Senin, 03 Agustus 2009

Kota Salah Berbahasa


Sudah lama plang itu berjejak di sana. Lekat persis di atas pintu masuk. Mencolok. Aktivitas keluar masuk pengunjung jelas menandakan tempat itu tempat yang sangat digandrungi setiap orang yang kepingin tampil kemayu. Saloon XXX. Tiada kesesatan di sana. Ya, paling tidak bagi mereka yang kurang giat membolak-balik kamus: bisa kamus bahasa Indonesia ataupun kamus bahasa Inggris. Kamus Besar Bahasa Indonesia sampai edisi terakhir belum menancapkan kata itu untuk mengartikan: tempat orang merawat kecantikan (merias muka, menata rambut). Kita akan menjumpainya di Oxford Advanced Learner's Dictionary. Saloon: tempat menenggak minuman beralkohol dan bisa menyebabkan mabuk.

Taruh kata Anda sakit. Serta merta menghampiri apotik, juga apotek. Saya percaya Anda akan tidak jadi membeli obat lantaran plang nama di depan toko obat tersebut tidak sesuai dengan kaidah penulisan kata yang tepat. Gelagatnya, kelewatan. Dan ini yang hendak saya lontarkan. Seumpama kita menurunkan kata apotik, akan melahirkan apotiker. Jamak apotik tapi sejumput apotek. Jelas-jelas apotiker tidak kita tanda. Sementara apoteker menunjuk orang yang ahli dalam ilmu obat-obatan.


Polisi lalu lintas menancap gas motornya. Tukang becak yang tadinya santai-santai saja, sontak tersentak. Raut wajahnya tiba-tiba saja berubah pudar. Pucat lesi bagai ayam kena lengit. Pak polisi memberi hormat. “Selamat siang, Pak. Anda tahu ini kawasan bebas becak?”, ujar petugas itu. “Tahu, Pak,” balas tukang becak singkat. “Lantas kenapa dilanggar?” “Ya ialah, Pak. Namanya juga bebas becak,” tambahnya dingin. Giliran pak polisi pucat pasi. Kawasan bebas becak sesungguhnya tidak sama dengan kawasan bebas dari becak. Kita jadi diingatkan dengan ragam bebas: bebas dari rasa takut, bebas dari kelaparan, bebas dari kemiskinan. Kawasan bebas becak membolehkan becak berlalu-lalang di kawasan tersebut. Kawasan bebas dari becak: sebaliknya. Ya, sudahlah. Biar tidak berpayah-payah, baiklah kita gubah saja: becak dilarang masuk. Ini penting biar, paling tidak, tidak ada lagi polisi terpaksa melepas “mangsanya” dengan paras tercoreng malu.


Tepian jalan itu berjejal bangunan ajek. Ramai mahasiswa di sana. Tidak lebih dari seratus meter dari situ tegak berdiri universitas tergadang di kota ini. Pantas saja memang usaha penggandaan tulisan itu berjamur. Ternyata kita mendapati beda. Alih-alih sekelumit saja fotokopi. Tidak tahu alasan pasti kenapa kata-kata berikut merajai tulisan di plang di depan gedung itu: fotocopy, potocopy, photokopi. Inilah perpaduan kacau antara ketidaktepatan mencaplok kata asing dan ketidakcukupan alasan untuk sekedar mengatakan itu kegenitan berbahasa.


Indekos itu sebetulnya kata kerja: tinggal di rumah orang lain dengan membayar setiap bulan. Tempat ini menjadi sepi saat libur panjang di pergantian tahun ajaran. Mereka yang baru saja diwisuda punya dua pilihan: meninggalkan kota ini dan mengadu nasib di tempat lain dan memilih tetap tinggal seraya memelototi surat kabar yang lowongan kerja tertera di dalamnya. Nah, tempat yang ditinggal oleh mereka yang menjatuhkan pilihan pada yang pertama dengan sendirinya nganggur. Si empunya pemondokan pun lekas menebarkan embaran: Menerima Kost. Tidak ada maksud lain selain hendak mencetuskan: ini ada kamar kosong dan silakan huni. Kost di sana tergolong kata benda. Sementara itu, indekos dan kos-lah yang terselip di vokabuler besar. Dan jangan lupa, bukan sebagai kata benda melainkan kata kerja. Bagaimana seumpama embaran itu kita salin ulang: Silakan indekos di sini atau Silakan kos di sini. Tampak canggung.


Kita patut gundah. Kamus Besar Bahasa Indonesia gogos kebesarannya. Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada mengemis kata ke negeri orang sementara tanah leluhur kita teramat berkecukupan dengan kata, logat, tutur, ungkapan. Terlamapau bakir dengan ribuan bahasa daerah. Sudah saatnya kita siapkan segala sesuatunya dan anak bangsa kelak tidak hilang percaya dirinya berujar-beraksara dengan bahasa mereka sendiri.


Saya menjatuhkan cara inilah paling tepat mengapresiasi buku ini. Dan barangkali jalan lain untuk mengatakan bahwa hampir semua kandungan di dalamnya berkutat di sekitar kesalahan-kesalahan berbahasa. Sesungguhnya, Majalah Tempo sudah lama memulainya: kolom bahasa. Kesalahan-kesalahan, kegagalan-kegagalan, dan seringnya salah kaprah berbahasa, ketika itu sudah tertulis apik dalam buku, akan membantu kita mengkoreksi diri. Dan tidak ada kata yang paling tepat menggambarkannya selain kesadaran berbahasa yang benar akan menemui kesempurnaannya.


Ijinkan saya sedikit beroleh harap bahwa dalam waktu yang tidak teramat lama lagi, harian ini akan merelakan menambah satu kolom sebagai pelengkap kolom-kolom lain dan menempelkan kolom bahasa di sana. Kita tentunya sepakat, dengan keragaman suku, agama, profesi yang terdapat di Sumatera Utara, akan mendatangkan kekayaan kajian ilmu dari segala bidang. Termasuk bahasa.


Tidak ada komentar: