Sabtu, 31 Juli 2010

Jaman Sebelum Sofyan Tan

Jaman Sebelum Sofyan Tan
Dian Purba*
Dimuat di Analisa, 6 April 2010


Sofyan Tan menjadi kandidat walikota Medan periode 2010-2015 saat Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sudah disahkan. Sofyan Tan mengibarkan spanduk keyakinan akan meraih dukungan di pemilihan nanti tatkala bangsa ini sudah menyaksikan beberapa tahun terakhir barongsai meliuk-liuk di keramaian perayaan Tahun Baru Cina. Dokter yang jarang berpraktek ini pun mencoba menerobos dinding sekat tebal yang tersemat di setiap pundak orang Tionghoa saat terjun ke dunia politik. Goresan ini tidak akan mengupas tentang peluang Sofyan Tan dalam pertarungan menaklukkan sembilan kandidat lain. Tidak pula hendak berkisah tentang perjalanan panjang dia hingga berhasil mendapat nomor urut sepuluh. Ada jaman-jaman tidak enak didendangkan ke kuping anak-cucu kita saat berkisah tentang Tionghoa. Kisah-kisah yang selalu tersembunyi, kalau tidak ingin dikatakan disembunyikan, di bawah tikar sejarah. Nah, tulisan ini hanya menyajikan sekelumit saja dari berjibunnya kisah-kisah tersembunyi itu.

Hilmar Farid (2008) menulis artikel berjudul “Menulis Sejarah Bukan Perkara Gampang.” Menurut Hilmar, “…kita bebas menafsirkan dan menulis sejarah. Ada prinsip dasar yang membatasi kebebasan tafsir: pijakan pada fakta atau kenyataan yang diketahui berdasarkan sumber informasi yang tersedia dan dapat diuji. Kita tidak dapat menyandarkan penulisan sejarah pada desas-desus dan dugaan.” Mengatakan orang Indonesia keturunan Tionghoa (Pramoedya Ananta Toer menyebutnya Hoakiau) berhasil menikmati limpahan harta melalui jalur curang adalalah jelas-jelas desas-desus. Dan pastilah dugaan semata saja ketika kita berujar bahwa semua orang Tionghoa cukup makmur. Kita akan kembali ke topik ini nanti.

Kedatangan Orang Tionghoa

Orang Tionghoa adalah sejarah panjang. Jauh sebelum Belanda tiba di Indonesia, dan jauh sebelum nama Indonesia ditemukan, mereka sudah tiba dengan kapal-kapal layar dan berdagang di Nusantara. Benny G. Setiono (Tionghoa dalam Pusaran Politik, 2008) menandaskan bahwa tidak diketahui pasti keberadaan pertama kali orang Tionghoa di Nusantara. Namun, dari hasil temuan benda-benda kuno, diketahui komunitas Tionghoa sudah berjejal di Nusantara tahun 600 SM sampai abad ke-3 Masehi.

Benda-benda kuno, seperti tembikar Tiongkok ditemukan di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari, dan Kalimantan Barat. Juga penemuan kapak batu giok atau zamrud berpoles dari jaman Neolithikum yang ternyata juga ditemukan di Tiongkok dan berada pada jaman yang sama. Di Sumatera Selatan juga ditemukan sejumlah genderang perunggu berukuran besar. Genderang ini diproduksi di Dongson, sebuah desa kecil di propinsi Thanh Hoa, sebelah utara Vietnam pada tahun 600 SM sampai 300 Masehi. Genderang ini mempunyai persamaan dengan genderang perunggu Tiongkok dari Dinasti Han.
Benny lebih lanjut menulis, hubungan lalu lintas pelayaran antara orang Tionghoa dari Tiongkok dengan Nusantara telah berlangsung sejak jaman purba. Pada masa pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (1-6 SM) Tiongkok menamai Nusantara dengan Huang-tse.

Teknologi perkapalan belumlah secanggih sekarang. Perjalanan pulang pergi dari Tiongkok ke Nusantara butuh waktu satu tahun akibat musim. Para pedagang terpaksa menunggu selama enam bulan. Alam Nusantara yang indah dan makmur, ditambah dengan gadis-gadisnya bermuka ayu, membuat banyak di antara mereka memilih tinggal tetap di Nusantara. Mereka jatuh cinta dengan alamnya, juga gadis-gadisnya. Dan memang, penduduk pribumi menerima kehadiran mereka dan hidup berdampingan dengan damai. Tidak sedikit di antara mereka meminang putri pribumi dan mendirikan bahtera rumah tangga.

Selaras dengan Benny, Pramoedya dalam bukunya Hoakiau di Indonesia (1998) membenarkan penemuan itu. Dia bertanya: “Dan sudah berapa lama orang-orang Tionghoa itu boyong ke Indonesia? Sebelum lahirnya Isa dan sebelum lahirnya Muhammad, atau jelasnya: sebelum lahirnya nasionalisme Indonesia.”

Begitulah. Ratusan tahun selepas itu, ada berbagai kejadian mengerikan yang dialami orang Tionghoa. Untuk menyebut beberapa: pembantaian di tahun 1740; penerapan sistem apartheid pemerintahan kolonial Hindia Belanda dengan mendirikan perkampungan khusus bagi mereka; penjarahan toko-toko Tionghoa oleh Jepang tahun 1942 (Onghokham, 2008).

Warga Negara dan Bisnis

Pertanyaan terbesar di banyak benak warga Indonesia sekarang adalah: kenapa orang Tionghoa begitu kaya; dan kenapa mereka tidak begitu tertarik dengan politik. Dan jawaban untuk pertanyaan inilah yang kerap dibengkokkan oleh sejarah.

Pramoedya Ananta Toer menulis beberapa pucuk surat kepada sahabatnya, Hs-y di Tiongkok. Pram, sebutan akrab Pramoedya, “memberontak”. Saat itu Peraturan Presiden No. 10 tahun 1959 mengharuskan semua pedagang eceran di wilayah pedalaman menutup usaha mereka sebelum 1 Januari 1960. Dalihnya: pedagang-pedagang eceran Hoakiau (sebutan Pram untuk orang Tionghoa) akan membahayakan keselamatan ekonomi nasional Indonesia. Sekitar tahun 1960-1961 sebagai akibat dari PP-10/1959, lebih dari seratus ribu orang Tionghoa meniggalkan Indonesia. Dalam benak “pemerintah” saat itu orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia bukanlah warga negara Indonesia. Mereka itu orang asing.

Surat pertamanya kepada Ch. Hs-y. di P (menurut Sumit Kumar Mandal Hs-y itu adalah singkatan nama Chen Xiaru di P: Peking) amat keras. Pram menulis: “Apakah mereka yang sudah berabad-abad di Indonesia berketurunan dan mempunyai tradisi harus dimasukkan ke dalam golongan orang asing atau golongan warganegara Indonesia baru?” Selanjutnya: “Setengah juta orang! Setengah juta! Dengarkan ini, Hs-y.: setengah juta. Apakah jumlah ini tidak bicara apa-apa? Apakah sudah begitu rusak instalasi kemanusiaan kaum rasialis ini? Setengah juta orang akan puyang-poyong hidup tidak menentu. Setengah juta.”

Orang Tionghoa amat kuat dalam perdagangan. Mereka datang ke Nusantara lantaran di negeri asalnya, Tiongkok, tanah adalah kutukan karena gersang dan tandus. Ditambah lagi peperangan yang tak kunjung usai. Pramoedya di suratnya keempat kepada Hs-y mengajukan pertanyaan: “… apa sebabnya hampir seluruh sektor perdagangan dikuasai oleh Hoakiau hingga sekarang. Lalu apakah sebabnya pedagang-pedagang pribumi kalah dalam persaingan dagang dengan orang-orang luar di dalam perdagangan internasional?”

Menurut Pram, faktor alamlah menjadi penyebabnya. Alam Indonesia sangat subur sehingga hampir seluruh lapisan masyarakat hidup bertani. Sementara itu, pedagang-pedagang Tionghoa dan pedagang-pedagang luar lainnya yang datang ke Indonesia telah mempunyai tradisi dagang yang kuat, dengan sendirinya pedagang-pedagang pribumi yang lemah itu terdesak dan ketinggalan jaman. Orang Tiongkok sudah mampu membuat kapal bermuatan besar. Orang pribumi belum mengenal teknik pembuatan kapal besar.

Onghokham (Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, 2008) memberikan tambahan. Menurut sejarahwan cemerlang ini, “Tanda keunggulan dalam ekonomi ini merupakan perkembangan dari toko-toko yang dimiliki orang Cina di sepanjang jalan-jalan utama di seluruh kota-kota kecil dan besar Indonesia. Perdagangan eceran merupakan aspek penting dalam kehidupan yang diciptakan masyarakat Cina di Indonesia.” Orang Tionghoa dan Belanda datang ke Nusantara untuk tujuan yang sama: berdagang. Belanda bermitra dengan orang Tionghoa. Belanda, lewat VOC, bergerak di bidang distribusi dan Tionghoa sebagai pedagang perantara. Dari kegiatan inilah orang Tionghoa mendapatkan uang tembaga dari orang-orang desa, yaitu uang kecil yang biasa digunakan membeli barang-barang di desa. Mereka kemudian menjualnya ke VOC di kota.

Kembali ke bulan terakhir tahun 1959 hingga bulan awal tahun 1960. Salah satu pihak yang tidak senang dengan ketangguahan Tionghoa dalam berdagang adalah borjuasi Indonesia. Jelaslah masalah utamanya berkisar tentang rebutan “lahan basah.” Mereka juga hendak berdagang. Tapi, kembali kita harus mengutip Pramoedya. “Mereka lebih enak duduk-duduk bermewah dengan menekan rakyat tanpa memikirkan dunia perdagangan mereka sendiri.”

Setelah tahun 1965, pasca-G30S, menjadi babak penderitaan tambahan bagi orang Tionghoa. Perang dingin, perang antara dua kubu berlainan ideologi, masing-masing mengeluarkan taringnya. Amerika Serikat dan Inggris, negara kapitalis Barat, berusaha membendung pengaruh komunis dari Utara, yang identik dengan Republik Rakyat Tiongkok. Negara Barat mempunyai kepentingan besar menggelorakan anti-Tionghoa, termasuk di Indonesia.

Benny G. Setiono mencatat intensitas kerusuhan anti-Tionghoa makin menjadi-jadi. Penjarahan, perusakan, dan pembakaran rumah-rumah, toko-toko, sekolah-sekolah, dan mobil-mobil etnis Tionghoa terjadi di mana-mana. Mereka dituduh sama sekali tidak peduli dengan kepentingan rakyat Indonesia. Juga mereka dituduh mempunyai loyalitas ganda dan selalu berusaha mentransfer uangnya ke luar negeri.

Kampanye dan berbagai aksi anti-Tionghoa ini, ditambah tindakan represif dari militer inilah yang menimbulkan kekuatiran dan trauma berkepanjangan bagi orang Tionghoa. Selama pemerintahan Soeharto, mereka mati-matian berusaha menghindari wilayah politik. Mereka memusatkan seluruh perhatian dan kegiatannya hanya di bidang bisnis.

Di sinilah kita menemukan kaitan antara kesuksesan mereka di bisnis dan keengganan mereka terlibat dalam kegiatan politik. Tidak pernah kita temukan menteri di pemerintahan Orde Baru dari keturunan Tionghoa. Dengan demikian, kita sudah bisa beralih ke pertanyaan kedua: kenapa mereka sukses berbisnis di bawah pemerintahan otoriter Soeharto?

Onghokham akan membantu kita menemukan jawab. Selain pengasingan melalui antibudaya Tionghoa (larangan penggunaan huruf Cina, orang Cina harus ganti nama, melarang pertunjukan-pertunjukan kesenian Cina), Onghokham berpendapat orang Tionghoa berhasil di bisnis karena bobroknya birokrasi selama Orde Baru. Baiklah saya kutip saja. “Kita mengenal satu sistem yang aneh selama Orde Baru. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara didapatkan dari utang-utang. Birokrasi, militer dan polisi memiliki kekuasaan yang sangat besar, tapi sewenang-wenang dan tidak ada kontrol, tidak ada pengawasan. Anehnya, meskipun kekuasaan mereka sangat besar, tapi gajinya kecil. Sementara itu, ada golongan Cina yang relatif cukup mampu. Logikanya, mana ada orang berkuasa yang mau kelaparan, tidak menyekolahkan anak-anaknya, tidak memenuhi kebutuhannya? Akhirnya, orang-orang Cina menjadi sapi perah.”

Sofyan Tan

Sofyan Tan adalah warga negara Indonesia. Tulen. Yah, dia warga keturunan Tionghoa. Dan tidak kita temukan masalah cukup berarti dengan itu. Mari kita anggap itu anugerah. Kekayaan dari salah satu bagian kecil saja dari Bhinneka Tunggal Ika. Medan mencatat, Sofyan Tan menjadi satu-satunya calon pertama dari keturunan Tionghoa yang pernah bertarung merebut kursi Walikota. Sepanjang sejarah.

Bangsa yang bajik adalah bangsa yang bijak memahami sejarahnya. Bangsa yang senantiasa menulis kembali sejarahnya. Menyusunnya dengan informasi baru dan menginterpretasinya dengan cara berbeda. Tentunya tanpa meninggalkan satu hal: pijakan pada fakta.

Sofyan Tan akan bertarung antara visi-misi yang ditawarkan dengan sejarah “kelam” yang melekat pada warga keturunan Tionghoa.


*Aktif di Komunitas Mata Kata, tinggal di Medan

Tidak ada komentar: