Sabtu, 31 Juli 2010

Bahasa dan Kekuasaan

Bahasa dan Kekuasaan
Oleh: Dian Purba


Januari sihotang, sh dan Sarma Dichris Panggabean, S.Pd barangkali tidak begitu cermat membaca buku sejarah yang terselip di rak buku mereka.

Pada tulisan mereka (Analisa, 05 April 2010), dilengkapi dengan tambahan memberikan acungan jempol, Pusat Bahasa bernasib naas. Naas lantaran semua sejarahyang membentuknya dihempaskan tanpa tedeng aling-aling dengan kalimat berikut: "Ketika melihat bahwa ‘pengerdilan’ bahasa Indonesia sudah semakinparah, pemerintah Orde Baru merasa perlu membentuk sebuah pusat pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Hal ini diwujudkan dengan pembentukan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah, kemudian saat ini berubah menjadi Pusat Bahasa."

Di paragraf sebelumnya mereka menulis: "Bahasa Indonesia dilecehkan. Mulai kalangan bawah hingga pejabat tinggi negara seakan berlomba - lomba melukai dan mengobrak-abrik Bahasa Indonesia. Hal ini berlangsung terus-menerus dan semakin parah." Maka, pelecehan bahasa Indonesia kali ini tidak datang dari kalangan bawah, pun pejabat tinggi negara. Pengobrak-abrikan bahasa Indonesia semakin parah lantaran sebuah badan yang dibentuk menjaga keberlangsungan bahasa Indonesia itu diobrak-abrik sedemikian rupa oleh lulusan seorang sarjana hukum dan sarjana bahasa Indonesia.

Andai saja sarjana berdua ini meringankan tangan membuka laman Pusat Bahasa, pengerdilan sejarah ini akan terhindarkan. Dan ini akan menghantarkan kita kepada dua bahasan sebagai tanggapan atas tulisan itu. Pertama, kesalahan fatal menuliskan sejarah. Dan kedua, hubungan bahasa dan kekuasaan. Ini tidak lebih karena mereka menyenggol tentang bahasa dan Orde Baru.

Sejarah Pusat Bahasa

Buku Tesaurus, terbitan Pusat Bahasa, di sampul bagian belakang berkisah tentang sejarah Pusat Bahasa (Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan, 2009). Kita juga dibantu wikipedia Indonesia melengkapi data sejarah tentang badan yang sudah beberapa kali beralih nama ini.

Pusat Bahasa adalah lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan bahasa dan sastra Indonesia. Lembaga ini berdiri tahun 1947 dengan nama Instituut voor Taal en Cultuur Onderzoek. Dan merupakan bagian dari Universitas Indonesia pada tahun 1947 dan dipimpin oleh Prof. Dr. Gerrit Jan Held. Sementara itu, pada Maret 1948 pemerintah Republik Indonesia membentuk lembaga bernama Balai Bahasa di bawah Jawatan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.

Pada tahun 1952, Balai Bahasa dimasukkan ke lingkungan Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan digabung dengan ITCO menjadi Lembaga Bahasa dan Budaya. Selanjutnya, mulai 1 Juni 1959 lembaga ini diubah menjadi Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, dan menjadi bagian Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.

Pada tanggal 3 November 1966 lembaga ini berganti nama menjadi Direktorat Bahasa dan Kesusastraan yang berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak 27 Mei 1969 lembaga itu kembali berubah nama menjadi Lembaga Bahasa Nasional dan secara struktural berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Pada 1 April 1975 Lembaga Bahasa Nasional berganti nama menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Lembaga yang kerap disingkat dengan nama Pusat Bahasa ini, secara berturut-turut dipimpin oleh Prof. Dr. Amran Halim, Prof. Dr. Anton M. Moeliono, Drs. Lukman Ali, Dr. Hasan Alwi, dan Dr. Dendy Sugono.

Kemudian berdasarkan Kep pres tahun 2000, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa berubah nama menjadi Pusat Bahasa. Lembaga ini berada di bawah naungan Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional.

Nah, barangkali yang dimaksud Januari dan Sarma, kalau saya boleh memanggilnya demikian, adalah pergantian nama dari Lembaga Bahasa dan Kesusastraan tahun 1959 menjadi Direktorat Bahasa dan Kesusastraan tahun 1966. Dari rentetan-rentetan tahun di atas, memastikan kita berkesimpulan bahwa Pusat Bahasa bukan didirikan di jaman Orde Baru. Karena Orde Baru menampakkan dirinya mulai tahun 1966, bukan tahun 1947.

Bahasa dan Kekuasaan

Bahasa menunjukkan bangsa boleh jadi akan teramat sukar dipahami andai kita tidak berpaling ke sejarah. Sangat menarik menilik tentang jaman di mana Raden Ajeng Kartini hidup dan hubungannya dengan betapa bahasa begitu berkuasa sebagai tembok pembeda kelas penjajah dan kelas terjajah. Selepas dari sana kita akan singgah sejenak di jaman Orde Baru, dan mengakhiri perjalanan di jaman sekarang, jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jaman di mana Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan disahkan.

Kartini hidup saat jaman feodalisme Jawa masih teramat lama akan berakhir. Sebuah jaman di mana keluasaan wawasan, kebijak-bajikan, kekayaan pengetahuan bukanlah syarat mutlak seseorang menduduki jabatan tinggi. Pramoedya Ananta Toer menulis biografi Kartini dengan sangat baik (Panggil Aku Kartini Saja, 2003). Buku ini berhasil mengungkap hubungan jaman feodalisme Jawa, sering juga disebut feodalisme Pribumi Jawa, dengan usaha-usaha Belanda menjadikan mereka tak tersentuh dan takkan mungkin dikejar orang-orang Pribumi dalam segala hal. Salah satu alat yang cukup ampuh melanggengkan itu adalah dengan bahasa. Pramoedya meneliti karya-karya Kartini, yakni surat-suratnya ke beberapa sahabatnya di Negeri Belanda.

Kebudayaan Jawa di saat itu mampu membuat Kartini terkejut. "Seorang adikku, lelaki maupun wanita, tak boleh melewati aku, atau kalau toh harus melewati, dia mesti merangkak di atas tanah. Kalau seorang adik duduk di atas kursi dan aku hendak lalu, mestilah dia segera meluncur diri ke tanah dan di sana duduk menekuri tanah itu sampai aku tak nampak lagi olehnya. … Wanita-wanita yang lebih tua daripada aku, tetapi merupakan bawahanku sejauh mengenai kebangsawanannya, menghormati aku, karena hal itu sudah jadi hakku."

Maka, "Kehormatan manusia," tulis Pram, "terletak pada nilai kebangsawanannya, tak peduli orang itu bodoh atau tidak, beradab atau tidak, kejam atau tidak." Karena, "Barangsiapa tinggi kebangsawanannya, dia berhak dihormati oleh siapa pun yang kurang keningratannya, tak peduli orang itu lebih terpelajar, lebih berbudi, atau pun lebih bijaksana."

Corak kehidupan feodal Jawa lain adalah tingkatan dalam penggunaan bahasa. Di tempat lain, di sebuah wawancara, Pramoedya mengeluarkan ketidaksepakatannya dengan tingkatan bahasa di Jawa (Menuju Demokrasi Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah, 2001). "Sudah sejak usia 17 saya merasa bahwa sebagai orang Jawa saya ditindas. Dalam menggunakan bahasa Jawa saya merasa ditindas. Masak dalam menggunakan bahasa saja orang harus tahu diri di mana tempat sosialnya."

Belanda teramat cerdas memanfaatkan budaya Jawa ini. Kartini menulis, "Mula-mula aku dulu mengira, hanya si Jawa goblok itu yang gila hormat, tapi sekarang aku tahu, bahwa orang Barat (orang Belanda) yang beradab dan terpelajar itu juga tidak menolaknya, malah mencandu."

Candu itu bertemu dalam penggunaan bahasa. Belanda menggunakan Melayu babu atau bahasa pasar berkomunikasi dengan Pribumi. Menurut Pram, ada tiga hal yang mendasari Belanda menggunakan bahasa itu. Pertama, bahasa Melayu babu tidak lain daripada manifestasi penghinaan, bahwa Belanda kurang merasa hormat, mengenal, dan menghargai Pribumi. Belanda tidak membutuhkan Pribumi yang berada di tingkat bawah dibandingkan mereka.

Kedua, penggunaan bahasa Melayu babu, yang menolak penggunaan bahasa Belanda oleh Pribumi, juga merupakan manifestasi pihak Belanda untuk menolak keterpelajaran Pribumi.

Ketiga, penggunaan bahasa Melayu babu juga berfaal sebagai tabir prestise orang-orang Belanda untuk tidak memungkinkan Pribumi bisa melakukan penilaian atasnya di bidang kemampuan intelektualnya. Ketiga, manifestasi ini berubah menjadi benteng pembatas kolonial terhadap kemungkinan Pribumi menyetarakan kedudukannya setingkat dengan kedudukan Belanda.

Kartini paham betul dengan ini. Wanita muda cerdas ini – yang sudah menghidupkan alam demokrasi di pikirannya, bahkan demokrasi itu sendiri sudah jadi bagian dari dirinya – amat fasih berbahasa Belanda. Langkah selanjutnya bagi dia adalah menjadikan penguasaan terhadap bahasa Belanda sebagai alat perjuangan. Kenapa demikian?

Yang menjadi penghubung antara dunia Belanda dan dunia Pribumi adalah bahasa Belanda itu sendiri. Dengan alat ini ia dapat melakukan kritik dan penolakan terhadap tingkah orang-orang Belanda dan dapat menyampaikan keinginan-keinginan rakyatnya ke percaturan politik yang berarti.Juga, dengan alat ini, ia begitu kecanduan melahap buku-buku berbahasa Belanda. Sebut saja pengarang yang sangat ia kagumi, Multatuli, lewat bukunya Max Havelar. Ia juga begitu aktif menulis di usianya yang masih belia (baca salah satu kumpulan surat-suratnya: Kartini: Surat-surat kepada Ny. R. M. Abendanon-Mandri dan suaminya, 2000). Tidak terlalu salah menamai jaman ini sebagai jaman kebangkitan cikal-bakal berdirinya bangsa Indonesia.

Satu setengah abad lebih dari jaman Kartini, Soeharto berhasil menduduki bangku presiden. Sosok ini begitu berkuasa. Sosok yang mampu memutarbalikkan sejarah sebuah negara sebesar Indonesia. Dan untuk urusan ini, kita masih begitu gamang mengatakan yang benar itu. Atau barangkali saja kita sudah jadi bangsa pelupa yang sangat abai dengan sejarah bangsanya sendiri. Namun, mengutip Arief Budiman, sejarah senantiasa bergerak lurus. Andai ia dibengkokkan di tengah perjalannya, maka anak-anak bangsa akan mengembalikannya kembali ke jalur semestinya.

Dalam mempertahankan kekuasaannya, di samping kekerasan fisik, Soeharto juga melengkapi diri dengan menjadikan bahasa sebagai kekuasaan dan kekuasaan sebagai bahasa. Daniel Dhakidae, doktor ilmu politik dari Cornell University, lewat bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003), menelaah kaitan antara bahasa dan kekuasaan.

Daniel Dhakidae memeriksa tiga jenis bahasa yang digunakan Soeharto dan menghubungkannya dengan politik, yang dengan sendirinya juga kekuasaan: akronim, eufemisme, dan disfemisme.

Tidak ada yang begitu menyakitkan dari seseorang yang diadili lantas dijebloskan ke penjara lantaran memplesetkan akronim. Adalah Nuku Suleiman dari Yayasan Pijar yang mengubah SDSB, Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, dibengkokkan menjadi "Soeharto Dalang Segala Bencana". Di pengadilan dia didakwa dengan tuduhan menghina Presiden Soeharto, Kepala Negara.

Masyarakat menganggap SDSB tidak lebih dari judi. Pemerintah berdiri berseberangan dengan masyarakat. Pemerintah berdalih sumbangan itu adalah murni untuk bantuan sosial. Uang yang terkumpul bukanlah uang dari lotre tetapi sumbangan sukarela. Sesuatu yang di belakangan hari terbantah, oleh pengadilan juga. Nuku menangkap keresahan rakyat kecil yang sudah sekarat hidupnya dan "dipaksa" membeli kupon SDSB. "Dengan demikian," tulis Dhakidae, "pengadilan Nuku Suleiman adalah suatu pengadilan bahasa, pengadilan pikiran tentang siapa yang berkuasa menentukan apakah sesuatu itu kriminal atau bukan."

Eufemisme, penghalusan bahasa, menjadi kata-kata yang teramat lembut di permukaan dan begitu kasar bila kita telisik hingga ke dalam-dalamnya saat ia diucapkan seseorang yang begitu berkuasa. "Aman dan terkendali," akan diterjemahkan bebas oleh semua aparat keamanan untuk melakukan apa saja demi "mengamankan" dan "mengendalikan". Maka, yang kita saksikan kemudian adalah penculikan aktivis-aktivis yang bersuara lantang dan berseberangan dengan suara kekuasaan. "Demi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi," maka, segera setelah itu menyusul datangnya berbondong-bondong pemodal asing mengeksploitasi perut bumi Indonesia dan membawa kabur semua keuntungan ke negeri asalnya. Dan terjadilah penyimpangan makna sesungguhnya dari eufemisme itu: suatu gejala berbahasa yang sangat normal untuk "mengurangi" sedikit demi sedikit intensitas kenyataan itu demi mengungkapkan rasa hormat, suatu substitusi untuk mengungkapkan rasa takut terhadap suatu tabu, atau ketidakberdayaan terhadap kedahsyatan alam dan sebagainya.

Daniel Dhakidae menjelaskan disfemisme dengan: "Ham pir tidak ada pengetahuan yang lebih melekat dalam diri seorang Indonesia daripada pengetahuan tentang akibat dicap pe-ka-i." Dia mengutip anekdot Dr. Abdurrachman Suryomihardjo, sejarawan LIPI, tentang betapa ngerinya terror pe-ka-i itu. "Seorang dikejar oleh kelompok keamanan, tetapi pihak keamanan tidak mampu melewati untuk menangkapnya. Akhirnya karena putus asa mereka berteriak: tangkap itu pe-ka-i! Akhirnya orang yang dikejar tersebut berhenti, dan berbalik kepada orang yang mengejarnya dan berkata: saya bukan pe-ka-i! saya tukang copet! Dia tidak menyerahkan diri. Ketakutan menjadi pe-ka-i begitu merasuk mental semua orang Indonesia, maka lebih baik dia ditangkap karena menjadi maling, daripada dituduh."

Daniel menyimpulkan, "Ba hasa adalah milik semua orang. Yang tidak menjadi milik semua orang adalah kekuasaan yang mampu melaksanakan the will to truth, yaitu kontrol bahwa suatu jenis bahasa boleh dipakai dan tidak boleh dipakai.

Bagaimana kita menjelaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan bahasa? Dengan mengucapkan "the bottlenecking" untuk "hambatan", "national summit" untuk "rembuk nasional", maka SBY menjadi orang pertama yang seharusnya yang paling bertanggung jawab berdiri paling depan melaksanakan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan menjadi pelanggar pertama atas undang-undang yang ia tanda tangani sendiri. Hendak mempertahankan kekuasaankah ia dengan berbahasa begitu? Atau, seperti Kartini, hendak menjadikan bahasa sebagai alat perjuangan, perjuangan mencerdaskan bangsa? Saya kira tidak untuk kedua-duanya. Pencitraan. Semata-mata untuk keperluan itu.

Maka, menjadi relevanlah mengundang Remy Sylado menjelaskan gejala berbahasa ini. Di bukunya, Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005) ia menulis: "…orang-orang Indonesia, khususnya kalangan yang ingin tampil berkesan sebagai orang-orang terpelajar, kini terlihat seperti pelari-pelari tanpa piala yang sedang berlomba, berjor-joran bercakap lisan ataupun tulisan dengan melintaskan banyak kosakata, istilah, dan kalimat bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Saya menyebut gejala ini: ‘nginggris’’.

Lantas, setelah begini, pertanyaan pendekar bahasa Anton Muliono(2009) berikut, menjadi begitu menggoda ditanyakan: "Bagaimana bisa membela Tanah Air, memajukan bangsa, dan mengembangkan bahasa Indonesia jika para pemimpin bangsa dan pemuka masyarakat dengan bangga memamerkan pengenalan bahasa Inggris di muka khalayak ramai?" ***

Penulis Aktif di Komunitas Mata Kata, tinggal di Medan

Tidak ada komentar: