Sabtu, 31 Juli 2010

Gereja dan Pemanasan Global

Gereja dan Pemanasan Global
Dian Purba*


Memanfaatkan energi dunia saja tidaklah cukup. Kita juga harus menjaga keberlanjutannya. Selama hampir 85 tahun, Chevron telah berkomitmen kepada rakyat Indonesia. Tujuh ribu tenaga kerja nasional membawa kami tumbuh menjadi produsen minyak bumi dan energi panas bumi terbesar di negeri ini, serta penghasil gas bumi terkemuka. Sebagai hasilnya, masyarakat dapat mengakses pekerjaan dan pendidikan yang lebih baik, serta memberikan tiga generasi berikutnya sesuatu untuk dinanti. Beberapa menyebutnya sebagai upaya manusia. Kami menyebutnya sebagai energi insani. Iklan Chevron: Human Energy

Engkau yang melepas mata-mata air ke dalam lembah-lembah, mengalir di antara gunung-gunung, memberi minum segala binatang di padang, memuaskan haus keledai-keledai hutan; di dekatnya diam burung-burung di udara, bersiul dari antara daun-daunan. Mazmur 104: 10-12



Satu hal yang pasti: planet yang kita tempati ini berada pada kondisi (sebentar lagi) tak mungkin didiami. Jakarta banjir, hal biasa. Medan, setali tiga uang. Orchard Road di Singapura banjir? Kota dengan drainase terbagus di dunia ini tidak sanggup menahan gempuran hujan sangat deras selama satu jam. Di Bangladesh lebih 55 orang tewas karena banjir dan sekitar 12.000 warganya mesti mengungsi. Di Myanmar 46 orang tewas karena alasan serupa. Kota Draguignan, Distrik Var, kawasan pantai Cote d’Azur, Perancis, kehilangan 22 nyawa warganya. Kejadian ini banjir terburuk di Perancis sejak tahun 1827. Tidak lama berselang, di wilayah Cina bagian selatan, banjir yang melanda menewaskan 132 orang, 860.000 orang terpaksa mengungsi, 86 orang hilang, 6800 rumah hancur, dan akan berdampak kepada 10 juta warga yang lain. Kerugian diperkirakan Rp 20 triliun.

Itu data terbaru betapa alam sudah sangat jenuh menanggung ulah manusia. Mereka murka. Tepatnya, alam menunjukkan keberbandinglurusan antara tidak bertanggungjawabnya manusia menjaga alam dengan ketahanan alam itu sendiri menjaga dirinya. Saya lantas membayangkan: bumi dan semua isinya, tanpa mengikutsertakan manusia, sedang berkeluh kesah: kami sesungguhnya akan berjalan dengan sangat baik tanpa kehadiran kalian (manusia). Jika yang demikian terjadi, kita sudah sampai pada tahap akhir dari siklus kehidupan itu sendiri: lenyapnya manusia.

Alam sesungguhnya sudah menyediakan batas-batas yang harus kita patuhi. Dan inilah bentuk kompromi-perjanjian alam dengan manusia. Hal-hal yang diterangkan di bawah ini adalah peristiwa-peristiwa saat kontrak itu dilanggar.

Pemanasan global

Pemanasan global berarti adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Pemanasan global terjadi ketika konsentrasi gas-gas tertentu yang dikenal dengan gas rumah kaca terus bertambah di udara. Gas rumah kaca timbul akibat ulah manusia: kegiatan industri, gas karbon dioksida akibat penggunaan berlebihan bahan bakar fosil, penggundulan hutan, penggunaan pestisida, pertambahan jumlah penduduk.

Gas rumah kaca bukanlah gas yang dihasilkan oleh bangunan yang terbuat dari kaca. Segala sumber energi yang terdapat di bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida danchlorofluorocarbon akibat kegiatan industri, asam nitrat dihasilkan oleh emisi kendaraan dan industri, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini.

Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Laiknya rumah yang terbuat dari kaca, gas-gas bebas masuk tapi terperangkap di dalam sehingga tidak bisa keluar. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak pula panas yang terperangkap di bawahnya.

Dampak pemanasan global sudah sangat kasat mata. Selama seratus tahun terakhir, suhu rata-rata global permukaan bumi terus meningkat dari 0,74 °C-0,18 °C. Dan diperkirakan antara tahun 1990 sampai 2100 suhu global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 °C. Artinya sama dengan naiknya permukaan air laut 100 cm disebabkan banyaknya es mencair di kedua kutub bumi. Kota-kota rendah seperti Belanda akan kehilangan enam persen daratannya. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan.

Semua pengetahuan tentang kapan musim hujan bermula, musim kemarau berakhir hampir tidak bisa lagi diajarkan di ruangan-ruangan kelas. Cuaca menjadi anomali. Petani di beberapa daerah dirugikan akibat ledakan hama wereng. Tercatat 30.159 hektar area sawah padi diserang wereng coklat , meliputi daerah Jawa Tengah (10 kabupaten), Jawa Barat (5 kabupaten), Banten (4 kabupaten), dan Aceh (3 kabupaten). Wereng bertengger di peringkat empat perusak tanaman padi. Di peringkat pertama hingga ketiga berturut-turut adalah tikus, penyakit, dan penggerek batang.

Dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu, tahun 2010 semester pertama, pertumbuhan hama wereng meningkat tiga kali lipat. Penyimpangan iklim memengaruhi musim kemarau yang diselingi lebih banyak turunnya hujan menimbulkan kelembaban tinggi. Kondisi ini menyuburkan pertumbuhan hama tanaman, termasuk wereng.

Populasi dunia yang berkisar 6,6 miliar boleh jadi jadi saksi betapa dahsyatnya dampak yang ditimbulkan saat pegunungan es di dua kutub bumi mencair. Sebagian besar dari jumlah itu akan yang bertempat tinggal di pantai akan kehilangan tanah yang mereka tempati selama ini selamanya. Jumlah volume es di Benua Arctic dihitung semenjak 1950 mengalami penurunan drastis. Tahun 1955 volume es di benua itu masih penuh 100 persen. Tahun 2000 berkurang menjadi 74 persen dari volume tahun 1955. Sekitar tahun 2050 diperkirakan volume es tersisa 54 persen dari volume tahun 1955. Seperti sudah disinggung di atas, akan banyak sekali pulau-pulau kecil tenggelam. Penduduk daerah-daerah di pesisir pantai akan menjadi pengungsi terbesar sepanjang sejarah.

Peningkatan ekploitasi lingkungan meningkat dengan marak dan meluasnya perubahan tataguna lahan yang berakibat pada penciutan luas hutan, menyumbang pemanas suhu bumi. Maka, sangat melawan akal sehat saat membaca iklan sebuah perusahaan pengembang property terbesar di negeri ini: “Hadirkan Properti Ramah Lingkungan yang Berkelanjutan.” Nirwana Bogor Residence terletak di kaki Gunung Salak. “Hunian hijau” ini memiliki luas 1200 hektar. Tanah-tanah subur itu kini tertutup dengan semen, diselimuti aspal hitam. Untuk penyiksaan alam ini, pengembang berdalih: kawasan ini memiliki 60 persen ruang terbuka. Poin pertama, 1200 hektar yang dulunya hutan beralih fungsi menjadi tempat berdirinya tembok-tembok raksasa. Dengan sendirinya pula semua fungsi hutan akan menemui ajalnya. Poin kedua, kawasan ini ditujukan bagi mereka berkantong tebal. Artinya, penduduk lokal hanya kebagian limbah orang-orang elite itu sembari menjadi penonton kemewahan di tanah mereka sendiri.

Inilah yang kita namai dengan kamuflase hijau. Perubahan bentuk perusahaan-perusahaan perusak lingkungan menjadi laiknya penyelamat bumi dengan mengenakan topeng “hijau”. Salah satu topeng itu adalah dengan menggunakan media-media besar berpromosi. Iklan-iklan itu akan sangat berbahaya saat anak-anak tumbuh dengan pikiran bahwa perusahaan-perusahaan tersebut jagoan pelestari lingkungan. Dan tidak ada yang lebih menyedihkan selain pemerintah dan organisasi antarpemerintah dapat diyakinkan agar lebih banyak mengalah dalam menuntut penuaian kewajiban dan pertanggungjawaban mereka karena telah merusak alam.

Food Estate di tanah Papua membuat kesedihan itu terjadi. Di bawah panji “Menjaga ketahanan pangan Indonesia”, pemerintah lewat Departemen Pertanian menggulirkan megaproyek penggunaan lahan 1,6 juta hektar tanah Merauke untuk lahan pertanian. Tidak kita temukan masalah cukup berarti andai lahan yang luasnya sama dengan setengah luas Jawa tengah itu diperuntukkan bagi rakyat Papua. Kekuatiran kita memuncak saat pemerintah memastikan proyek ini diserahkan 100 persen ke swasta. Yang kita saksikan kemudian adalah berbondongnya para konglomerat Indonesia membagi-bagi jatah bererbut kue baru di bumi Papua. Sebut saja beberapa: Arifin Panigoro di bawah bendera Medco Foundation & Conservation Internasional mendapat jatah 35.000 hektar; Siswono Yudo Husodo di bawah bendera PT Bangun Tjipta Sarana mendapat jatah 8.000 hektar; Hashim Djojohadikusumo, PT Cemexindo Internasional, mendapat jatah 200 hektar; Tomy Winata, bos Grup Artha Graha, mendapat jatah 2.500 hektar.

Pemerintah memanjakan pengusaha kakap itu dengan insentif semenarik mungkin. Bank Mandiri menggelar acara khusus yang mereka namai “Papua Invesment Day”. Pertemuan ini untuk menyinergikan korporasi sebagai investor dengan pemerintah dan perbankan. Pemerintah juga menjamin, melalui Bupati Merauke John Gluba Gebze, para investor takkan mendapat gangguan dari masyarakat adat di sana. Selain itu, dana awal Rp 3 triliun telah disiapkan guna membangun jalan dan pembangunan pelabuhan.

Tujuan food estate sangatlah mulia: menjaga perut penduduk Indonesia tidak kekurangan makanan. Kita lantas bertanya, kenapa urusan teramat penting ini diserahkan sepenuhnya kepada swasta? Di kemanakan rakyat Papua? Kenapa pemerintah tidak pernah memberdayakan mereka? Para konglomerat itu mendapat tanah gratis, insentif pajak, serta upah buruh murah. Petani Merauke akan semakin terpinggirka karena lahan semakin sempit. Cara pandang pemerintah dengan cara pandang rakyat Papua dengan tanah itu bertolak belakang. Rakyat Papua memperlakukan tanah itu sebagai tanah adat, pemerintah memandangnya sebagai lahan produksi. Sekali lagi, rakyat Papua yang petani kecil akan diposisikan sebagai penonton di pinggiran saja.

Dampak lain penggunaan lahan seluas itu tentu saja menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah menjalankan apa yang sudah disepakatinya sendiri saat KTT Perubahan Iklim berlangsung di Kopenhagen, Denmark, beberapa waktu lalu. Pemerintah RI berjanji akan mereduksi emisi gas rumah kaca hingga 26 persen pada 2020. Target itu hanya akan terjadi apabila pemerintah mengurangi alih fungsi lahan sebesar 14 persen, manajemen sampah yang benar 6 persen, dan efisiensi energi 6 persen.

Selanjutnya kita akan menyaksikan penebangan besar-besaran pohon hutan tropis dan menggantinya dengan tanaman satu jenis. Kekayaan alam berupa fauna dan hayati akan terancam keberadaannya. Pemerintah memandangnya berbeda: “Itu lahan kosong dan tidak terpakai. Jadi, pergilah ke sana, lihatlah betapa luasnya lahan kosong itu,” kata Wakil Menteri Pertanian RI Bayu Krisnamurti. Gejala kebijakan seperti ini dianamai pemerintah sebagai perwujudan “iklim bisnis yang kondusif”. Iklim di mana: “kini pejabat negara bertindak sebagai “pengusaha” yang menjual kota, wilayah, dan apa (pun) yang bisa ditawarkan kepada investor global. Policy disebut sukses apabila pengusaha berdatangan melakukan investasi, dalam supermarket dan malls, sekolah dan rumah sakit internasional (dan juga hutan)”.

Dan sampailah kita ke penyumbang terbesar karbon dioksida: pembakaran bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil terdiri dari minyak bumi, gas alam, dan batubara. Untuk keperluan pembahasan topik ini, kita mesti melebarkan diskusi kita betapa perusahaan-perusahaan besar lintasnegara (perusahaan transnasional: selanjutnya disingkat PTN) memainkan peran maksimal memanaskan suhu bumi. Lantas, kampanye-kampanye raksasa mereka yang “memaksa” kita betapa mereka seolah-olah bertindak sebagai penyelamat bumi harus kita artikan sebagai penggunaan topeng kamuflase hijau semata.

Penggunaan bahan bakar fosil melonjak naik saat revolusi industri abad ke-18 meletus. Saat itu batubara menjadi sumber energi dominan. Pertengahan abad ke-19 minyak bumi menggeser posisi batubara. Abad ke-20 penggunaan gas diperkenalkan. Pasca penemuan mesin uap, industri berkembang laiknya jamur di musim hujan. Dan kini, kegiatan-kegiatan PTN menghasilkan 50 persen lebih dari semua gas rumah kaca yang dikeluarkan oleh seluruh sektor industri.

“Kita” menggali lebih dari enam miliar ton bahan bakar fosil yang menghasilkan gas rumah kaca terbanyak dari bumi setiap tahunnya. Dari ketiga bahan bakar fosil itu, batubara berbiaya paling rendah, harganya murah, berjumlah banyak, dan yang paling kotor dibandingkan koleganya. Kabar buruk kita terima dari negeri Tiongkok. Cina berencana membangun 762 pembangkit listrik tenaga batu bara. Efek yang dihasilkan bagi lingkungan dari pembakaran 2,5 miliar ton batubara setiap tahun sangat serius dan luas cakupannya. Kualitas udara yang buruk mengakibatkan sekitar 400.000 kematian premature setiap tahun di Cina. Dan kemungkinan besar negeri Tirai Bambu ini telah mengalahkan Amerika Serikat sebagai penghasil CO2 terbesar di dunia.

Di perkotaan, kendaraan motor bertanggung jawab atas 90 persen polusi udara. Tahun 1970, jumlah kendaraan bermotor sekurangnya 200 juta kendaraan. Tahun 2006 lebih dari 860 juta. Dan di Amerika Serikat saja, 1,4 miliar bensin dikonsumsi setiap hari tahun 2004.

Inilah akibat dari penggunaan bahan bakar fosil: emisi partikel, SO2, NOx, dan CO2. Emisi partikel, SO2, dan NOx adalah bahan polutan yang berhubungan langsung dengan kesehatan manusia. SO2 menyebabkan problem saluran pernapasan; radang paru-paru menahun; hujan asam yang dapat merusak lingkungan danau, sungai, dan hutan; mengurangi jarak pandang. NOx menyebabkan sakit pada saluran pernapasan; hujan asam; dan ozon menipis yang mengakibatkan kerusakan hutan. Partikel/debu mengakibatkakn iritasi pada mata dan tenggorokan; bronkitis dan kerusakan saluran
pernapasan; dan mengganggu jarak pandang. Emisi CO2 merupakan sumber terbesar yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global dan kerusakan ekosistem. Emisi CO2 tidak berhubungan langsung dengan kesehatan.

Pada tahun 1995 total emisi CO2 sebesar 156 juta 6 ton per tahun dan meningkat menjadi 1.077 juta ton per tahun pada tahun 2025 atau meningkat rata-rata sebesar 6,6 % per tahun dalam kurun waktu 30 tahun. Berdasarkan World Development Report 1998/99 dari Bank Dunia, total emisi CO2 dunia pada tahun 1995, baik berasal dari penggunaan energi maupun dari sumber lain sebesar 22.700 juta ton. Negara yang mempunyai emisi CO2 terbesar adalah Amerika Serikat yaitu sebesar 5.468 juta ton atau sebesar 24,1 % dari total emisi CO2 dunia, sedangkan Indonesia mempunyai emisi sebesar 296 juta ton atau sebesar 1,3 % dari total emisi CO2 dunia.

Pertobatan ekologis

Lantas, setelah begini, langkah kita jejakkan ke sebelah mana? Di mana gereja menempatkan posisinya? Atau pertanyaannya barangkali boleh diubah: bagaimana kesiapan gereja menghadapi arus deras perusakan lingkungan tersebut? Deretan pertanyaan itu mengingatkan kita dengan kelahiran teologi pembebasan di Amerika Latin yang gaungnya juga kedengaran di Indonesia.

Amerika Serikat dan Eropa Barat teramat kuatir paham komunisme menjamur di dunia ketiga. Berbagai cara yang mereka lakukan menghempang penyebaran paham yang bersebarangan dengan paham kapitalisme itu kita kenal dengan Perang Dingin. Amerika dan sekutunya menelurkan istilah “pembangunan” (developmentalism). Penerapan paham ini di lapangan: aliran kenikmatan luar biasa dirasakan rezim-rezim korup dengan bantuan persenjataan dan dana-dana segar. Tentulah rakyat tidak mendapat apa-apa selain “menikmati” asiknya negara memperkaya diri sembari memiskinkan rakyat. Dan senjata-senjata itu terarah langsung ke wajah rakyat saat mereka mencoba berdiri berseberangan. Penolakan dengan kondisi inilah yang melahirkan istilah “pembebasan” itu. Demikianlah, gereja bangkit menggaungkan suara kenabian menentang kezoliman ini. Teologi pembebasan diracik dari perpaduan apik iman Kristen dengan Marxisme.

Di Indonesia kita mengenal Romo Mangunwijaya yang dengan istilah berbeda, teologi pemerdekaan, mengaktualisasikan nalar dan pikiran selaku instrumen pertanggungjawaban sikap manusia beriman terhadap diri sendiri, sesama manusia, dan Tuhan.

Mengacu ke teologi pembebasan di Amerika Latin, Romo Mangun mengartikan teologi pemerdekaan ke dalam dua hal. Pertama, penemuan bahwa, teologi, apalagi gereja, pada hakikatnya bukanlah kumpulan dogma-dogma yang abstrak, tetapi sistematisasi sikap serta peristiwa konkret, kontekstual. Karena itu ia harus selalu diuji dan ditinjau kembali di dalam dan oleh pengalaman serta penghayatan peristiwa-peristiwa dunia, bangsa, maupun perorangan. Kedua, bahwa teologi pemerdekaan pun bukan segugusan tesis-tesis abstrak yang tugas pertamanya harus dikuliahkan, melainkan sesuatu yang dikerjakan, dalam suatu perjalanan praktis konkret dalam dialog dan proses meremajakan diri dengan fakta dan data-data; sekaligus suatu sumbangan hidup demi sejarah pemerdekaan manusia yang tertindas dan terbelenggu.

Gereja-gereja ditantang. Ijinkan saya menghaturkan ini: terima tantangan itu. Semua data-data di atas, dan semua data-data yang belum tercatum tentang betapa planet yang kita tempati ini sudah begitu rusak, mestilah menjadi pengetahuan wajib setiap anggota jemaat. Tantangan ini ditujukan bukan hanya semata ke geraja secara institusional, melainkan wujud mendasar dari pertanggungjawaban iman.

Gereja tidak terpisah dari semua proses itu. Proses penghancuran terjadi kasat mata. Gereja melihat. Gereja mendengar. Gereja mengalami sendiri bagaimana kekuatan-kekuatan itu menjajah kehidupan di bumi. Orang Kristen tidak hidup dalam komunitasnya sendiri. Juga tidak hidup hanya untuk kepentingan komunitasnya sendiri, tetapi hidup bersama dan punya kepentingan dengan yang lain.

Mata air di lembah sudah lama kering. Gunung-gunung tak lagi dikitari aliran air kehidupan. Binatang-binatang di padang sudah lama punah. Siulan burung merdu di pepohonan di antara daun-daun sudah lama tidak bersenandung bersahut-sahutan. Dengan demikian, diskusi ini menemukan kembali awal baru memulai sebuah pembicaraan serius dan kemudian melanjutkan perjalanannya: tindakan apa semestinya dilakoni menyelamatkan bumi?


*Bergiat di Komunitas Mata Kata, tinggal di Medan.

Tidak ada komentar: