Senin, 16 Februari 2009

Apa yang Terjadi Ketika Banjir Sudah Dianggap Teman Karib?


UNGKAPAN lama yang sudah terlalu lama belum diubah tersebut kini menemukan jati dirinya kembali: kecil jadi teman besar jadi lawan. Sungguh, tidak ada kisah mengasikkan tentang banjir. Tidak ada cerita menarik tentang meluapnya air sungai. Terlebih lagi tidak ada satu pun berharap akan bangga bercerita tentang harta benda hanyut. Tentang barang-barang elektronik yang takkan pernah berfungsi baik kembali.

Setelah semalam meraka teramat sibuk mengungsikan barang-barang ke tempat yang tak terjangkau air, pagi ini mereka sudah tersenyum kembali. Aktifitas lazimnya pun bergiat kembali. Anak-anak sudah berlarian berkejaran. Ibu-ibu sudah nongkrong di depan rumah di sempitnya gang. Pedagang “eceran” menggelar dagangannya. Rumah sudah bersih dari lumpur.

Melintasi lorong-lorong itu, kita akan tahu seberapa tingginya “tamu” semalam menggenang. Dinding rumah membuktikannya. “Banjirnya sampai segini semalam,” ungkap ibu setengah baya itu sambil mengangkat tangannya ke leher. Dua minggu terakhir sudah dua kali banjir di kampung ini, Kampung Lembah Aur Lingkungan IV Kecamatan Medan Maimun.

Kampung Aur - demikian biasa disebut- adalah bentaran sungai Deli. Sungai yang melintasi kota Medan. Aur adalah bahasa Minang atau dalam bahasa Indonesia bambu menjadi penanda khas lembah ini. Pemukiman padat penduduk dan dihuni mayoritas orang Padang. Mereka sudah menempati daerah ini jauh sebelum peristiwa Gestapu 1965 terjadi.

“Oh, cucu nenek sudah sebesar kamu. Nenek kemari sebulan sebelum pemilihan tahun lima puluhan itu,” ujar Tek, sebutan nenek untuk orang Padang, sambil mempersilakan saya masuk ke rumahnya. Pemilihan tahun lima puluhan yang dimaksud adalah pemilihan umum pertama yang dilangsungkan tahun 1955. Aku nenek itu, di tahun tersebut tempat itu masih semak ditumbuhi pisang. Juga masih belum seramai sekarang. “Masih sepi. Depan rumah ini dulu semak dan pisangnya banyak,” tambahnya.

Amir Hamzah, 27 tahun, memilih tidur melepaskan lelah. “Bapak lagi tidur, capek ngangkat barang semalam,” istrinya mengeluh sambil mendiamkan si buah hati yang menangis. Rumah Amir teramat dekat dengan air, kalau tidak mau disebut di atas air. Gubuk kecil itu kini makin miring terhantam pusaran air. “Minggu lalu kami baru mengganti papan-papannya dengan triplek karena banyak yang lepas dibawa air,” jawaban yang menyayat hati.

Dalam setahun kelurahan ini bisa banjir sampai lima kali. “Kami sudah menganggapnya teman karib,” ungkap Rizal yang sudah tinggal di sana selama 40 tahun. Mereka sudah akrab dengan sang tamu.

Hampir semua rumah di sana bertingkat. Ini semacam benteng pertahanan terampuh yang mereka punya. Begitu air sungai membludak, dengan segera mereka bergerak cepat menggotong semua barang yang bisa diselamatkan ke atas.

Kalau di tempat lain sungai dipermak tempat tongkrongan orang-orang berduit melepas penat di sore hari, di sini mereka menjadikannya “sekolah”. Kita bisa sandingkan namanya dengan istilah keren: sekolah anak usia dini. Bagaimana tidak, setiap anak setelah bisa berdiri dan berlari, bagaikan itik baru menetas dari cangkang telur, buurrr, menceburkan diri ke sungai. Berenang. Yang bisa mengajari yang tidak bisa. Semua ini akan membantu mempercepat evakuasi barang-barang ketika si benda cair itu mengamuk. Kalau anak-anak seumuran mereka di tempat lain dianggap ketinggalan jaman ketika tidak punya friendster, blogspot, itu tidak penting dan bukan kebutuhan bagi mereka. Pilih mana, tidak tahu berenang dan semua harta benda hanyut atau latah mengikuti trend anak-anak muda cengeng yang bisanya sekedar meminta dan menghamburkan uang?

Setiap banjir, setiap itu pula persaudaraan di antara mereka makin terjalin. Sejauh ini belum pernah terjadi percekcokan. “Kami di sini akur-akur, uda semacam saudaralah,” sahut ibu yang dari tadi sibuk mengangkat barang yang basah untuk dijemur. Ibu itu berkomentar mereka tidak akan pindah dari daerah itu. “Mulai kecil kami da hidup di sini. Sekarang anak-anak kami da besar-besar.”

Banjir kali ini mereka sedikit terhibur. Calon-calon legislatif dari beberapa partai yang menempel posternya di bagian-bagian gampang di tengok mata, menyempatkan diri datang dan memberi bantuan.

Tidak ada komentar: