Jumat, 24 Oktober 2008

Kampus dan Buruh Kontrak


Hari ini hari ketiga. Jumlah mereka kira-kira enam orang. Sama dengan rekan kerja mereka di tempat lain, mereka “tukang suruh.” Tugas utamanya, yang jelas dan satu-satunya, membersihkan segala yang kotor.

Dua dunia yang amat kontras sebenarnya: dunia buruh (itupun kontrak) dan dunia kampus. Tapi itulah.

Mirip induk ayam yang selalu menjagai anak-anaknya setiap saat setiap waktu, “tukang suruh” itu pun tidak pernah luput dari pengawasan. Supervisor. Demikian sang pengawas lazim disebut. Mereka bekerja bagaikan mesin. Tidak “pernah” lelah. Semua alat yang dibutuhkan untuk menghilangkan yang kotor sudah tersedia. Hasilnya, kampus bersih, indah, bestari, asri, nyaman, dan semua istilah yang cocok untuk itu.

Tanpa perlu mendapat ijin resmi untuk mengamati mereka bekerja, aku rekam sebanyak mungkin semua aktivitas mereka. Yang kasat mata dan yang tidak kelihatan (tentunya ada unsure subjektivitas dalam penilaian ini).

Hampir bisa dipastikan tidak ada satu pun kampus sebersih rumah sakit. Wajar. Rumah sakit tempat orang sakit dalam pengertian sebenarnya. Kampus tempat orang sehat dalam arti yang sedikit kabur. Ops, jangan salah, di kampus juga rupanya ada orang sakit: sakit jiwa. Memang tidak boleh sembarangan bilang itu. Banyak yang tidak sepakat. Namun ada pembenaran atau alasan yang bisa mendekati benar untuk itu. Terlalu sering mahasiswa menganggap kampus sebagai tempat rekreasi. Terbukti dari besar kecilnya tas yang mereka sandang. Mahasiswa yang tasnya besar bisa dikategorikan mahasiswa yang suka membaca. Karena memang isi di dalam tas tentunya adalah buku. Seandainya pun itu salah paling tidak mereka telah berhasil menunjukkan diri mereka sebagai “calon intelektual muda.” Bagi mereka yang suka menenteng tas kecil bisa dikategorikan mahasiswa yang jarang bersentuhan dengan “kitab-kitab ilmu” itu. Buku anak kuliahan lebih tebal dari anak pelajar SMP, misalnya. Nah, berdasarkan itulah aku berani berpendapat bahwa isi tas mereka pasti bukan buku. Ruang yang tersedia di dalam tas tidak cukup besar untuk menampung sebuah buku berukuran agak tebal. Lantas apa gerangan yang menempati ruang sempit itu?

Salah satu bukti akan “ketidaksehatan” jiwa itu.

Yang kedua. Perpusatakaan diisi dengan buku. Buku itu dibaca di atas meja. Suasana harus tenang. Jangan sempat mengganggu penikmat buku lain. Itu versi idealnya. Hampir-hampir semua yang ideal dari sebuah suasana di dalam perpustakaan, kembali, tidak akan kita jumpai di kampus ini. Ribut. Ngegosip ala selebritis. Asik membahas pertandingan bola semalamnya. Lihat-lihat majalah pengharum badan. Tukar-menukar informasi fashion terbaru. Dan tak ketinggalan mengikuti urutan tangga lagu terlaris. Tindakan yang hanya membuat fungsi perpustakaan berputar dan terbalik.

Bukti kedua untuk menambahi bukti pertama. Dan bukti-bukti lain yang senada. Termasuk mahasiswa yang menyetor atau pun mencicil uang kuliahnya ke warung kopi.

Kembali ke topik awal.

(bersambung)



Tidak ada komentar: