Kamis, 22 Oktober 2009

Menjadi Mahasiswa, ya, Berorganisasi

Sebuah fefleksi tentang yang sudah lalu[1]


Dian Purba[2]



Kesalahan mendasar dan utama Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Methodist Indonesia[3] masa kepengurusan 2005-2007 adalah besarnya kuasa yang dia miliki dan tidak berjalannya fungsi kontrol dari badan-badan di bawahnya.[4] Katakan saja BEM UMI punya posisi tawar teramat tinggi terhadap setiap kebijakan kampus, dalam hal ini semua kebijakan yang dikeluarkan dekanat maupun rektorat. Dengan sendirinya kondisi ini menghantar organisasi kampus yang baru seumur jagung ini[5] gamang hendak berbuat apa. Kuasa yang dia punya terlalu besar. Begitulah, di satu sisi keadaan ini menjanjikan sebuah perubahan mendasar di kampus yang notabene masih jauh dari standar kampus pada umumnya. Di sisi lain terbelenggunya setiap pengurus yang bercokol di sana dengan perasaan berada di atas angin. Kita akan bertemu dengan kekurangan-kekurangan lain di bawah. Salah satunya kaderasi yang tidak berjalan. Untuk itu lebih enak rasanya menerangkannya dengan contoh kasus.


Namun, itu semua hanyalah kisah-kisah penghujung di akhir episode. Episode-episode sebelumnya bukanlah kisah menyenangkan. Melainkan kisah-kisah menyayat hati, sekedar untuk tidak mengatakan kisah pilu dari semua yang layak disebut pilu-sepilu-pilunya.


Episode Awal


Slogan-slogan teramat sering menyembunyikan fakta berbau busuk dan meriasnya dengan kalimat-kalimat rancak sedemikian rupa sehingga yang berbau busuk tadi kelihatan cantik dan berbau harum pula. Dengan cara seperti inilah Universitas Methodist Indonesia[6] mengemas dirinya. Itu terjadi kurang lebih enam sampai empat tahun lalu.[7] Kini semua tampak berbeda, paling tidak tampak dari bangunan fisiknya. Laiknya seorang gadis berparas cantik. Tiada pertanyaan teramat menggoda untuk diajukan selain pertanyaan ini: apakah paras cantik diikuti pula oleh kepribadian yang mumpuni? Apakah dengan berdirinya bangunan mewah sebuah pertanda akan hadirnya sebuah kampus yang berkualitas “mewah” pula? Saya tidak ada wewenang cukup untuk menjawabnya.


Sastra 2005. Semua berawal dari sini. Kawan-kawan yang baru saja merasai asyiknya menjadi mahasiswa harus terusik ketentramannya. Sebelumnya mereka telah “dijejali” materi-materi pengubah isi kepala di areal perkemahan Sibolangit.[8] Barangkali, berbekal “pembekalan” itulah mereka turun ke “jalan” menyuarakan yang mengganjal di hati. Mereka berdemonstrasi. Mudah-mudahan saya tidak keliru, inilah kali pertama kejadian seperti itu berlangsung di kampus yang berada di bawah naungan Gereja Methodist. Semua pejabat kampus terperanjat. What’s going on? Bagaimana bisa kampus yang bernafaskan kristiani terdapat sekumpulan orang yang memukul-mukul tinjunya ke langit? Berteriak-teriak dengan nyanyian yang teramat sulit didengar oleh para pejabat kampus. Berjingkrak-jingkrak. Menggungat.


Alasan utama kenapa kawan-kawan berunjuk rasa disebabkan oleh pemukulan salah satu mahasiswa angkatan 2005 oleh Dekan Fakultas Sastra. Tidak menerima diperlakukan demikian ia lantas mengadu ke BEM Fakultas Sastra.[9] Dia menceritakan jalannya kejadian. Pemukulan yang dilakukan “Bapak”[10] mahasiswa tersebut sudah berada di luar batas kewajaran. Ada macam-macam pukulan, demikian si pengadu memulai laporannya. Pukul-pukul sayang, pukul-pukul genit, dan terakhir pukul-pukul dalam arti sebenarnya. Dia merasa pukul-pukul terakhirlah yang menimpanya.


BEM Sastra bertindak cepat. Sebanyak mungkin pengurus dikumpulkan. Diskusi. Hasilnya, harus ada pertemuan besar antara senior, mahasiswa yang jadi korban dan kawan seangkatannya, dan juga BEM Sastra sendiri sebagai wadah mahasiswa menuangkan segala unek-uneknya. Dan pertemuan besar itu pun terjadi keesokan harinya. Setelah semua perkuliahan selesai dipilih satu ruangan luas yang sanggup menampung ratusan orang. Pertemuan itu sendiri berlangsung alot. Tidak bisa tidak, untuk menyatukan langgam langkah butuh perdebatan panjang. Ada yang sepakat untuk sekedar menyurati saja sembari mengumpulkan sebanyak mungkin tanda tangan mahasiswa-mahasiswa lain. Ada yang ngotot untuk melakukan audiensi dengan rektor dengan catatan Dekan harus ada di sana. Dan yang terakhir sekaligus menjadi kesepakatan bersama: demonstrasi. Surat-menyurat dianggap kurang tepat karena potensi untuk “menghukum” si “tersangka” kecil kemungkinannya. Demikian juga dengan audiensi.

Demonstrasi hari itu dengan sendirinya memulai sejarah baru kampus UMI dan sekaligus menghantar kita ke episode selanjutnya.


Episode Radikal


Jangan merasa asing dengan istilah ini. Kata ini bukanlah hantu dari liang kubur yang begitu menakutkan. Radikal hanyalah kata yang mewakili setiap tindakan semestinya yang harus dilakoni menghadapi setiap lakon yang mencoba menjauhkan jarak antara penerima hak dan pemberi kewajiban. Ya, sudahlah. Mari saya kutipkan saja pendapat Paulo Freire tentang kata radikal.


Radikalisme berarti semakin meningkatnya keterlibatan orang pada pihak yang dipilihnya. Ini terutama adalah sikap kritis, cinta, rendah hati dan komunikatif, dan dengan sendirinya demikian positif. Orang yang membuat pilihan radikal tidak menolak hak orang lain untuk memilih, ia pun tidak mencoba memaksakan pilihannya kepada orang lain. Tetapi ia dapat berdiskusi dengan orang lain mengenai pilihan-pilihan mereka. … Diresapi oleh cinta, kaum radikal menyandang tugas untuk melawan kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang mencoba membungkamnya-yang atas nama kebebasan membunuh kebebasan orang lain dan kebebasan mereka sendiri. … Kaum radikal tidak menerima secara pasif kekuasaan yang berlebihan dari beberapa orang yang membuat semua orang menjadi tidak manusiawi.[11]


Dengan jiwa radikal yang telah tertanam di jiwa, kami tidak menerima semua itu. Jelas-jelas pemukulan tersebut bukanlah tindakan yang tepat, terlebih kejadiannya berlangsung di tempat masyarakat ilmiah berkumpul.[12] Kami memilih menolak kekerasan yang menimpa kawan kami. Tindakan tidak manusiawi ini harus dikontrakan dengan sikap aktif, bukan pasif. Juga tidak teramat keliru mendasarkan semua tindakan yang kami lakukan kemudian dilandasi oleh cinta mendalam terhadap sesama mahasiswa dan juga terhadap masa depan kampus. Bahkan kepada pihak-pihak yang berseberangan dengan kami, pihak yang kami anggap telah menyimpang dari kaidah-kaidah perbuatan luhur.[13]


Kita menemukan pola serupa dengan pola yang terjadi di sekitar 1997-1998 saat mahasiswa, hampir di seluruh Indonesia, berdemonstrasi menuntut penurunan harga-harga sembilan bahan pokok. Lantas berembes menjadi isu yang lebih berat dan tentunya penuh resiko: turunkan Soeharto. Demikian juga dengan UMI. Dari diskusi-diskusi yang berlangsung pascademonstrasi terungkapklah borok kampus yang sudah terlalu lama tidak tersentuh. Sekedar menyebut beberapa: fasilitas kampus yang jauh dari memadai, birokrasi kampus yang berbelit-belit, kurikulum yang dinilai tidak layak lagi di jaman sekarang, tenaga pengajar yang hanya mengandalkan diktat saat memberi kuliah, biaya kuliah yang tiap tahun naik, lulusan yang teramat susah mendapatkan pekerjaan.


Dengan kesadaran yang demikian itu digagaslah diskusi bersama lintasfakultas. Gayung pun bersambut. Apa yang kami rasakan di fakultas kami mereka rasakan juga di fakultas mereka. Kami memutuskan untuk tidak sekedar penonton yang merasa puas bersorak-sorak di pinggir lapangan. Kami adalah subjek. Semua mahasiswa UMI adalah pelaku perubahan. Diskusi-diskusi yang berlangsung pun cukup intens.

Demonstrasi kedua pun terjadi. Kali ini hanya demonstrasi gabungan fakultas sastra dan fakultas pertanian. Tuntutannya bukan lagi kasus pemukulan, melainkan sudah menohok ke inti kekuasaan: pertanggungjawaban antara duit masuk dan hasil yang diterima mahasiswa. Yah, fasilitas kampus. Bagaimana seseorang bisa bertambah cerdas tatkala fasilitas penunjang untuk itu tidak tersedia dalam kampus?


Fakultas Pertanian yang selama ini merasa dianaktirikan maju paling depan. Sudah lama mereka asyik bercengkrama dengan diktat-diktat usang tanpa pernah menatap laboratorium yang fungsinya sama dengan kamus bagi fakultas sastra. Jadilah mereka pemamah biak teks-teks usang. Tidak suatu keheran kemudian lulusan jurusan pertanian banyak duduk di kursi di gedung bertingkat sekedar menerima keluhan dari pelanggan-pelanggan TELKOMSEL (call center).


Demonstasi selanjutnya sontak membuat semua pejabat kampus kebakaran jenggot. Tak pelak lagi, semua fakultas yang ada; ekonomi, sastra, pertanian, ilmu komputer, dan kedokteran, bergabung menjadi kumpulan massa yang begitu besar. Perkuliahan macet total. Asap membubung tinggi dari ban-ban bekas yang dibakar. Gerbang masuk kampus ditutup. Hari itu betul-betul harinya mahasiswa. Suara pengeras suara mengisi setiap sudut kampus. Luar biasa. Hujan deras tidak jadi penghalang. Terik matahari, setali tiga uang. Spanduk-spanduk yang dikerjakan hingga fajar dibentang. Bendera masing-masing fakultas berkibar. Nyanyian-nyanyian pembakar semangat berkumandang. Orasi-orasi pedas sahut-menyahut, sambung-menyambung. Semua demi satu tuntutan bersama: turunkan rektor.[14] Ada dugaan rektor telah menyelewengkan sejumlah uang kampus, termasuk uang kemahasiswaan.[15] Dan berlangsung lebih dari tiga kali.


Terlihat semua karyawan kampus komat-kamit. Berbincang-bincang dengan kolega di sampingnya. Sepertinya kejadian tersebut tidak pernah terpikirkan oleh mereka, bahkan di dalam mimpi sekalipun. Mereka tampak kuatir. Takut. Mahasiswa-mahasiswa yang selama ini diam-diam saja berubah menjadi beringas.


Sebuah Pelajaran Berharga


Akhirnya rektor terjungkal. Dia harus merelakan kursi empuknyan diduduki pejabat sementara: T. Nadapdap.[16] Kasusnya pun menggelinding. Yayasan merasa perlu menghadirkan akuntan publik independent mengaudit semua kekuangan kampus. Awalnya kasusnya transparan. Terakhir terkesan ditutup-tutupi. Entah siapa yang berdiri di belakang layar.


Di tempat lain, semua BEM berumbuk. Dirasa perlu menghidupkan kembali organisasi induk mahasiswa yang sudah terlalu lama vakum. Dengan asumsi mahasiswa harus memilki wadah menyalurkan aspirasinya. Panitia persiapan pun dibentuk. Proposal kongres diajukan. Dan cair. Dananya cukup besar. Kongres pun berlangsung di Sibolangit.[17]


Evan Hutagaol terpilih sebagai ketua BEM UMI periode 2005-2009. Disusul Aprini sebagai bendahara dan Nova Hutagalung sebagai sekretaris.[18] Segera setelah terpilih mereka merekrut calon anggota kabinetnya. Pengumuman dipajang. Perekrutannya sendiri harus melalui seleksi melalui wawancara. Terpilihlah anggota kabinet mewakili masing-masing fakultas, minus kedokteran.[19] Ada beberapa departemen yang difungsikan: departemen pengembangan organisasi, departemen penerbitan dan publikasi, departemen penelitian dan pengembangan, departemen kemahasiswaan, departemen kesekretariaan.


Tantangan pertama semua pengurus baru adalah menyamakan persepsi dan berlanjut ke program kerja. Tidak bisa dipungkiri, di antara kami masih banyak yang saling tidak mengenal. Bahkan ada yang belum pernah bertemu sebelumnya. Masalah inilah yang dicoba diselesaikan terlebih dahulu. Jawaban untuk ini adalah pelatihan. Pelatihan pun terlaksana[20]. Tentunya dengan dukungan dana dari kampus.[21] Harapannya sepulang dari pelatihan tersebut kekompakan, kalau bisa persaudaraan, sudah terjadi. Dan juga program kerja selama dua tahun sudah tercipta. Dan itu terlaksana baik. Persaudaraan terjadi dan program kerja tercipta.


Pengetahuan dasar tentang organisasi kami terapkan di BEM UMI. Pengambilan keputusan berjalan seperti seharusnya. Rapat-rapat rutin departemen pun terlaksana dengan baik. Ketiga pucuk pimpinan pun berjalan seirama. Namun, itu semua hanyalah bulan madu singkat bagi kami. Segera setelah itu perpecahanlah yang datang. Seperti yang disinggung di awal tulisan, masing-masing kami merasa di atas angin. Kami merasa kami mampu melakukan segala hal yang berkaitan dengan kampus. Yang awalnya banyak pengurus menunjukkan semangat tinggi, belakangan mundur perlahan. Di tengah-tengah kondisi seperti itu sempat terlaksana satu lagi kegiatan dari program kerja yang sudah disusun rapi di Sibolangit. Kegiatan itu datang dari Departemen Penerbitan dan Publikasi: pelatihan jurnalistik.[22] Barangkali kegiatan yang paling berhasil, selain pelatihan di Sibolangit. Terbukti dengan tercetusnya ide membuat satu koran kampus yang kami namai Mata Kata.[23] Walaupun belakangan hari program ini juga menemui jalan buntu. Bahkan belum sesmpat menelurkan satu edisi pun. Saya katakan paling berhasil karena pelatihan ini kelak melahirkan beberapa penulis.[24]


Kenapa bisa demikian? Pertanyaan teramat sulit untuk dijawab. Pandangan subjektif akan mengatakan: pihak kampus tidak menghendaki adanya organisasi kuat di kampus. Toh, nantinya akan mendatangkan bencana bagi mereka. Artinya membesarkan organisasi kritis di kampus sama saja menggali perlahan kubur mereka sendiri. Pandangan subjektif lain akan berkata: mahasiswa UMI terlalu apatis dengan organisasi kampus. Ini hanyalah bentuk pembenaran saja.


Setelah Karmel mengundang saya pagi tadi menghadiri pertemuan bersahaja ini, saya merasa senang di satu sisi dan merasa terusik di sisi lain. Senang karena keyakinan ternyata perjuangan memajukan kampus menemukan gairahnya kembali. Terusik karena merasa berhutang dengan kawan-kawan sekalian. Saya merasa kami, pengurus BEM UMI 2005-2007, lari dari tanggung jawab. Dan memang demikianlah adanya. Amanat yang kawan-kawan percayakan kepada kami tidak kami tunaikan dengan baik. Kalian berhak meminta itu kepada kami. Namun sebelum itu, biarkan saya memberikan pandangan yang menurut saya sedikit objektif memandang BEM UMI yang terdahulu.


Kekuasaan yang terlalu besar dan tidak ada kontrol cenderung melahirkan kesenangan sesaat. Kalau boleh mengumpakannya seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru dari bapaknya, senangnya bukan kepalang. BEM UMI 2005-2007 merasa semua mahasiswa UMI menyokong penuh dari belakang. Ini semua mendatangkan kemanjaan. Kami lupa roda organisasi senantiasa harus berjalan. Harus jujur saya akui, orang-orang yang mengisi kepengurusan BM UMI 2005-007 bukanlah orang-orang yang terseleksi secara baik. Hampir tiga perampat dari kepengurusan adalah kumpulan kawan-kawan dekat. Dengan demikian inilah kelemahan berikut dari organisasi ini.


Kumpulan kawan-kawan dekat cenderung bersikap kompromistis saat kawan dekat yang lain melakukan kesalahan. Kami menganggap organisasi ini adalah organisasi nenek moyang kami. Organisasi ini ada karena kami dan kami ada untuk organisasi ini. Kecongkakan yang keterlaluan.


Kelemahan lain adalah kurangnya kaderisasi. Ini terbukti dari satu peristiwa saat ketua bepergian ke pulau Jawa, nyaris mesin organisasi ikut terbawa serta bersamanya.[25] Semua kegiatan mati. Tidak ada lapis kedua-ketiga yang mampu menjalankan organisasi. Semua tergantung sama ketua. Inilah yang disebut sindrom nennen: tahunya hanya menetek saja. Pengurus di bawahnya tidak ada yang sanggup menyantap makanan keras.


Ini dapat dimaklumi karena latar belakang hampir semua pengurus tidak pernah bersinggungan dengan organisasi yang sehat: sehat secara struktur dan sehat secara fungsi, dalam hal ini pembagian tugas. Semua pendapat ini hanyalah pandangan dari saya saja. Boleh jadi kawan-kawan akan menemukan penjelasan berbeda dari pihak lain. Dan itu sah-sah saja. Yang demikian itu malah sangat dianjurkan untuk diajukan. Kawan-kawan harus aktif mencari penjelasan tambahan. Saya hanyalah segelintir dari sekian banyak pelaku yang terlibat dari semua peristiwa yang sudah disebutkan di atas.


Tidak ada harapan saya yang lebih besar selain melihat kembali organisasi yang sudah dirintis dengan susah payah ini berjalan kembali. Tongkat estafet itu kini berada di tangan kawan-kawan. Ambillah itu. Berlarilah. Pelajari semua bahan-bahan yang diperlukan untuk itu. Kuasai. Dan terapkan. Semua kesalahan-kesalahan yang dilakukan pendahulu kalian jangan diulangi kembali. Ambil manfaat dari situ. Karena keledai sekalipun tidak akan pernah terperosot ke lobang yang sama.


Catatan ringkas ini hanyalah catatan pembuka dari begitu banyaknya kemungkinan catatan-catatan yang bakal menyusul. Banyak pandangan subjektif di dalamnya. Mengurangi subjektifitas tersebut salah satunya dengan diskusi. Saya relakan diri ini teman kalian berbagi. Anggaplah ini sebagai permintaan maaf awal untuk kalian. Meskipun tidak akan menghapuskan semua kesalahan-kesalahan yang telah kami perbuat.

Pesan terakhir, jangan sia-saiakan waktu Anda di kampus tanpa pernah berorganisasi. Organisasi yang sehat akan menggembleng Anda menjadi manusia bertanggung jawab. Tugas-tugas organisasi yang kelak Anda pangku akan membuat Anda semakin berani bersikap. Kolektifitas, di sanalah itu Anda temukan.


Pengetahuan banyak kita jumpai di sana. Pengorganisasian diri. Manajemen. Bergaul dan bersahabat dengan orang-orang yang belum pernah Anda kenal sebelumnya. Memberi peluang kepada Anda mencicil sedikit demi sedikit mempelajari jiwa kepemimpinan yang tangguh. Dan terakhir dan yang tidak kalah pentingnya, hanya berorganisasilah perubahan itu akan terwujud. Salam mahasiswa.

***



[1] Pertemuan lanjutan inisiasi pembentukan kembali BEM UMI, Kampus III Fakultas Pertanian Universitas Methodist Indonesia Medan, 22 Oktober 2009.

[2] Mantan anggota BEM UMI masa kepengurusan 2005-2007, Koordinator Departemen Pengembangan Organisasi

[3] Selanjutnya disingkat BEM UMI.

[4] Badan-badan yang dimaksud adalah BEM setiap fakultas dan juga organisasi-organisasi ekstra kampus seperti UKM KMK UMI, RINDALA.

[5] Sebenarnya BEM UMI kepengurusan 2005-2007 adalah lanjutan dari masa-masa kepengurusan sebelumnya. Karena satu dan lain hal, kepengurusan sebelum 2005 macet dan nyaris tidak tampak wujud nytatanya.

[6] Selanjutnya disingkat UMI.

[7] Saya sudah lama tidak berkunjung ke UMI. Perkembangan terakhir yang saya dengar UMI telah membangun kampus Hang Tuah dengan megahnya. Demikian juga bertambahnya kampus khusus untuk Fakultas Pertanian.

[8] Hampir tidak pernah BEM Fakultas Sastra mendapat ijin resmi dari Dekanat melaksanakan kegiatan ini: inagurasi.

[9] Saat itu Ketua BEM Fakultas Sastra adalah Dian Purba.

[10] Dalam beberapa kesempatan pertemuan dengan Drs. P. Simanjuntak, Dekan Sastra, ia mengumpakan dirinya sebagai Bapak bagi mahasiswa-mahasiswanya.

[11] Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 10.

[12] Baca Wawasan Almamater Universitas Methodist Indonesia.

[13] Ada kelakar di antara kami saat itu yang menyatakan bahwa: “Apa akan kita biarkan mereka (pejabat kampus) masuk neraka karena telah membiarkan mereka melanggar ajaran Tuhan?”

[14] Saat itu dijabat oleh A.P. Tambunan.

[15] Kegiatan kemahasiswaan acap kali terlaksana bukan karena ada sokongan dana dari kampus. Tentunya ini sebuah kejanggalan. Bukankkah setiap kali mahasiswa membayar uang kuliah dengan sendirinya disisihkan pula untuk kegiatan kemahasiswaan. Dan ini sepenuhnya menjadi hak mahasiswa.

[16] Sebelumnya menduduki jabatan Pembantu Rektor I

[17] Barangkali tidak ada lagi di antara teman-teman yang hadir sekarang di sini ikut sebagai peserta kongres. Saya sendiri tidak hadir kala itu. Carilah informasi selengkapnya tentang kongres itu dari teman-teman yang ikut.

[18] Evan Hutagaol dari fakultas sastra angkatan 2000; Aprini dari fakultas ekonomi angkatan 2003; Nova Hutagalung dari fakultas pertanian angkatan 2003.

[19] Alasan kenapa mahasiswa kedokteran tidak terlibat dalam kepengurusan tersebut tidak diketahui pasti. Besar kemungkinan ini adalah alasan subjektif mereka karena tidak terpilih sebagai ketua BEM UMI.

[20] Pelatihan tersebut bernama Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sumatera Utara, 12-14 April 2007, Sola Gratia Pancur Batu.

[21] Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, saat proposal kegiatan diajukan ke pihak rektorat, pengurus BEM UMI tidak mengalami hambatan berarti.

[22] Pelatihan Jurnalistik Dasar, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Methodist Indonesia, 30 Mei - Juni 2007, Universitas Methodist Indonesia Medan.

[23] Saya dan beberapa teman berinisiatif menjalankan Mata Kata dan kami namai Komunitas Mata Kata. Ini hanyalah efek lanjutan dari tidak berjalannya koran kampus tersebut.

[24] Ada Jerri Nababan dari fakultas pertanian yang sudah lima kali tulisannya dimuat di Harian Analisa Medan. Juga Dian Purba dari fakultas sastra yang karyanya sudah dimuat Harian Kompas dua kali.

[25] Saat itu Evan mengikuti sebuah pelatihan tingkat nasional di Jogyakarta selama sebulan.

Senin, 03 Agustus 2009

Kota Salah Berbahasa


Sudah lama plang itu berjejak di sana. Lekat persis di atas pintu masuk. Mencolok. Aktivitas keluar masuk pengunjung jelas menandakan tempat itu tempat yang sangat digandrungi setiap orang yang kepingin tampil kemayu. Saloon XXX. Tiada kesesatan di sana. Ya, paling tidak bagi mereka yang kurang giat membolak-balik kamus: bisa kamus bahasa Indonesia ataupun kamus bahasa Inggris. Kamus Besar Bahasa Indonesia sampai edisi terakhir belum menancapkan kata itu untuk mengartikan: tempat orang merawat kecantikan (merias muka, menata rambut). Kita akan menjumpainya di Oxford Advanced Learner's Dictionary. Saloon: tempat menenggak minuman beralkohol dan bisa menyebabkan mabuk.

Taruh kata Anda sakit. Serta merta menghampiri apotik, juga apotek. Saya percaya Anda akan tidak jadi membeli obat lantaran plang nama di depan toko obat tersebut tidak sesuai dengan kaidah penulisan kata yang tepat. Gelagatnya, kelewatan. Dan ini yang hendak saya lontarkan. Seumpama kita menurunkan kata apotik, akan melahirkan apotiker. Jamak apotik tapi sejumput apotek. Jelas-jelas apotiker tidak kita tanda. Sementara apoteker menunjuk orang yang ahli dalam ilmu obat-obatan.


Polisi lalu lintas menancap gas motornya. Tukang becak yang tadinya santai-santai saja, sontak tersentak. Raut wajahnya tiba-tiba saja berubah pudar. Pucat lesi bagai ayam kena lengit. Pak polisi memberi hormat. “Selamat siang, Pak. Anda tahu ini kawasan bebas becak?”, ujar petugas itu. “Tahu, Pak,” balas tukang becak singkat. “Lantas kenapa dilanggar?” “Ya ialah, Pak. Namanya juga bebas becak,” tambahnya dingin. Giliran pak polisi pucat pasi. Kawasan bebas becak sesungguhnya tidak sama dengan kawasan bebas dari becak. Kita jadi diingatkan dengan ragam bebas: bebas dari rasa takut, bebas dari kelaparan, bebas dari kemiskinan. Kawasan bebas becak membolehkan becak berlalu-lalang di kawasan tersebut. Kawasan bebas dari becak: sebaliknya. Ya, sudahlah. Biar tidak berpayah-payah, baiklah kita gubah saja: becak dilarang masuk. Ini penting biar, paling tidak, tidak ada lagi polisi terpaksa melepas “mangsanya” dengan paras tercoreng malu.


Tepian jalan itu berjejal bangunan ajek. Ramai mahasiswa di sana. Tidak lebih dari seratus meter dari situ tegak berdiri universitas tergadang di kota ini. Pantas saja memang usaha penggandaan tulisan itu berjamur. Ternyata kita mendapati beda. Alih-alih sekelumit saja fotokopi. Tidak tahu alasan pasti kenapa kata-kata berikut merajai tulisan di plang di depan gedung itu: fotocopy, potocopy, photokopi. Inilah perpaduan kacau antara ketidaktepatan mencaplok kata asing dan ketidakcukupan alasan untuk sekedar mengatakan itu kegenitan berbahasa.


Indekos itu sebetulnya kata kerja: tinggal di rumah orang lain dengan membayar setiap bulan. Tempat ini menjadi sepi saat libur panjang di pergantian tahun ajaran. Mereka yang baru saja diwisuda punya dua pilihan: meninggalkan kota ini dan mengadu nasib di tempat lain dan memilih tetap tinggal seraya memelototi surat kabar yang lowongan kerja tertera di dalamnya. Nah, tempat yang ditinggal oleh mereka yang menjatuhkan pilihan pada yang pertama dengan sendirinya nganggur. Si empunya pemondokan pun lekas menebarkan embaran: Menerima Kost. Tidak ada maksud lain selain hendak mencetuskan: ini ada kamar kosong dan silakan huni. Kost di sana tergolong kata benda. Sementara itu, indekos dan kos-lah yang terselip di vokabuler besar. Dan jangan lupa, bukan sebagai kata benda melainkan kata kerja. Bagaimana seumpama embaran itu kita salin ulang: Silakan indekos di sini atau Silakan kos di sini. Tampak canggung.


Kita patut gundah. Kamus Besar Bahasa Indonesia gogos kebesarannya. Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada mengemis kata ke negeri orang sementara tanah leluhur kita teramat berkecukupan dengan kata, logat, tutur, ungkapan. Terlamapau bakir dengan ribuan bahasa daerah. Sudah saatnya kita siapkan segala sesuatunya dan anak bangsa kelak tidak hilang percaya dirinya berujar-beraksara dengan bahasa mereka sendiri.


Saya menjatuhkan cara inilah paling tepat mengapresiasi buku ini. Dan barangkali jalan lain untuk mengatakan bahwa hampir semua kandungan di dalamnya berkutat di sekitar kesalahan-kesalahan berbahasa. Sesungguhnya, Majalah Tempo sudah lama memulainya: kolom bahasa. Kesalahan-kesalahan, kegagalan-kegagalan, dan seringnya salah kaprah berbahasa, ketika itu sudah tertulis apik dalam buku, akan membantu kita mengkoreksi diri. Dan tidak ada kata yang paling tepat menggambarkannya selain kesadaran berbahasa yang benar akan menemui kesempurnaannya.


Ijinkan saya sedikit beroleh harap bahwa dalam waktu yang tidak teramat lama lagi, harian ini akan merelakan menambah satu kolom sebagai pelengkap kolom-kolom lain dan menempelkan kolom bahasa di sana. Kita tentunya sepakat, dengan keragaman suku, agama, profesi yang terdapat di Sumatera Utara, akan mendatangkan kekayaan kajian ilmu dari segala bidang. Termasuk bahasa.


Selamat Datang Mahasiswa


Postera crescam laude
, saya akan bekerja untuk generasi mendatang (Semboyan Universitas Melbourne)


Sedikit menjenuhkan menulis mahasiswa seperti cara-cara yang biasa itu. Bukan berarti harus meninggalkan hal-hal yang mesti terlibat saat mengetengahkan penjelasan semestinya tentang sekumpulan pemuda beruntung ini. Bukan. Saya hanya akan membabarkannya dengan bahasa sederhana dan sekutil santai.


Inilah negeri tempat pemuda-pemudi berumur beranjak dewasa memandang menjadi mahasiswa itu sebuah impian. Naga-naganya ini pertanda buruk. Jelas, Kuba di Amerika Latin sana, tidak penganut paham yang demikian. Di sana setiap orang dikasih hak menamatkan diri sampai jenjang pendidikan terakhir dan tanpa ongkos secuil pun. Kalau Anda hendak bertanya kenapa bisa demikian, Anda sudah berada di jalur yang benar. Menyederhanakannya dalam uraian singkat, kira-kira beginilah paparannya.


Rakyat mempunyai hak yang sama mengakses pendidikan dan negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan. Karena pendidikan diselenggarakan oleh negara, sehingga bisa mewujudkan angka perbandingan guru dan pelajar yang luar biasa, yaitu satu tenaga pengajar untuk 13, 6 pelajar. Kemudian negara menjamin kesatuan utuh antara orang-orang yang sedang belajar dengan kebutuhan tenaga kerja dan lapangan kerja yang tersedia di seluruh negeri..


Silakan memilih, mengikuti pra-universitas atau pendidikan teknisi dan professional yang akan mengarahkan pada dunia kerja. Pra-uniiversitas akan mengarahkan Anda ke jenjang perguruan tinggi dan memperdalam bidang akademik atau menjadi tenaga pengajar. Sekali lagi, itu semua gratis. Lantas, biayanya? Negara bertanggung jawab penuh melakukan “apa saja” dengan semua kekayaan alam yang dimiliki dan keuntungan dari itu semua dikembalikan kepada sang empunya: rakyat.


Menjadi mahasiswa di Indonesia? Mari saya hantarkan Anda ke kondisi-kondisi umum yang senantiasa hadir dan akan bersinggungan dengan Anda nantinya setiap saat.

I

Keberuntungan Anda yang pertama, lulus ujian nasional. Setelah itu Anda akan mati-matian belajar membahas kumpulan soal yang sudah dirancang sedemikian rupa. Rasanya kurang abdol, kurang pas sebelum mendapat “pelatihan” supersingkat dari mentor di tempat bimbingan. Anda pun ikut seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Dan lulus. Selamat. Tapi tahukah Anda persentase antara yang lulus dan yang harus gigit jari? Hitung berapa banyak kawan-kawan SMA kalian yang sanggup meneruskan kuliah. Tidak berimbang. Itulah makanya Anda disebut kaum beruntung. Beruntung karena kesempatan menjadi mahasiswa tidak dimiliki setiap orang.

II

Selamat datang di kampus. Kakak-kakak senior kalian segera akan berceloteh: mahasiswa itu agen perubahan, mahasiswa itu calon pemimpin, mahasiswa itu intelektual muda. Jargon yang sanggup menembus relung hati terdalam dan menghantarkan kalian ke dunia mimpi. Hari ini kalian akan memasuki kampus yang memiliki tradisi pendidikan yang buram. Buram ketika absensi yang sangat ketat mengurung kreatifitas mahasiswa. Buram saat pelajaran tidak membuat Anda cerdik tapi membikin lapar.


Kalian akan saksikan: perpustakaan tidak sepadan dibandingkan dengan jumlah pengungjung pusat-pusat perbelanjaan. Tidak usah ditanya lagi: perpustakaan menjadi tempat tersunyi. Kalian boleh tidak percaya, tapi inilah kenyataannya: sebagian besar kakak senior kalian hanyalah fokus mengejar nilai. Terkadang menghalalkan cara—cara kotor. Tradisi bertanya bukanlah sesuatu yang mudah didapati. Mereka begitu garang di luar kelas, tapi betapa pendiamnya mereka saat berhadapan dengan dosen, menjadi sangat lembek, dan penuh keraguan. Semuanya ditumpas habis karena mandat sekolah kini mirip dengan tugas bimbingan belajar: hanya meluluskan siswa.

III

Ilmu yang kalian gulati selama kuliah kelak akan mempermudah kalian menantang kehidupan. Demikian bentuk idealnya. Dan itukah yang akan terjadi? Setiap universitas, lajimnya, menjamin setiap lulusannya. Dan jaminan pasti yang tidak pernah melenceng adalah: jadi pengangguran. Ada banyak sarjana menganggur dan lebih banyak lagi sarjana yang bekerja sia-sia. Lulusan sastra jadi tukang kredit. Lulusan ekonomi jadi satpam. Sarjana pertanian bekerja di bank. Adapun dokter akan menjadi dokter yang mahal layanannya. Lulusan hukum menghasilkan jaksa yang begitu gampang disuap.

IV

Negeri yang teramat kaya ini tidak bisa menggratiskan biaya kuliah kalian. Negeri ini adalah negeri uzur. Mencicipi alam kemerdekaan lebih dari enam dasawarsa belum mampu memberikan jaminan apa pun selain jaminan ketidakpastian. Kalian menjadi pelajar di negeri yang mengalami kesusahan. Peminta-minta menjadi hiasan di perempatan jalan. Sawah-sawah penopang hidup petani beralih fungsi menjadi pemukiman elite. Hutan sudah gundul. Pedagang kaki lima harus kejar-kejaran dengan petugas pamong praja. Selayaknyalah realitas ini dikupas tuntas di ruang-ruang kuliah. Pendidikan gagal menjelaskan realitas ini. Pendidikan lebih banyak menampilkan fantasi dan mimpi. Pendidikan tak pernah mendekatkan kalian dengan alam sekitar.

V

Lantas, apa yang akan kalian perbuat? Masalah sudah mendekati penyelesaian akhir ketika kita sudah tahu kenapa masalah itu bisa ada, siapa yang membuatnya, kelompok mana yang dirugikan. Kita tinggal melengkapinya dengan pertanyaan: bagaimana kita membasmi penyakit itu. Tidak ada tangkisan tunggal untuk itu. Saya akan menawarkan beberapa jalan di antara sekian banyak jalan yang mungkin dilalui. Berorganisasilah. Berkumpullah bersama teman-teman kalian. Sungguh, organisasi akan mendatangkan banyak faedah bagi kalian.


Organisasi yang dewasa akan menyuburkan rasa kebersamaan. Akan menggembleng kalian dengan kerja-kerja organisasi yang hanya akan menjadikan kalian menjadi manusia bertanggung jawab. Organisasi paling “asik” ada di kampus. Di organisasi kalian akan mengalami, menyelesaikan, dan mengerjakan pelbagai perkara bersama. Organsisasi adalah jalan untuk mematahkan pengalaman sesat berpikir dalam pendidikan.


Utuhkan pribadi kalian dengan kemampuan berikut,yang tidak boleh dianggap enteng: membaca dan menulis. Membaca yang membuat kita kenal dengan dunia dengan semua tetek bengeknya. Menulis akan mengenalkan siapa kalian sebenarnya. Selamat datang, saudara-saudariku.
Pasangan Nusantara


Lantaran pasangan ini berasal dari dua suku berbeda: satu berasal dari suku Jawa dan satu lagi datang dari suku Bugis, mereka mengikrarkan diri sebagai pasangan nusantara. Sementara, pasangan petahana mengambil jurusan berbeda. Mereka tidak seberangsang pasangan yang disebutkan pertama. Mereka lebih memilih mengungkapkannya sambil bersenandung: dari Sabang sampai Merauke. Kendati mencaplok bulat-bulat nada iklan sebuah produk makanan.

Nusantara. Istilah yang paling tepat merujuk masa silam Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah. Kata ini pertama kali tercetus ketika Indonesia dikuasai oleh Majapahit di bawah kendali patih besarnya: Gajah Mada. Mengetahui kenyataan sejarah ini menjadi sangat membantu pergerakan nasional Indonesia kelak untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan (Nusantara: Sejarah Indonesia, Bernard H. M. Vlekke, 2008). Tentunya tak ketinggalan kebersamaan rasa dalam ketertindasan kolonialisme.

Kita kemudian bisa menduga dalih inilah yang membuat munsyi kita, atau pun para ahli yang mengerti banyak tentang ini, mengawinkan nusantara dengan wawasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga menorehkannya begini. Wawasan Nusantara adalah pandangan atau anggapan bahwa Nusantara adalah kepulauan yang merupakan suatu kesatuan, termasuk semua laut dan selatnya. Pendidikan kewarganegaraan di bangku kuliah barangkali menambahi sedikit arti. Wawasan nusantara merupakan cara pandang dan sikap bangsa Indonesia memandang diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang mencakupi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Mari kita tambahkan satu lagi: hukum.

Bagaimana dengan pasangan nusantara? Tiba-tiba saja pedagang di pasar menjadi harum namanya bak bunga bakung di lembah gunung. Mendadak pedagang kaki laksana pangeran yang harus dijunjung tinggi. Tempat sampah, seketika, menjadi tempat istimewa bertopeng ria seraya bernazar jadi pembebas kaum yang sudah terlalu lama porak-poranda nasibnya. Berdiri di depan Proklamator sembari memukulkan tinju ke langit. Mereka mengidentifikasi diri dengan kedua tokoh luar biasa tersebut. Tepatnya begini. Ada satu kondisi yang memaksa seseorang mengarahkan dirinya memiliki semua sifat sang tokoh panutan. Mencoba melakukan semua yang ditunaikan sang tokoh di masa lalu. Celakanya, identifikasi yang begini acapkali melupakan kesanggupan senyatanya yang melakukan identifikasi.

Saya hendak memadahkan ini: sepadi pelik menerima pasangan disandingkan dengan nusantara. Pasangan itu selalu “dipakai” bersama-sama sehingga menjadi sepasang. Juga merupakan pelengkap bagi yang lain. Sementara nusantara adalah sebutan bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Bagaimana kita menjelaskan ”perjodohan” ini kepada ratusan suku bangsa lain yang ada di seantero nusantara? Apakah kita masih latah mengatasnamakan “perwakilan”, termasuk untuk kasus ini?

Kalau saya diberi ijin, pasangan berwawasan nusantara barangkali lebih bernas disebut. Pasangan berwawasan nusantara akan berjuang sepenuh-penuhnya melingkupi negeri ini dengan semua yang baik. Alam raya mahaluas boleh beroleh harap akan bercahaya kembali lantaran tangan-tangan anak bangsa akan menancapi tanah-tanah gundul dengan pohon-pohon paru-paru kehidupan. Mengisi setiap jengkal tanah dengan insan berkemampuan mumpuni. Dan menggali semua kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran bersama. Ini semua akan menghantarkan kita menjadi bangsa berdaulat dalam arti yang sebenar-benarnya.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Emansipasi Perempuan

Kita tidak akan pernah mendengar seorang ayah yang sedang bergembira berujar, “Anak kami wanita,” menyambut kelahiran anak pertamanya. Atau seorang gadis sarjana yang baru saja dipromosikan naik jabatan akan menyebut dirinya, “Ternyata aku sudah perempuan karier.”

Lantas kenapa Kartini kita sebut “putri sejati”? Karena putri adalah anak perempuan raja. Paling tidak bersilsilah keluarga berpunya. Tidak bermaksud mengulas Kartini dengan semua sistem yang mengharuskan dia menikah dini. Juga, budaya feodal teramat kental yang menjadikan dia tampak cemerlang dengan tulisan liarnya yang pada masa sekarang sudah bukan hal luar biasa lagi.


Saya hanya akan mengambil tiga kata dari kata wajib yang selalu hadir ketika membahas Kartini: wanita, perempuan, dan emansipasi.


Wanita, meminjam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, adalah perempuan dewasa. Perempuan ialah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita. Sementara, emansipasi merupakan (1) pembebasan dari perbudakan; (2) persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria).


Emansipasi wanita diartikan sebagai proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju.


Seseorang yang menyebut dirinya pintar belum tentu mendapat tiket masuk ke kelompok bijak. Dan sebaliknya, kelompok bijak sudah pasti pintar. Demikian juga dengan wanita dan perempuan. Wanita sudah barang tentu perempuan. Perempuan masih banyak yang belum menjadi wanita.


Tiap kota tampaknya “memelihara” situs-situs pengumbar syahwat. Umm, penghuninya kita sapa wanita tunasusila. Berita minggu lalu menyiarkan penolakan sebagian mereka dengan sebutan itu. “Lebih tepat rasaya wanita penjaja seks,” ujar mereka. Para tamu yang datang ke sana biasanya pria. Padanan yang tepat. Yang dikunjungi dan yang mengunjungi, pasti, melangkahkan kaki, “bersepakat” melakukan “itu”, atas pilihan sadar.


Kursi di gedung legislatif sebaiknya dihuni 30 persen perempuan. Mereka akan bermitra dengan anggota legislatif laki-laki (atau pria?). Pasangan yang tidak harus berpayah-payah, atau hampir tidak pernah, memusingkan persentase keterwakilan mereka di rumah rakyat itu.


Emansipasi wanita, dengan demikian, adalah salah kaprah berbahasa. Kalau wanita saja yang dibebaskan dari semua perbudakan penindasan, perempuan yang belum wanita tidak ikut di dalamnya. Kuota 30 persen perempuan semestinya diganti kuota 30 persen wanita. Kita tidak akan memberikan amanah kepada mereka (perempuan yang belum menjadi wanita) yang akan membantu kita mempercepat mendekatkan kesejahteraan itu datang ke ribaan.


Menyetarakan kaum hawa dengan kaum adam harus kita antarkan mereka dengan ungkapan yang tepat: emansipasi perempuan. Karena masih banyak anak gadis belum berumur cukup jadi korban kebejatan pria, barangkali wanita. Mendudukkan wanita di gedung parlemen juga kemestian. Selain lebih paham dengan tugas dan fungsinya, mereka juga bisa mempercepat perempuan-perempuan yang dihalangi hasratnya menjadi wanita-wanita sesungguhnya. Dan menyembuhkan wanita-wanita yang sudah terlalu lama kehilangan penghormatan dengan keperempuanannya.


Jumat, 01 Mei 2009

Centang atau Contreng


TERNYATA Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga tidak mengenal contreng. Terpaksa dimiringkan untuk menghargai puluhan munsyi yang sangat letih menggali, meneliti, menderetkan, mengurutkan, menjalin, merangkai, dan jadilah dia vokabuler. Barangkali kita teramat sering mengalihkan rasa peduli kita dalam bertutur dan mungkin karena kita menganggap itu kurang penting. Jelas-jelas ini tidak terpuji.

Kembali kita dibingungkan oleh “demokrasi”. “Demokrasi” yang akrab di telinga dengan pemerintahan rakyatnya seakan-akan kurang percaya dengan keperkasaan namanya. Ia terpaksa merias dirinya dengan istilah-istilah rancak. Baru-baru ini kita disuguhi sebutan elok yang ternyata masih kerabat sang demokrasi: demokrasi prosedural dan demokrasi substansial. Lagi-lagi ini membingungkan paling tidak bagi mereka yang kehilangan kesempatan mengembangkan nafsu belajarnya.

Demokrasi prosedural mencukupkan dirinya dengan pemilihan umum, partai politik yang ramai, dan selanjutnya mendudukkan wakil-wakil kita di “rumah rakyat” itu. Rakyat hanya memfungsikan dirinya sebagai “agen” demokrasi sekali lima tahun. Setelah itu cukup sudah, meminjam ucapan khas Denias. Akibatnya memang dapat ditebak; rakyat dan wakil rakyat berjalan berseberang arah.

Demokrasi substansial bisa kita sebut demokrasi kesejahteraan. Silakan memaknai jenis yang satu ini untuk segala sesuatu yang baik. Buruh kembali lagi menjadi manusia, pedagang kaki lima sudah bebas dari rasa takut sama Satpol PP, orangtua-orangtua tak berduit tidak pening lagi memikirkan biaya sekolah anaknya, pemuda akan diterima cintanya lantaran sudah bergaji cukup di setiap awal bulan, perut besar kurang makan akan lenyap, dan lain-lain. Silakan menambah dengan semua yang baik yang lain.

Nah, bagaimana dengan contreng? Selain membingungkan, “demokrasi” alih-alih kerap tersungkur ke kubangan kesalahan. Kata ini menggundahkan sang empunya tahta: centang. Juga membuat cemburu si coblos lantaran mahkota itu tidak lagi tersemat di kepalanya. Lima tahun lalu dia begitu tersohor. Ia mengalahkan rekannya tusuk karena dianggap kurang kena. Dalam tusuk jarum tubuh orang tidak ditembus. Kata lain: tembus, setali tiga uang. Tembus cahaya tidak merusak kaca yang ditembus. Dengan demikian cobloslah yang paling tepat. Karena mencoblos itu menusuk hingga tembus. “Coblos moncong hitam,” misalnya.

Lain lubuk lain ilalang. Setiap musim membawa perubahannya masing-masing. Begitu juga dengan pemilihan umum. Kali ini contreng mendapatkan tahta itu. “Contreng partainya, contreng calonnya,” tanpa merasa perlu menilik kitab bahasa. Sekali lagi ini sikap tidak terpuji. Boleh jadi kita sudah terlanjur terbiasa tidak peduli dengan perasaan sesama mahkluk ciptaan. Tidak susah membayangkan kondisi ini akan bertambah parah ketika berpapasan dengan bahasa.

Baiklah kita luruskan sekarang juga. Sebuah kesalahan besar apabila kita menolak memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memang kaya dan akan semakin kaya asal kita mau memanfaatkan kosakata dari samudera bahasa Nusantara. Inilah kemudian yang membuktikan penghargaan kita terhadap tiap bahasa Nusantara. Dan untuk contreng kita harus meminta maaf. Dia belum terdaftar dalam keluarga kosakata bahasa Indonesia. Centang harus kita panggil dan menempatkannya di tempat semestinya. Ia cukup yakin menempatkan dirinya sebagai kata kerja: memberi tanda koreksi, bisa bentuknya seperti huruf (v) ataupun tanda lain yang serupa. Kalau pun masih kita anggap kurang klop kita bisa menggunakan conteng dan barangkali coreng.

Warga Medan dan juga warga seantero negeri yang sudah memutuskan menggunakan hak pilihnya 9 April mendatang akan teramat repot membentang kertas suara yang hampir menyamai ukuran peta Medan yang terpampang di dinding kantor Komisi Pemilihan Umum Medan. Memastikan gambar mana yang harus dicontreng, eh, maksudnya dicentang, asal partai, nomor urut, daerah pemilihan (ribet banget), cukup membantu kita bingung. Itu masih memilih satu dari empat macam yang harus “dibereskan” di tempat pemungutan suara. “Demokrasi” musim ini membuat kita tambah bingung (*)

Senin, 16 Februari 2009

Politik Citra


Fatwa MUI terbaru yang menghebohkan itu (Gus Dur), tidak kalah saing dengan iklan-iklan partai politik besar di negeri ini. Tidak tanggung-tanggung, mereka memasang iklan ukuran jumbo. Tentu mereka harus bayar mahal untuk itu. Ambil saja contoh “perseteruan” dua partai besar yang jarang “akur” : PDI-P dan Partai Demokrat. Seperti tidak mau kalah, “musuh bebuyutan” itu saling menyerang. Kontestan pertama berteriak lantang: rakyat berhak harga BBM lebih murah lagi. Kontestan kedua menyahut: pertama kali sepanjang sejarah pemerintah menurunkan harga BBM hingga tiga kali.


Setiap hari kita dicekcoki iklan partai politik, yang terkadang terasa menggelikan. Bertabur janji-janji yang konon tak bakal mampu terealisasikan. Dalam bahasa pemasaran, “janji” seperti itu kita kenal dengan istilah positioning. Positioning bercerita tentang janji-janji calon yang dilemparkan ke publik, bisa lewat iklan maupun lewat selebaran/baliho.

Sama seperti iklan bisnis, iklan kampanye cenderung melebih-lebihkan “kualitas” produk yang ditawarkan. Kita ambil satu contoh jargon yang sudah sangat sering kita dengar dan lihat:berjuang untuk rakyat. Jargon seperti ini mungkin efektif di masa lalu, tapi untuk zaman “cyber game” sekarang seperti sudah tak cocok lagi. Masyarakat tidak terlalu bodoh untuk sekadar menganalisa dan menentukan pilihan. Ini terbukti dari banyaknya jumlah golput di sejumlah pemilihan kepala daerah.


Positioning tidak sesederhana teori aslinya. Seiring bergeraknya pendulum zaman, positioning menuntut partai politik sedikit lebih kreatif. Iklan harus bisa meyakinkan konsumen bahwa produk yang ditawarkan betul-betul dibutuhkan, karena iklan menyangkut tentang kepercayaan, keyakinan, dan trust kepada pelanggan.


Sebelum memproduksi sebuah produk dan kemudian mengiklankannya, ada beberapa tahap yang harus dilalui. Produk yang ditawarkan harus betul-betul berasal dari kajian mendalam tentang kondisi masyarakat. Kemudian kajian harus dilanjutkan pada kekuatan internal partai sang calon. Selanjutnya kajian juga harus mengkaji tentang kekuatan dan kelemahan pesaing. Terakhir partai harus senantiasa mengkaji perubahan yang terjadi dalam masyarakat.


Jika positioning ini tidak bisa diwujudkan kelak, ia akan merupakan janji-janji kosong yang tidak punya nilai apa-apa di mata masyarakat. Dan sepertinya inilah realita dalam masyarakat. Banyak anggota legislatif yang dulu sangat gemar mengumbar janji dan setelah duduk di kursi empuk itu terbukti tidak melakukan banyak hal berarti. Dan terkadang kita menerima kabar menyakitkan dari mereka. Banyak anggota dewan terlibat korupsi, mangkir dari sidang dan terlibat kejahatan sosial. Sangat memprihatinkan.


Realitas yang menyakitkan inilah yang yang kita sebut politik klaim. Bahasa gaulnya: politik citra. Yasraf Amir Piliang menyebutnya dengan narsisisme politik. Dalam politik citra, kecakapan, kepemimpinan, dan prestasi politik bukan sebuah keharusan. Gaya lebih dominan dari substansi, citra lebih penting dari realitas, retorika lebih diutamakan ketimbang intelektualitas. Bagaimana dengan pendidikan politik? Lupakan saja, selain membutuhkan waktu panjang melakukannya, juga membutuhkan pengorbanan yang lebih besar dari sang calon.


Kesalahan sejarah membentuk kita menjadi generasi instant. Proses tidak dianggap sebagai bagian yang harus dilalui. Televisi, radio, baliho, pamflet, blog, adalah alat paling cepat melejitkan nama partai. Mereka meminta masyarakat memilih partainya kendatipun tidak ada program nyata yang ditawarkan. Mereka mendadak peduli pada rakyat, dekat dengan petani, pejuang buruh, pembela wong cilik, pemberantas korupsi. Bukan cuma sekali mereka memanfaatkan musibah dengan memberikan bantuan dan setelah itu mengklaim mereka dekat dengan rakyat.


Narsisisme politik seperti itu diharapkan mampu menghimpun massa sebanyak mungkin. Membangun masyarakat cerdas, sehat, dan keberlanjutan politik cuma bualan kosong. Cukup uang segepok dan media organizer yang memproduksi iklan, mereka sudah biasa merayu masyarakat untuk menyedekahkan suaranya dibalik bilik suara. Inilah ironi demokrasi yang melilit bangsa ini dan seolah tanpa mempunyai ujung.

Apa yang Terjadi Ketika Banjir Sudah Dianggap Teman Karib?


UNGKAPAN lama yang sudah terlalu lama belum diubah tersebut kini menemukan jati dirinya kembali: kecil jadi teman besar jadi lawan. Sungguh, tidak ada kisah mengasikkan tentang banjir. Tidak ada cerita menarik tentang meluapnya air sungai. Terlebih lagi tidak ada satu pun berharap akan bangga bercerita tentang harta benda hanyut. Tentang barang-barang elektronik yang takkan pernah berfungsi baik kembali.

Setelah semalam meraka teramat sibuk mengungsikan barang-barang ke tempat yang tak terjangkau air, pagi ini mereka sudah tersenyum kembali. Aktifitas lazimnya pun bergiat kembali. Anak-anak sudah berlarian berkejaran. Ibu-ibu sudah nongkrong di depan rumah di sempitnya gang. Pedagang “eceran” menggelar dagangannya. Rumah sudah bersih dari lumpur.

Melintasi lorong-lorong itu, kita akan tahu seberapa tingginya “tamu” semalam menggenang. Dinding rumah membuktikannya. “Banjirnya sampai segini semalam,” ungkap ibu setengah baya itu sambil mengangkat tangannya ke leher. Dua minggu terakhir sudah dua kali banjir di kampung ini, Kampung Lembah Aur Lingkungan IV Kecamatan Medan Maimun.

Kampung Aur - demikian biasa disebut- adalah bentaran sungai Deli. Sungai yang melintasi kota Medan. Aur adalah bahasa Minang atau dalam bahasa Indonesia bambu menjadi penanda khas lembah ini. Pemukiman padat penduduk dan dihuni mayoritas orang Padang. Mereka sudah menempati daerah ini jauh sebelum peristiwa Gestapu 1965 terjadi.

“Oh, cucu nenek sudah sebesar kamu. Nenek kemari sebulan sebelum pemilihan tahun lima puluhan itu,” ujar Tek, sebutan nenek untuk orang Padang, sambil mempersilakan saya masuk ke rumahnya. Pemilihan tahun lima puluhan yang dimaksud adalah pemilihan umum pertama yang dilangsungkan tahun 1955. Aku nenek itu, di tahun tersebut tempat itu masih semak ditumbuhi pisang. Juga masih belum seramai sekarang. “Masih sepi. Depan rumah ini dulu semak dan pisangnya banyak,” tambahnya.

Amir Hamzah, 27 tahun, memilih tidur melepaskan lelah. “Bapak lagi tidur, capek ngangkat barang semalam,” istrinya mengeluh sambil mendiamkan si buah hati yang menangis. Rumah Amir teramat dekat dengan air, kalau tidak mau disebut di atas air. Gubuk kecil itu kini makin miring terhantam pusaran air. “Minggu lalu kami baru mengganti papan-papannya dengan triplek karena banyak yang lepas dibawa air,” jawaban yang menyayat hati.

Dalam setahun kelurahan ini bisa banjir sampai lima kali. “Kami sudah menganggapnya teman karib,” ungkap Rizal yang sudah tinggal di sana selama 40 tahun. Mereka sudah akrab dengan sang tamu.

Hampir semua rumah di sana bertingkat. Ini semacam benteng pertahanan terampuh yang mereka punya. Begitu air sungai membludak, dengan segera mereka bergerak cepat menggotong semua barang yang bisa diselamatkan ke atas.

Kalau di tempat lain sungai dipermak tempat tongkrongan orang-orang berduit melepas penat di sore hari, di sini mereka menjadikannya “sekolah”. Kita bisa sandingkan namanya dengan istilah keren: sekolah anak usia dini. Bagaimana tidak, setiap anak setelah bisa berdiri dan berlari, bagaikan itik baru menetas dari cangkang telur, buurrr, menceburkan diri ke sungai. Berenang. Yang bisa mengajari yang tidak bisa. Semua ini akan membantu mempercepat evakuasi barang-barang ketika si benda cair itu mengamuk. Kalau anak-anak seumuran mereka di tempat lain dianggap ketinggalan jaman ketika tidak punya friendster, blogspot, itu tidak penting dan bukan kebutuhan bagi mereka. Pilih mana, tidak tahu berenang dan semua harta benda hanyut atau latah mengikuti trend anak-anak muda cengeng yang bisanya sekedar meminta dan menghamburkan uang?

Setiap banjir, setiap itu pula persaudaraan di antara mereka makin terjalin. Sejauh ini belum pernah terjadi percekcokan. “Kami di sini akur-akur, uda semacam saudaralah,” sahut ibu yang dari tadi sibuk mengangkat barang yang basah untuk dijemur. Ibu itu berkomentar mereka tidak akan pindah dari daerah itu. “Mulai kecil kami da hidup di sini. Sekarang anak-anak kami da besar-besar.”

Banjir kali ini mereka sedikit terhibur. Calon-calon legislatif dari beberapa partai yang menempel posternya di bagian-bagian gampang di tengok mata, menyempatkan diri datang dan memberi bantuan.