Kamis, 22 Oktober 2009

Menjadi Mahasiswa, ya, Berorganisasi

Sebuah fefleksi tentang yang sudah lalu[1]


Dian Purba[2]



Kesalahan mendasar dan utama Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Methodist Indonesia[3] masa kepengurusan 2005-2007 adalah besarnya kuasa yang dia miliki dan tidak berjalannya fungsi kontrol dari badan-badan di bawahnya.[4] Katakan saja BEM UMI punya posisi tawar teramat tinggi terhadap setiap kebijakan kampus, dalam hal ini semua kebijakan yang dikeluarkan dekanat maupun rektorat. Dengan sendirinya kondisi ini menghantar organisasi kampus yang baru seumur jagung ini[5] gamang hendak berbuat apa. Kuasa yang dia punya terlalu besar. Begitulah, di satu sisi keadaan ini menjanjikan sebuah perubahan mendasar di kampus yang notabene masih jauh dari standar kampus pada umumnya. Di sisi lain terbelenggunya setiap pengurus yang bercokol di sana dengan perasaan berada di atas angin. Kita akan bertemu dengan kekurangan-kekurangan lain di bawah. Salah satunya kaderasi yang tidak berjalan. Untuk itu lebih enak rasanya menerangkannya dengan contoh kasus.


Namun, itu semua hanyalah kisah-kisah penghujung di akhir episode. Episode-episode sebelumnya bukanlah kisah menyenangkan. Melainkan kisah-kisah menyayat hati, sekedar untuk tidak mengatakan kisah pilu dari semua yang layak disebut pilu-sepilu-pilunya.


Episode Awal


Slogan-slogan teramat sering menyembunyikan fakta berbau busuk dan meriasnya dengan kalimat-kalimat rancak sedemikian rupa sehingga yang berbau busuk tadi kelihatan cantik dan berbau harum pula. Dengan cara seperti inilah Universitas Methodist Indonesia[6] mengemas dirinya. Itu terjadi kurang lebih enam sampai empat tahun lalu.[7] Kini semua tampak berbeda, paling tidak tampak dari bangunan fisiknya. Laiknya seorang gadis berparas cantik. Tiada pertanyaan teramat menggoda untuk diajukan selain pertanyaan ini: apakah paras cantik diikuti pula oleh kepribadian yang mumpuni? Apakah dengan berdirinya bangunan mewah sebuah pertanda akan hadirnya sebuah kampus yang berkualitas “mewah” pula? Saya tidak ada wewenang cukup untuk menjawabnya.


Sastra 2005. Semua berawal dari sini. Kawan-kawan yang baru saja merasai asyiknya menjadi mahasiswa harus terusik ketentramannya. Sebelumnya mereka telah “dijejali” materi-materi pengubah isi kepala di areal perkemahan Sibolangit.[8] Barangkali, berbekal “pembekalan” itulah mereka turun ke “jalan” menyuarakan yang mengganjal di hati. Mereka berdemonstrasi. Mudah-mudahan saya tidak keliru, inilah kali pertama kejadian seperti itu berlangsung di kampus yang berada di bawah naungan Gereja Methodist. Semua pejabat kampus terperanjat. What’s going on? Bagaimana bisa kampus yang bernafaskan kristiani terdapat sekumpulan orang yang memukul-mukul tinjunya ke langit? Berteriak-teriak dengan nyanyian yang teramat sulit didengar oleh para pejabat kampus. Berjingkrak-jingkrak. Menggungat.


Alasan utama kenapa kawan-kawan berunjuk rasa disebabkan oleh pemukulan salah satu mahasiswa angkatan 2005 oleh Dekan Fakultas Sastra. Tidak menerima diperlakukan demikian ia lantas mengadu ke BEM Fakultas Sastra.[9] Dia menceritakan jalannya kejadian. Pemukulan yang dilakukan “Bapak”[10] mahasiswa tersebut sudah berada di luar batas kewajaran. Ada macam-macam pukulan, demikian si pengadu memulai laporannya. Pukul-pukul sayang, pukul-pukul genit, dan terakhir pukul-pukul dalam arti sebenarnya. Dia merasa pukul-pukul terakhirlah yang menimpanya.


BEM Sastra bertindak cepat. Sebanyak mungkin pengurus dikumpulkan. Diskusi. Hasilnya, harus ada pertemuan besar antara senior, mahasiswa yang jadi korban dan kawan seangkatannya, dan juga BEM Sastra sendiri sebagai wadah mahasiswa menuangkan segala unek-uneknya. Dan pertemuan besar itu pun terjadi keesokan harinya. Setelah semua perkuliahan selesai dipilih satu ruangan luas yang sanggup menampung ratusan orang. Pertemuan itu sendiri berlangsung alot. Tidak bisa tidak, untuk menyatukan langgam langkah butuh perdebatan panjang. Ada yang sepakat untuk sekedar menyurati saja sembari mengumpulkan sebanyak mungkin tanda tangan mahasiswa-mahasiswa lain. Ada yang ngotot untuk melakukan audiensi dengan rektor dengan catatan Dekan harus ada di sana. Dan yang terakhir sekaligus menjadi kesepakatan bersama: demonstrasi. Surat-menyurat dianggap kurang tepat karena potensi untuk “menghukum” si “tersangka” kecil kemungkinannya. Demikian juga dengan audiensi.

Demonstrasi hari itu dengan sendirinya memulai sejarah baru kampus UMI dan sekaligus menghantar kita ke episode selanjutnya.


Episode Radikal


Jangan merasa asing dengan istilah ini. Kata ini bukanlah hantu dari liang kubur yang begitu menakutkan. Radikal hanyalah kata yang mewakili setiap tindakan semestinya yang harus dilakoni menghadapi setiap lakon yang mencoba menjauhkan jarak antara penerima hak dan pemberi kewajiban. Ya, sudahlah. Mari saya kutipkan saja pendapat Paulo Freire tentang kata radikal.


Radikalisme berarti semakin meningkatnya keterlibatan orang pada pihak yang dipilihnya. Ini terutama adalah sikap kritis, cinta, rendah hati dan komunikatif, dan dengan sendirinya demikian positif. Orang yang membuat pilihan radikal tidak menolak hak orang lain untuk memilih, ia pun tidak mencoba memaksakan pilihannya kepada orang lain. Tetapi ia dapat berdiskusi dengan orang lain mengenai pilihan-pilihan mereka. … Diresapi oleh cinta, kaum radikal menyandang tugas untuk melawan kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang mencoba membungkamnya-yang atas nama kebebasan membunuh kebebasan orang lain dan kebebasan mereka sendiri. … Kaum radikal tidak menerima secara pasif kekuasaan yang berlebihan dari beberapa orang yang membuat semua orang menjadi tidak manusiawi.[11]


Dengan jiwa radikal yang telah tertanam di jiwa, kami tidak menerima semua itu. Jelas-jelas pemukulan tersebut bukanlah tindakan yang tepat, terlebih kejadiannya berlangsung di tempat masyarakat ilmiah berkumpul.[12] Kami memilih menolak kekerasan yang menimpa kawan kami. Tindakan tidak manusiawi ini harus dikontrakan dengan sikap aktif, bukan pasif. Juga tidak teramat keliru mendasarkan semua tindakan yang kami lakukan kemudian dilandasi oleh cinta mendalam terhadap sesama mahasiswa dan juga terhadap masa depan kampus. Bahkan kepada pihak-pihak yang berseberangan dengan kami, pihak yang kami anggap telah menyimpang dari kaidah-kaidah perbuatan luhur.[13]


Kita menemukan pola serupa dengan pola yang terjadi di sekitar 1997-1998 saat mahasiswa, hampir di seluruh Indonesia, berdemonstrasi menuntut penurunan harga-harga sembilan bahan pokok. Lantas berembes menjadi isu yang lebih berat dan tentunya penuh resiko: turunkan Soeharto. Demikian juga dengan UMI. Dari diskusi-diskusi yang berlangsung pascademonstrasi terungkapklah borok kampus yang sudah terlalu lama tidak tersentuh. Sekedar menyebut beberapa: fasilitas kampus yang jauh dari memadai, birokrasi kampus yang berbelit-belit, kurikulum yang dinilai tidak layak lagi di jaman sekarang, tenaga pengajar yang hanya mengandalkan diktat saat memberi kuliah, biaya kuliah yang tiap tahun naik, lulusan yang teramat susah mendapatkan pekerjaan.


Dengan kesadaran yang demikian itu digagaslah diskusi bersama lintasfakultas. Gayung pun bersambut. Apa yang kami rasakan di fakultas kami mereka rasakan juga di fakultas mereka. Kami memutuskan untuk tidak sekedar penonton yang merasa puas bersorak-sorak di pinggir lapangan. Kami adalah subjek. Semua mahasiswa UMI adalah pelaku perubahan. Diskusi-diskusi yang berlangsung pun cukup intens.

Demonstrasi kedua pun terjadi. Kali ini hanya demonstrasi gabungan fakultas sastra dan fakultas pertanian. Tuntutannya bukan lagi kasus pemukulan, melainkan sudah menohok ke inti kekuasaan: pertanggungjawaban antara duit masuk dan hasil yang diterima mahasiswa. Yah, fasilitas kampus. Bagaimana seseorang bisa bertambah cerdas tatkala fasilitas penunjang untuk itu tidak tersedia dalam kampus?


Fakultas Pertanian yang selama ini merasa dianaktirikan maju paling depan. Sudah lama mereka asyik bercengkrama dengan diktat-diktat usang tanpa pernah menatap laboratorium yang fungsinya sama dengan kamus bagi fakultas sastra. Jadilah mereka pemamah biak teks-teks usang. Tidak suatu keheran kemudian lulusan jurusan pertanian banyak duduk di kursi di gedung bertingkat sekedar menerima keluhan dari pelanggan-pelanggan TELKOMSEL (call center).


Demonstasi selanjutnya sontak membuat semua pejabat kampus kebakaran jenggot. Tak pelak lagi, semua fakultas yang ada; ekonomi, sastra, pertanian, ilmu komputer, dan kedokteran, bergabung menjadi kumpulan massa yang begitu besar. Perkuliahan macet total. Asap membubung tinggi dari ban-ban bekas yang dibakar. Gerbang masuk kampus ditutup. Hari itu betul-betul harinya mahasiswa. Suara pengeras suara mengisi setiap sudut kampus. Luar biasa. Hujan deras tidak jadi penghalang. Terik matahari, setali tiga uang. Spanduk-spanduk yang dikerjakan hingga fajar dibentang. Bendera masing-masing fakultas berkibar. Nyanyian-nyanyian pembakar semangat berkumandang. Orasi-orasi pedas sahut-menyahut, sambung-menyambung. Semua demi satu tuntutan bersama: turunkan rektor.[14] Ada dugaan rektor telah menyelewengkan sejumlah uang kampus, termasuk uang kemahasiswaan.[15] Dan berlangsung lebih dari tiga kali.


Terlihat semua karyawan kampus komat-kamit. Berbincang-bincang dengan kolega di sampingnya. Sepertinya kejadian tersebut tidak pernah terpikirkan oleh mereka, bahkan di dalam mimpi sekalipun. Mereka tampak kuatir. Takut. Mahasiswa-mahasiswa yang selama ini diam-diam saja berubah menjadi beringas.


Sebuah Pelajaran Berharga


Akhirnya rektor terjungkal. Dia harus merelakan kursi empuknyan diduduki pejabat sementara: T. Nadapdap.[16] Kasusnya pun menggelinding. Yayasan merasa perlu menghadirkan akuntan publik independent mengaudit semua kekuangan kampus. Awalnya kasusnya transparan. Terakhir terkesan ditutup-tutupi. Entah siapa yang berdiri di belakang layar.


Di tempat lain, semua BEM berumbuk. Dirasa perlu menghidupkan kembali organisasi induk mahasiswa yang sudah terlalu lama vakum. Dengan asumsi mahasiswa harus memilki wadah menyalurkan aspirasinya. Panitia persiapan pun dibentuk. Proposal kongres diajukan. Dan cair. Dananya cukup besar. Kongres pun berlangsung di Sibolangit.[17]


Evan Hutagaol terpilih sebagai ketua BEM UMI periode 2005-2009. Disusul Aprini sebagai bendahara dan Nova Hutagalung sebagai sekretaris.[18] Segera setelah terpilih mereka merekrut calon anggota kabinetnya. Pengumuman dipajang. Perekrutannya sendiri harus melalui seleksi melalui wawancara. Terpilihlah anggota kabinet mewakili masing-masing fakultas, minus kedokteran.[19] Ada beberapa departemen yang difungsikan: departemen pengembangan organisasi, departemen penerbitan dan publikasi, departemen penelitian dan pengembangan, departemen kemahasiswaan, departemen kesekretariaan.


Tantangan pertama semua pengurus baru adalah menyamakan persepsi dan berlanjut ke program kerja. Tidak bisa dipungkiri, di antara kami masih banyak yang saling tidak mengenal. Bahkan ada yang belum pernah bertemu sebelumnya. Masalah inilah yang dicoba diselesaikan terlebih dahulu. Jawaban untuk ini adalah pelatihan. Pelatihan pun terlaksana[20]. Tentunya dengan dukungan dana dari kampus.[21] Harapannya sepulang dari pelatihan tersebut kekompakan, kalau bisa persaudaraan, sudah terjadi. Dan juga program kerja selama dua tahun sudah tercipta. Dan itu terlaksana baik. Persaudaraan terjadi dan program kerja tercipta.


Pengetahuan dasar tentang organisasi kami terapkan di BEM UMI. Pengambilan keputusan berjalan seperti seharusnya. Rapat-rapat rutin departemen pun terlaksana dengan baik. Ketiga pucuk pimpinan pun berjalan seirama. Namun, itu semua hanyalah bulan madu singkat bagi kami. Segera setelah itu perpecahanlah yang datang. Seperti yang disinggung di awal tulisan, masing-masing kami merasa di atas angin. Kami merasa kami mampu melakukan segala hal yang berkaitan dengan kampus. Yang awalnya banyak pengurus menunjukkan semangat tinggi, belakangan mundur perlahan. Di tengah-tengah kondisi seperti itu sempat terlaksana satu lagi kegiatan dari program kerja yang sudah disusun rapi di Sibolangit. Kegiatan itu datang dari Departemen Penerbitan dan Publikasi: pelatihan jurnalistik.[22] Barangkali kegiatan yang paling berhasil, selain pelatihan di Sibolangit. Terbukti dengan tercetusnya ide membuat satu koran kampus yang kami namai Mata Kata.[23] Walaupun belakangan hari program ini juga menemui jalan buntu. Bahkan belum sesmpat menelurkan satu edisi pun. Saya katakan paling berhasil karena pelatihan ini kelak melahirkan beberapa penulis.[24]


Kenapa bisa demikian? Pertanyaan teramat sulit untuk dijawab. Pandangan subjektif akan mengatakan: pihak kampus tidak menghendaki adanya organisasi kuat di kampus. Toh, nantinya akan mendatangkan bencana bagi mereka. Artinya membesarkan organisasi kritis di kampus sama saja menggali perlahan kubur mereka sendiri. Pandangan subjektif lain akan berkata: mahasiswa UMI terlalu apatis dengan organisasi kampus. Ini hanyalah bentuk pembenaran saja.


Setelah Karmel mengundang saya pagi tadi menghadiri pertemuan bersahaja ini, saya merasa senang di satu sisi dan merasa terusik di sisi lain. Senang karena keyakinan ternyata perjuangan memajukan kampus menemukan gairahnya kembali. Terusik karena merasa berhutang dengan kawan-kawan sekalian. Saya merasa kami, pengurus BEM UMI 2005-2007, lari dari tanggung jawab. Dan memang demikianlah adanya. Amanat yang kawan-kawan percayakan kepada kami tidak kami tunaikan dengan baik. Kalian berhak meminta itu kepada kami. Namun sebelum itu, biarkan saya memberikan pandangan yang menurut saya sedikit objektif memandang BEM UMI yang terdahulu.


Kekuasaan yang terlalu besar dan tidak ada kontrol cenderung melahirkan kesenangan sesaat. Kalau boleh mengumpakannya seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru dari bapaknya, senangnya bukan kepalang. BEM UMI 2005-2007 merasa semua mahasiswa UMI menyokong penuh dari belakang. Ini semua mendatangkan kemanjaan. Kami lupa roda organisasi senantiasa harus berjalan. Harus jujur saya akui, orang-orang yang mengisi kepengurusan BM UMI 2005-007 bukanlah orang-orang yang terseleksi secara baik. Hampir tiga perampat dari kepengurusan adalah kumpulan kawan-kawan dekat. Dengan demikian inilah kelemahan berikut dari organisasi ini.


Kumpulan kawan-kawan dekat cenderung bersikap kompromistis saat kawan dekat yang lain melakukan kesalahan. Kami menganggap organisasi ini adalah organisasi nenek moyang kami. Organisasi ini ada karena kami dan kami ada untuk organisasi ini. Kecongkakan yang keterlaluan.


Kelemahan lain adalah kurangnya kaderisasi. Ini terbukti dari satu peristiwa saat ketua bepergian ke pulau Jawa, nyaris mesin organisasi ikut terbawa serta bersamanya.[25] Semua kegiatan mati. Tidak ada lapis kedua-ketiga yang mampu menjalankan organisasi. Semua tergantung sama ketua. Inilah yang disebut sindrom nennen: tahunya hanya menetek saja. Pengurus di bawahnya tidak ada yang sanggup menyantap makanan keras.


Ini dapat dimaklumi karena latar belakang hampir semua pengurus tidak pernah bersinggungan dengan organisasi yang sehat: sehat secara struktur dan sehat secara fungsi, dalam hal ini pembagian tugas. Semua pendapat ini hanyalah pandangan dari saya saja. Boleh jadi kawan-kawan akan menemukan penjelasan berbeda dari pihak lain. Dan itu sah-sah saja. Yang demikian itu malah sangat dianjurkan untuk diajukan. Kawan-kawan harus aktif mencari penjelasan tambahan. Saya hanyalah segelintir dari sekian banyak pelaku yang terlibat dari semua peristiwa yang sudah disebutkan di atas.


Tidak ada harapan saya yang lebih besar selain melihat kembali organisasi yang sudah dirintis dengan susah payah ini berjalan kembali. Tongkat estafet itu kini berada di tangan kawan-kawan. Ambillah itu. Berlarilah. Pelajari semua bahan-bahan yang diperlukan untuk itu. Kuasai. Dan terapkan. Semua kesalahan-kesalahan yang dilakukan pendahulu kalian jangan diulangi kembali. Ambil manfaat dari situ. Karena keledai sekalipun tidak akan pernah terperosot ke lobang yang sama.


Catatan ringkas ini hanyalah catatan pembuka dari begitu banyaknya kemungkinan catatan-catatan yang bakal menyusul. Banyak pandangan subjektif di dalamnya. Mengurangi subjektifitas tersebut salah satunya dengan diskusi. Saya relakan diri ini teman kalian berbagi. Anggaplah ini sebagai permintaan maaf awal untuk kalian. Meskipun tidak akan menghapuskan semua kesalahan-kesalahan yang telah kami perbuat.

Pesan terakhir, jangan sia-saiakan waktu Anda di kampus tanpa pernah berorganisasi. Organisasi yang sehat akan menggembleng Anda menjadi manusia bertanggung jawab. Tugas-tugas organisasi yang kelak Anda pangku akan membuat Anda semakin berani bersikap. Kolektifitas, di sanalah itu Anda temukan.


Pengetahuan banyak kita jumpai di sana. Pengorganisasian diri. Manajemen. Bergaul dan bersahabat dengan orang-orang yang belum pernah Anda kenal sebelumnya. Memberi peluang kepada Anda mencicil sedikit demi sedikit mempelajari jiwa kepemimpinan yang tangguh. Dan terakhir dan yang tidak kalah pentingnya, hanya berorganisasilah perubahan itu akan terwujud. Salam mahasiswa.

***



[1] Pertemuan lanjutan inisiasi pembentukan kembali BEM UMI, Kampus III Fakultas Pertanian Universitas Methodist Indonesia Medan, 22 Oktober 2009.

[2] Mantan anggota BEM UMI masa kepengurusan 2005-2007, Koordinator Departemen Pengembangan Organisasi

[3] Selanjutnya disingkat BEM UMI.

[4] Badan-badan yang dimaksud adalah BEM setiap fakultas dan juga organisasi-organisasi ekstra kampus seperti UKM KMK UMI, RINDALA.

[5] Sebenarnya BEM UMI kepengurusan 2005-2007 adalah lanjutan dari masa-masa kepengurusan sebelumnya. Karena satu dan lain hal, kepengurusan sebelum 2005 macet dan nyaris tidak tampak wujud nytatanya.

[6] Selanjutnya disingkat UMI.

[7] Saya sudah lama tidak berkunjung ke UMI. Perkembangan terakhir yang saya dengar UMI telah membangun kampus Hang Tuah dengan megahnya. Demikian juga bertambahnya kampus khusus untuk Fakultas Pertanian.

[8] Hampir tidak pernah BEM Fakultas Sastra mendapat ijin resmi dari Dekanat melaksanakan kegiatan ini: inagurasi.

[9] Saat itu Ketua BEM Fakultas Sastra adalah Dian Purba.

[10] Dalam beberapa kesempatan pertemuan dengan Drs. P. Simanjuntak, Dekan Sastra, ia mengumpakan dirinya sebagai Bapak bagi mahasiswa-mahasiswanya.

[11] Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 10.

[12] Baca Wawasan Almamater Universitas Methodist Indonesia.

[13] Ada kelakar di antara kami saat itu yang menyatakan bahwa: “Apa akan kita biarkan mereka (pejabat kampus) masuk neraka karena telah membiarkan mereka melanggar ajaran Tuhan?”

[14] Saat itu dijabat oleh A.P. Tambunan.

[15] Kegiatan kemahasiswaan acap kali terlaksana bukan karena ada sokongan dana dari kampus. Tentunya ini sebuah kejanggalan. Bukankkah setiap kali mahasiswa membayar uang kuliah dengan sendirinya disisihkan pula untuk kegiatan kemahasiswaan. Dan ini sepenuhnya menjadi hak mahasiswa.

[16] Sebelumnya menduduki jabatan Pembantu Rektor I

[17] Barangkali tidak ada lagi di antara teman-teman yang hadir sekarang di sini ikut sebagai peserta kongres. Saya sendiri tidak hadir kala itu. Carilah informasi selengkapnya tentang kongres itu dari teman-teman yang ikut.

[18] Evan Hutagaol dari fakultas sastra angkatan 2000; Aprini dari fakultas ekonomi angkatan 2003; Nova Hutagalung dari fakultas pertanian angkatan 2003.

[19] Alasan kenapa mahasiswa kedokteran tidak terlibat dalam kepengurusan tersebut tidak diketahui pasti. Besar kemungkinan ini adalah alasan subjektif mereka karena tidak terpilih sebagai ketua BEM UMI.

[20] Pelatihan tersebut bernama Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sumatera Utara, 12-14 April 2007, Sola Gratia Pancur Batu.

[21] Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, saat proposal kegiatan diajukan ke pihak rektorat, pengurus BEM UMI tidak mengalami hambatan berarti.

[22] Pelatihan Jurnalistik Dasar, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Methodist Indonesia, 30 Mei - Juni 2007, Universitas Methodist Indonesia Medan.

[23] Saya dan beberapa teman berinisiatif menjalankan Mata Kata dan kami namai Komunitas Mata Kata. Ini hanyalah efek lanjutan dari tidak berjalannya koran kampus tersebut.

[24] Ada Jerri Nababan dari fakultas pertanian yang sudah lima kali tulisannya dimuat di Harian Analisa Medan. Juga Dian Purba dari fakultas sastra yang karyanya sudah dimuat Harian Kompas dua kali.

[25] Saat itu Evan mengikuti sebuah pelatihan tingkat nasional di Jogyakarta selama sebulan.