Senin, 27 Oktober 2008

PDI Perjuangan dan Peringatan Hari Sumpah Pemuda


Bunda itu tersenyum lebar. Tangan kanan diangkat sejajar dengan ubun-ubun. Berdiri di depan foto Sang Bapak. Hari ini tanggal 28 oktober 2008. Sumpah Pemuda.

PDI Perjuangan, juga, merayakannya. Mereka menjatuhkan pilihan kepada Harian Kompas. Promosi. Kampanye. Atau apalah namanya. Tidak tanggung-tanggung. Dua halaman penuh ples setengah halaman yang sengaja dipotong dari atas ke bawah. Didominasi warna merah dan hitam. Warna yang terlalu sering “didewakan” sebagai warna perjuangan, perlawanan, dan segala macamnya.

Halaman pertama cukup membuat pembaca terkesima. SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER 1928. Angka 28 sengaja dibuat istimewa. Cetak tebal, warna hitam tebal, ukuran huruf berbanding jauh besarnya dengan huruf sebelumnya, dan pinggir huruf warna putih.

Di bawahnya:

PERTAMA

Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia.

KEDUA

Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

KETIGA

Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Ada yang menarik di sini. Sumpah Pemuda poin ketiga yang oleh Orde Baru diubah teksnya: mengaku berbahasa satu bahasa Indonesia, tidak latah diikuti.

Halaman kedua, sama, menggiurkan.

Sumpah Pemuda 28 Oktober lahir karena semangat Nasionalisme. Nasionalisme melahirkan PDI Perjuangan No. 28.

Menggiurkan karena orang tergiur untuk bertanya lebih lanjut. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928: betul. Nomor urut PDI Perjuangan nomor 28 karena nasionalisme: ???

Mari kita sebut ini sebuah keberuntungan, atau sebuah kebetulan. Setelah semua partai peserta pemilu terdaftar dan lolos verifikasi, nomor urut pun dikocok. PDI Perjuangan sungguh berbangga bisa dapat nomor itu. Nomor yang di hari ini mendapatkan jodoh yang teramat pas.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tidak bisa dipisahkan dari konteks: Indonesia negeri terjajah/dijajah (kolonialisme) dan bibit untuk memerdekakan diri dimulai dari kesadaran pemuda. Pemuda, saat itu, sadar betul si mata biru harus cepat-cepat hengkang dari negeri yang sudah terlalu lama dipijak-pijak harga dirinya. Mereka berkumpul dari berbagai daerah. Terkumpul dari berbagai organisasi: Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Minahasa, Sekar Roekoen, dan Jong Bataks Bond. Mereka berkongres dan bersepakat: Indonesia harus merdeka. Titik. Mari kita namai ini Revolusi Pemuda.

Apakah semangat ini yang coba disamapaikan lewat iklan politik tersebut?

Halaman terakhir halaman penuh klise. Klise dari penampilan. Klise dari isi. Tidak ada yang istimewa. Basi. Monoton. SBY dengan Partai Demokratnya juga sudah melakukan hal yang sama.

Belakangan kita digempur iklan tokoh-tokoh yang gemar mengutip pendapat orang. “Hidup adalah perbuatan,” “Indonesia adalah satu kesatuan administratif,” bla-bla-bla... Mereka rupanya buta akan analisa kekinian akan kesadaran anak-anak bangsa. Mereka tidak tahu di jaman mana mereka hidup. Mereka tidak menyadari rakyat lebih memilih tindakan dari ucapan. Rakyat lebih memilih pemimpin teruji dari pemimpin omong kosong.

Megawati Soekarno Putri. Putri bapaknya yang tidak akan pernah bisa mengikuti jejak Sang Bapak. Putri yang teramat percaya diri mencalonkan diri untuk memimpin bangsa ini kembali. Semua komentar peserta iklan tersebut memuji dan mendamba kepemimpinan Sang Ibu. Inilah bahayanya sebuah iklan.

Iklan kita pahami, atau iklan lajimnya, selalu bertolak belakang dengan kenyataan. Iklan shampo, misalnya. Hampir tidak ada produsen shampo mengatakan produk mereka nomor dua. Selalu nomor satu. Ada puluhan merek shampo di negeri ini. Apa mungkin semuanya di peringkat pertama?

Calon pemimpin yang ingin memimpin dan menggunakan iklan mempromosikan diri harus diwaspadai. Kita perlu mawas diri. Karena setelah dia terpilih dia akan menerapkan “manajemen iklan”. Mengiklankan segala sesuatunya dan menganggap segala sesuatunya itu sebagai iklan. Rakyat perutnya besar, busung lapar: iklan. Rakyat tidak dapat pekerjaan: iklan. Rakyat sakit-sakitan: iklan. Negeri ini dijarah orang: iklan. Semua jadi iklan, iklan, dan iklan.

Apa yang terjadi seandainya PDI Perjuangan mendapat nomor urut 17, misalnya? Atau 25?




Tidak ada komentar: