Rabu, 29 Oktober 2008

Kita Memang Harus Menulis

“…orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah…" (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca)

Menulis. Kata kerja ditambah awalan me-. Susah dikerjakan. Itulah kesan awalku tentang ilmu merangkai kata ini.

Berbagi pengalaman mulai dari aku “tahu” membaca, hingga kini jadi “penulis” lewat tulisan, paling tidak, ajang pembuktian diri: aku bisa menulis.

Aku masih hijau dalam hal membaca. Terlebih menulis. “I’m still green,” kata penutur bahasa Inggris. Terbukti. Aku belum bisa menyamai, bukan, bukan menyamai tepatnya, -mengikuti jejak mungkin lebih pas- penulis favoritku. Usia mereka sudah tua. Mereka sudah menulis lama sekali. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer. Penulis hebat. Hebat karena menulis puluhan ribu lembar tulisan. Luar biasa. Tulisannya bisa menginspirasi orang untuk berdiri tegak melawan arus deras: semakin menambah keluarbiasaannya. Membawa perubahan pola pikir yang membaca: menambah poin untuk yang luar biasa tadi. Itu salah satu penulis yang sangat ingin aku menjadi sepertinya.

Parakriti Tahi Simbolon. Wartawan senior Harian Kompas. Kolumnis yang mampu menggerakkan penanya dan menghasilkan untaian kata-kata penuh makna. Kata-kata yang mampu membuat orang sedih di tengah keramaian. Gembira di tengah kesedihan. Analisa tajamnya dibungkus dengan lelucon segar dengan balutan kalimat sastrawi bermutu tinggi.

Goenawan Mohammad. Lawan Pram (sebutan untuk Pramoedya Ananta Toer) pada masa Orde Lamanya Soekarno. Penulis yang mapan dengan analogi-analogi. Dia terkenal dengan Catatan Pinggir di Majalah Mingguan Tempo. Majalah yang didirikannya, dengan kawan sejuang, dengan tumpahan keringat dan air mata.

Daniel Dhakidae. Orang Flores. Tamatan sekolah teologia bagi yang berminat untuk tidak menikah seumur hidup (seminari). Dunia filsafat digulutinya. Sastra dilibasnya. Sejarah, apalagi: dilahap bagaikan lezatnya kembang gula bagi anak di bawah umur. Mampu meringankan masalah berat di tulisannya. Esais ulung. Pemahaman membumi di bidangnya.

Wiji Thukul. Penyair kerakyatan bermuka jelek. Puisinya bagaikan peluru. Siap melesat ke jantung penguasa/kekuasaan yang selalu berpura-pura baik dengan mengedepankan tindak kekerasan bagi siapa saja yang tahu bahwa mereka hanyalah pura-pura. Hanya ada satu kata: lawan! adalah hasil pergulatannya dengan hidup. Kalimat yang begitu hidup. Menggelegar. Menghantam. Menghujam. Menggetarkan. Kalimat yang begitu ditakuti penguasa lalim. Penyair yang sengaja dihilangkan.

Mereka semua menulis dan jadi penulis.

Keterlaluan rasanya kalau aku membandingkan diri dengan beliau-beliau itu. Tak pantas. Aku memang sudah menulis. Belum jadi penulis.

Tidak ada cara lain. Ingin jadi penulis, ya, menulis. Richard Sambera berhasil meraih medali emas di ASEAN GAMES tidak lain tidak bukan: dia berenang dan jadi perenang. Praktek. Kembali meminjam istilah Inggris itu: Practise makes you perfect!

Kelima penulis di atas menulis untuk sebuah tujuan. Mereka memberontak ketika melihat saudara-saudaranya dipenjarakan tanpa ada proses hokum. Hati mereka meringis melihat tangisan anak negeri miskin di negeri nan kaya. Tangan mereka terkepal ke atas melawan rezim otoriter fasis. Nurani mereka tergores melihat buku-buku gudang ilmu dibakar hanya demi sebuah alas an: di luar kerangka berpikir penguasa. Dan lain-lain. Dan lain-lain. Penulis yang memiliki idealisme. Penulis yang selalu memperpanjang kontrak ketika umat manusia menuntut jam kerja mereka ditambah.

Alasan-alasan ini cukup bagiku mengatakan: aku bisa seperti mereka.

Setelah tamat dari sekolah lanjutan atas dan setelah gagal masuk perguruan tinggi negeri dan setelah itu masuk ke kampus ini (Universitas Methodist Indonesia), membaca bukan sebuah pilihan. Mengatakan sekedar hobi juga tidak. Apalagi kebutuhan. Masih jauh panggang dari api. Membaca tidak lebih tidak kurang sekedar penghantar tidur saja.

Hari itu pun tiba. Perjumpaanku dengan buku itu mengubah semua arah yang dulunya tampak semrawuut kini kelihat begitu jelas di depan mata. Tetralogi Pulau Buru: Pramoedya Ananta Toer. Buku yang tanpa sengaja terbacaku di ruang referensi Perpustakaan Daerah Sumatera Utara. Kubuka. Kubaca. Halaman pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Mengalir bagaikan Sungai Bengawan Solo. Tanpa henti. Satu jam pun berlalu. Jujur. Rekor tertinggiku. Inilah yang membuat aku bolak-balik ke tempat itu. Setiap hari sepulang kuliah.

Awal yang indah. Aku mulai asik dengan kegiatan baruku ini. Makin banyak lembaran buku kubaca, makin aku sadar semakin banyak pula lembaran-lembaran yang belum kubaca. Mungkin inilah maksud pepatah kuno itu: makin banyak kita tahu makin kita sadar bahwa makin banyak yang belum kita tahu.

Aku pun melangkahkan kakiku keluar dari krengkeng kemalasan mata dan pikiran. Kuberanikan diri mematok target harian: minimal dua jam sehari waktuku untuk membaca. Di luar jam kuliah. Itulah yang terjadi sampai hari ini. Tentunya dengan perubahan target harian tadi. Aku harus selalu merevisinya. Meningkat, meningkat, dan makin meningkat. Hingga sampai pada tingkat tertinggi dalam membaca: membaca sebagai kebutuhan pokok.

Menulis. Pekerjaan memindahkan kata-kata dari kamus ke atas kertas. Sulitnya minta ampun: diawalnya. Kemampuan membacaku berbanding terbalik dengan kemampuan menulisku. Timpang. Pikiran bahwa menulis itu butuh talenta khusus, masih menempel di kepala. Bagiku, saat itu, penulis pastilah orang-orang pilihan para dewa. Orang-orang luar biasa yang kemanusiaannya berbeda dengan manusia pada umumnya. Semua pujian kutujukan ke mereka.

Belakangan aku tahu, itu semua tidak benar. Tidak ada talenta khusus. Mereka juga bukan utusan para dewa. Mereka orang-orang biasa dan memilih untuk tidak menjadi manusia biasa-biasa saja. Itu saja. Tidak lebih. Mereka merutinkan diri. Tekun. Setiap saat adalah saat berharga yang terlalu sayang dilewatkan untuk tidak ditulis.

Karena aku ingin seperti mereka, kupraktekkan apa yang mereka praktekkan. Menulis. Yah, menulis. Ingin jadi penulis dimulai dari menulis. Aku mulai dari menulis puisi sampai menulis surat kaleng tanda protes dengan kebijakan kampus. Kini kemampuaku bertambah satu: membaca untuk menulis.

Kubaca apa saja yang aku anggap enak dibaca. Kalau dulu membaca supaya ngantuk dan bisa langsung tertidur, sekarang membaca supaya tidak ngantuk dan membaca sampai larut. Kenikmatan yang tak tergantikan oleh apa pun.

Mudah-mudahan aku tidak keliru mengatakan aku semakin dekat dengan cita-citaku: penulis.

Aku selalu yakin setiap hal, setiap kejadian, setiap suasana dapat diterangkan dengan tulisan. Menulis sebagai kebutuhan, menulis untuk masa depan, menulis untuk kemanusiaan. Dan ini dia: membaca, menulis, dan berjuang.

Karena keyakinan setiap orang bisa menulis dan bisa jadi penulis, aku memberanikan diri untuk membuat itu nyata.


Tidak ada komentar: