Sabtu, 01 Agustus 2009

Emansipasi Perempuan

Kita tidak akan pernah mendengar seorang ayah yang sedang bergembira berujar, “Anak kami wanita,” menyambut kelahiran anak pertamanya. Atau seorang gadis sarjana yang baru saja dipromosikan naik jabatan akan menyebut dirinya, “Ternyata aku sudah perempuan karier.”

Lantas kenapa Kartini kita sebut “putri sejati”? Karena putri adalah anak perempuan raja. Paling tidak bersilsilah keluarga berpunya. Tidak bermaksud mengulas Kartini dengan semua sistem yang mengharuskan dia menikah dini. Juga, budaya feodal teramat kental yang menjadikan dia tampak cemerlang dengan tulisan liarnya yang pada masa sekarang sudah bukan hal luar biasa lagi.


Saya hanya akan mengambil tiga kata dari kata wajib yang selalu hadir ketika membahas Kartini: wanita, perempuan, dan emansipasi.


Wanita, meminjam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, adalah perempuan dewasa. Perempuan ialah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita. Sementara, emansipasi merupakan (1) pembebasan dari perbudakan; (2) persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria).


Emansipasi wanita diartikan sebagai proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju.


Seseorang yang menyebut dirinya pintar belum tentu mendapat tiket masuk ke kelompok bijak. Dan sebaliknya, kelompok bijak sudah pasti pintar. Demikian juga dengan wanita dan perempuan. Wanita sudah barang tentu perempuan. Perempuan masih banyak yang belum menjadi wanita.


Tiap kota tampaknya “memelihara” situs-situs pengumbar syahwat. Umm, penghuninya kita sapa wanita tunasusila. Berita minggu lalu menyiarkan penolakan sebagian mereka dengan sebutan itu. “Lebih tepat rasaya wanita penjaja seks,” ujar mereka. Para tamu yang datang ke sana biasanya pria. Padanan yang tepat. Yang dikunjungi dan yang mengunjungi, pasti, melangkahkan kaki, “bersepakat” melakukan “itu”, atas pilihan sadar.


Kursi di gedung legislatif sebaiknya dihuni 30 persen perempuan. Mereka akan bermitra dengan anggota legislatif laki-laki (atau pria?). Pasangan yang tidak harus berpayah-payah, atau hampir tidak pernah, memusingkan persentase keterwakilan mereka di rumah rakyat itu.


Emansipasi wanita, dengan demikian, adalah salah kaprah berbahasa. Kalau wanita saja yang dibebaskan dari semua perbudakan penindasan, perempuan yang belum wanita tidak ikut di dalamnya. Kuota 30 persen perempuan semestinya diganti kuota 30 persen wanita. Kita tidak akan memberikan amanah kepada mereka (perempuan yang belum menjadi wanita) yang akan membantu kita mempercepat mendekatkan kesejahteraan itu datang ke ribaan.


Menyetarakan kaum hawa dengan kaum adam harus kita antarkan mereka dengan ungkapan yang tepat: emansipasi perempuan. Karena masih banyak anak gadis belum berumur cukup jadi korban kebejatan pria, barangkali wanita. Mendudukkan wanita di gedung parlemen juga kemestian. Selain lebih paham dengan tugas dan fungsinya, mereka juga bisa mempercepat perempuan-perempuan yang dihalangi hasratnya menjadi wanita-wanita sesungguhnya. Dan menyembuhkan wanita-wanita yang sudah terlalu lama kehilangan penghormatan dengan keperempuanannya.


Tidak ada komentar: