Sabtu, 27 Februari 2010

P2K2

P 2 K 2

Sibolangit, 29-31 Januari 2010

Rasa bangga, sukacita, hangatnya persaudaraan, kegembiraan, memaksa tangan ini berkeliaran di keyboard komputer dan menggoreskan semua kisah berkelindan di Sibolangit. STMIK TGD: terimalah ini sebagai kenang-kenangan dari orang yang tidak akan pernah sedetik pun berniat menghapus kalian dari ingatan.

D i a n P u r b a

Komunitas Mata Kata

akkanasotarsuratdope.blogspot.com

purbadian@gmail.com

catatan.catatan@gmail.com

…orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah…” (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca)


===== Postera Crescam Laude: saya akan bekerja untuk generasi mendatang. Semboyan Universitas Melbourne


D i a n P u r b a



Sepertinya tidak terlalu salah memulai kisah ini dari pertemananku dengan James. Pria yang tidak seberapa cakap ini sudah kukenal enam setengah tahun lampau. Kami dirangkul dalam satu bendera: Universitas Methodist Indonesia. Di kampus inilah kami merangkai tali persaudaraan yang rasanya sudah tidak akan memungkinkan lagi diakhiri. Sampai kapan pun. Bukan tidak banyak kisah-kisah yang tidak enak didendangkan di kuping yang terjadi menyertai perjalanan panjang itu. Tapi memang begitulah, konflik selamanya akan membawa kebaikan bila dikelola dengan baik dan tentu dengan kedewasaan bersikap.


Aku angkatan 2002 di Methodist, James 2003, setahun di bawahku. Awal-awal kuliahnya di kampus biru itu diawali dengan bentakan-bentakan seniornya: termasuk aku. Badannya yang besar, sungguh, tidak berpengaruh banyak dengan berkurangnya kerasnya suara “sok” senior dari pendahulu-pendahulunya. James adalah satu di antara sekian banyak mahasiswa Methodist yang memilih jalan berbeda dari kebanyakan jalan yang teramat sering dilalui banyak mahasiswa. Ya sudahlah, aku persingkat saja pengantar tulisan ini. James pun keluar dari Methodist gara-gara ucapan kotor itu menghambur dari mulutnya. Atau begini saja, tanyakanlah dia untuk kisah lanjutannya. Yang akan diulas di sini bukanlah melulu tentang pria yang doyan sama Boomerang ini. James adalah pintu besar bagiku untuk memasuki hangatnya suhu persahabatan di kampus ini: Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Komputer Triguna Dharma. Dan kisah selanjutnya pun terangkai.


Muliaman Purba


“Bro, ada waktumu? Kami butuh bantuanmu,” demikian James berujar di ujung telepon. Saat itu malam, berkisar pukul sembilan. Sedikit saja basa-basi, langsung kuiakan. “Oke Mes, sampai jumpa di sana,” sahutku menanggapi.


Beberapa orang sudah berkumpul di tempat itu. Setelah merasa cukup bersalaman seraya perkenalan sekenanya, kami pun mulai membahas topik yang bagiku sudah terlalu lama kutinggalkan: organisasi. Sedikit trauma dengan yang namanya organisasi. Sampai usia setua ini aku belum juga berhasil mengkelarkan kuliahku. Teman-teman yang lain hanya butuh empat setengah tahun merampungkannya. Dari 2002 sampai 2009? Tujuh tahun. Tujuh tahun, Saudara. Bayangkan, tujuh tahun hanya mendapatkan gelar sarjana saja. Itulah kenapa James memberi sebutan tidak enak untuk itu: Alumnus (alumni tak lulus). Semenjak 2005 aku meninggalkan semua perkuliahan. Melanglangbuana. Banyak organisasi kuikuti. Dan James barangkali lebih beruntung. Dia daftarkan diri ke STMIK Triguna Dharma. Dan di bulan Oktober ini dia akan boleh memetik buah hasil akhir dari semua perkuliahannya.


Kembali ke pertemuan malam itu. Semangat kawan-kawan itu rasanya mampu melenyapkan semua trauma itu. Mereka begitu antusias. Tampak kesatupaduan langkah di antara mereka. “Mewarnai kampus, tampuk kekuasaan harus kita yang pegang,” demikian aku melancarkan “nasihat” pertama. “Dan ada beberapa cara untuk menggapai itu.” Aku pun tertular semangat dari mereka. Kenangan masa-masa di Methodist pun keluar. Aku pernah jadi ketua badan eksekutif mahasiswa di sana. Aku ceritakan semua langkah-langkah yang kami terapkan. Tidak ada langkah luar biasa sebenarnya. Toh James sudah banyak makan asam-garam tentang semua itu. Muliaman dan Dadung, calon ketua dan wakil ketua, sepertinya merasa terbantu dengan hasil pertemuan itu.


Pertemuan pun berakhir. Semua pulang ke tempat masing-masing. Calon petarung di besok harinya sudah berkeyakinan penuh: harus menang. Semua strategi taktik sudah melekat di kepala. Apa yang harus dipaparkan di depan pemilih sudah dikuasai. Tugas-tugas pun sudah dibagi. Sip, besok tinggal “perangnya”.


Kabar baik itu aku terima di sore hari keesokan harinya. “Kita menang, Pra,” teriak Muliaman lewat telepon genggam. Ucapan selamat pun kuucapkan. Entah kenapa, hati ini rasanya bungah saat itu. Barangkali karena satu marga itu..hehe… Tapi menurutku itu disebabkan pertemuan pertama di malam itu sudah terendus aroma hangat pertemanan. Bukankah pertemanan tidak diukur dari lamanya kita mengenal seseorang?



Persiapan P2K2


Segera Muliaman dan kabinetnya membuat program kerja. Turunannya adalah kegiatan. Nah, kegiatan pertama tergolong besar. Dan membutuhkan tenaga mumpuni mewujudkannya. Butuh pengalaman dari orang yang pernah melakukannya. Butuh banyak energi. Butuh kerjasama yang tidak tanggung-tanggung. Dan butuh banyak orang untuk itu. P2K2: Pengenalan Pembekalan Kebersamaan dan Keorganisasian; kata lembut dari inaugurasi.


STMIK Triguna Dharma tidak memiliki stok melimpah insan-insan yang, katakanlah sudah beberapa kali ikut di kepanitiaan acara seperti itu. James adalah satu di antara yang sedikit itu. Untuk itulah “tender” kegiatan ini dimenangkan olehnya. Mendapat restu penuh dari pengurus Pemerintahan Mahasiswa James bergerak cepat. Panitia P2K2 pun dibentuk. Perekrutan dibuka. Rapat dikebut. Agaknya Panitia P2K2 hanya bisa dikalahkan Panitia Angket Century di Jakarta sana tentang seringnya frekuensi rapat. Yah, mereka bersidang setiap hari. Karena memang waktu yang tersedia tidak lebih dari tiga minggu. Saya menggelengkan kepala entah beberapa kali. Mahasiswa yang akan ikut kegiatan ini nyaris mendekati angka seribu. Sedikit sukar mencari pengisi acara kegiatan untuk pasukan sebegitu banyak. Tempat, tempat untuk menampung berlaksa laskar tidak tersedia banyak. Satu-satunya lokasi terdekat di luar kota yang memungkinkan untuk itu ada di Suka Makmur, Sibolangit. Segera tim survei diluncurkan ke sana. Tanya ini, tanya itu: biaya penginapan, jumlah kamar yang mau dipakai, lapangan terbuka paling tepat untuk digunakan, ongkos makan, sewa sound, dan semua tetek-bengeknya. Ini dua minggu sebelum mata acara: 29-31 Januari 2010. Tim yang tinggal di Medan bergulat dengan ketidakpastian. Acara belum rampung betul. Jumlah peserta yang sudah pasti menyatakan ikut belum juga kelar. Sesama panitia juga masih saja banyak yang tidak setia mengikuti rapat. Bahkan apa yang akan dikerjakan selama tiga hari di sana belum begitu jelas tertuang di kepala dan di kertas. Kalau teman-teman hendak bertanya siapa yang paling tidak yakin acara ini bakal sukses, itu adalah aku. Kenapa? Aku akan bercerita sedikit tentang kegiatan yang sama yang kami lakukan di Methodist.


Jumlah mahasiswa yang tertarik ikut inaugurasi di kampus kami sangat susah menembus angka seratus. Barangkali hanya sekali saja itu terwujud sepanjang aku berdiam di sana. Dan kami bangga luar biasa. Ini prestasi terbesar. Terkadang kami sampai tidak sempat bertanya kenapa bisa begitu. Dan baru sekarang jawaban untuk itu tersua.


Kawan-kawan masih ingat gertakan awal di malam pertama saat perkenalan mentor? Hah, itu masih seperlimanya. Praktek-praktek seperti itulah yang kami pilih. Semua berlomba-lomba memamerkan suara terkeras. Makin kencang makin abdol saja rasanya. Makin nampak kesenioran itu. Semua harus tampil seaneh mungkin. Otot leher harus tegang laksana tali tambang. Semua harus tampak berwibawa. Kami paksa mahasiswa baru itu mengikuti maunya kami. Harus mau. Karena peraturan klasik ini masih cukup efektif saat itu: PERATURAN PERTAMA, SENIOR TIDAK PERNAH SALAH DAN BILA SENIOR SALAH LIHAT PERATURAN PERTAMA. Sekarang saya menyimpulkan: yang ikut inagurasi tidak lebih karena takut dan yang memilih tidak ikut adalah orang yang takut juga, takut “dibantai” di Sibolangit.


Mahasiswa baru memulai perkuliahan di bulan September. Kami, senior, biasanya berlibur panjang akhir tahun ajaran sekitar enam minggu, dimulai minggu ketiga bulan Juni sampai minggu ketiga Agustus. Dua minggu sebelum ujian akhir, badan eksektutif mahasiswa (di STMIK namanya PEMA: Pemerintahan Mahasiswa) membentuk panitia inaugurasi. Setelah terbentuk, panitia segera mengadakan rapat perdana. Biasanya jadi agenda rapat pertama itu hanya membahas berapa seksi yang harus dibentuk dan memastikan semua penghuni tiap seksi sudah terisi. Inaugurasi biasanya diadakan akhir September. Artinya kami ada persiapan kurang lebih satu setengah bulan. Dengan banyaknya waktu yang tersedia selama itu pun tidak pernah berbanding lurus dengan hasil maksimal yang didapat. Nyaris tiap kegiatan selalu disisipi hasil mengecewakan. Dan itu datangnya dari panitia. Menurut James ini akibat dari semua panitia merasa diri pintar. Merasa diri paling layak dihormati. Dan merasa cukup bangga hanya dengan ongkang-ongkang kaki saja tanpa sedikit pun mengeluarkan keringat. Aku sependapat dengan James.


Aku harus katakan: STMIK Triguna Dharma tidak demikian adanya. Paling tidak itu menurutku pribadi. Dan sepertinya aku tidak salah mengatakan itu. Teman-teman di sini mengamini kekurangan mereka. Bahkan banyak sekali di antara teman-teman panitia mengadakan acara inaugurasi kali ini adalah yang pertama kali. Dan mereka cukup berhasil karena mereka cukup cepat belajar menutupi kekurangan itu.


Aku bantu mereka semampuku. Mereka sering mengajak diskusi. Terkadang mereka berkunjung ke rumah. Biarpun di akhir semua persiapan panitia, jumlah mahasiswa baru yang ikut hanya 105 orang, semua sepakat: the show must go on. Toh, panggung sudah tersedia. Walaupun tempat acara tidak berlangsung di lokasi pertama yang direncanakan, lokasi terakhir ini terbukti cukup dapat menampung semua kegiatan P2K2.



P2K2


Jenuh dengan semua kisah persiapan panitia? Aku akan memutar haluan. Akan kulukiskan kisah ini serenyah mungkin, dimulai dari keberangkatan, selama di Sibolangit, hingga tiba kembali di Medan. Baiklah, kita mulai.


STMIK Triguna Dharma, 29 Januari 2010. Matahari persis di atas ubun-ubun. Rasanya ingin terjun saja ke sungai menghalau semua udara panas. Titik-titik keringat bermunculan bersatu padu dan cukup membuat baju basah setengah kuyup. Semua tampak sibuk. Ada yang mondar-mandir entah beberapa kali. Di sudut sana tampak segerombolan pemuda melantunkan lagu paling hits di tangga lagu musik populer Indonesia. Sebagian lagi tampak otot tangannya keluar. Yah, mereka seksi peralatan. Seksi paling sibuk di hari itu. Mereka mencatat semua barang yang masuk dan mengangkatnya ke tempat yang sudah ditentukan. Di sudut yang lain tampak perjaka-perjaka duduk santai. Sepertinya mereka asik menerka apa gerangan yang terjadi di sana, di Sibolangit. Tampak raut wajah mereka masih segar. Barangkali mereka itu mahasiswa baru. Di kantor PEMA tidak kalah serunya. Inilah pusat dari semua kondangan ini. Tampak ketua panitia dan semua konco-konconya berbincang serius. Bendahara tampaknya sudah mulai akrab dengan kuitansi. Hampir setiap saat dia menerima pelapor yang membutuhkan rupiah. Mahasiswa yang tidak ikut pun tampak asik dengan keheranannya.


Semua panitia naik ke lantai tiga. Briefing terakhir. Memastikan semua sudah pada posisi masing-masing dan menegaskan tugas setiap seksi. Saat mereka turun ke bawah, mobil sudah tiba di depan. Sontak semua mahasiswa baru berhamburan mencari tempat duduk. Orang-orang yang sudah ditentukan menumpang di bus yang mana, jadi berantakan. Dan ini tidak masuk dalam skenario panitia. Hanya karena koordinasi yang mantap di beberapa seksilah yang menjadikan ini segera dikembalikan ke jalan yang benar. Butuh lima bus untuk mengangkut peserta ditambah panitia. Berangkat.


Inaugurasi di beberapa tempat sudah dianggap seperti hantu pemangsa darah. Mengerikan. Inilah ajang paling memungkinkan dari senior-senior “mengaktualisasi” diri. Semua tampak sangar. Mereka tiba-tiba jadi gila hormat. Mereka menganggap merekalah pemilik sah kampus. Mahasiswa baru hanya akan jadi ikut pemilik bersama jika dan hanya jika telah melewati pembantaian di alam terbuka. Sibolangit memang selalu tempat idaman melakukan itu. Sarana prasaran di sana memungkinkan untuk itu.


Atas nama kebersamaan dan semua yang bersangkutpaut dengan kolektifitas, mereka dipaksa berjalan merangkak laiknya tentara hendak mempersiapkan diri bertempur. Atas nama kesatuan rasa dalam suka duka, mereka dicelupkan ke sungai laiknya insan yang gemar mencelupkan daun teh ke gelasnya di pagi hari. Atas nama mengagungkan ungkapan ini: sama rata sama rasa, mereka dipaksa mengecap penderitaan buatan yang sebenarnya lebih pantas dikutuk ketimbang diledek. Atas nama senioritas pula, kumpulan pemuda beranjak dewasa ini dilecehkan kepemudaannya. Ya, pemandangan umum ini acap kali, sekedar mengatakan selalu, kita pergoki di kampus-kampus menyambut mahasiswa yang baru lulus ujian seleksi masuk.

Bukan tidak banyak korban berjatuhan akibat ulah senior yang sesungguhnya tidak layak menyandang gelar mahasiswa ini. Nyawa mahasiswa baru banyak melayang. Nah, setelah begini, selanjutnya apa? Dengan cara tunggal inikah senioritas itu harus ditunjukkan?



Hari Pertama


Selamanya udara di Sibolangit sejuk bukan kepalang-tanggung. Sampai kapan pun rasanya kualitas udara sebersih itu takkan kita jumpai di Medan. Cuaca sore itu sedikit mendung. Rindangnya hutan masih saja belum sanggup membosankan kita yang sudah sering berkunjung ke sana. Pegunungan menjulang tinggi naga-naganya juga tidak lelahnya tampil anggun. Suasana seperti itulah menyambut kedatangan rombongan STMIK Triguna Dharma.


Di lapangan rumput luas itu mereka dibariskan. Mereka tampak seperti TKI yang hendak dikirim ke luar negeri. Tas mereka berukuran besar. Sebagian segera merogoh tas dan mengambil baju hangat. Ketua panitia didampingi seksi acara, dikawal seksi keamanan, dan diliput seksi dokumnetasi, tampil di depan barisan. Dengan pengeras suara (toa), yang beberapa jam sebelum berangkat dari Medan dibeli, didekatkan ke mulut.


Setelah memberi pengarahan, “2009?” Serentak angkatan 2009 menyahut, “Siap, Kak!” Sesi ini adalah sesi awal dari semua kegiatan dua hari ke depan. Informasi-informasi penting disampaikan. Mereka diberitahukan tentang kondisi tempat, harus tidur di mana dan bersama siapa. Mereka dikelompokkan. Dalam satu kelompok diusahakan dihuni oleh mereka yang belum kenal satu sama lain. Mereka diacak.


Kemudian mereka diarahkan ke aula. Hujan mengguyur Sibolangit. Mentari sudah kembali ke peraduan dan meninggalkan malam. Waktu istirahat yang cukup lama membuat peserta tampak menganggur. Mereka memanfaatkan kesempatan ini bercengkrama dengan yang lain. Ada yang memilih tiduran. Gadis centil di sana memilih merapikan wajahnya. Menghela rasa jenuh, pemuda di sudut sana pun memilih mendengar musik lewat hadshet.


Di dapur umum seksi logistik menyibukkan diri mempersiapkan makan malam. Panitia memilih memesan makanan dari luar. Artinya tidak dimasak sendiri oleh logistik. Tugas logistik hanyalah mengatur distribusi makanan peserta, pun panitia. Bukan berarti pekerjaan mereka tidak melelahkan. Mereka tampak seperti pegawai Bulog membagi-bagikan beras bagi keluarga berkemampuan pas-pasan. Mereka harus memastikan setiap orang harus mendapat jatah. Sesekali mereka akan menghidangkan kopi dan teh manis untuk menghangatkan badan. Makan malam pun siap digelar.


Ada tradisi bagus yang dipraktekkan panitia P2K2: kenyang dulu mahasiswa baru setelah itu panitia dipersilakan mengisi perut. Peserta bersantap di aula, dan panitia di dapur umum.

Kami diundang panitia untuk mengisi sebagian acara P2K2. Ada beberapa acara yang ditugaskan ke pundakku dan Posan. Kami berdua sudah bertekad dari Medan akan berbuat semampu kami menyukseskan acara ini. Persiapan sematangnya pun sudah kami lakukan. Acara pertama yang harus kami lancarkan adalah membawa games: games perkenalan. Alasannya sederhana saja kenapa games ini harus ada: mereka belum saling kenal satu sama lain. Dan menjadi sangat rumit dan mengundang rasa pesimis di hati tatkala semua peserta sepertinya “keras kepala” dan tidak bisa “diatur”. Bagiku, mereka tampak sembraut. Kacau balau. Mereka tidak seperti kebanyakan mahasiswa baru di kampus lain. Aku tertantang. Target panitia jelas: mereka harus sudah bisa saling kenal di malam pertama. “Mul, aku sebenarnya tidak yakin bisa. Tapi aku terima tantanganmu. Ini jadi pertaruhanku samamu,” unek-unek itu aku utarakan ke ketua PEMA. Hal sama juga kusuarakan ke ketua panitia, ke koordinator seksi acara.


Posan sedari siang sudah tampak gundah. Kepalanya pening melihat semua peserta. Tidak seperti mereka dulu di Methodist yang ngobrol sedikit saja di barisan sudah dibentak habis senior. “Geram kali aku, Dian,” tuturnya bernada kecut. Aku yakinkan dia bahwa metode di Methodist itu sudah harus kita buang ke tempat sampah. Selain tidak mendidik, cara itu hanya akan membuat mahasiswa baru tampil penurut di depan kita dan di dalam hati menghujat berat. James juga entah berapa kali menegaskan itu, “Kondisi di sini beda dengan di Methodist, Bro,” katanya saat di Medan.


Aku tampil ke depan. Toa di tangan kiri. Tampak memang mereka “keras kepala”. Mondar-mandir sejenak. “Kenalkan, aku angkatan 2005 di Triguna Dharma,” aku memulai. Tampak beberapa orang panitia bingung. Lah, sejak kapan pula kawan ini terdaftar mahasiswa TGD? Panggung belum sempurna betul kukuasai. “2009????” bentakku keras sekali. “Siaaappp, Kak!” sahut mereka. Tampak suasana sedikit berubah. Wouuuww… makhluk kecil ini seram juga. Sudah badan kecil, tapi suara kerasnya minta ampun. “Baik, dua hari ini kalian akan bertemu denganku,” lanjutku. “Kalian akan berurusan samaku.” Kali ini akulah penguasa panggung. Tampuk komando itu sudah terletak di tangan. “Silakan kalian senyum, senyum terakhir kalinya. Karena besok kalian akan menderita,” gertakan sempurna yang betul-betul mampu memutar suasana 360 derajat. Mereka pun senyum serentak. Tampak lucu. “Senyummm…,” bentakku. “Hitungan dua, berhenti.” Mereka pun berhenti. “Sekarang, tertawa,” dan mereka tertawa. “Hitungan satu, berhenti.” Suasana senyap seketika.


Mereka duduk masih serampangan. “Hitungan dua puluh sudah harus melingkar,” bentakku dengan tensi tinggi. Mereka tampak terkejut batin. Mereka barangkali tidak pernah terbersit bakalan menemui acara model begini. Hitungan pun berakhir. Mereka sudah melingkar. Betul-betul mereka sudah bisa “dikendalikan”. “Kesepakatan pertama, aku tidak butuh suara kalian,” aku membuat peraturan tanpa merasa perlu mendapat persetujuan dari siapa pun. “Kesepakatan kedua, aku tidak butuh senyum kalian. Karena suara paling lembut adalah suaraku. Karena senyum tercantik adalah senyumku. Paham 2009?” “Pahaammm, Kak!” “Hitungan satu, tangan di atas,” tegasku. “Hitungan setengah, turun,” tangan pun mereka turunkan. “Hitungan dua, pegangan tangan.” “Hitungan satu, lepas.” “Hitungan dua, berdiri,” mereka berdiri. “Hitungan tiga, tangan di atas sambil bergandeng tangan.” “Hitungan satu setengah, tangan turun dan sudah harus duduk,” mereka menurut saja. Bagus, inilah yang disebut anak manis itu.


Ada-ada saja memang yang selalu menyimpang. Di sudut sana kudapati senyumnya merekah. “Bos, aku tidak butuh senyummu. Hitungan satu, tutup mulutmu,” dia terkejut kuperlakukan seperti itu. Dan memang senyumnya tiba-tiba hilang. “Ada yang tidak senang?” gertakku menantang. “Tunjuk tangan.” Tak ada yang tunjuk tangan. “Jangan jadi pengecut, tidak senang katakan tidak senang.” Tidak juga ada yang berani mengangkat tangan. Pasti di antara mereka banyak yang dongkol. Sakit hati, pasti. “Ada yang menantang?” bentakku seolah-olah mengajak berantam. Tidak ada juga. Kudatangi satu orang cowok, “Mukamu sepertinya tidak senang, menantang bos? Ayo ke depan.” “Tidak, Kak,” suaranya lirih. Dalam hati aku ketawa setengah mati. Habis mereka kukerjai. Roh senioritas di Methodist dulu menguasai diriku. Tampak James senyum tertahan. Sepertinya dia berhasil mendatangkan kisah-kisah serupa yang pernah dilakukannya ke kepalanya.


Sudah sepuluh menit berlangsung. Kucoba memecah konstentrasi mereka. “Ya, kau, Bos. Siapa namaku?” “Nggak tahu, Kak,” jawabnya. Jelas-jelas sedari tadi aku belum memperkenalkan namaku. Jadi, tidak mungkin dia tahu siapa namaku. “Apa??? Tidak tahu???” Dia tampak tersudut. “Makanya dengar, Bos. Aku belum ada memperkenalkan nama.” Kawan-kawannya tertawa mendengar jawabannya. Oppsss… “Masih ingat dua kesepakatan itu? Aku tidak butuh suara kalian. Aku tidak butuh senyum kalian.” Mereka diam.


Rasanya aku harus mengakhiri pekerjaan pura-pura ini. Tibalah saatnya ke inti acara: games perkenalan. Aku pun mengalihkan kondisi. “Teman-teman, aku bukan mahasiswa TGD. Aku datang dari Methodis.” Mereka mendesah, “Yahhhh….” Yang lain tampak linglung. “Aku dan Posan diundang teman-teman panitia mendampingi kawan-kawan dua hari ke depan. Namaku Dian Purba,” demikian aku membuyarkan ketertindasan mereka. Sepertinya mereka masih bingung. Tadi bentak-bentak, kok tiba-tiba petantang-petinting mengumbar senyum? Setelah mereka yakin betul tampaklah mereka lebih santai. Mereka berbisik-bisik dengan teman di sampingnya. Semua panitia pun baru menemukan jawab tentang semua alur acara.


“Hanya satu pesan yang ingin aku sampaikan ke teman-teman,” aku berkotbah. “Janganlah harus dibentak dulu kawan-kawan baru bisa diam. Aku yakin kita ini bukan, maaf, binatang. Betul?” Serempak mereka menjawab, “Betulll, Kak!” “Hargailah senior kalian yang sudah capek mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka buat acara ini sepenuhnya untuk kalian.” Mereka mengiakan saran itu. “Kalian tidak anak SMA lagi. Bertindak dan berlakulah laiknya seorang mahasiswa,” aku menambahi isi ceramahku.


Jam menunjuk setengah sepuluh. Suasana sudah cair. “Setengah jam ke depan kita akan bermain games. Kita namakan games ini games perkenalan.” Gamesnya sederhana. Mereka masing-masing disuruh mengambil secarik kertas. Di bagian paling atas kertas ditulis nama masing-masing. Di bawahnya ada dua pertanyaan yang harus disertakan. Pertanyaan pertama, tempat dan tanggal lahir. Pertanyaan kedua, kenapa ikut kegiatan ini dan apa harapannya.


Kemudian kertas dilipat sekecil mungkin. Kotak sudah tersedia di tengah. Mereka kemudian memasukkan lipatan kertas itu ke kotak. Setelah itu instruktur games akan mengkocoknya. Dan kembali mereka akan disuruh mengambilnya kembali. Peraturan bermainnya begini.


Setelah mereka melipat kertas sekecil mungkin dan memasukkannya ke kotak, lantas insrtruktur mengkocoknya, mereka satu-satu maju ke depan dan mengambil satu kertas satu orang. Harus dipastikan tidak ada peserta yang bertemu dengan kertas berisi namanya sendiri. Setelah itu mereka akan membuka kertas itu. Mereka akan bertemu dengan nama yang sama sekali belum mereka kenal. Sebagian kecil memang sudah saling kenal. Kemudian, mereka harus mencari nama itu dan menanyakan kedua pertanyaan dan menuliskan jawabannya di kertas itu juga. Mereka bebas melakukan apa saja sepanjang itu dilakukan untuk keperluan games.


Mulai,” aku memberi aba-aba. Maka, dalam hitungan detik seluruh ruangan dipenuhi suara. Tidak ada yang menyamai kegaduhan di ruangan itu selain keramaian hilir-mudik penjual dan pembeli di pasar sentral Sambu.


Bagi yang sudah kenal dengan nama yang tertera di kertasnya tidak menemui masalah berarti. Tinggal tarik tangannya, wawancarai, dan jawaban pun didapat. Lantar diakhiri dengan, “Horee…”

Bagaimana dengan mereka yang belum kenal sama sekali? Di sinilah letak serunya permainan. Mereka harus berteriak memanggil-manggil. Tidak berhasil dengan metode itu, mereka menanyai kawan-kawannya satu persatu, “Kenal sama si Danang?” “Kenal dengan Juniar?” Ada yang garut-garut kepala. Bukan karena dia harus berjuang keras mencari pemilik nama di kertasnya, ternyata dia bingung membaca deretan huruf-huruf itu. Tulisannya mirip cakar ayam. Dengan demikian, bergandalah tugas untuknya. Ada pula yang sok kenal sok dekat. Belum lagi namanya dipastikan, tangannya ditarik begitu saja. Dibawa ke sudut ruangan dan segera ditanyai. Eh, ternyata salah orang. Serentak mereka terbahak. Terpaksa pencarian diteruskan kembali.


Yang sudah selesai melaksanakan amanah bolehlah berekspresi. Beberapa memilih berpelukan. Ada yang minta digendong. Terdapat pula yang menggandeng tangan. Mereka yang pendiam lebih memilih segera kembali ke posko. Semua tampak gembira. Mereka kelihatan menikmati betul jalannya permainan.


Waktu selesai. Mereka duduk manis kembali. Saatnya memberikan laporan pertanggungjawaban. “Kita akan memilih beberapa orang dan mereka harus berdiri, menunjuk orang yang namanya tertera di kertas, dan membacakan jawabannya.” Giliran pertama dihunjuk. Segera berdiri dan melakukan semua yang diinstruksikan. Berhasil. Sekarang orang kedua. Aihhh, dia salah menghunjuk temannya. “Tadi seingatku dia orangnya, Kak,” ujarnya memberikan pembenaran. Semua yang ada di ruangan itu tertawa. Demikianlah untuk orang ketiga dan seterusnya. Dari permainan sederhana ini mereka belajar banyak hal. Tentang arti sebuah kerjasama. Untuk mengejar tujuan juga kita diharuskan giat mencari cara dan jalan menggapainya. Dan jangan lupa, komunikasi dua arah jadi keniscayaan. Hilangkan ego diri. Buka hati dan pikiran. Sifat malas juga tidak akan banyak membantu, malah akan jadi penghalang.


“Tepuk tangan untuk keceriaan ini,” pintaku dengan senyum manis. Di penghujung games, tiba-tiba saja terngiang dengan Gus Dur, calon pahlawan kita itu. Tentunya tidak mengingat segala sesuatu yang berhubungan dengan cemerlangnya buah pikirannya. Pun tidak terbersit tentang tulisan-tulisannya yang luar biasa itu. Humornya. Humor itu saja yang terlintas.



Humor Gusdur : Siapa yang Paling Berani

Di atas geladak kapal perang US Army tiga pemimpin negara sedang berdiskusi tentang prajurit siapa yang paling berani. Eh, kebetulan di sekitar kapal ada hiu-hiu yang sedang kelaparan lagi berenang mencari makan.

Bill Clinton: Kalau Anda tahu, prajurit kami adalah prajurit terberani di seluruh dunia. Mayor.. sini! Coba kamu berenang, kelilingi ini kapal sepuluh kali.

Mayor: (walau tahu ada hiu) Siap, Pak! Demi “The Star Spangled Banner” saya siap! (akhirnya dia terjun dan mengelilingi kapal 10 kali sambil dikejar hiu)

Mayor: (naik kapal dan menghadap) Selesai, Pak! Long Live America!

Clinton: Hebat kamu, kembali ke pasukan!

Koizumi: (tak mau ketinggal, dia panggil sang sersan) Sersan! Menghadap sebentar (sang Sersan datang) Coba kamu keliling kapal ini sebanyak 50 kali!

Sersan: (melihat ada hiu … glek … tapi) For the queen I’am ready to serve!!! (pekik sang sersan, kemudian membuka baju lalu terjun ke laut dan berenang keliling 50 kali … dan dikejar hiu juga).

Sersan: (menghadap sang perdana menteri) GOD save the queen!!!

Koizumi: Hebat kamu … kembali ke tempat … Anda lihat Pak Clinton … Prajurit saya lebih berani dari prajurit Anda … (tertawa terbahak hebat)

Gus Dur: Kopral ke sini kamu … (setelah Kopral datang) saya perintahkan kamu untuk terjun ke laut lalu berenang mengelilingi kapal perang ini sebanyak 100 kali … ok?

Kopral: Hah … Anda gila yah …! Presiden nggak punya otak … nyuruh berenang bersama hiu … kurang ajar!!! (sang Kopral pun pergi meninggalkan sang presiden)

Gus Dur: (dengan sangat bangga) Anda lihat Pak Clinton dan Pak … Cumi Cumi … kira-kira siapa yang punya prajurit yang paling BERANI?? … Hidup Indonesia … !!!


Semua peserta tertawa terbahak melebihi ketawanya Perdana Menteri Cumi-cumi itu. Acara selanjutnya pun aku serahkan ke panitia. Awal yang baik aku kira. Dan ternyata memang begitu adanya. Target tercapai: mereka telah saling kenal.

Frensus mengisi acara selanjutnya: ceramah umum organisasi. Ceramah yang sangat sulit dijelaskan namun dilakukan Frensus dengan sempurna.


Saat mahasiswa baru terlelap pulas ditemani dinginnya malam, panitia briefing. Persis di tengah malam. Dipimpin ketua panitia, semua seksi diminta mengeluarkan keluh kesahnya. Mereka ditanyai satu persatu. Seksi keamanan sepertinya paling banyak disoroti. Seksi ini adalah seksi terbesar porsi anggotanya. Dari 50 orang jumlah panitia, mereka menyedot 26 orang jadi anggota. Saking banyaknya, banyak di antara mereka yang tidak mengerjakan apa pun. Dan kawan-kawan panitia lain tidak nyaman dengan itu. Toh, ini acara bersama. Semua harus sama-sama bekerja. Selanjutnya seksi dokumentasi. Mereka juga tak luput dari tajamnya pisau penilaian. Ada beberapa adegan fotografernya yang seharusnya tidak wajar dilakoni. Ketahuan mereka berfoto ria dengan peserta P2K2. Mereka mengakui itu sebagai kesalahan dan masalah pun selesai. Seksi logistik tampil sempurna tanpa sedikit pun kelemahan. Seksi peralatan rasa-rasanya hampir sama dengan seksi keamanan. Seksi medis juga tampil primadona. Mereka bekerja dengan baik. Dan salut sama kawan-kawan panitia. Mereka bersedia mengkoreksi dan juga dikoreksi. Dengan demikian tidak kita temui masalah berarti yang bisa memperlambat laju acara. Sebelum briefing disudahi, seksi medis dikawal seksi keamanan ronda keliling kamar peserta cewek. Semua harus terjamin keamanannya. Dan memang begitulah. Saat semua sudah bermimpi, seksi keamananlah yang setia berjaga hingga mentari muncul dari persembunyiannya.


Hari Kedua

Hingga jam lima di pagi hari, saat semua peserta bangun, rembulan masih saja mengintip malu-malu di belakang rindangnya pohon. Cahaya kekuningan itu membuat segala sesuatu yang diterpanya tampak amboi. Aiik makjang, dinginnya udara menusuk hingga ke tulang.

Pepohonan di gunung sana pun mengutus udara teramat bersih untuk kami hirup. Segar. Rasa-rasanya paru-paru ini kurang lapang menampung semua kebaikan dari alam itu. Baiklah, kita wakilkan saja dengan ucapan: Selamat Pagi! Tentunya tak eloklah kalau ucapan syukur tidak kita haturkan ke haribaanNya. Pencipta segenap alam. Pemberi nafas kehidupan.

Sirene toa pun dibunyikan. Membahana. Pekikan dari corong bulat ini akan mengingatkan kita dengan raungan-raungan parade mobil polisi saat melintas di jalan raya. Atau auman mobil ambulance meminta semua jalan dibersihkan dari macetnya lalu lintas lantaran orang sakit di dalam harus segera mendapat pertolongan. Dibunyikan beberapa kali dan segera semua peserta sudah berkumpul di aula.

Maka tampaklah wajah nano-nano itu. Mereka sepertinya belum benar-benar bangun. Barangkali masih ada di antara mereka yang membawa mimpi ikut serta ke aula. Cowok-cowok pastilah belum membersihkan gigi. Gumpalan kecil di sudut mata itu pun masih menempel. Jelas-jelas tidur mereka belum terpuaskan.

Dara-dara cantik itu tampil lebih anggun. Produk kecantikan sudah melekat di wajah. Kaum hawa ini tampak lebih jernih. Bisa saja rasa syukur itu lebih besar porsinya mereka miliki. Tapi apa pun itu, pagi ini mereka akan menggerak-gerakkan badan. Melenturkan semua yang tegang. Melemaskan semua yang keras. Mengganti cadangan udara di paru-paru dengan penghuni baru. Menyambut ramahnya alam. Senam pagi. Dipimpin satu orang di depan, mereka berlari-lari di tempat. Menggerak-gerakkan kaki dan tangan. Menarik napas dalam-dalam lantas mengeluarkan udara stok lama: hahhh…. Menggosok-gosokkan kedua belah telapak tangan, lalu menempelkannya ke wajah. Ummm…hangat. Dan, serempak menyapa: “Selamat pagi, Sibolangit!” Hari kedua pun bermula dari sini.

Jadwal kegiatan sepanjang hari kedua amat padat. Inilah hari inti P2K2. Kalau di malam pertama mereka sudah saling kenal, nah, di hari kedua mereka diharapkan meningkatkannya ke jenjang lebih tinggi. Mereka harus mampu menghilangkan ego diri. Mereka harus mampu bekerja sama. Mereka harus kompak. Rasa takut harus dienyahkan. Mereka harus bisa berkorban untuk tujuan bersama. Mereka harus yakin betul bahwa mereka begitu berharga bagi teman-temannya. Dan lai-lain, dan lain-lain. Bagamaina mewujudkannya? Lewat permainan. Panitia sudah mempersiapkan rancangan rancak untuk itu. Segala sesuatunya sudah dimatangkan semenjak masih di Medan. Dan kisah di bawah ini adalah kisah teramat seru dari berbagai permainan yang sungguh akan sia-sia kalau tidak dituliskan lantas dibagikan.


Games

· Games Perkelompok

Perut sudah terisi. Badan sudah segar. Paru-paru pun sudah diisi penuh udara mahabersih. Jejaka nan cakap dan putri nan jelita sudah siap “bertempur”. Tenaga mereka akan terkuras satu harian ini. Panitia pun sudah mengatakan diri siap. Saat briefing selepas sarapan tadi, mejadi pemasti semua itu. Semua sudah dijatahi tugas dan harus ditunjukkan dengan tanggung jawab penuh. Semua target harus tercapai.

Kita mengenal beragam metode belajar. Diskusi, misalnya. Model belajar tipe ini begitu efektif membangkitkan kehausan akan ilmu pengetahuan. Inilah ajang tempat setiap orang menempati posisi sejajar: tidak ada guru, tidak ada murid. Setara. Belajar sama-sama dan sama-sama belajar. Menggurui dan digurui hendaknya disingkirkan jauh-jauh. Setiap orang bebas mengeluarkan pendapat. Kita juga tidak terbelenggu ikatan kencang menanggaapi pendapat orang. Rasa diri paling jago bukanlah anggota keluarga diskusi. Dia anak tetangga yang tidak boleh diundang masuk lantaran suka mencuri milik orang. Dalam diskusi yang sehat juga akan kita temukan bahwa bertukar wawasan itu bukan sesuatu barang mewah. Inilah proses belajar yang saling menguntungkan itu: memberi dan menerima.

Model lain: seminar. Sedikit serupa dengan diskusi, namun di beberapa segi memiliki perbedaan. Seminar bentuknya lebih besar dari diskusi. Baik dari segi jumlah peserta pun dari tempat menyelenggarakannya. Tidak seperti diskusi, seminar butuh biaya lumayan besar: mengundang pembicara serta honorariumnya, mencetak undangan, ongkos konsumsi, mencetak sertifikitat, dan biaya tempat. Mengharapkan seminar seefektif diskusi dalam berdebat sepertinya tidak teramat pas. Di sini kita menemui lebih sedikit perdebatan. Yang ada adalah penguasaan materi mayoritas oleh narasumber/pembicara. Kalaupun ada ruang untuk bertanya, biasanya kita akan dibatasi oleh keterbatasan waktu. Namun, bukan tidak ada keuntungan yang didapat. Pembicara sebelum memaparkan uraiannya, mereka sudah terlebih dahulu bergulat dengan puluhan buku. Mengutip bagian-bagian yang relevan dan menuliskannya menjadi makalah. Di akhir makalah biasanya tercantum refensi. Dari referensi inilah modal kita memperdalam bagian-bagian uraian pemakalah itu yang kita rasa masih belum sempurna disampaikan. Tentunya juga keuntungan karena kita mendapat informasi melimpah tentang kebaruan dalam khasanah ilmu pengetahuan.

Model selanjutnya: permainan. Dan inilah yang kita gunakan di P2K2. Cuplikan gambar-gambar dan uraian penjelasan akan membantu kita menjelaskan tentang peran apa yang disumbangkan permainan berhubungan dengan proses pembelajaran. Untuk keperluan tulisan ini kita akan menggunakan kata ‘games’ untuk menggantikan kata ‘permainan’.


Di kertas petunjuk pelaksanaan P2K2 tersua dua bagian besar games: games kelompok dan games umum. Games kelompok dipecah menjadi lima macam, sejoli dengan pembagian kelompok peserta. Mereka adalah: drop-dead, duduk bersama, memasukkan spidol ke botol, si bisu dan si buta, dan tangan kait. Games ini dimainkan serempak di lima tempat berbeda. Dan games umum ada uda: barisan terpanjang dan mendirikan menara. Baiklah brother-brother dan sister-sister, jangan beranjak dari tempat mojok Anda karena kisah di bawah ini sepenuhnya dari panitia, oleh kalian, dan untuk kalian.



Drop-dead


Mengambil posisi di tempat tinggi, pemandu games menatap ke bawah. “Ada yang sudah pernah ikut games seperti ini sebelumnya?” Demikian ia memulai. Baguslah, satu pun di antara mereka masih suci tentang permainan ini. Dari kelima games kelompok, bagian inilah yang punya resiko tertinggi. Namanya saja sudah seram. Drop-dead akan memakan korban saat kekompakan tim tidak sempurna. Bisa-bisa seksi medis akan angkat tangan dan menganjurkan klinik terdekat saja menanganinya. Lihatlah gambar di atas. Bisa Anda bayangkan seandainya tidak ada tangan yang menampung dia di bawah? Mampuslah dia.


Awalnya panitia ragu memainkan games ini. Karena, “Terlalu beresiko, Bro,” kata seksi acara kala itu. Dan si kepala botak itu mampu memberi jaminan beserta garansi penuh.


Satu peserta disuruh naik ke atas. Peserta di bawah mengemban tugas sedikit berat. Mereka harus mengkaitkan tangan satu dengan yang lain (lihat gambar di samping). Setiap orang harus memastikan genggaman tangannya dengan genggaman yang lain cukup kuat sehingga mampu menangkap beban puluhan kilo, bahkan ratusan kilo. Tugas peserta yang di atas tadi: dia harus menjatuhkan diri ke rangkaian tangan yang di bawah. Syaratnya: harus jatuh lepas. Semua badan harus jatuh bersamaan, tegak lurus. Dan peserta yang di atas harus membelakangi kawannya yang di bawah. Jatuhnya harus pasrah. Setelah semuanya tampil sempurna, permainan pun dimulai.


Kita akan bertemu banyak hal. Peserta pertama karena ukuran badannya tidak terlalu bongsor, santai saja dia “bunuh diri”nya. Peserta kedua sengaja dipilih bertimbang di atas berat 50 kilo. Selepas petunjuk permainan diingatkan kembali, hitungan pun dimulai, “Dalam hitungan empat jatuhkan dirimu, satu-dua-tiga-empat.” Tidak berani dia. Takut. Eh lihat, tanggannya gemetar. Badannya menggigil. Mukanya memerah. Dia minta diganti saja. Butuh usaha ekstra memastikan peserta kedua ini menghilangkan rasa takutnya. Terpaksa perjaka-perjaka tangguh bertangan kekar ditempatkan di depan. Maka, dia pun merelakan tubunya terjatuh. Bolehlah mencoba games ini untuk memastikan seberapa aduhai nyali Anda.


Posisi jatuh mesti persis di tengah. Dan kepala penangkap di bawah harus dicondongkan ke belakang saat korban jatuh. Demikian games ini digulir. Berganti peserta berganti pula keluhannya. Semua mereka harus mengeluh dulu sebelum terjun. Dan setiap peserta yang berhasil diganjar dengan tepuk tangan.


Setiap games selalu mengandung makna. Karena itulah, mereka duduk melingkar di bawah naungan pohon jengkol merembukkan segala yang dirasakan dan semua yang bisa dipetik artinya dari permainan yang baru saja usai. “Kita diajari untuk mempercayai teman satu tim,” ungkap pengevaluasi pertama. “Wah, takut. Tangan saya sampai gemetar. Tapi seru,” yang lain menimpali. “Untuk mencapai tujuan dibutuhkan tim yang solid, kuat, dan saling melengkapi,” ujar si buyung yang satu ini bernada filosofis. “Rasa takut harus dilawan,” peserta lain menambahi.


Yah, betul. Cara paling ampuh mengusir ketakutan adalah dengan melakukan apa yang ditakutkan itu. Mereka sudah membuktikan itu. Tujuan akhir selamanya bisa dicapai bila ada kombinasi setia antara kerjasama dan kekompakan tim. Juga termasuk di dalamnya kepercayaan. Ada saat-saat di mana kita sungguh tidak berdaya lagi. Dan kita hanya punya sahabat sebagai penolong satu-satunya. Di siang hari yang terik itu mereka telah mengikatkan benang persahabat tersebut di hati dan di jiwa mereka.


Duduk Bersama

Apakah Anda bisa duduk bersamaan dengan banyak orang dalam bentuk melingkar tanpa boleh menyentuh tanah sedikit pun? Games ini akan memberi jawabannya.

Mereka disuruh melingkar. Menghadap ke pemandu games di tengah lingkaran. “Tugas kalian, setiap orang harus bisa duduk tanpa menggunakan alas apa pun. Dan tidak boleh menyentuh tanah. Tidak boleh jongkok.” Segera mereka berkomat-kamit. “Silakan kalian berunding. Temukan caranya,” perintah pemandu. Mereka pun bermusyawarah. Masing-masing melontarkan ide. Percobaan pertama: mereka duduk dengan kaki satu. “Ops, yang begini tidak sesuai dengan peraturan permainan,”kata pemandu mengingatkan. “Duduknya harus serentak.” Mereka merepet. Percobaan pertama gagal.

Kembali mereka berembuk. Masing-masing mengeluarkan ide kreatifnya. Huppss…mufakat pun didapat. Begini caranya: mereka saling membelakangi, merapatkan jarak beridiri sedekat mungkin dengan yang di depannya, dan silakan duduk di lutut teman di belakang Anda. Nilai A plus untuk kalian. Luar biasa. Mereka pun menerapkan teori temuan mereka sendiri. Dan: sukses. Mereka bisa duduk serempak tanpa menggunakan alas dan sama sekali tidak menyentuh tanah.

Jangan pernah takut dengan tantangan. Jangan pula sesekali berniat menghindarinya. Jangan memperlakukan tantangan sebagai masalah besar. Okelah kita anggap itu masalah. Bukankah semakin berjibun masalah yang kita hadapi semakin membuat kita bertambah dewasa? Bukankah daya tahan menggempur beratnya beban hidup akan semakin mudah kita taklukkan saat kita menganggap masalah itu sebagai bukan masalah? Aku sepakat dengan semboyan Kantor Pegadaian: Mengatasi Masalah Tanpa Masalah.

Kelompok ini memecah masalah itu dengan apik. Mereka berdiskusi, berembuk. Sesekali berdebat. Akal sehat mereka gunakan. Ide-ide kreatif mereka hamburkan keluar dari batok kepala. Kegagalan tidak menjadikan mereka lantas berhenti mencoba. Coba lagi, coba lagi, dan coba lagi. Komunikasi tim dibangun. Mereka bekerja sama. Ketika satu orang di antara mereka membentengi diri dengan egoisme, saat itu pula usaha –usaha yang sudah ditempuh menemui jalan buntu.


Masukkan Spidol ke Botol

Wanita muda di samping tidak sedang bertanding dengan Rafael si tukang sulap terkenal itu. Dia juga tidak sedang menganggarkan ilmu kebal banting seraya mencoba menantang Limbat beradu. Bukan. Dia sedang asik menelingai teman-temannya yang berkoak-koak memberi perintah.

Kita namai games ini: memasukkan spidol ke botol. “Kalian harus memasukkan spidol ini ke dalam botol itu. Mata harus ditutup,” pemandu games memberi petunjuk. Lantas, mereka diarahkan membentuk lingkaran. Satu orang dihunjuk maju ke tengah lingkaran. Matanya ditutup dengan kain. Spidol yang sudah diikat dengan tali plastik dilingkarkan ke pinggangnya (gambar di bawah). Setelah itu, dia dituntun berdiri tepat di atas lobang botol (gambar di samping). Untuk sedikit menghasilkan tantangan, tali sengaja dibuat agak panjang ke bawah.

“Nah, kawan-kawanmu bertugas memberi perintah seperlunya sehingga spidol berhasil kamu celupkan ke dalam botol,” ujar pemandu melengkapi petunjuk sebelumnya.

Sontak saja semua mereka berceloteh. ”Jangan kau goyang pinggangmu,” kata gadis berkaca mata itu sambil terkekeh-kekeh. “Ya, terus, terus. Sikit lagi,” perintah yang lain menambahi. “Kiri, kanan, stop,” teriak cowok di sebelah sana. Mereka semua bersuara serempak. Dan ini jelas kedengaran tidak berirama cantik. Si gadis ini pun segera menemukan dirinya kebingungan. Bingung memilah-milah perintah mana yang harus dilaksanakan. “Angkat kakimu. Ya, kurang tinggi. Stooppp. Masukkan!” Semua tertawa.

Segera mereka sadar: terlalu banyak berbicara dan terlalu banyak perintah tidak akan menghasilkan apa-apa. Terjadilah kesepakatan tak tertulis. Tugas memberi aba-aba kini hanya dipegang satu-dua orang saja. “Ya, angkat kakimu. Truusss, kurang tinggi. Tahan, jangan bergoyang,” demikian perintah itu lebih terarah. “Yah, pelan, pelan. Masukkan. Yess…!” Spidol pun masuk ke sarang. Tepuk tangan membahana. Kegembiraan meliputi wajah tiap mereka. Demikian permainan ini digilir ke peserta lain dan tetap tidak kehilangan keseruan yang sama.

Kita dapat apa? “Tidaklah mungkin spidol berhasil masuk tanpa ada perintah dari teman-teman,” ujar peserta yang tadi sudah merasakan arti sebuah kerjasama. “Di awal semua kami memberi perintah. Dan ternyata tidak membawa hasil,” kata peserta yang lain. “Kita harus bekerjasama untuk mencapai sebuah tujuan,” tegas kawan kita ini dengan nada sedikit tinggi. “Tidak harus semua memberi perintah. Ada saat-saat tertentu kita diperintah dan ada pula saat-saat yang lain kita yang memerintah. Permainannya seru,” seru peserta cantik ini.

Pendapat-pendapat di atas melengkapi pendapat ini: kita dituntut mengemban tugas yang dipercayakan kepada kita dengan perintah tepat, tegas, dan tidak membingungkan. Komunikasi dua arah jangan pernah dianggap hal enteng. Kepercayaan juga. Ego diri, buang saja ke laut. Ketenangan akan menggampangkan kita bekerja. Jangan panik. Santai namun serius. Di permainan ini mereka bertemu dengan semua itu. Permainan yang tidak akan terlaksana baik tanpa sumbangsih dari setiap peserta.


Si Buta dan si Bisu

Permainan apa pula ini?

Si buta dan si bisu. Keadaanlah yang membuat mereka berpapasan. Lantas berkenalan dan kemudian berteman. Begitulah, mereka menemukan kecocokan satu sama lain. Sementara itu, kehidupan tidak pernah sedetik pun berhenti. Dunia dan segenap isinya menyibukkan diri dengan persoalan masing-masing. Di jagad yang mengedepankan individualisme itu, mereka harus berjalan dan mencari impian hati. Si buta dan si bisu pun memulai kisahnya.

“Ini kisah si buta dan si bisu,” pemandu games mulai berkisah. “Suatu saat mereka tidak menemukan siapa pun di sekitar mereka selain mereka berdua. Mereka harus melewati jalan yang di sebelah kiri-kanan jalan itu adalah curang. Selangkah saja kaki mereka terpeleset maka nyawa adalah taruhannya. Mereka harus berjalan di jalan teramat sempit nan berkelok. Si buta tidak bisa melihat jalan. Si bisu sebaliknya. Sementara si bisu tidak bisa ngomong. Kalian akan memainkan peran itu di games ini,” ujar pemandu melengkapi kisahnya.

Karena arena gamesnya di tanah datar, dibuatlah jalur dari sepatu. Dirancang berkelok-kelok, sedikit panjang, dan lebar jalur hanya bisa memuat satu orang saja. Yang mendapat peran si buta akan disembunyikan matanya dibelakang kain yang kedua ujungnya diikatkan di belakang kepala. Si bisu hanya diwajibkan untuk tidak mengeluarkan satu patah kata pun selama permainan berlangsung.

Si bisu akan berdiri di belakang si bisu. Si bisu harus memainkan peran lebih. Karena jalan yang hendak dilalui dipenuhi onak duri, mereka berdua harus memastikan sampai di ujung jalan tanpa menemui sesuatu yang tidak diinginkan.

“Teman-teman akan melewati banyak tikungan: kiri dan kanan. Bagaimana cara si bisu memastikan si buta tidak terperosok?” tanya pemandu. “Ingat, si bisu tidak bisa ngomong dan si buta tidak bisa melihat,” tambahnya memastikan. Jawabannya: saat bertemu tikungan mengarah ke kiri, si bisu cukup menepuk bahu kiri si buta, untuk tikungan sebelah kanan juga demikian. Nah, bagaimana jika si buta harus berhenti? Si bisu cukup menepuk di bagian tengah punggung si buta. Untuk jalan lurus cukup tidak menepuk bahu bagian mana pun.

Setelah memastikan segala sesuatunya beres (gambar di atas), permainan pun dimulai.

Maka, tampaklah si bisu segera meletakkan kedua tangannya di bahu si buta. Si buta menunggu perintah tepukan. Tepukan pertama, si bisu menepuk bahu kiri. Si buta pun jalan ke arah kiri. Terus giliran bahu kanan dan si buta pun percaya saja dan melangkahkan kaki ke sebelah kanan. Sesekali mereka menginjak batas jalur. Dan si bisu segera menepuk punggung tengah si buta. Umm..pasangan serasi. Setelah berjalan beberapa meter, pasangan lain pun diluncurkan.

Kehidupan, di segi mana pun itu, selalu memaksa kita untuk menekuni satu bidang. Bidang yang harus kita kuasai dan bidang inilah nantinya akan membantu kita mendapat kemudahan-kemudahan dalam hidup. Kemudahan-kemudahan yang akan melahirkan beribu peluang. Peluang yang dimanfaatkan betul sehingga kebahagiaan adalah keniscayaan berikutnya. Kita juga akan bertemu dengan pribadi-pribadi unggul lain dan mereka membawa keahlian yang tidak kita miliki. Kita harus akui itu. Jangan menganggap kelebihan orang sebagai ancaman. Ada peluang di sana. Karena keterbatasan kita akan dilengkapi orang lain dan kelebihan kita pun bolehlah dinikmati orang lain. Itulah hidup: saling melengkapi.


Tangan Kait

Di tempat lain games ini dinamai “mengurai benang kusut”. Pekerjaan yang sungguh-sungguh harus dijodohkan dengan kesabaran dan keuletan. Di Sibolangit, kami ubah namannya: tangan kait.

Laksana benang kusut, peserta didudukkan. Namun, posisi duduk bukanlah seperti kita hendak mengikuti arisan: teratur. Mereka harus duduk saling membelakangi, saling mendepani, dan saling mensampingi. Segenap penjuru mata angin harus ditempati.

Maka, kita akan lihat: punggung si A bersanding dengan wajah si B, badan samping si C berdekaktan dengan punggung si D. Mereka harus duduk seacak mungkin. Lantas, dengan posisi serba acak, tangan mereka harus dikaitkan. Tangan si A yang duduk sebelah utara berpengangan dengan tangan si E yang posisinya berada di sebelah tenggara. Si D di sisi barat harus bertaut dengan tangan si J di sebelah selatan. Betul-betul menyamai benang kusut. Ada mengulurkan tangannya dari bawah kaki, dari atas kepala temannya, dari bawah ketiak, dari atas pundak. Semua sudah berkelindan. Setelah itu mereka harus bangkit berbarengan. Pautan tangan sangat tidak diijinkan terlepas. “Kalian harus membentuk lingkaran sempurna dan semua dipastikan menghadap ke depan,” ujar pemandu bertitah.

Perhelatan pun dimulai. Mereka segera beradu badan, bertemu muka. Posisi berdiri seperti itu, memaksa kita tersipu. Puteri cantik ini mendapati dirinya berpacak dalam jarak beberapa inci saja dari wajah si tampan. Nyaris lengket, Saudara. Peserta lain tampak kesulitan setengah mampus mempertahankan posisi lantaran tangannya terpaut kacau dengan peserta lain. “Ingat, tangan tak boleh dilepas,” ujar pemandu yang hanya menambah penderitaan peserta.

Setelah begini, tiba giliran mencari akal menempa lingkaran sempurna. “Bro, langkahi tanganku. Ya, hati-hati. Jangan lepas tanganmu,” teriak peserta yang satu. “Jangan begitu, dari belakang aja,” yang lain menimpali. “Tangan kalian jangan terlalu tinggi. Umm…aku masuk dari bawah.” “Tunduk, terus.” “Bukan, bukan begitu. Badanmu putar,” teriak yang lain. “Bukan, bukan ke situ. Kau ke depan.”

Maka, tampaklah “benang” kusut itu perlahahan-lahan terurai. Gambar di bawah adalah tahapan dari hasil sekian banyak pergumulan. Pencapaian yang tidak mudah. Teriakan, repetan, omelan, dukungan, bahkan kekonyolan bersatu padu menjadi permainan sedap.

Suasana serius itu dibalut gemuruh tawa. Sebentar lagi sepertinya sebuah lingkaran bakal tercipta. Namun, oh, lihat. “Seorang teman kalian kok beda sendiri?” teriak pemandu. Teman kita yang satu ini menghadap ke jalan lintas Berastagi-Medan. Jelas-jelas posisi yang tidak akan pernah direstui peserta lain. Setelah jadi bahan ketawaan bersama, mereka cepat-cepat mengeluarkan dia dari jalan menyimpang. Jalan keluar pilihan mereka: memperagakan gerak badan berputar dengan kecepatan lambat. Dan tetap, tangan tidak diperkenankan terlepas. Jadilah dia laiknya Jet Li beraksi saat hendak mengelak dari serangan tajamnya pedang mafia Hong Kong.


Alih-alih tidak ada yang sulit, brother-brother dan sister-sister. Kita hanya memerlukan sentuhan lembut antara keuletan, kesabaran, dan kerjasama. Bolehlah mengikutsertakan gembira hati. Cukuplah aku kira. Atau ada tambahan lain? “Serumit apa pun masalah pasti bisa diselesaikan. Kebersamaan, itulah kuncinya,” ujar si gadis jelita berambut panjang itu. Ada lagi? “Tujuan jelas, arahan juga terarah. Setiap orang harus bekerja.” Umm…hasil evaluasi yang sangat cerdas. Untuk itu, kita anugerahi mereka: tepuk tangan semarak.


· Games Umum

Rona wajah lelah itu tertutup sempurna oleh senyum sumringah. Terbalaskan dengan semua bunga-bunga yang tiba-tiba saja melekat di paras mereka. Keceriaan. Yah, segendang seirama, mereka sebut itu keceriaan. Keceriaan dibungkus dengan balutan kerjasama apik, kepercayaan tingkat, tinggi, dan mengakhirinya dengan evaluasi mumpuni.

Mereka sudah disantaikan barang lima belas menit. Panitia segera memusatkan pemuda-pemuda ini di lapangan utama . Suka cita harus dipastikan sempurna betul.

Kita masih akan berkutat di games. Hanya saja sedikit berbeda dengan yang teman-teman baru saja lalui. Di sini, kita akan mengadu kelompok-kelompok dalam satu permainan bersama. Kalian akan dipacu menjadi kelompok terbaik dan mengakhirinya dengan kemenangan. Tentunya dengan ikatan aturan main. Siap????

Tuan-tuan dan Puan-puan, kendurkan semua otot, keluarkan semua daya, kita akan beraksi.


Barisan Terpanjang

Kelompok satu, kelompok dua, kelompok tiga, kelompok empat, dan kelompok lima. Di lapangan berumput yang di sana-sini masih menyisakan air dari hujan semalam, boleh jadi penambah resep permainan yang hanya akan melezatkan kebersamaan. Kebersamaan? Yakin teman-teman sudah menyandang sebutan itu? Maafkan. Dengan berat hati: aku setengah yakin. Dan sepertinya condong ke tidak yakin sama sekali. Ayo, paksa aku menarik semua keraguan itu.

Games umum pertama: barisan terpanjang. Kelima kelompok akan menunjukkan taji. Siapa terpanjang itu terunggul.

Cakap-cakap kerjasama tim, umm, ini tempat teramat pas untuk itu. Mereka akan mendemonstrasikan itu.

Aturan main: silakan manfaatkan semua yang melekat di badan. “Apa baju bisa dilepas?” tanya ketua kelompok dua. “Semua, bahkan celana sekalipun bila kalian anggap itu harus,” pemandu games menjawab. “Bisa kami pakai bambu yang di pinggir itu?’’ ketua kelompok lima kini bertanya. “Silakan semua gunakan yang melekat di badan kalian. Di luar itu tidak diperkenankan.”

Gambar di atas adalah hal pertama yang mereka lakukan. Gotong-royong segera terracik. Lihat, mereka membuka baju, tidak cewek tidak cowok. Ops, perempuan cukup melepas almamater saja. Menyimpulnya. Terciptalah rangkaian yang dalam waktu singkat sudah berpuluh meter. Seru sekali. “Tariiikkk…,” teriak dari pangkal rangkain. Pendamping games tidak kalah serunya. “Jangan terlalu kuat. Ulurkan tanganmu.” “Jangan terputus.”

Panjang lapangan berkisar 100 meter. Games baru berlangsung lima menit. Alangkah aku dikejutkan, barisan terpanjang itu sudah hampir sampai di ujung lapangan.

Ternyata kesibukan lepas-melepaskan makin gencar. Lihat brother kita di samping. Semangat berjuangnya luar biasa. Dari sekian lapis celana yang dia punya, hanya dia sisakan selapis lagi penjaga setia anggota badan teramat penting itu. Itu hal terakhir yang dia lakukan. Baju almamater sudah lepas. Kemeja putih itu pun direlakan. Ikat pinggang, juga. Sempurna.

Bagaimana dengan gambar di bawah? Selendang sudah dikawinkan denga baju. Baju pun dijodohkan dengan rentangan tangan. Kita tidak tahu inisiatif ini bersumber dari mana. Yang buat kita terperangah: mereka berbaring di tanah berlumpur itu.

Janganlah pula hendak mengingatkan mereka tentang kejorokan. Tidak ada itu. Bagaimana dengan rasa gatal? Akan sia-sia belaka menyinggung itu. Tiba-tiba saja mereka kesurupan antibody penangkal semua itu.

Kaum perjaka bertelanjang dada merayap di rerumputan. Terkadang mereka berguling. Membujur sedemikian rupa. Di ujung jari terpegang ujung baju. Di ujung kaki, jempol terhubung dengan ikat pinggang. Ukuran sekujur badan dijumlahkan dengan panjangnya almamater ditambahkan lagi dengan sambungan ikat pinggang membentuk rantaian yang mau tak mau harus segera ditiru kelompok lain.

Semakin mereka peduli dengan rasa gatal dan kejorokan semakin pastilah kelompok itu akan keluar jadi barisan terpendek.

Di ujung sana terjadi sedikit kesulitan. Mereka bertemu jalan buntu. Mencoba memperpanjang barisan, jurang penuh semak-belukar akan menyambut di bawah. Biarpun begitu, mereka ngotot. Para pemandu games mensyaratkan memundurkan barisan. Di pangkal barisan masih tersisa beberapa meter ke belakang. “Munduurrr….” Tanpa merusak untaian mahacemerlang itu, mereka mundur serentak.

Sudah sepanjang itu mereka berbaris. Mengikat semua yang perlu. Merentangkannya dengan sentuhan kreatifitas. Meneriakkan semua ucapan-ucapan penggelora. Bermesraan dengan lapangan berlumpur. Bersendaugurau dengan rasa gatal. Menyisakan kolor saja di badan. Berkeringat. Berlari.

Berguling. Mengikhlaskan kulit mulus itu terpanggang sinar mentari. Mengenyahkan rasa malu. Menahan haus. Barangkali saja sudah ada perut yang keroncongan.

“Waktu tinggal 2 menit lagi,” pemandu games mengingatkan. Maka, semakin bergiatlah mereka. Pagar pembatas lapangan rumput dengan jurang itu pun sudah diterobos.

“Waktu habis,” ucap pemandu. Tibalah memutuskan siapa pemenangnya. Para pendamping games dihadirkan sebagai saksi. Hasil sudah didapat. Dengan demikian berakhirlah hajatan ini.

Mereka segera kembali berbaris. Baju-baju yang terikat itu pun dilepas satu-persatu. Yang bertelanjang dada segera sadar dengan bercak-bercak merah di tubuh mereka. Mereka kegatalan. Sesuatu yang tidak dirasakan, bahkan terpikirkan pun tidak, selama permainan berlangsung. Kegembiraan hati membuat semuanya tampak elok.

“Pemenangnya adalah…,” pemandu memiripkan para juri Indonesian Idol menggantung mengumumkan hasil. “Pemenangnya adalah…kelompok empat.” Bagi pemenang, hasil itu disambut teriakan: “Kelompok empat, yesss!” Kelompok lain tampak mencibir. Sedikit sukar mereka menerima hasil itu. Ada pula kelompok menilai kelompok empat curang.


What a games, kata orang berbahasa Inggris. Itulah permainan. Terkadang pemenang bukanlah segalanya. Toh, kemenangan bersahabat erat dengan kekalahan. Bukan kekalahan tepatnya. Bagaimana kalau kita sebut saja itu kekurangberuntungan?

Apa pun itu, aku bungkukkan badan ini. Memberi hormat salut teramat tinggi. Mengapresiasi pengorbanan teramat kental. Kerjasama itu, luar biasa. Kebersamaan? Selamat datang. Kami sambut engkau dengan tangan dan hati terbuka.

Keraguan di awal pun sudah berganti haluan. Brothers dan sisters, selamat!


Mendirikan Menara

Matahari nyaris vertikal di atas kepala. Terik. Semua sudah kembali berbaris. Semua pula tampak berseri-seri. Cerah. Senyum itu terlepas sumringah. Semakin pastilah mereka kini semakin terikat emosional. Mereka capek, iya. Umm.. Sangat memungkinkan juga telah tersemai benih-benih menggemari. Wajar saja itu. Dan kita pastikan saja, tidak akan kita percakapkan itu. Kita persembahkan itu sebagai bonus. Selanjutnya, terserah pemilik hati.

Inilah games terakhir. Kita akan rampungkan semua yang terasa bergunduk-gunduk. Mereka pun menyantap sajian terakhir ini.

Perlengkapan games ini amat sederhana: korek api dan botol. Satu kelompok disediakan satu botol dan dua kotak korek api. Kedua bahan itu berjejak tepat di depan barisan masing-masing kelompok. Mereka akan menganggit menara dengan itu. Pemenangnya: menara tertinggi.

Mendirikan menara di atas mulut botol. Anak korek api menjadi bahan satu-satunya untuk itu. Lantas, caranya? Satu orang dicukupkan satu anak korek saja. Mereka akan maju satu per satu. Mengambil korek dari kotaknya dan meletakkannya di atas mulut botol. Setelah siap dia harus kembali ke barisan dan mengambil posisi paling belakang. Orang kedua pun maju. Mengambil anak korek api dan meletakkannya persis di atas mulut botol. Demikian seterusnya.

Laiknya hendak mendirikan menara betulan, hal pertama mesti dipertimbangkan adalah membuat pondasi. Pondasi akan menentukan bangunan di atasnya. Pondasi rapuh, rapuh pulalah seluruh bangunan. Nah, pada orang pertamalah pemegang kunci. Sebelum maju, dia semestinya menggambar menara yang hendak didirikan di benaknya. Atau bolehlah didiskusikan terlebih dahulu. Karena, sekali lagi, satu orang dapat satu anak korek api.

Perlombaan pun dimulai. Segera suasana kompetisi menggerayangi setiap kelompok. Sepertinya mereka cukup tajam akal. Mereka letakkan anak korek itu di pinggir. Orang kedua mengikuti di pinggir satu lagi. Selanjutnya, menimpanya dengan posisi berlawanan. Lihatlah gambar di atas. Tindihan itu bersegi empat. Permainan pun berlari kencang. Di sebelah, mereka sudah sampai di lantai lima belas. Mereka memegang rekor tertinggi sementara.

Gambar ini menjelaskan tentang pondasi tak ideal. Selain memakan banyak sekali “bahan bangunan” juga tidak akan kuasa menahan keseimbangan. Mungkin saat mencapai lantai tujuh, menara ini akan roboh. Pasti pulalah rancangan ini menjadi penghuni peringkat terakhir.

Tidak setiap orang bisa berlaku tenang, santai. Desakan menjadi tim terbaik memaksa mereka berpacu. Namun mereka lupa, lawan terberat itu bukanlah kelompok lain. Menaklukkan diri sendiri, yah, itulah lawan terberat. Games ini butuh ketenangan. Suasana santai adalah keniscayaan. Di salah satu kelompok, kita temukan tindak-tanduk yang hendak melanggar aturan main tak tertulis ini. Yang tadinya sudah berlantai dua puluh, ulah satu orang panik, bangunan itu pun meluncur bebas ke bawah. Roboh. Hancur. Yah, panik. Aku lantas teringat dengan gempa di Sumatera Barat itu. Selain pondasi bangunan yang tak sanggup menahan serangan gempa, korban banyak berjatuhan karena kepanikan. Ada yang loncat dari lantai tiga tanpa sadar. Ada pula yang hanya berlari-lari tak jelas juntrungannya.

Kalau sudah begini, repetan teman-temannya menyerbu. Betapa tidak, mereka harus memulai dari awal kembali.

Tantangan dari luar ternyata menghinggap juga: angin. Tamu kita yang satu ini sekehendak hatinya saja berhembus. Tidak peduli dia dengan si Danang yang wajahnya baru saja diserang puluhan jari telunjuk lantaran kegugupannya telah menghancurkan bangunan yang sudah hampir menyamai Burl Khalifa, bangunan tertinggi di dunia itu. Maka, langkah terbaik harus dilakukan adalah membuat benteng penangkal angin. Gambar pertama di atas adalah solusi untuk itu. Sementara peserta games asyik menyusun lantai demi lantai, pemandu games pun menutup segenap bangunan dengan telapak tangan.

Waktu sudah menjelang akhir. Mereka masih setia bermain-main dengan korek api dan botol. Roboh sekali, bangun dua kali. Justru kelihaian kian menaik. Ketenangan kesantaian, sudah diakrabi. Lengkaplah sudah.

Tibalah penilaian. “Pemenangnya adalah kelompok lima!” teriak pemandu mengumumkan. Tetap saja sama, penolakan hasil itu ada. Dan tetap saja mantra itu aku ujarkan: ini permainan. Kita mafhum. Toh, Malaysia masih cukup bangga dengan Menara Petronasnya karena tidak lagi menjadi gedung tertinggi dunia saat dikalahkan Menara Taipei. Taipe juga demikian. Burl Khalifa di Dubai beberapa saat kemudian menjulang lebih tinggi lagi.

Kebanggaan itu selayaknyalah melekat di dada masing-masing. Mereka bermain maksimal. Hal terbaik sudah mereka curahkan. Kerja sama juga. Mendirikan menara tertinggi bukanlah poin terpenting. Hal utama adalah proses. Yah, proses. Setialah dengan proses. Bonus-bonus kehidupan akan menghampiri. Jujur memainkan aturan main.

Saat berhasil, jangan lupa merayakannya. Itu hak kita sepenuhnya. Dan sepatutnyalah begitu. Maka gambar di bawah ini adalah salah satu jenis dari perayaan itu.


Urusan tunggal menderu: haus disertai lapar. Sekitar empat jam lamanya mereka bermain-main. Berlari. Jungkir balik. Berguling. Merepet. Berpikir keras. Berdiskusi. Berbaris. Menerobos semak belukar. Ego diri perlahan-lahan sudah mereka buang ke tempat sampah. Tertawa lepas. Sesekali marah, dongkol. Memainkan peran-peran yang memancing gelak tawa. Menguji nyali. Menghilangkan rasa takut. Berbaring di lumpur. Menahan rasa gatal. Berkompetisi sehat. Bermandi keringat. Merayakan kemenangan. Tak lupa pula setiap games usai diakhiri dengan evaluasi. Dan mereka cerdas melakukan itu.

Di aula mereka berkumpul. Merasa perlu memperbincangkan yang sudah dinikmati, mereka asyik ngobrol. Mereka punya banyak cerita. Di games kelompok, ada empat jenis permainan lagi yang tidak dicicipi masing-masing kelompok. Kelompok satu bercerita tentang dropdead. Kelompok dua bersenandung tentang tangan kait. Kelompok tiga dengan bangga berkicau tentang duduk bersama. Kelompok empat berseri-seri mengisahkan memasukkan spidol ke botol. Kelompok terakhir pun tak mau kalah: si buta dan si bisu pun games yang sangat memesona. Wajarlah orang luar bila masuk ke aula itu mengira pesta kondangan sedang berlangsung. Hmmm… Sembari menunggu logistik menjatah makan siang, hal terasik lain yang amboi dilakukan adalah berfoto ria. Beberapa sudut aula itu pun tiba-tiba menyerupai studio foto.

Makanan sudah memenuhi segenap celah rongga di lambung. Namun, tetap saja suasana pesta itu membahana. Dan sepertinya bertambah parah. Menu siang itu mampu menyuplai energi lebih.

Lewat diskusi matang antara seksi acara dengan ketua panitia disertai restu dari setiap seksi yang ada, dibulatkan kesepakatan untuk meluangkan tiga jam waktu istirahat. Aku dan Posan memutuskan berteduh di bawah pohon dan memejamkan mata. Panitia memanfaatkan momen ini memuaskan mata karena memang semalam itu banyak mereka tidak tertidur barang sebentar. Cantiknya alam Sibolangit tidak dilewatkan beberapa peserta untuk mengabadikannya dengan jepretan kamera.


Yel-yel

Untuk keperluan ini, panitia cukup kreatif. Mereka mencaplok istilah-istilah dari huruf terakhir STMIK: komputer. Sebut saja misalnya flashdisk, monitor, keyboard, mouse, dan yang lain. Peserta harus meracik ramuan itu menjadi nyanyian merdu. Mereka diperkenankan menjiplak nada lagu band kesukaan mereka. Dan syairnya diganti dengan istilah-istilah tersebut. Menggampangkan pikiran kebanjiran ide kreatif, mereka dilepas di alam bebas. Dalam setengah jam sudah harus tercipta syair lagu baru dengan nada lagu lama.

Mereka pun mengambil tempat ternyaman. Duduk melingkar. Berembuk. Musyarawarah. Lagu siapa hendak ditiru?

Tjipta Lesmana, lewat. Pemusik jazz ini takkan pernah memubat lirik lagu dari organ tubuh komputer. Bagaimana dengan Ahmad Dhani? Umm…kalah. Pemilik Republik Cinta Production ini hanya mencipta lagu-lagu cinta beraroma seksi. Iwan Fals? Barangkali satu tingkat di bawah mereka. Lantas dengan siapa mereka harus disejajarkan?

Sore itu mereka memainkan peran tambahan dari sejumlah peran yang sudah mereka gauli beberapa jam terakhir.

Mengandaikan diri laiknya komponis panutan, tidak membuat mereka canggung. Gitar pun jadi pendamping mesra. Crengg…. Dicocok-cocokkan untaian kata-kata itu dengan petikan lihai sang gitaris. Samakan suara. Tampak betul mereka ingin dijuluki pengaransemen termumpuni. Mirip peserta Indonesian Idol mempersiapkan diri sebelum memanggung di pentas spektakuler, nada-nada sumbang di sana-sini pun didempul.

Kelompok lain tidak kepalang tanggung. Koreografer sekaliber Ari Tulang pun hendak disaingi. Menari-nari mereka. Lagu berirama cepat mengiringi. Pinggul-pinggul lentur itu meliuk-liuk. Sangat rancak. Semakin sempurnalah keelokan Sibolangit di sore itu.

Di bawah pohon jengkol, kelompok yang satu lagi meramu semua aneka bumbu irama. Tak ada batang akar pun jadi. Maksudnya begini. Gitar tersedia terbatas. Dari lima kelompok yang butuh, dua gitar saja yang ada. Mereka pun beralih ke kondisi semanual mungkin. Mulut. Mereka mengandalkan karunia Tuhan teramat vital ini bersenandung.

Panggung spektakuler sudah tergelar di aula. Dewan juri yang belum teruji betul dengan seluk-beluk olah suara itu pun dihadirkan di depan. Mereka akan menilai dari beberapa teori musik kontemporer. Barangkali pun mereka telah mencipta teori baru terkhusus untuk konser ini.

Kelompok satu mendapat giliran pertama. Mereka mengambil tempat. Di depan teman-temannya, mereka akan unjuk gigi. Ambil ancang-ancang dan mereka pun beraksi. Sedikit malu-malu. Kekompakan tim sepertinya tidak mereka miliki betul. Atau bisa saja kurang mempersiapkan segala sesuatunya. “Kuambil flashdisk. Kumasukkan ke komputer. Data pun kubuka...” Kira-kira demikian kutipan lagu mereka. Biarpun begitu, tepuk tangan riuh tetap saja dianugerahkan untuk mereka.

Kelompok dua boleh jadi lebih unggul dari kelompok satu. Selain mereka menyandang gitar penggiring lagu, suara merdu mereka sedikit sukar ditandingi. Apakah mereka pernah mendapat sentuhan ajaran olah vokal dari Agnes Monika? Barangkali mereka mendatangkan Krisdayanti sekedar meloloskan grup ini ke babak final? Entahlah. Penampilan maksimal sungguh mereka sajikan sempurna.

Kelompok tiga, empat, dan lima sepertinya tampil dengan kemampuan maksimal di atas panggung. Segenap daya tercurah. Ada yang mencaplok lagu Armada, Peterpan, D’Massiv. Semua itu memaksa para juri bekerja keras. Tampak mereka mencoret-coret, berbincang dengan sesama kolega.

Setelah semua kelompok sudah tampil, tinggallah menanti keputusan akhir dari dewan juri. Tidak lebih dari dua menit, hasil pemenang sudah mereka putuskan. Betul-betul juri luar biasa. Cepat dan tepat. Pemenangnya: kelompok tiga. Dengan demikian hadiah utama jatuh ke tangan mereka: dua gelas teh manis ditambah foto bersama tiga pucuk pimpinan panitia pelaksana P2K2.

Sungguh hadiah prestisius dan menghadirkan rasa bangga tak terhingga.


Menonton Denias

Matahari sudah mengumpet di balik pegunungan menjulang. Embun yang sedari siang tak menampakkan diri, kini menghampiri bumi dengan kesejukan bersahaja. Gelap pun menyelimuti Sibolangit. Sedu-sedan suara lalu lalang mobil di seberang sana samar-samar terbetik. Menara-menara pemancar sinyal dengan lampu merah berkedip-kedip di ujung tiang menjulang tinggi itu menambah intimnya malam. Mereka semua sekonyong-konyong berkasih-kasihan dan mencipta bingkai alam bernilai artistik tinggi.

Setelah berterima kasih sama seksi logistik, mereka kini duduk manis di aula. Bau badan bekas keringat sepertinya sudah dicampakkan ke saluran pembuangan air.

Slide sudah dipacak di depan. Proyektor pun didudukkan di sebuah kursi. Sound bersuara keras itu pun sudah terhubung ke laptop di atas meja. Saatnya menghadirkan studio Twenty One. Menonton bersama.

Menonton menempati posisi terhormat di jagad pencarian penambah wawasan di luasnya semesta pengetahuan. Tentu saja film yang akan diputar tidak bersangkut-paut dengan panasnya perseteruan anggota dewan dengan presiden kita yang baru saja dilantik itu. Tidak pula berdekatan dengan alur cerita sinetron-sinetron di layar kaca. Sungguh, sinetron tidak mampu berbuat banyak membantu anak-anak STMIK TGD menjadi lebih bijak dan bajik. Pun tidak cukup cakap membantu kita menemukan jawab untuk pertanyaan: di mana posisi kita dalam kehidupan? Ah, kisah sinetron hanyalah kisah rekaan belaka. Kisahnya orang-orang kota berumah mewah. Kisah orang-orang kalah lantaran tidak cukup pintar memainkan sandiwara.

Tentu panitia punya jawaban dengan memilih Denias sebagai menu pengisi acara pertama di malam kedua. Denias cukup digemari di luar negeri. Film ini menyabet seabrek penghargaan bergengsi. Biasalah, kita di Indonesia belum begitu gemar dengan film yang berkisah tentang orang-orang kalah. Ada beberapa film sejenis yang layak direkomendasikan untuk ditonton. Sekedar menyebut beberapa: Daun di Atas Bantal, Pasir Berbisik, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi. Beberapa film itu masih belum sanggup mengejar jumlah penonton film yang berkisah tentang horor dan percintaan.

Oh, lihat. Gayung pun tidak bersambut. Kelelahan menerkam. Mereka letih. Lemas. Sajian makan malam tidak mampu menghalau itu semua. Konsentrasi, alat teramat penting pencerna film, buyar entah ke mana. Mereka mesti distimulus api gelora.

“Aku mengerti betul kondisi teman-teman. Seharian berlari-lari, berguling-guling, menahan terik matahari,” ungkapku memulai. “Semangat layu itu ternyata menular. Dan itulah yang aku rasakan sekarang. Semangat itu lenyap. Aku hanya bersandar ke teman-teman untuk membangkitkan itu kembali.” Mereka pun menerka-nerka tindakan tertepat yang musti dilakukan. “Kita akan latihan yel-yel tambahan sejenak.”

Sebelum makan malam tadi, panitia sudah mengetik yel-yel itu. Sederhana sekali isinya. Dan sangat pendek. Gampang dihafal. Yel-yel ini sebelumnya kami gunakan saat mahasiswa baru fakultas sastra Methodist berinaugurasi. Dan untuk itu, aku pun sudah minta restu James mengaransemennya seperlunya.

GO GO TGD GO

GO GO TGD GO

GOOOO…. TGD


Mereka pun bangkit berdiri. Semua mata mengarah ke slide. Dan, “Tangan kiri terlalu sering kita diskriminasikan. Angkat tangan kiri,” kata pemandu setelah segenap peserta sudah fasih memekikkan yel-yel itu. Tangan kiri pun sudah di arahkan ke langit-langit. “Satu-dua-tiga: GO GO TGD GO, GO GO TGD GO, GOOO… TGD.” “Kurang kuaattt… satu-dua-tiga.” Kebekuan semangat pun perlahan-lahan mencair. “Satu-dua-tiga. Kuatttt….” Pemandu terus menyemangati. Dengan tangan terkepal, mereka meninju-ninju ke langit-langit. “Sekali lagi, satu-dua-tigaaa.” Miriplah mereka dengan pendemo-pendemo yang belakangan hari sering beraksi di jalanan. Ternyata metode ini membuahkan hasil. Mereka pun kembali duduk manis karena bioskop TGD segera dimulai.

Denias diawali dengan tampilan gambar memukau alam papua nanindah. Lapisan salju di puncak gunung tertinggi Indonesia, Jaya Wijaya, itu sungguh menakjubkan. Hutan-hutan masih perawan. Inilah tanah Papua, tanah di kepulauan paling akhir di sebelah timur Indonesia. Tanah mahakaya dengan sumber daya alam. Gunung-gunung menjulang tinggi menjadi penanda khas lain daerah ini.

Kisah ini pun segera tertuju ke seorang bocah miskin, namun kaya impian. Cita-cita besar terbeban di pundaknya. Tidak seperti rekan mereka di kota-kota besar lain, mereka harus mendaki bukit terjal, menuruni lembah berkilo-kilo meter jaraknya dari perkampungan hanya untuk mendapat didikan dari seorang guru berhati mulia. Gubuk kecil di puncak bukit itu sangat tidak pantas disebut memadai untuk disebut sekolah. Bagaimana dengan seragam putih merah itu? Hanya di angan-anganlah itu mereka temukan.

Denias teramat gemar bermain bola. Memisahkan dia dengan bola sama saja memisahkan hayat dari kandung badan. Bersama teman-teman sepermainan, Denias selalu kepincut girang melepaskan anak panah menyasar binatang di hutan. Belakangan, kegemaran berburu inilah penyebab kematian bundanya lantaran api melahap habis rumah mereka saat Denias pergi ke hutan dan meninggalkan ibunya terlelap dalam kondisi sakit demam tinggi.

Beruntung dia memiliki sahabat, seorang tentara dari angkatan darat. Tempat Denias menumpahkan segala unek-unek. Tidak kita temukan kesan militeristik di dirinya. Kematian bunda Denias memukul keras semangat bocah berkulit gelap ini meneruskan sekolah. Keceriaan anak-anak itu telah patah arang. Sekali lagi, dia sangat beruntung memiliki sahabat. Bujuk rayuan, dorongan semangat bersekolah, dan berani bermimpi, senantiasa ia dapatkan dari tentara cakap berbadan tegap itu.

Sekolah reot mereka di pucuk bukit itu diluluhlantakkan gempa. Pupuslah sudah harapan Denias menimba ilmu. Jalan satu-satunya melanjutkan sekolah, ia harus pergi kota dan meninggalkan kampung halaman. Di kota dia bertemu dengan timpangnya perbedaan kelas antara yang miskin dan yang kaya. Ada sekolah diperuntukkan untuk orang berduit saja. Dia tidak punya itu. Hatinya miris. Biarpun begitu, semangat berapi-api hendak bersekolah tidak sedetik pun ia tinggalkan. Lewat beberapa rangkaian peristiwa, ia pun diterima bersekolah di tempat yang dikhusukan untuk orang berkantong tebal itu. Karena memang Denias hanya punya satu impian: “Saya mau sekolah. Itu sudah.”

Penonton bioskop TGD, demikianlah untaian kisah Denias. Aih makjang, lihat, saudara kita di belakang sana sudah terlelap pulas. Mereka ketiduran. Pastilah tidak semua adegan mengharu biru film itu mereka saksikan. Ya, sudahlah. Toh, kita masih memiliki penonton setia yang duduknya di depan dekat slide.

Mari kita buktikan keseriusan mereka mengikuti satu persatu alur cerita film. Dua orang mewakili semua penonton. “Film yang sangat menggugah. Berkisah tentang anak yang sangat terbatas di dana tapi melimpah di semangat,” ujar perjaka tanggung berkulit hitam manis itu memberi resensi. “Jangan takut bercita-cita tinggi. Tuhan akan membantu kita mengejarnya,” gadis putih berambut lurus ini menambahi.

“Saya mau sekolah. Itu sudah.” Kalimat pendek berbobot berat di makna. Kalimat ini memaksaku memalingkan ingatan ke Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Film yang diangkat dari novel luar biasa racikan Andrea Hirata. Laskar Pelangi berkisah tentang perjuangan anak Belitong bergulat dengan tidak diikutsertakannya mereka menikmati layanan pendidikan memadai. Sekolah mereka yang hampir reot itu ditempati manusia di siang hari dan berganti berpenghuni kambing di malam hari. Saat hujan mengguyur saat itu pula mereka harus libur sejenak lantaran atap gedung bocor di sana-sini.

Sang Pemimpi bercerita tentang dahsyatnya kekuatan mimpi. “Kita hanya punya mimpi. Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.” Kutipan dari sebuah percakapan di film itu. Atau ucapan dahsyat seorang guru bahasa Indonesia berikut: “Tidak masalah seberapa besar mimpi kalian. Namun, apakah kalian cukup besar dengan mimpi-mimpi itu?” Di tengah keterbatasan, di ketiga film itu, mereka bermimpi. Berjuang. Bekerja keras. Tekun. Tahan banting. Denias berhasil mewujudkan mimpinya. Arai dan Ikal, pemeran utama Sang Pemimpi, membuktikan mereka cukup besar dengan mimpi-mimpi besar mereka: menimba ilmu di universitas terkenal di Eropa.

Begitulah. Proses itu senantiasa musti dilalui. Tidak ada jalan pintas menuju sukses. Kesuksesan bolehlah kita artikan: hasil penjumlahan antara kemampuan dan kesempatan. Mendatangkan kemampuan memaksa kita betah duduk berjam-jam di depan komputer mengutak-atik segala sesuatunya dan menjadi ahli di bidang itu. Menghadirkan kemampuan memaksa kantong mata membengkak lantaran membaca buku-buku tanpa jedah dalam beberapa jam. Menampilkan kemampuan mengharuskan kita meninggalkan kebiasaan nongkrong di warung kopi lantas mengunci kamar dan bermesraan dengan kertas-kertas bertuliskan kata-kata. Dan saat kesempatan itu menghampiri, saat itu pula pintu kesuksesan sudah terbuka.


Api Unggun

Sepertinya sudah tradisi kalau tidak mau disebut budaya. Bakar-membakar tumpukan kayu di tengah malam ini boleh jadi tidak terpisahkan dari kegiatan inaugurasi. P2K2 memilih api unggun penutup seluruh rangkaian acara.

Ketua PEMA, ketua P2K2 dan segenap jajarannya, masing-masing koordinator tiap seksi, ditambah mentor, berembuk saat peserta lagi asyik-asyiknya menetekkan air mata di aula ketika pembawa renungan suci utusan kampus sanggup menyentuh hati mereka yang paling dalam. Pertemuan di jubir hari itu membahas tata letak dan tata laksana api unggun.

Sibolangit terkenal sedikit angker. Dalam beberapa kesempatan, sering kita kewalahan menangani teman-teman yang kesurupan. Sedikit susah menjelaskan kejadian ini dari sisi ilmiah. Tapi begitulah, keadaanlah yang memaksa kita percaya kekuatan di luar manusia ternyata benar adanya. Panitia menyadari betul segenap resiko ini. Dan panitia sudah bertindak tepat saat semua panitia melalui koordinator diminta memberi masukan. Tempat aman, melakukan apa di sana pun beres.

Suhu dingin itu tidak sanggup ditendang oleh kobaran api. Membakar dua ban bekas dan bertumpuk kayu bakar kering, hanya menghasilkan kehangatan terbatas saja saat kita mendekat beberapa meter darinya. Gerimis itu pun hanya memaksa kita tidak boleh berpisah dengan baju hangat.

Semua mengitari api. Koordinator seksi acara memandu acara di tengah. “Dingin?” bentaknya. Memanaskan kedinginan, semua peserta api unggun, tanpa terkecuali, mengumandangkan yel-yel GO TGD. “Sekali lagi,” pemandu menyemangati. Hembusan angin sepoi-sepoi itu pun seakan-akan ikut beryel-yel. Barangkali juga mereka terkejut karena mereka biasa terganggu oleh suara yang demikian di bulan-bulan September hingga oktober di awal perkuliahan dimulai.

“Jangan melamun. Jangan melamun.” Pengalamanlah yang melahirkan kalimat itu. Mereka yang sering melamun di alam terbukalah yang dihinggapi “arwah” kesurupan. Berpuluh kali aba-aba itu diulang. Boleh jadi “setan” itu tidak butuh muka mutung.

Ketua PEMA yang bertengger di puncak segala kepanitiaan menenteng toa lantas mendekatkannya ke mulut. “Terima kasih teman-teman panitia. Jerih payah kalian ternyata tidak sia-sia. Sungguh, hasil yang kita peroleh ini berada di luar harapan kita. Sekali lagi terima kasih,” Muliaman memberi sanjungan sepantasnya. “Semua mahasiswa baru, terima kasih. Kalian sudah buktikan kebersamaan itu telah kalian genggam. Telah kalian miliki. Luar biasa. Kalian menyuguhkan semua usaha yang hanya akan memaksa bulu tangan kami berdiri saat memikirkan itu semua. Sekali lagi, itu luar biasa. Terima kasih telah melewati dua hari ini bersama kami. Kami bangga memiliki kalian.” Semua tangan tidak ada yang tidak bertepuk. “Malam ini, disaksikan alam Sibolangit, di depan api unggun, dan di hadapan semua kalian, saya, mewakili Pemerintahan Mahasiswa STMIK Triguna Dharma, dengan ini menyatakan mahasiswa angkatan 2009 telah resmi menjadi brother dan sister kami.” Sekarang giliran bulu kudukku yang berdiri. Pidato yang sangat menyentuh hingga ke relung hati.

Simbol keterlepasan mahasiswa baru dari belenggu perintah dan bentakan senior-seniornya ditunjukkan dengan melepas lembaran berukuran 15x20 cm itu dilepas dari leher, dicampakkan ke api, dan hangus terbakar di sana. Selama acara P2K2 berlangsung, mereka wajib mengkalungkan itu dileher. Di sana tertera: nama, kelompok diskusi, formasi kamar, dan nama penyakit bagi mereka yang punya penyakit.

Di api unggun ini, simpul persahabatan itu telah diikatkan kencang sehingga satu orang saja tidak boleh terlepas. Semua sudah menjadi brother dan semua sudah menjadi sister.

Senyum sumringah terpancar dari wajah-wajah ceriah itu. Semakin semarak saat pemandu mengajak peserta melantunkan lagu Joy Tobing Semua Karena Cinta. Sembari memegang pundak teman di depan, sambil bernyanyi, mereka berputar-putar mengedari api.

Saat mereka di Medan, dua hari sebelumnya, genggaman erat tangan gambar di samping barangkali akan sangat sulit kita dapati. Mereka bergandeng tangan bukan karena cinta si cowok baru saja diterima si cewek. Bukan pula genggaman hanya sekedar menghangatkan tangan. Kebersamaan selama dua hari ini telah sanggup membuat kedua tangan itu, dan juga tangan-tangan yang lain, melenggang sempurna dalam dekapan genggaman mesra.

Mereka akan membawa oleh-oleh mahamanis ini ke kampus mereka. Mereka akan merasakan aroma berbeda dari aroma kampus sebelumnya. Aneka warna baru akan menghiasi hari-hari mereka di kampus. Dan jangan pernah salahkan siapa pun ketika jamak di antara mereka memadu cinta selepas ini. Cinta dalam arti sebenarnya. Itu hanyalah efek samping P2K2.

Lagu Kemesraan menjadi sajian terakhir. Semua berbaur. Cowok-cewek selang-seling. Bergandengan tangan. Nyanyian yang mengingatkan kita tentang sakitnya berpisah, biarpun itu sejenak, dengan getar-getar cinta. Di penghujung lagu, dekapan genggaman itu sepertinya bertambah erat saja. Ada hati membara erat bersatu. Getar seluruh jiwa tercurah saat itu. “Kemesraan ini jangalah cepat berlalu. Kemesraan ini ingin kukenang selalu. Hatiku damai, jiwaku tentram di sampingmu,” nyanyian yang memaksa pepohonan di sekitar terkesima terdiam. Angina pun berhenti berhembus sejenak.

Kertas pengenal yang tergantung di leher selama dua hari ini telah ludes dimakan si jago merah. Senandung Kemesraan mendayu-dayu membuai. Juru foto tidak ingin melepas momen ini dari jepretan kamera. Gitaris penggiring lagu semakin bergiat saja memainkan gitarnya. Semua bersatu-padu membuat fajar semakin memikat.

Kembali ke aula, tidak mengurangi kehebohan itu. Tidak ada lagi bentakan. Senioritas-junioritas melebur dalam panggilan akrab: brother.

Panitia merasa perlu sekali lagi menghaturkan ucapan terima kasih mendalam ke sesama panitia, ke mahasiswa angkatan 2009, ke PEMA, dan tak ketinggalan ke pihak sponsor, umm…maksudnya ke mentor.

Jangan pernah meninggalkan pesta sebelum kilatan lampu kamera menerpa tubuh. Jangan pula melewatkan malam terakhir ini tanpa berdesak-desakan di depan juru foto. Jepret sana, jepret sini. Tampilkan wajah segempar mungkin. Tawarkan senyum manis di depan kamera. Jangan pula mengalpakan berpose sebanyak mungkin dengan brother-brother lain. Malam pun beranjak semakin larut. Ayam pun sudah berkokok. Semua kilasan kisah seru sepanjang hari menghantar mereka menemui bunga-bunga tidur.


Pemberian Kado

Setelah sarapan, dan beberapa jam hendak bertolak ke Medan, panitia menyisakan satu acara puncak: pemberian kado. Mahasiswa angkatan 2009 sebelumnya sudah membelanjakan duitnya tidak lebih dari lima ribu rupiah dan membungkus kado itu dengan kertas cantik. Tepatnya mereka dianjurkan membeli kado.

Kado akan diberikan kepada: senior paling baik, senior paling cantik, senior paling nakal, senior paling lucu, senior paling cakap, senior paling bertingkah, dan untuk kedua mentor. Mereka akan memilih satu dari pilihan itu.

Satu per satu mereka dipersilahkan maju ke depan. Sebelum memberi kado, dan sebelum memanggil nama penerima, mereka harus memaparkan alasannya. “Terima kasih kepada kakak-kakak senior. Kami sangat senang. Kami sangat menikmati acara demi acara. Kami jadi kenal satu sama lain. Untuk itu, kado ini aku persembahkan kepada kak James,” orang pertama melepaskan kadonya. Tepuk tangan dan suit-suit segera menyeruak. Orang kedua: “Terima kasih kakak-kakak kami yang tercinta. Kalian sudah membuat acara yang mampu menyatukan kami dalam kebersamaan. Sungguh sangat tidak ternilai itu. Aku sebenarnya tidak membedakan kakak-kakak semua. Kalian semua baik. Dan memang aku hanya punya satu kado. Dan kado ini aku berikan kepada kak Dian. Kami sangat terkesan dengan kebaikannya. Terima kasih, kak!” Uhh…pujian yang menaikkan kuping.

Bergilir mereka menganurahkan kado berlabel tak lebih dari lima ribu itu, tapi begitu bernilai saat diberikan dengan balutan hati tulus. “Aku tidak punya kado yang terbungkus. Aku hanya punya hati tulus. Di doaku selalu akan kusertakan ucapan syukur karena telah bersedia menjadi brother untukku,” ujar brother kita ini dengan wajah tulus pula.

Saat kado hanya bergulir pada orang-orang yang itu juga, seksi keamanan merasa perlu memberitahu keberadaan mereka di sudut sana. Mereka gundah karena belum dihadiahi satu pun kado. Mereka sebenarnya hanya butuh bersabat saja. Karena, “Apa jadinya kita ini tanpa mendapat pengamanan dari kakak-kakak kita yang ganteng ini?” seru pemberi kado pertama kepada mereka.

Acara pemberian kado berakhir tepat saat jam makan siang tiba. Makan siang terakhir di Sibolangit.

Beralihlah kesibukan itu kini ke seksi peralatan. Mereka mesti memastikan perlengkapan tidak berkurang satu pun. Catatan daftar barang-barang pun dikeluarkan. Cek satu-satu. Smentar itu, semua peserta sudah siap mengermas barang bawaan mereka. Suasana kedatangan dua hari lalu terasa amat timpang dengan suasana kepulangan ke Medan.

Seksi acara pun mendaftar ulang semua peserta. Harus dipastikan, jumlah saat berangkat dari Medan musti sama saat pulang. Juga, menghindari kegaduhan berebut naik ke mobil, mereka ditempatkan ke bus berdasarkan kelompok. Saat Borneo datang, semua sudah siap. Masuk teratur ke bus, dan meluncur menuju kota Medan. Ucapkan selamat tinggal Sibolangit. Pasti, kami akan kembali.


Catatan akhir

Pastilah banyak yang luput dari pengamatan. Terlalu banyak kisah-kisah menarik yang belum diracik sempurna. Aku serahkan tugas itu ke brothers dan sisters. Aku hanya mengandalkan ingatan terbatas dan menuangkannya semenarik yang bisa kulakukan. Aku pun harus minta maaf. Karena teramat sering kesalahan itu luput dari pantauan karena terjepit di tempat yang tidak bisa aku temukan. Seandainya teman-teman menemukannya, ambillah itu dan campakkanlah itu ke tempat pembuangan sampah.

Tak bisa pula kututupi rasa banggaku. Cerita yang bermula dari perkenalan dengan satu-dua orang anak TGD saja dan berakhir manis dengan limpahan sahabat-sahabat baru.

Terimalah jabat erat tangan dari seorang sahabat yang tidak pernah berencana sedikit pun hendak melepaskan kalian dari benak. Pun tidak akan lelah membantu brothers dan sisters sepanjang itu bisa aku sumbangkan.

Terakhir, maafkan aku. Janji mengirimi kalian liputan inaugurasi segera setelah kita sampai di Medan tidak sesuai waktu yang dijanjikan. Tidak ada niat memperlambat. Hanya kesibukan seabreklah yang membuat itu berjalan lambat.

Salam hangat dariku: Dian Purba.