak didik di negeri ini kesulitan sekedar mengurut melafalkan setiap silanya dengan benar. Kita harus memahami ini sebagai akibat dari sebuah kesengajaan yang sudah berlangsung cukup lama. Dan itu terjadi di jaman di mana segala sesuatunya mengacu pada mantra pertumbuhan ekonomi, pembangunan, dan stabilitas politik: Orde Baru. Barangkali tidak terlalu salah mengatakan proses itu masih berlangsung hingga kini.

Semangat awal Pancasila

Semua perangkat yang diperlukan untuk mengaburkan jasa besar Sukarno sebagai penggali Pancasila dikerahkan sedemikian rupa sehingga setiap kepala anak didik negeri ini berkata lain dari sejarah sebenarnya. Terkesan Sukarno tidak cukup besar untuk menelurkan gagasan yang kini kita jadikan sebagai dasar negara itu. Dan itulah yang kita saksikan sepanjang Orde Baru dengan setia menjalankan semua cara demi mempertahankan kekuasaan itu di segelintir orang saja selama tiga dasawarsa lebih. Jalan yang dipilih: memperkecil jasa Sukarno dan memperbesar kehebatan Suharto.

Salah satu koran nasional mengkabarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menghadiri peringatan kelahiran Pancasila tanggal 1 Juni ini. Tentulah ini pertanda baik. Dengan kata lain, SBY sudah tidak mengikuti pendahulunya, Suharto, yang menetapkan hari lahir Pancasila 18 Agustus. Asvi Warman Adam (2004) menulis, kontroversi lahirnya Pancasila dimulai awal Orde Baru dengan terbitnya buku Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi jang Otentik dan Rumusan Pancasila jang Otentik (Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1971). Menurut Nugroho, ada empat rumusan Pancasila: disampaikan Mohammad Yamin 29 Mei; Sukarno (1 Juni 1945); berdasarkan hasil kerja Tim Sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945); dan seperti termaktub dalam UUD 1945 (18 Agustus 1945).

Nugroho berpendapat, rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan 18 Agustus 1945 karena Pancasila seperti dalam pembukaan UUD 1945 dilahirkan secara sah berdasarkan Proklamasi tanggal 18 Agustus 1945. Nugroho berdalih, lahirya Pancasila tidak perlu dikaitkan dengan tokoh secara mutlak. Tentang ini, kita tilik saja pidato Bung Karno pada peringatan lahirnya Pancasila ke XIX 1 Juni 1964 di Jakarta (Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, 2006). “Ada apa dengan diriku sekarang ini?” kata Sukarno. “Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah saya sering katakan bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekadar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia.”

Mari kita lacak pidato presiden pertama Indonesia ini tentang Pancasila tanggal 1 Juni 1945 di muka rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Tubapin: Tudjuh Bahan2 Pokok Indoktrinasi, 1961). Ketua Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (PPKI) mengajukan permintaan kepada sidang PPKI untuk mengemukakan dasar Indonesia merdeka. Sebelum memaparkan dasar Indonesia merdeka, terlebih dahulu Sukarno mengartikan perkataan merdeka itu.

Menurut Sukarno, merdeka ialah political independence. Sukarno tidak sependapat dengan PT Soetardjo yang mengartikan merdeka sebagai: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka. Political independence itu diumpakan seperti satu jembatan. Jembatan emas yang akan menyebrangkan rakyat Indonesia menemui masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi. Sukarno menolak ajakan bahwa untuk memerdekakan sebuah bangsa hendaknya terlebih dahulu rakyatnya berbadan sehat, pemudanya kuat. Karena menurut Sukarno, di seberang jembatan emas itulah, di dalam Indonesia merdeka itulah, kita menyehatkan rakyat, kita mengerahkan segenap masyarakat untuk menghilangkan berbagai penyakit, kita melatih pemuda supaya menjadi kuat.

Lantas Sukarno tiba di inti pidatonya: dasar negara Indonesia merdeka. Dasar pertama adalah dasar kebangsaan. Kebangsaan berarti tidak untuk mendirikan sebuah negara berdasarkan agama, bukan pula berdasarkan satu golongan. Melainkan suatu negara buat semua. Melainkan satu kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian.

Sukarno mencium kelemahan kebangsaan ini karena kemungkian orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme: paham yang melahirkan kebangsaan yang menyendiri, paham yang menganggap bangsa lain tidak memiliki harga sama sekali. Sukarno sangat menekankan bahwa Tanah Air Indonesia hanyalah satu bagian kecil saja dari dunia. Inilah yang disebut Sukarno dengan dasar kedua: internasionalisme. Kebangsaan dan internasionalisme bagaikan saudara kembar: internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.

Dasar ketiga adalah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.” Sukarno mengajak semua agama untuk berkobar-kobar menggerakkan segenap rakyat agar mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan ke dalam perwakilan itu. Islam hendaknya membicarakan tuntutan-tuntutan Islam di permusyawaratan itu. Demikian juga dengan Kristen, Hindu, dan Budha.

Dasar keempat yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Sun Yat Sen, seorang pemimpin nasionalis Tiongkok, menjadi sumber inspirasi Sukarno yang merangkum tiga ideologi: nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Dengan berkobar-kobar Sukarno berujar: “Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya.”

Lebih lanjut Sukarno: “Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratie, yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.” Politik demokrasi ekonomi yang dimaksud Sukarno tidak semata-mata persamaan dalam politik, melainkan juga persamaan di lapangan ekonomi, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Kita akan dibantu Atalio A. Boron dalam mengartikan demokrasi ekonomi. Dalam tulisannya The Turth of Capitalism Democracy (2006), Atalio menyimpukan bahwa demokrasi memiliki empat level yang berbeda: electoral democracy (demokrasi elektoral/pemilu); political democracy (demokrasi politik); social democracy (demokrasi sosial); economic democracy (demokrasi ekonomi). Pada level terkahir, demokrasi ekonomi, pemerintahan yang berkuasa dimandatkan untuk menghapus keistimewaan yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang atas sumberdaya ekonomi, dan membuka akses yang luas kepada mayoritas untuk mengontrol dan mengendalikan sumberdaya ekonomi terbatas itu. Dengan demikian, tidak ada lagi pemisahan antara politik dan ekonomi, atau masyarakat sipil dengan politik. Dengan kontrol atas sumber daya ekonomi yang menyebar, politik tidak lagi merupakan hal yang istimewa yang diperebutkan dengan taruhan nyawa.

Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi prinsip kelima yang diajukan Sukarno. Prinsip ini menjelaskan bahwa Indonesia bukan saja bertuhan, tetapi juga masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan sendiri. Kristiani menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, kaum Muslim bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s. a. w., orang Budha dan Hindu menjalankan ibadatnya menurut kitab yang ada padanya. Hendaknya pula segenap rakyat bertuhan dengan berkebudayaan, yakni dengan tidak mengedepankan egoisme agama.

Sepertinya Sukarno begitu gandrung dengan angka lima mengingat Rukun Islam ada lima, indera pun terdiri dari lima. Inilah yang membuat dia awalnya menamakan lima mutiara galiannya itu Panca Dharma. Karena Dharma memiliki arti ‘kewajiban’, dengan demikian tidak tepat mewakili kata dasar, dia lantas menggantinya menjadi ‘Panca Sila’: lima asas atau dasar. Kemudian Sukarno menawarkan lima sila itu menjadi tiga sila saja apabila ada dari anggota PPKI kurang begitu senang dengan angka lima. Ketiga sila itu: sosial-nasionalisme; sosial-demokrasi; dan ketuhanan. Andai angka tiga kurang berkenan, Sukarno kemudian memerasnya menjadi satu sila saja: gotong royong.

Dengan demikian benarlah Asvi Warman Adam yang menuliskan bahwa memang ada tokoh lain yang berbicara tentang dasar negara, tetapi hanya Sukarnolah yang secara eksplisit menyampaikan gagasan tentang Pancasila, bahkan termasuk nama Pancasila.

Orde Baru dan Pancasila

Barangkali tidak ada yang teramat penting bagi Orde Baru selain mengibaratkan peristiwa Gerakan 30 September itu sebagai ajang untuk membuktikan bahwa Pancasila itu sakti mandraguna. Inilah kemudian yang melahirkan Hari Kesaktian Pancasila dirayakan tiap 1 Oktober. Yang kita saksikan kemudian adalah, tentu mengatasnamakan kesaktian Pancasila, pembantaian massal kepada mereka anggota Partai Komunis Indonesia, simpatisan PKI, pendukung Sukarno, dan semua yang dianggap ada hubungannya dengan gerakan kiri. Beberapa sejarawan menyebut angka mengerikan jumlah korban pembantaian, berkisar tiga juta orang. Apakah Pancasila menunjukkan kesaktiannya lewat membunuh jutaan orang?

Bahwa ada unsur PKI terlibat dalam Gerakan 30 September, tidak dengan sendirinya membenarkan perbuatan biadab itu. Karena menurut John Roosa (2006), PKI tidaklah terlibat secara partai, melainkan hanyalah keterlibatan beberapa elit partai itu saja atas nama pribadi. Yang dikaburkan oleh peringatan itu ialah kekerasan yang jauh lebih besar yang dilakukan kepada pendukung komunis segera sesudah usaha kudeta.

Katharine E. McGregor dalam bukunya Ketika Sejarah Berseragam (2008), menyebutkan hari-hari peringatan adalah bagian yang penting dari kegiatan menempa ingatan nasional. Orde Baru lewat militer menggunakan sejarah untuk membenarkan peran politik mereka, karena itu sumber-sumber militer Indonesia lebih tepat digambarkan sebagai melakukan pelembagaan terhadap “ingatan resmi.” Efek lanjutan dari dominasi militer dalam ranah politik, pun penulisan sejarah lewat Pusat Sejarah ABRI yang dimotori Nugroho Notosusanto, memaksa masyarakat sipil menaati versi sejarah yang dibesar-besarkkan mengenai peran militer dalam sejarah.

Katharine lebih lanjut menulis: “Sikap munafik yang terdapat dalam upaya rezim mengaitkan dirinya dengan pelaksanaan Pancasila secara murni, suatu filsafat yang mencakup prinsip “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan prinsip “keadilan sosial”, hanya bisa disadari sepenuhnya dengan mencermati tindakan yang mereka ambil saat itu terhadap musuh-musuh rezim, terutama orang komunis-atas nama menegakkan Pancasila.”

Wacana para petinggi Majelis Permusyawaratan Rakyat merevitalisasi Pancasila mesti ditanggapi positif. Kita, terlebih mereka yang sudah cukup lama menganggap kesejahteraan itu hanyalah di mimpi saja, sudah cukup lama merasakan hilangnya fungsi negara: mensejahterakan rakyatnya. Perangkat untuk mewujudkan itu terjumpai di Pancasila. Kita tentu akan mengutuk penerapan Pancasila laiknya model Orde Baru. Semangat awal Pancasila memberikan penjelasan cukup mendalam bahwa bangsa ini didirikan di atas keluhuran, di atas kebersamaan, di atas persaudaraan, di atas keterwakilan, di atas kemanusiaan, di atas gotong royong. Namun, apakah MPR menyertakan di agenda mereka untuk mengembalikan kemurnian Pancasila dengan membongkar semua sejarah gelap yang dilekatkan di diri Pancasila?


*Bergiat di Komunitas Mata Kata

Tidak ada komentar: