Minggu, 14 Desember 2008

10 Tanda Gizi Baik


Singgahlah sejenak dan luangkan waktu Anda untuk membaca plakat di depan Badan Keuangan Negara.


10 Tanda Gizi Baik

1. Bertambah umur, bertambah berat badan
2. Postur tubuh tegap dan otot padat
3. Rambut berkilau dan kuat
4. Kulit dan kuku bersih dan tidak pucat
5. Wajah ceria, mata bening dan bibir segar
6. Gigi bersih dan gusi merah muda
7. Nafsu makan dan buang air besar teratur
8. Gerak aktif dan berbicara lancer sesuai umur
9. Penuh perhatian dan bereaksi aktif
10. Tidur nyenyak


Apa yang terbesit di kepala teman-teman setelah membacanya?

Tempat plakat itu didirikan tidak jauh dari sebuah kampus swasta yang cukup terkenal karena “kualitasnya”. Di sana juga ada benda semacam itu didirkian. Sangat besar ukurannya. Isinya berbeda. Wawasan almamater. Kampus lain juga memajangnya di sudut yang paling mudah dijangkau mata. Kalau Anda tanya saya apa itu wawasan almamater, jujur seratus persen saya akan menjawab: saya tidak tahu. Karena memang tidak ada niat untuk tahu. Dan karena itulah mungkin papan pengumuman berlatar biru dan warna tulisan putih itu tidak pernah saya baca.

Benda itu sudah lama berdiri di situ. Dan benda itu juga sudah lama dilewati ribuan masyarakat kampus dan tidak pernah, menurut saya, memberikan perhatian khusus untuk membacanya. Apalagi mendiskusikannya.

Kembali ke plakat gizi baik. Jalan Diponegoro, tempat plakat itu berada, adalah jalan “elite”. Berbeda dengan jalan Jamin Ginting, misalnya. Kalau Anda sepakat ijinkan saya menyebut jalan yang namanya diambil dari Jenderal dari Tanah Karo itu jalan “bukan elite”. Cobalah Anda menumpang angkot lewat dari jalan tersebut. Ada becak yang parkir di tengah badan jalan. Pengendara sepeda motor yang tidak pernah merasa puas kalau gas motornya belum habis kena gas. Stasiun mobil antarkota/antarpropinsi yang tidak menyediakan cukup kursi tunggu sehingga calon penumpang dan dan yang bukan penumpang akan memilih berdiri di pinggir jalan sambil melihat segala kesibukan jalan. Dan yang tidak ketinggalan, aksi ugal-ugalan dari supir angkot. Mereka selalu setia dengan alas an klasik itu: mengejar setoran.

Nah, Jalan Dipenogoro ini berbanding terbalik dengan jalan yang baru saja kita bahas. Jangan pernah menyetop angkot di sana. Anda akan didatangi lalat-lalat liar dari selokan karena sudah trlalu lama berdiri. Yang akan kita jumpai di sana adalah segala sesuatu yang menggambarkan tentang kemajuan. Segala sesuatu yang menggambarkan kemewahan. Semua jenis mobil bermerek kualitas tinggi menjejali semua ruas jalan. Inilah pusat kota Medan. Tidak pantas rasanya gubuk berdiri di sekitar jalan itu. Yah, yang cocok adalah apa yang bisa kita sekarang ini: bank, kantor konsulat, mall, kantor gubernur, mesjid raksasa, gereja arsitektur Eropa. Itulah kenapa jalan itu saya namakan jalan “elite”.

Memang sebuah kesalahann kalau jalan ada tingkatan kelasnya. Toh, yang membangun semua itu adalah pajak dari hasil keringat kita-kita yang bukan “elite”.

Ini semualah yang terbersit di kepala saya ketika selesai membaca iklan dari Subdis Promosi Kesehatan dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Medan tersebut.

Plakat itu tidak akan efektif didirikan di sana, kalau tidak mau dikatakan sebuah kesia-siaan. Orang yang punya segalanya untuk dimakan, dan punya segalanya untuk membuat meja makannya selalu tersedia empat sehat lima sempurna, akan ketawa terkekeh-kekeh membaca plakat tersebut. “Untuk apa kami ini?,” mungkin mereka akan memberi komentar.

Mungkin lebih kalau benda itu didirikan di tempat-tempat kumuh yang notabene semua masyarakat di situ pasti tidak akan pernah menikmati sepuluh poin itu. Dan jauh lebih baik lagi kalau pemerintah melalui Dinas Kesehatan mencari cara apa saja agar penduduk yang tidak pernah tidur nyenyak di malam hari karena lapar (poin terakhir) jadi punya kesempatan untuk menikmati semua itu kelak.

Tidak ada komentar: