Selasa, 28 Oktober 2008

Beberapa Puisi

http://jakker.blogspot.com/

Karena Kami Arus Kali, dan Kamu Batu tanpa Hati
Oleh: Rendra

karena kami makan akar, dan terigu menumpuk di gudangmu
karena kami hidup berhimpitan, dan ruanganmu berlebihan.
maka, kita bukan sekutu.

karena kami kucel, dan kamu gemerlapan.
karena kami sumpek, dan kamu mengunci pintu
maka kami mencuri kamu.

karena kami terlantar di jalan, dan kamu memiliki semua keteduhan.
karena kami kebanjiran, dan kamu berpesta di kapal pesiar.
maka kami tidak menyukaimu.

karena kami dibungkam, dan kamu nyerocos bicara.
karena kami diancam, dan kamu memaksakan kekuasaan.
maka kami bilang, tidak ...! Kepadamu.

karena kami tidak boleh memilih, dan kamu bebas berencana.
karena kami cuma bersandal, dan kamu bebas memakai senapan.
karena kami harus sopan, dan kamu punya penjara.
maka, tidak ...!, dan tidakkk ...! Kepadamu.

karena kami arus kali, dan kamu batu tanpa hati.
maka air akan mengikis batu.

***

Mengenang para reformis yang gugur
disatu sembilan sembilan delapan...

Melambaikan senja padamu
bersama air mata yang terasa asin di bibir
mata yang berkaca melewati jendela
menatap kematian dengan begitu bersahaja

Amboi, langkah ini hendak menuju ke mana
selain menjejak pada kemungkinan hari-hari penuh kegelisahan,
kehampaan dan kesunyian diri sendiri
meraba kegelapan yang melumuri isi kepala

Kereta warna hitam yang kau sorongkan
melewati pelataran yang begitu lengang
tawarkan sebuah kenangan di masa lalu
ketika kehidupan baru di hembuskan ke dalam dadamu...
bikin perjanjian untuk kembali pada asal mulamu, anak manusia

Sepertinya tak ada yang patut ditangiskan
selain mengaca pada hari yang penuh warna
dan cerita penuh deru di masa lalu.

(Tuhan, aku hantarkan doa melewati senja ini)

***

Jangan Meyerah Bud...

Terakhir kita bertemu sebelum pemogokan
dalam percakapan singkat yang sepele
tentang sebuah film Amerika Latin di televisi:
Fera Ferida, katamu
kau juga suka film itu
ada cinta dan ada politiknya

Kita tak bisa sebut akrab, Bud
tapi sebagai kawan satu partai
sudah pasti ada ikatan yang tak bisa dilerai
sebagaimana hidup dan mati
Selain itu, tak ada yang istimewa dan manis
untuk seorang ketua partai
kehidupan telah memilih jalannya yang terbaik

Tentu saja, kita jarang sekali bertemu
kau sibuk dengan rapat-rapat
dan kerja-kerja politikmu
sedang kami hari demi hari hidup dalam penindasan
dan menerangkan kepad setiap orang
bahwa ketidakadilan harus dilawan

Kapan aksi kita yang terakhir?
Kulihat kau berbicara kepada massa
memimpin mereka
dengan kemeja lusuh yang itu-itu juga
dibelakangmu bendera merah partai berkibar
menentang angin kemarau yang berdebu

(Oh ya, ada pesan dari Rum; dia akan membelikan kemeja baru
di pasar kaget, kemeja bagus yang dijahit sendiri
harganya mahal sekali)

Sementara matahari menyorot garang
ke ubun-ubun ribuan buruh yang bergerak
di jantung kota
tubuhmu yang kurus
kelihatan seperti titik cahaya
dari kemenangan rakyat dimasa depan

Kami belum dapat menengokmu dipenjara, Bud
Kau tentu paham betapa sulitnya kita sekarang
Kawan-kawan di pabrik menyuruhku menulis puisi ini:

“Jangan menyerah! Kita belum menang.”

[Dari kawan-kawan buruh dan disebarluaskan oleh
Jaringan Kerja Kesenian Rakyat --ormas kebudayaan PRD--, dengan catatan:
Harap disampaikan kepada Ketua Budiman Sudjatmiko]

***

SEBUTIR MATA
Mengingat: Wiji Thukul

Perempuan itu, istri seorang demonstran, berkata:
karena perjuangan harus dilanjutkan, kang mas,
aku relakan sebutir mataku untukmu
menggantikan mata kirimu yang pecah saat unjuk rasa.

Malang, 1996

Tidak ada komentar: