Sabtu, 31 Juli 2010

Prestasi, yes; Jujur, harus!!

Prestasi, yes; Jujur, harus!!
Dian Purba*

Dimuat di Analisa, 22 Januari 2010


Kalau di akhir tahun 2008 dunia pendidikan berduka lantaran undang-undang Badan Hukum Pendidikan disahkan, bulan-bulan di akhir 2009 ditandai betapa “keras kepala”-nya pemerintah menyangkut ujian nasional. Puncak kebebalan pemerintah ditunjukan dengan pengabaian putusan Mahkamah Agung menolak kasasi pemerintah terkait ujian nasional.

Berawal dari 58 siswa yang tidak lulus ujian beserta sejumlah orangtua yang anaknya tak lulus ujian mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2006. Inti gugatan: meminta ujian nasional tidak dijadikan syarat kelulusan dan meminta kebijakan pendidikan dievaluasi. Pada 12 Mei 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian guga-tan tersebut. Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan, dan Ketua Badan Standarisasi Nasional Pendidikan dijadikan pihak tergugat. Mereka dinilai lalai dalam meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta infor-masi pendidikan, khususnya di daerah pedesaan.

Para tergugat melalui Kejaksaan Agung mengajukan banding. Kembali, pengadilan menolak banding ini. Tidak puas dengan hasil tersebut pemerintah mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. September lalu kembali pemerintah harus gigit jari: kasasi ditolak. Keputusan pengadilan terdahulu yang mewajibkan pemerintah meningkatkan kualitas guru dan kelengkapan sarana-prasarana pendidikan dan akses informasi pendidikan di seluruh daerah sebelum mengeluarkan kebijakan ujian nasional, tetap berlaku.

Nah, apa tanggapan Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan Kabinet Indonesia Bersatu II? “Jika mengacu pada pemenuhan kualitas guru dan sarana prasarana, sampai kiamat pun tak akan terlaksana.” Pemerintah bersikukuh melaksanakan ujian nasional. Karena menurut pemerintah akan sia-sia belaka jika ujian nasional difungsikan hanya sebagai pemetaan kualitas pendidikan.

Naga-naganya pemerintah tidak pernah peduli dengan beban para siswa dan guru-guru, dan orang-tua para murid. Bukankah para guru setiap hari mengajar murid-muridnya, mengikuti setiap perkembangan belajar anak didiknya, dan di akhir semua proses belajar-mengajar itu pemerintah datang dengan otoritas tunggal sebagai penentu kelulusan? Bayangkan, Saudara. Dengan sarana-prasarana pendidikan dan kualitas guru berkualitas sekarat di Papua sana dipaksa bekerja keras mengejar tingkat kelulusan yang sudah dipatok dari Ja-karta. Tentu ini tidak adil.

Di tempat lain, dalam sebuah wawancara dengan koran nasional, Menteri Pendidikan menelurkan istilah: „Prestasi, yes; Jujur, harus!” Siapa yang berprestasi dan jujur kepada siapa? Muhammad Nuh dalam kesempatan yang sama menegaskan dalam lima tahun masa jabatannya akan menjadikan dunia pendidikan dengan prinsip No Discrimina-tion. Kemampuan siswa mampu dan tidak mampu harus disejajarkan dalam proses pendidikan. Semua akan mendapat kesempatan sama. Benarkah demikian?

Undang-undang Badan Hukum Pendidikan akan berkata lain. Undang-undang ini adalah pemutarbalikan logika berpikir pemerintah. Bagaimana bisa pendidikan dijadikan badan hukum? Bukankah badan hukum mewajibkan lembaga pendidikan menyetor pajak ke negara? Inilah sesat pikir pertama. Seharusnya pemerintah mengalokasikan dana secukupnya hingga setiap anak bisa bersekolah setinggi-tingginya dari hasil pajak, bukan memajaki lembaga pendidikan.

Sesat pikir selanjutnya adalah ketidaksetiaan negara menjalankan amanat pembukaan Undang-undang Dasar: mencerdaskan kehidupan bangsa. UU BHP pasal 4 bagian f berbunyi: “akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominnya.” Pasal ini akan segera bertentangan dengan pasal 46 bagian (1) dan: “Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru.”

Lantas, warga miskin yang tidak memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi yang jumlahnya berjimbun itu hendak dikemanakan? Apakah mereka bukan Warga Negara Indonesia?

Sepertinya Pak Menteri hanyalah menabur angin saja dengan slogan No Discrimination itu. Mari kita anggap ini silat lidah pemerintah saja. Belum lagi kita bicara dengan kualitas guru, hal yang tidak bisa dilupakan.

Sertifikasi guru tujuannya baik: meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru. Namun, fakta berkata lain. Dari sekitar 2,7 juta guru, baru sekitar 350.000 guru yang lulus sertifikasi dan mendapat tunjangan sebesar satu kali gaji. Segera setelah lulus, mereka tidak lagi bergairah mengikuti seminar, membuat makalah, dan hal lain yang berkaitan dengan peningkatan kualitas guru. Sertifikasi dimaknai hanya mengumpulkan sebanyak-banyaknya sertifikat untuk sekedar lulus. Setelah itu cukup sudah.

Begitu karut-marutnya pendidikan kita dan begitu gamangnya pemerintah mengantisipasinya. Pemerintah cukup berpuas diri hanya dengan menyediakan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN. Pemerintah sepertinya berdiri terpisah dari warganya. Hingga saat ini, pendidikan dasar wajib sembilan tahun yang berkualitas belum mencakup semua warga dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah melupakan hakikat pendidikan: mencerdaskan dan membebaskan. Pemerintah gencar mendirikan sekolah bertaraf internasional di kota-kota besar namun lalai dengan sekolah bertaraf karatan di pelosok-pelosok.

Ternyata pemerintah belum jujur. Rupanya pemerintah belum berprestasi di mata warganya. Dengan demikian slogan "Prestasi, yes; Jujur, harus!‟ kita kembalikan saja ke pemerintah. Dan barangkali kita tambahi saja dengan satu slogan: "Bercermin, musti!‟ (*)


*Aktif di Komunitas Mata Kata, Medan

Ekonomi Kita Belum Mandiri

Ekonomi Kita Belum Mandiri
Dian Purba*
Dimuat di Analisa, 3 April 2010


Pertanyaan ini sungguh menggoda untuk dijawab: apakah kemerdekaan 64 tahun telah menghantar kita menjadi bangsa berdaulat? Atau pertanyaan selanjutnya: sudah betul-betul merdekakah kita?

Sebelum menguraikannya lebih jauh, ijinkan saya berujar: negara ini masih jauh, kalau tidak sudi dikatakan teramat jauh, dari kemandirian ekonomi. Ada ironi pada bangsa ini dan itu sudah berlangsung cukup lama. Tanah dan air, negeri kepulauan terbesar ini, memiliki semua dengan apa yang disebut “sorga dunia.” Hampir setiap jengkal tanah mengandung kekayaan yang sesungguhnya sanggup memberikan kehidupan. Kita semakin malu dan tidak mampu berdiri tegak karena ternyata semuanya itu tidak berujung dengan kesejahteraan bagi sang empunya: rakyat Indonesia. Inilah negeri tempat mayoritas penghuninya menatap kesejahteraan itu masih sebatas impian. Kenapa bisa demikian?

Soekarno dan Demokrasi Ekonomi

Soekarno dalam buku supertebalnya Di Bawah Bendera Revolusi (1964) tidak pernah memisahkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dia mengutip pidato Jean Jaures yang luar biasa itu. Kala itu Jean Jaures berdiri di gedung parlemen Prancis yang mayoritas anggotanya berasal dari wakil borjuis. Baiklah saya kutip saja. “ Tuan mendirikan republik, dan itu adalah kehormatan yang besar. Tuan membuat republik teguh dan kuat, tak dapat dirobah atau dibinasakan oleh siapa pun juga, tetapi justru karena itu Tuan telah mengadakan pertentangan hebat antara susunan politik dan susunan ekonomi…, semua penduduk bisa bersidang mengadakan rapat yang sama kuasanya dengan rapatnya raja-raja… Tetapi pada saat yang [sic] si buruh itu menjadi tuan di dalam urusan politik, pada saat itu juga ia adalah budak-belian di lapangan ekonomi… Tenaga kerjanya hanyalah satu barang dagangan, yang bisa dibeli atau ditampik menurut semau-maunya kaum majikan.”

Soekarno menyebutnya kepincangan demokrasi. Sesuatu yang masih berlangsung hingga kini. Memang, hak-hak politik rakyat kini lebih luas dari yang dulu. Mereka bisa memilih di pemilihan umum. Mereka bisa “masuk” parlemen. Mereka bebas turun ke jalan meneriakkan aspirasi karena undang-undang untuk bersuara sudah dibuat. Namun ada satu yang tidak mereka dapat lakukan: merubah keporakporandaan nasib “budak” yang sudah berlangsung cukup lama. Di lapangan politik rakyat adalah “raja”. Di lapangan ekonomi mereka hanyalah budak belian. Dengan demikian perkawinan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi adalah kemustian. Barangkali kita bisa menyandingkan ini dengan tesis Atolio A. Boron (The Truth of Capitalism Democracy, 2006) yang menempatkan demokrasi ekonomi bertengger di urutan teratas sebagai demokrasi paling diidam-idamkan. Demokrasi yang menghapus keistimewaan yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang atas sumber daya ekonomi sembari membuka akses yang luas kepada masyarakat kebanyakan mengontrol dan mengendalikan sumber daya ekonomi yang terbatas itu. Demokrasi di mana tidak akan kita jumpai lagi pemisahan antara ekonomi dan politik, atau masyarakat sipil dengan politik.

Dengan pemaparan di atas, kita dipaksa bertanya kembali, sudahkan kita bebas melangkahkan kaki ekonomi kita selaras kehendak kita hendak mau melangkahkan kaki ke arah yang kita kehendaki?

Ketidakmerdekaan Ekonomi

Wawan Tunggal Alam (Di bawah Cengkeraman Asing, Membongkar Akar Persoalannya dan Tawaran Revolusi untuk Menjadi Tuan di Negeri Sendiri, 2009) akan menghantar kita terhadap realitas mengerikan tentang betapa terjajahnya perekonomian negeri ini oleh asing. Mulai bangkit dari tempat tidur hingga berbaring kembali, kita akan bertemu, dan barangkali mengonsumsi, barang-barang yang persenan sahamnya mayoritas dikuasai oleh perusahaan-perusahan multinasional. Mari kita mulai. Hendak minum aqua (74 persen sahamnya dikuasai Danone asal Prancis), menikmati Teh Celup Sariwangi (100 persen Unilever), mandi dengan sabun Lux, sikat gigi Pepsodent (Unilever), bahkan rokok sekalipun (Sampoerna) 97 persen sahamnya milik Philips Morris asal Amerika Serikat. Belum lagi beras yang kita tanak sebagian adalah beras impor. Gula yang kita larutkan dengan kopi, sama saja. Belanja ke Carrefour milik perusahaan Prancis itu. Demikian juga dengan bank (BCA, Danamon, BII, Bank Niaga). Silakan uraikan dengan barang-barang yang lain yang hanya akan membuat kita malu sekadar untuk menyebut kita telah benar-benar merdeka dalam arti yang sesungguhnya.

Ini hanyalah dampak dari apa yang terjadi sebelum Presiden kedua kita, Soeharto, mengundurkan diri. Lewat kejadian tersebut bangsa besar ini dipaksa menjadi kerdil hanya sekedar mengasih makan rakyatnya. “Usaha” sekeras apa pun dari pemimpin memperbaiki nasib bangsa, dana sebesar apa pun digelontorkan, seakan-akan tidak berdampak apa-apa. Apa yang terjadi sebelum Jenderal Besar yang gemar senyum ini lengser ke perabon?

20 Januari 1998. Michael Camdessus, Managing Director IMF, “memaksa” Soeharto menandatangani Indonesia Memorandum of Economic and Financial Policies (Kebijakan Ekonomi dan Finansial Indonesia). Kesepakan ini berisi 50 paragraf yang kemudian lebih dikenal dengan 50 poin Letter of Intent IMF. Ke 50 poin ini kemudian diubah pemerintah menjadi empat kebijakan, yaitu kebijakan moneter (10 poin), kebijakan anggaran (13 poin), restrukturisasi financial (17 poin), dan reformasi struktural (21 poin).

Mari kita simak beberapa poin yang hanya akan membuat bangsa ini tidak akan pernah tinggal landas.

Poin 2 kebijakan anggaran memaksa pemerintah Indonesia menaikkan tarif dasar listrik dan BBM per 1 April 1998 ketika daya beli rakyat sedang lesu-lesunya. Poin 16 kebijakan finansial mengharuskan pemerintah memberi kebebasan kepada bank asing membuka cabangnya di seluruh Indonesia sebelum Februari 2008. Pemerintah juga mesti membuat undang-undang yang menghapus batasan penanaman modal asing di bank-bank yang sudah go public sebelum Juni 1998.

Rasanya belum cukup sampai di situ. Pemerintah juga dipaksa mempersiapkan perangkat agar asing boleh membeli aset bank-bank pemerintah yang akan diprivatisasi. Ditambah lagi pemerintah menyiapkan lembaga untuk menswastakan bank-bank pemerintah. Dan ini harus diikuti dengan tidak diperbolehkannya pemerintah menyuntik dana kepada bank-bank negara, kecuali yang hendak diswastakan (restrukturisasi finansial poin 3 dan 4).

Pada reformasi struktural pemerintah didesak menghapus semua pajak ekspor mulai 1 Februari 1998 (poin 3). Masih kebijakan reformasi struktural (poin 6), IMF memaksa pemerintah menghapus larangan investasi asing di bidang eceran dan grosir sebelum Maret 1998. Pasca kebijakan ini, Carreforur segera berlari membuka puluhan cabangnya di Indonesia. Impor gula dibuka lebar-lebar (poin 13). Pada poin 15 pemerintah musti menjual sejumlah BUMN go public dan pemerintah harus menjual seluruh sahamnya (Ishak Rafick: Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, Jalan Baru Membangun Indonesia, 2009).

Apa kepentingan IMF memaksakan kebijakan yang berada di luar akal sehat tersebut? Prof. Sritua Arief akan membantu kita menemukan jawab. Menurut ekonom kerakyatan ini IMF selalu mendasarkan modus operandinya atas beberapa persyaratan. Pertama, memaksakan mekanisme pasar bebas sebagai penentu pembentukan harga barang dan jasa sebagai proses pengalokasian sumber-sumber ekonomi ke tingkat yang optimal. Kedua, swastanisasi seluas-luasnya dalam ekonomi. Ketiga, pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal yang kontraktif dengan tujuan mencegah meningkatnya inflasi. Keempat, segala bentuk proteksi dihapuskan dan liberalisasi impor dilaksanakan demi menimbulkan daya saing dan efisiensi unit-unit ekonomi domestik. Terakhir, memperbesar dan memperbesar arus masuk investasi asing dengan fasilitas yang lebih luas dn liberal ke seluruh sektor ekonomi dalam berbagai skala investasi (kecil, menengah, dan besar) (Prof. Dr. Sritua Arief: IMF/Bank Dunia dan Indonesia, 2001). Resep-resep inilah yang menghancurkan kedaulatan negara ini mulai 1966-1998.

Langkah awal

Di awal sudah disebutkan, inilah negeri tempat mayoritas penghuninya menatap kesejahteraan itu masih sebatas impian. Begitu banyak perangkat yang diperlukan untuk menyejahterakan rakyat sudah diserahkan ke asing. Barangkali kita masih ingat petuah ini: semakin miskin seseorang atau keluarga, maka semakin besar bagian dari penghasilannya dihabiskan untuk makan. Kita miris menyaksikan yang terjadi di atas bumi pertiwi ini. Air yang dianugrahkan Tuhan sebagai anugrah gratis, di tangan investor berubah menjadi barang dagangan supermahal. Perut bumi begitu kayanya. Yang ada bukan eksplorasi, akan tetapi eksploitasi membabi buta. Dan semua keuntungan yang didapat dibawa kabur ke negara orang.

Semestinya kita jangan melupakan peran permanen pemerintah: membuka akses selebar-lebarnya bagi rakyat yang mereka pimpin menikmati kekayaan negeri ini, tanpa terkecuali. Itu hanya bisa terwujud tatkala semua peraturan-peraturan yang menghalangi jalan menuju ke sana dienyahkan dari semua kitab undang-undang. Termasuk ke 50 poin Letter of Intend IMF yang sudah disebutkan di atas yang hingga kini masih bercokol rapi di meja pembuat kebijakan negeri ini.


*Aktif di Komunitas Mata Kata, Tinggal di Medan


Kepustakaan:

Atolio A. Boron. The Truth of Capitalism Democracy. http://www.socialisregister.com/

Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. 1964.

Ishak Rafick. Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Jalan Baru Membangun Indonesia. Ufuk Press Cetakan Ketiga, Maret 2009.

Prof. Dr. Sritua Arief. IMF/Bank Dunia dan Indonesia. Muhammadiyah University Press Universitas Mumahmmadiyah Surakarta, Cetakan Pertama, 2001.

Wawan Tunggul Alam. Di Bawah Cengkeraman Asing: Membongkar Akar Persoalannya dan Tawaran Revolusi untuk Menjadi Tuan di Negeri Sendiri. Ufuk Press Cetakan Pertama. Juli 2009

Jaman Sebelum Sofyan Tan

Jaman Sebelum Sofyan Tan
Dian Purba*
Dimuat di Analisa, 6 April 2010


Sofyan Tan menjadi kandidat walikota Medan periode 2010-2015 saat Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sudah disahkan. Sofyan Tan mengibarkan spanduk keyakinan akan meraih dukungan di pemilihan nanti tatkala bangsa ini sudah menyaksikan beberapa tahun terakhir barongsai meliuk-liuk di keramaian perayaan Tahun Baru Cina. Dokter yang jarang berpraktek ini pun mencoba menerobos dinding sekat tebal yang tersemat di setiap pundak orang Tionghoa saat terjun ke dunia politik. Goresan ini tidak akan mengupas tentang peluang Sofyan Tan dalam pertarungan menaklukkan sembilan kandidat lain. Tidak pula hendak berkisah tentang perjalanan panjang dia hingga berhasil mendapat nomor urut sepuluh. Ada jaman-jaman tidak enak didendangkan ke kuping anak-cucu kita saat berkisah tentang Tionghoa. Kisah-kisah yang selalu tersembunyi, kalau tidak ingin dikatakan disembunyikan, di bawah tikar sejarah. Nah, tulisan ini hanya menyajikan sekelumit saja dari berjibunnya kisah-kisah tersembunyi itu.

Hilmar Farid (2008) menulis artikel berjudul “Menulis Sejarah Bukan Perkara Gampang.” Menurut Hilmar, “…kita bebas menafsirkan dan menulis sejarah. Ada prinsip dasar yang membatasi kebebasan tafsir: pijakan pada fakta atau kenyataan yang diketahui berdasarkan sumber informasi yang tersedia dan dapat diuji. Kita tidak dapat menyandarkan penulisan sejarah pada desas-desus dan dugaan.” Mengatakan orang Indonesia keturunan Tionghoa (Pramoedya Ananta Toer menyebutnya Hoakiau) berhasil menikmati limpahan harta melalui jalur curang adalalah jelas-jelas desas-desus. Dan pastilah dugaan semata saja ketika kita berujar bahwa semua orang Tionghoa cukup makmur. Kita akan kembali ke topik ini nanti.

Kedatangan Orang Tionghoa

Orang Tionghoa adalah sejarah panjang. Jauh sebelum Belanda tiba di Indonesia, dan jauh sebelum nama Indonesia ditemukan, mereka sudah tiba dengan kapal-kapal layar dan berdagang di Nusantara. Benny G. Setiono (Tionghoa dalam Pusaran Politik, 2008) menandaskan bahwa tidak diketahui pasti keberadaan pertama kali orang Tionghoa di Nusantara. Namun, dari hasil temuan benda-benda kuno, diketahui komunitas Tionghoa sudah berjejal di Nusantara tahun 600 SM sampai abad ke-3 Masehi.

Benda-benda kuno, seperti tembikar Tiongkok ditemukan di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari, dan Kalimantan Barat. Juga penemuan kapak batu giok atau zamrud berpoles dari jaman Neolithikum yang ternyata juga ditemukan di Tiongkok dan berada pada jaman yang sama. Di Sumatera Selatan juga ditemukan sejumlah genderang perunggu berukuran besar. Genderang ini diproduksi di Dongson, sebuah desa kecil di propinsi Thanh Hoa, sebelah utara Vietnam pada tahun 600 SM sampai 300 Masehi. Genderang ini mempunyai persamaan dengan genderang perunggu Tiongkok dari Dinasti Han.

Benny lebih lanjut menulis, hubungan lalu lintas pelayaran antara orang Tionghoa dari Tiongkok dengan Nusantara telah berlangsung sejak jaman purba. Pada masa pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (1-6 SM) Tiongkok menamai Nusantara dengan Huang-tse.

Teknologi perkapalan belumlah secanggih sekarang. Perjalanan pulang pergi dari Tiongkok ke Nusantara butuh waktu satu tahun akibat musim. Para pedagang terpaksa menunggu selama enam bulan. Alam Nusantara yang indah dan makmur, ditambah dengan gadis-gadisnya bermuka ayu, membuat banyak di antara mereka memilih tinggal tetap di Nusantara. Mereka jatuh cinta dengan alamnya, juga gadis-gadisnya. Dan memang, penduduk pribumi menerima kehadiran mereka dan hidup berdampingan dengan damai. Tidak sedikit di antara mereka meminang putri pribumi dan mendirikan bahtera rumah tangga.

Selaras dengan Benny, Pramoedya dalam bukunya Hoakiau di Indonesia (1998) membenarkan penemuan itu. Dia bertanya: “Dan sudah berapa lama orang-orang Tionghoa itu boyong ke Indonesia? Sebelum lahirnya Isa dan sebelum lahirnya Muhammad, atau jelasnya: sebelum lahirnya nasionalisme Indonesia.”

Begitulah. Ratusan tahun selepas itu, ada berbagai kejadian mengerikan yang dialami orang Tionghoa. Untuk menyebut beberapa: pembantaian di tahun 1740; penerapan sistem apartheid pemerintahan kolonial Hindia Belanda dengan mendirikan perkampungan khusus bagi mereka; penjarahan toko-toko Tionghoa oleh Jepang tahun 1942 (Onghokham, 2008).

Warga Negara dan Bisnis

Pertanyaan terbesar di banyak benak warga Indonesia sekarang adalah: kenapa orang Tionghoa begitu kaya; dan kenapa mereka tidak begitu tertarik dengan politik. Dan jawaban untuk pertanyaan inilah yang kerap dibengkokkan oleh sejarah.

Pramoedya Ananta Toer menulis beberapa pucuk surat kepada sahabatnya, Hs-y di Tiongkok. Pram, sebutan akrab Pramoedya, “memberontak”. Saat itu Peraturan Presiden No. 10 tahun 1959 mengharuskan semua pedagang eceran di wilayah pedalaman menutup usaha mereka sebelum 1 Januari 1960. Dalihnya: pedagang-pedagang eceran Hoakiau (sebutan Pram untuk orang Tionghoa) akan membahayakan keselamatan ekonomi nasional Indonesia. Sekitar tahun 1960-1961 sebagai akibat dari PP-10/1959, lebih dari seratus ribu orang Tionghoa meniggalkan Indonesia. Dalam benak “pemerintah” saat itu orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia bukanlah warga negara Indonesia. Mereka itu orang asing.

Surat pertamanya kepada Ch. Hs-y. di P (menurut Sumit Kumar Mandal Hs-y itu adalah singkatan nama Chen Xiaru di P: Peking) amat keras. Pram menulis: “Apakah mereka yang sudah berabad-abad di Indonesia berketurunan dan mempunyai tradisi harus dimasukkan ke dalam golongan orang asing atau golongan warganegara Indonesia baru?” Selanjutnya: “Setengah juta orang! Setengah juta! Dengarkan ini, Hs-y.: setengah juta. Apakah jumlah ini tidak bicara apa-apa? Apakah sudah begitu rusak instalasi kemanusiaan kaum rasialis ini? Setengah juta orang akan puyang-poyong hidup tidak menentu. Setengah juta.”

Orang Tionghoa amat kuat dalam perdagangan. Mereka datang ke Nusantara lantaran di negeri asalnya, Tiongkok, tanah adalah kutukan karena gersang dan tandus. Ditambah lagi peperangan yang tak kunjung usai. Pramoedya di suratnya keempat kepada Hs-y mengajukan pertanyaan: “… apa sebabnya hampir seluruh sektor perdagangan dikuasai oleh Hoakiau hingga sekarang. Lalu apakah sebabnya pedagang-pedagang pribumi kalah dalam persaingan dagang dengan orang-orang luar di dalam perdagangan internasional?”

Menurut Pram, faktor alamlah menjadi penyebabnya. Alam Indonesia sangat subur sehingga hampir seluruh lapisan masyarakat hidup bertani. Sementara itu, pedagang-pedagang Tionghoa dan pedagang-pedagang luar lainnya yang datang ke Indonesia telah mempunyai tradisi dagang yang kuat, dengan sendirinya pedagang-pedagang pribumi yang lemah itu terdesak dan ketinggalan jaman. Orang Tiongkok sudah mampu membuat kapal bermuatan besar. Orang pribumi belum mengenal teknik pembuatan kapal besar.

Onghokham (Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, 2008) memberikan tambahan. Menurut sejarahwan cemerlang ini, “Tanda keunggulan dalam ekonomi ini merupakan perkembangan dari toko-toko yang dimiliki orang Cina di sepanjang jalan-jalan utama di seluruh kota-kota kecil dan besar Indonesia. Perdagangan eceran merupakan aspek penting dalam kehidupan yang diciptakan masyarakat Cina di Indonesia.” Orang Tionghoa dan Belanda datang ke Nusantara untuk tujuan yang sama: berdagang. Belanda bermitra dengan orang Tionghoa. Belanda, lewat VOC, bergerak di bidang distribusi dan Tionghoa sebagai pedagang perantara. Dari kegiatan inilah orang Tionghoa mendapatkan uang tembaga dari orang-orang desa, yaitu uang kecil yang biasa digunakan membeli barang-barang di desa. Mereka kemudian menjualnya ke VOC di kota.

Kembali ke bulan terakhir tahun 1959 hingga bulan awal tahun 1960. Salah satu pihak yang tidak senang dengan ketangguahan Tionghoa dalam berdagang adalah borjuasi Indonesia. Jelaslah masalah utamanya berkisar tentang rebutan “lahan basah.” Mereka juga hendak berdagang. Tapi, kembali kita harus mengutip Pramoedya. “Mereka lebih enak duduk-duduk bermewah dengan menekan rakyat tanpa memikirkan dunia perdagangan mereka sendiri.”

Setelah tahun 1965, pasca-G30S, menjadi babak penderitaan tambahan bagi orang Tionghoa. Perang dingin, perang antara dua kubu berlainan ideologi, masing-masing mengeluarkan taringnya. Amerika Serikat dan Inggris, negara kapitalis Barat, berusaha membendung pengaruh komunis dari Utara, yang identik dengan Republik Rakyat Tiongkok. Negara Barat mempunyai kepentingan besar menggelorakan anti-Tionghoa, termasuk di Indonesia.

Benny G. Setiono mencatat intensitas kerusuhan anti-Tionghoa makin menjadi-jadi. Penjarahan, perusakan, dan pembakaran rumah-rumah, toko-toko, sekolah-sekolah, dan mobil-mobil etnis Tionghoa terjadi di mana-mana. Mereka dituduh sama sekali tidak peduli dengan kepentingan rakyat Indonesia. Juga mereka dituduh mempunyai loyalitas ganda dan selalu berusaha mentransfer uangnya ke luar negeri.

Kampanye dan berbagai aksi anti-Tionghoa ini, ditambah tindakan represif dari militer inilah yang menimbulkan kekuatiran dan trauma berkepanjangan bagi orang Tionghoa. Selama pemerintahan Soeharto, mereka mati-matian berusaha menghindari wilayah politik. Mereka memusatkan seluruh perhatian dan kegiatannya hanya di bidang bisnis.

Di sinilah kita menemukan kaitan antara kesuksesan mereka di bisnis dan keengganan mereka terlibat dalam kegiatan politik. Tidak pernah kita temukan menteri di pemerintahan Orde Baru dari keturunan Tionghoa. Dengan demikian, kita sudah bisa beralih ke pertanyaan kedua: kenapa mereka sukses berbisnis di bawah pemerintahan otoriter Soeharto?

Onghokham akan membantu kita menemukan jawab. Selain pengasingan melalui antibudaya Tionghoa (larangan penggunaan huruf Cina, orang Cina harus ganti nama, melarang pertunjukan-pertunjukan kesenian Cina), Onghokham berpendapat orang Tionghoa berhasil di bisnis karena bobroknya birokrasi selama Orde Baru. Baiklah saya kutip saja. “Kita mengenal satu sistem yang aneh selama Orde Baru. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara didapatkan dari utang-utang. Birokrasi, militer dan polisi memiliki kekuasaan yang sangat besar, tapi sewenang-wenang dan tidak ada kontrol, tidak ada pengawasan. Anehnya, meskipun kekuasaan mereka sangat besar, tapi gajinya kecil. Sementara itu, ada golongan Cina yang relatif cukup mampu. Logikanya, mana ada orang berkuasa yang mau kelaparan, tidak menyekolahkan anak-anaknya, tidak memenuhi kebutuhannya? Akhirnya, orang-orang Cina menjadi sapi perah.”

Sofyan Tan

Sofyan Tan adalah warga negara Indonesia. Tulen. Yah, dia warga keturunan Tionghoa. Dan tidak kita temukan masalah cukup berarti dengan itu. Mari kita anggap itu anugerah. Kekayaan dari salah satu bagian kecil saja dari Bhinneka Tunggal Ika. Medan mencatat, Sofyan Tan menjadi satu-satunya calon pertama dari keturunan Tionghoa yang pernah bertarung merebut kursi Walikota. Sepanjang sejarah.

Bangsa yang bajik adalah bangsa yang bijak memahami sejarahnya. Bangsa yang senantiasa menulis kembali sejarahnya. Menyusunnya dengan informasi baru dan menginterpretasinya dengan cara berbeda. Tentunya tanpa meninggalkan satu hal: pijakan pada fakta.

Sofyan Tan akan bertarung antara visi-misi yang ditawarkan dengan sejarah “kelam” yang melekat pada warga keturunan Tionghoa.


*Aktif di Komunitas Mata Kata, tinggal di Medan

Jaman Sebelum Sofyan Tan

Jaman Sebelum Sofyan Tan
Dian Purba*
Dimuat di Analisa, 6 April 2010


Sofyan Tan menjadi kandidat walikota Medan periode 2010-2015 saat Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sudah disahkan. Sofyan Tan mengibarkan spanduk keyakinan akan meraih dukungan di pemilihan nanti tatkala bangsa ini sudah menyaksikan beberapa tahun terakhir barongsai meliuk-liuk di keramaian perayaan Tahun Baru Cina. Dokter yang jarang berpraktek ini pun mencoba menerobos dinding sekat tebal yang tersemat di setiap pundak orang Tionghoa saat terjun ke dunia politik. Goresan ini tidak akan mengupas tentang peluang Sofyan Tan dalam pertarungan menaklukkan sembilan kandidat lain. Tidak pula hendak berkisah tentang perjalanan panjang dia hingga berhasil mendapat nomor urut sepuluh. Ada jaman-jaman tidak enak didendangkan ke kuping anak-cucu kita saat berkisah tentang Tionghoa. Kisah-kisah yang selalu tersembunyi, kalau tidak ingin dikatakan disembunyikan, di bawah tikar sejarah. Nah, tulisan ini hanya menyajikan sekelumit saja dari berjibunnya kisah-kisah tersembunyi itu.

Hilmar Farid (2008) menulis artikel berjudul “Menulis Sejarah Bukan Perkara Gampang.” Menurut Hilmar, “…kita bebas menafsirkan dan menulis sejarah. Ada prinsip dasar yang membatasi kebebasan tafsir: pijakan pada fakta atau kenyataan yang diketahui berdasarkan sumber informasi yang tersedia dan dapat diuji. Kita tidak dapat menyandarkan penulisan sejarah pada desas-desus dan dugaan.” Mengatakan orang Indonesia keturunan Tionghoa (Pramoedya Ananta Toer menyebutnya Hoakiau) berhasil menikmati limpahan harta melalui jalur curang adalalah jelas-jelas desas-desus. Dan pastilah dugaan semata saja ketika kita berujar bahwa semua orang Tionghoa cukup makmur. Kita akan kembali ke topik ini nanti.

Kedatangan Orang Tionghoa

Orang Tionghoa adalah sejarah panjang. Jauh sebelum Belanda tiba di Indonesia, dan jauh sebelum nama Indonesia ditemukan, mereka sudah tiba dengan kapal-kapal layar dan berdagang di Nusantara. Benny G. Setiono (Tionghoa dalam Pusaran Politik, 2008) menandaskan bahwa tidak diketahui pasti keberadaan pertama kali orang Tionghoa di Nusantara. Namun, dari hasil temuan benda-benda kuno, diketahui komunitas Tionghoa sudah berjejal di Nusantara tahun 600 SM sampai abad ke-3 Masehi.

Benda-benda kuno, seperti tembikar Tiongkok ditemukan di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari, dan Kalimantan Barat. Juga penemuan kapak batu giok atau zamrud berpoles dari jaman Neolithikum yang ternyata juga ditemukan di Tiongkok dan berada pada jaman yang sama. Di Sumatera Selatan juga ditemukan sejumlah genderang perunggu berukuran besar. Genderang ini diproduksi di Dongson, sebuah desa kecil di propinsi Thanh Hoa, sebelah utara Vietnam pada tahun 600 SM sampai 300 Masehi. Genderang ini mempunyai persamaan dengan genderang perunggu Tiongkok dari Dinasti Han.
Benny lebih lanjut menulis, hubungan lalu lintas pelayaran antara orang Tionghoa dari Tiongkok dengan Nusantara telah berlangsung sejak jaman purba. Pada masa pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (1-6 SM) Tiongkok menamai Nusantara dengan Huang-tse.

Teknologi perkapalan belumlah secanggih sekarang. Perjalanan pulang pergi dari Tiongkok ke Nusantara butuh waktu satu tahun akibat musim. Para pedagang terpaksa menunggu selama enam bulan. Alam Nusantara yang indah dan makmur, ditambah dengan gadis-gadisnya bermuka ayu, membuat banyak di antara mereka memilih tinggal tetap di Nusantara. Mereka jatuh cinta dengan alamnya, juga gadis-gadisnya. Dan memang, penduduk pribumi menerima kehadiran mereka dan hidup berdampingan dengan damai. Tidak sedikit di antara mereka meminang putri pribumi dan mendirikan bahtera rumah tangga.

Selaras dengan Benny, Pramoedya dalam bukunya Hoakiau di Indonesia (1998) membenarkan penemuan itu. Dia bertanya: “Dan sudah berapa lama orang-orang Tionghoa itu boyong ke Indonesia? Sebelum lahirnya Isa dan sebelum lahirnya Muhammad, atau jelasnya: sebelum lahirnya nasionalisme Indonesia.”

Begitulah. Ratusan tahun selepas itu, ada berbagai kejadian mengerikan yang dialami orang Tionghoa. Untuk menyebut beberapa: pembantaian di tahun 1740; penerapan sistem apartheid pemerintahan kolonial Hindia Belanda dengan mendirikan perkampungan khusus bagi mereka; penjarahan toko-toko Tionghoa oleh Jepang tahun 1942 (Onghokham, 2008).

Warga Negara dan Bisnis

Pertanyaan terbesar di banyak benak warga Indonesia sekarang adalah: kenapa orang Tionghoa begitu kaya; dan kenapa mereka tidak begitu tertarik dengan politik. Dan jawaban untuk pertanyaan inilah yang kerap dibengkokkan oleh sejarah.

Pramoedya Ananta Toer menulis beberapa pucuk surat kepada sahabatnya, Hs-y di Tiongkok. Pram, sebutan akrab Pramoedya, “memberontak”. Saat itu Peraturan Presiden No. 10 tahun 1959 mengharuskan semua pedagang eceran di wilayah pedalaman menutup usaha mereka sebelum 1 Januari 1960. Dalihnya: pedagang-pedagang eceran Hoakiau (sebutan Pram untuk orang Tionghoa) akan membahayakan keselamatan ekonomi nasional Indonesia. Sekitar tahun 1960-1961 sebagai akibat dari PP-10/1959, lebih dari seratus ribu orang Tionghoa meniggalkan Indonesia. Dalam benak “pemerintah” saat itu orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia bukanlah warga negara Indonesia. Mereka itu orang asing.

Surat pertamanya kepada Ch. Hs-y. di P (menurut Sumit Kumar Mandal Hs-y itu adalah singkatan nama Chen Xiaru di P: Peking) amat keras. Pram menulis: “Apakah mereka yang sudah berabad-abad di Indonesia berketurunan dan mempunyai tradisi harus dimasukkan ke dalam golongan orang asing atau golongan warganegara Indonesia baru?” Selanjutnya: “Setengah juta orang! Setengah juta! Dengarkan ini, Hs-y.: setengah juta. Apakah jumlah ini tidak bicara apa-apa? Apakah sudah begitu rusak instalasi kemanusiaan kaum rasialis ini? Setengah juta orang akan puyang-poyong hidup tidak menentu. Setengah juta.”

Orang Tionghoa amat kuat dalam perdagangan. Mereka datang ke Nusantara lantaran di negeri asalnya, Tiongkok, tanah adalah kutukan karena gersang dan tandus. Ditambah lagi peperangan yang tak kunjung usai. Pramoedya di suratnya keempat kepada Hs-y mengajukan pertanyaan: “… apa sebabnya hampir seluruh sektor perdagangan dikuasai oleh Hoakiau hingga sekarang. Lalu apakah sebabnya pedagang-pedagang pribumi kalah dalam persaingan dagang dengan orang-orang luar di dalam perdagangan internasional?”

Menurut Pram, faktor alamlah menjadi penyebabnya. Alam Indonesia sangat subur sehingga hampir seluruh lapisan masyarakat hidup bertani. Sementara itu, pedagang-pedagang Tionghoa dan pedagang-pedagang luar lainnya yang datang ke Indonesia telah mempunyai tradisi dagang yang kuat, dengan sendirinya pedagang-pedagang pribumi yang lemah itu terdesak dan ketinggalan jaman. Orang Tiongkok sudah mampu membuat kapal bermuatan besar. Orang pribumi belum mengenal teknik pembuatan kapal besar.

Onghokham (Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, 2008) memberikan tambahan. Menurut sejarahwan cemerlang ini, “Tanda keunggulan dalam ekonomi ini merupakan perkembangan dari toko-toko yang dimiliki orang Cina di sepanjang jalan-jalan utama di seluruh kota-kota kecil dan besar Indonesia. Perdagangan eceran merupakan aspek penting dalam kehidupan yang diciptakan masyarakat Cina di Indonesia.” Orang Tionghoa dan Belanda datang ke Nusantara untuk tujuan yang sama: berdagang. Belanda bermitra dengan orang Tionghoa. Belanda, lewat VOC, bergerak di bidang distribusi dan Tionghoa sebagai pedagang perantara. Dari kegiatan inilah orang Tionghoa mendapatkan uang tembaga dari orang-orang desa, yaitu uang kecil yang biasa digunakan membeli barang-barang di desa. Mereka kemudian menjualnya ke VOC di kota.

Kembali ke bulan terakhir tahun 1959 hingga bulan awal tahun 1960. Salah satu pihak yang tidak senang dengan ketangguahan Tionghoa dalam berdagang adalah borjuasi Indonesia. Jelaslah masalah utamanya berkisar tentang rebutan “lahan basah.” Mereka juga hendak berdagang. Tapi, kembali kita harus mengutip Pramoedya. “Mereka lebih enak duduk-duduk bermewah dengan menekan rakyat tanpa memikirkan dunia perdagangan mereka sendiri.”

Setelah tahun 1965, pasca-G30S, menjadi babak penderitaan tambahan bagi orang Tionghoa. Perang dingin, perang antara dua kubu berlainan ideologi, masing-masing mengeluarkan taringnya. Amerika Serikat dan Inggris, negara kapitalis Barat, berusaha membendung pengaruh komunis dari Utara, yang identik dengan Republik Rakyat Tiongkok. Negara Barat mempunyai kepentingan besar menggelorakan anti-Tionghoa, termasuk di Indonesia.

Benny G. Setiono mencatat intensitas kerusuhan anti-Tionghoa makin menjadi-jadi. Penjarahan, perusakan, dan pembakaran rumah-rumah, toko-toko, sekolah-sekolah, dan mobil-mobil etnis Tionghoa terjadi di mana-mana. Mereka dituduh sama sekali tidak peduli dengan kepentingan rakyat Indonesia. Juga mereka dituduh mempunyai loyalitas ganda dan selalu berusaha mentransfer uangnya ke luar negeri.

Kampanye dan berbagai aksi anti-Tionghoa ini, ditambah tindakan represif dari militer inilah yang menimbulkan kekuatiran dan trauma berkepanjangan bagi orang Tionghoa. Selama pemerintahan Soeharto, mereka mati-matian berusaha menghindari wilayah politik. Mereka memusatkan seluruh perhatian dan kegiatannya hanya di bidang bisnis.

Di sinilah kita menemukan kaitan antara kesuksesan mereka di bisnis dan keengganan mereka terlibat dalam kegiatan politik. Tidak pernah kita temukan menteri di pemerintahan Orde Baru dari keturunan Tionghoa. Dengan demikian, kita sudah bisa beralih ke pertanyaan kedua: kenapa mereka sukses berbisnis di bawah pemerintahan otoriter Soeharto?

Onghokham akan membantu kita menemukan jawab. Selain pengasingan melalui antibudaya Tionghoa (larangan penggunaan huruf Cina, orang Cina harus ganti nama, melarang pertunjukan-pertunjukan kesenian Cina), Onghokham berpendapat orang Tionghoa berhasil di bisnis karena bobroknya birokrasi selama Orde Baru. Baiklah saya kutip saja. “Kita mengenal satu sistem yang aneh selama Orde Baru. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara didapatkan dari utang-utang. Birokrasi, militer dan polisi memiliki kekuasaan yang sangat besar, tapi sewenang-wenang dan tidak ada kontrol, tidak ada pengawasan. Anehnya, meskipun kekuasaan mereka sangat besar, tapi gajinya kecil. Sementara itu, ada golongan Cina yang relatif cukup mampu. Logikanya, mana ada orang berkuasa yang mau kelaparan, tidak menyekolahkan anak-anaknya, tidak memenuhi kebutuhannya? Akhirnya, orang-orang Cina menjadi sapi perah.”

Sofyan Tan

Sofyan Tan adalah warga negara Indonesia. Tulen. Yah, dia warga keturunan Tionghoa. Dan tidak kita temukan masalah cukup berarti dengan itu. Mari kita anggap itu anugerah. Kekayaan dari salah satu bagian kecil saja dari Bhinneka Tunggal Ika. Medan mencatat, Sofyan Tan menjadi satu-satunya calon pertama dari keturunan Tionghoa yang pernah bertarung merebut kursi Walikota. Sepanjang sejarah.

Bangsa yang bajik adalah bangsa yang bijak memahami sejarahnya. Bangsa yang senantiasa menulis kembali sejarahnya. Menyusunnya dengan informasi baru dan menginterpretasinya dengan cara berbeda. Tentunya tanpa meninggalkan satu hal: pijakan pada fakta.

Sofyan Tan akan bertarung antara visi-misi yang ditawarkan dengan sejarah “kelam” yang melekat pada warga keturunan Tionghoa.


*Aktif di Komunitas Mata Kata, tinggal di Medan

Bahasa dan Kekuasaan

Bahasa dan Kekuasaan
Oleh: Dian Purba


Januari sihotang, sh dan Sarma Dichris Panggabean, S.Pd barangkali tidak begitu cermat membaca buku sejarah yang terselip di rak buku mereka.

Pada tulisan mereka (Analisa, 05 April 2010), dilengkapi dengan tambahan memberikan acungan jempol, Pusat Bahasa bernasib naas. Naas lantaran semua sejarahyang membentuknya dihempaskan tanpa tedeng aling-aling dengan kalimat berikut: "Ketika melihat bahwa ‘pengerdilan’ bahasa Indonesia sudah semakinparah, pemerintah Orde Baru merasa perlu membentuk sebuah pusat pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Hal ini diwujudkan dengan pembentukan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah, kemudian saat ini berubah menjadi Pusat Bahasa."

Di paragraf sebelumnya mereka menulis: "Bahasa Indonesia dilecehkan. Mulai kalangan bawah hingga pejabat tinggi negara seakan berlomba - lomba melukai dan mengobrak-abrik Bahasa Indonesia. Hal ini berlangsung terus-menerus dan semakin parah." Maka, pelecehan bahasa Indonesia kali ini tidak datang dari kalangan bawah, pun pejabat tinggi negara. Pengobrak-abrikan bahasa Indonesia semakin parah lantaran sebuah badan yang dibentuk menjaga keberlangsungan bahasa Indonesia itu diobrak-abrik sedemikian rupa oleh lulusan seorang sarjana hukum dan sarjana bahasa Indonesia.

Andai saja sarjana berdua ini meringankan tangan membuka laman Pusat Bahasa, pengerdilan sejarah ini akan terhindarkan. Dan ini akan menghantarkan kita kepada dua bahasan sebagai tanggapan atas tulisan itu. Pertama, kesalahan fatal menuliskan sejarah. Dan kedua, hubungan bahasa dan kekuasaan. Ini tidak lebih karena mereka menyenggol tentang bahasa dan Orde Baru.

Sejarah Pusat Bahasa

Buku Tesaurus, terbitan Pusat Bahasa, di sampul bagian belakang berkisah tentang sejarah Pusat Bahasa (Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan, 2009). Kita juga dibantu wikipedia Indonesia melengkapi data sejarah tentang badan yang sudah beberapa kali beralih nama ini.

Pusat Bahasa adalah lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan bahasa dan sastra Indonesia. Lembaga ini berdiri tahun 1947 dengan nama Instituut voor Taal en Cultuur Onderzoek. Dan merupakan bagian dari Universitas Indonesia pada tahun 1947 dan dipimpin oleh Prof. Dr. Gerrit Jan Held. Sementara itu, pada Maret 1948 pemerintah Republik Indonesia membentuk lembaga bernama Balai Bahasa di bawah Jawatan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.

Pada tahun 1952, Balai Bahasa dimasukkan ke lingkungan Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan digabung dengan ITCO menjadi Lembaga Bahasa dan Budaya. Selanjutnya, mulai 1 Juni 1959 lembaga ini diubah menjadi Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, dan menjadi bagian Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.

Pada tanggal 3 November 1966 lembaga ini berganti nama menjadi Direktorat Bahasa dan Kesusastraan yang berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak 27 Mei 1969 lembaga itu kembali berubah nama menjadi Lembaga Bahasa Nasional dan secara struktural berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Pada 1 April 1975 Lembaga Bahasa Nasional berganti nama menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Lembaga yang kerap disingkat dengan nama Pusat Bahasa ini, secara berturut-turut dipimpin oleh Prof. Dr. Amran Halim, Prof. Dr. Anton M. Moeliono, Drs. Lukman Ali, Dr. Hasan Alwi, dan Dr. Dendy Sugono.

Kemudian berdasarkan Kep pres tahun 2000, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa berubah nama menjadi Pusat Bahasa. Lembaga ini berada di bawah naungan Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional.

Nah, barangkali yang dimaksud Januari dan Sarma, kalau saya boleh memanggilnya demikian, adalah pergantian nama dari Lembaga Bahasa dan Kesusastraan tahun 1959 menjadi Direktorat Bahasa dan Kesusastraan tahun 1966. Dari rentetan-rentetan tahun di atas, memastikan kita berkesimpulan bahwa Pusat Bahasa bukan didirikan di jaman Orde Baru. Karena Orde Baru menampakkan dirinya mulai tahun 1966, bukan tahun 1947.

Bahasa dan Kekuasaan

Bahasa menunjukkan bangsa boleh jadi akan teramat sukar dipahami andai kita tidak berpaling ke sejarah. Sangat menarik menilik tentang jaman di mana Raden Ajeng Kartini hidup dan hubungannya dengan betapa bahasa begitu berkuasa sebagai tembok pembeda kelas penjajah dan kelas terjajah. Selepas dari sana kita akan singgah sejenak di jaman Orde Baru, dan mengakhiri perjalanan di jaman sekarang, jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jaman di mana Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan disahkan.

Kartini hidup saat jaman feodalisme Jawa masih teramat lama akan berakhir. Sebuah jaman di mana keluasaan wawasan, kebijak-bajikan, kekayaan pengetahuan bukanlah syarat mutlak seseorang menduduki jabatan tinggi. Pramoedya Ananta Toer menulis biografi Kartini dengan sangat baik (Panggil Aku Kartini Saja, 2003). Buku ini berhasil mengungkap hubungan jaman feodalisme Jawa, sering juga disebut feodalisme Pribumi Jawa, dengan usaha-usaha Belanda menjadikan mereka tak tersentuh dan takkan mungkin dikejar orang-orang Pribumi dalam segala hal. Salah satu alat yang cukup ampuh melanggengkan itu adalah dengan bahasa. Pramoedya meneliti karya-karya Kartini, yakni surat-suratnya ke beberapa sahabatnya di Negeri Belanda.

Kebudayaan Jawa di saat itu mampu membuat Kartini terkejut. "Seorang adikku, lelaki maupun wanita, tak boleh melewati aku, atau kalau toh harus melewati, dia mesti merangkak di atas tanah. Kalau seorang adik duduk di atas kursi dan aku hendak lalu, mestilah dia segera meluncur diri ke tanah dan di sana duduk menekuri tanah itu sampai aku tak nampak lagi olehnya. … Wanita-wanita yang lebih tua daripada aku, tetapi merupakan bawahanku sejauh mengenai kebangsawanannya, menghormati aku, karena hal itu sudah jadi hakku."

Maka, "Kehormatan manusia," tulis Pram, "terletak pada nilai kebangsawanannya, tak peduli orang itu bodoh atau tidak, beradab atau tidak, kejam atau tidak." Karena, "Barangsiapa tinggi kebangsawanannya, dia berhak dihormati oleh siapa pun yang kurang keningratannya, tak peduli orang itu lebih terpelajar, lebih berbudi, atau pun lebih bijaksana."

Corak kehidupan feodal Jawa lain adalah tingkatan dalam penggunaan bahasa. Di tempat lain, di sebuah wawancara, Pramoedya mengeluarkan ketidaksepakatannya dengan tingkatan bahasa di Jawa (Menuju Demokrasi Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah, 2001). "Sudah sejak usia 17 saya merasa bahwa sebagai orang Jawa saya ditindas. Dalam menggunakan bahasa Jawa saya merasa ditindas. Masak dalam menggunakan bahasa saja orang harus tahu diri di mana tempat sosialnya."

Belanda teramat cerdas memanfaatkan budaya Jawa ini. Kartini menulis, "Mula-mula aku dulu mengira, hanya si Jawa goblok itu yang gila hormat, tapi sekarang aku tahu, bahwa orang Barat (orang Belanda) yang beradab dan terpelajar itu juga tidak menolaknya, malah mencandu."

Candu itu bertemu dalam penggunaan bahasa. Belanda menggunakan Melayu babu atau bahasa pasar berkomunikasi dengan Pribumi. Menurut Pram, ada tiga hal yang mendasari Belanda menggunakan bahasa itu. Pertama, bahasa Melayu babu tidak lain daripada manifestasi penghinaan, bahwa Belanda kurang merasa hormat, mengenal, dan menghargai Pribumi. Belanda tidak membutuhkan Pribumi yang berada di tingkat bawah dibandingkan mereka.

Kedua, penggunaan bahasa Melayu babu, yang menolak penggunaan bahasa Belanda oleh Pribumi, juga merupakan manifestasi pihak Belanda untuk menolak keterpelajaran Pribumi.

Ketiga, penggunaan bahasa Melayu babu juga berfaal sebagai tabir prestise orang-orang Belanda untuk tidak memungkinkan Pribumi bisa melakukan penilaian atasnya di bidang kemampuan intelektualnya. Ketiga, manifestasi ini berubah menjadi benteng pembatas kolonial terhadap kemungkinan Pribumi menyetarakan kedudukannya setingkat dengan kedudukan Belanda.

Kartini paham betul dengan ini. Wanita muda cerdas ini – yang sudah menghidupkan alam demokrasi di pikirannya, bahkan demokrasi itu sendiri sudah jadi bagian dari dirinya – amat fasih berbahasa Belanda. Langkah selanjutnya bagi dia adalah menjadikan penguasaan terhadap bahasa Belanda sebagai alat perjuangan. Kenapa demikian?

Yang menjadi penghubung antara dunia Belanda dan dunia Pribumi adalah bahasa Belanda itu sendiri. Dengan alat ini ia dapat melakukan kritik dan penolakan terhadap tingkah orang-orang Belanda dan dapat menyampaikan keinginan-keinginan rakyatnya ke percaturan politik yang berarti.Juga, dengan alat ini, ia begitu kecanduan melahap buku-buku berbahasa Belanda. Sebut saja pengarang yang sangat ia kagumi, Multatuli, lewat bukunya Max Havelar. Ia juga begitu aktif menulis di usianya yang masih belia (baca salah satu kumpulan surat-suratnya: Kartini: Surat-surat kepada Ny. R. M. Abendanon-Mandri dan suaminya, 2000). Tidak terlalu salah menamai jaman ini sebagai jaman kebangkitan cikal-bakal berdirinya bangsa Indonesia.

Satu setengah abad lebih dari jaman Kartini, Soeharto berhasil menduduki bangku presiden. Sosok ini begitu berkuasa. Sosok yang mampu memutarbalikkan sejarah sebuah negara sebesar Indonesia. Dan untuk urusan ini, kita masih begitu gamang mengatakan yang benar itu. Atau barangkali saja kita sudah jadi bangsa pelupa yang sangat abai dengan sejarah bangsanya sendiri. Namun, mengutip Arief Budiman, sejarah senantiasa bergerak lurus. Andai ia dibengkokkan di tengah perjalannya, maka anak-anak bangsa akan mengembalikannya kembali ke jalur semestinya.

Dalam mempertahankan kekuasaannya, di samping kekerasan fisik, Soeharto juga melengkapi diri dengan menjadikan bahasa sebagai kekuasaan dan kekuasaan sebagai bahasa. Daniel Dhakidae, doktor ilmu politik dari Cornell University, lewat bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003), menelaah kaitan antara bahasa dan kekuasaan.

Daniel Dhakidae memeriksa tiga jenis bahasa yang digunakan Soeharto dan menghubungkannya dengan politik, yang dengan sendirinya juga kekuasaan: akronim, eufemisme, dan disfemisme.

Tidak ada yang begitu menyakitkan dari seseorang yang diadili lantas dijebloskan ke penjara lantaran memplesetkan akronim. Adalah Nuku Suleiman dari Yayasan Pijar yang mengubah SDSB, Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, dibengkokkan menjadi "Soeharto Dalang Segala Bencana". Di pengadilan dia didakwa dengan tuduhan menghina Presiden Soeharto, Kepala Negara.

Masyarakat menganggap SDSB tidak lebih dari judi. Pemerintah berdiri berseberangan dengan masyarakat. Pemerintah berdalih sumbangan itu adalah murni untuk bantuan sosial. Uang yang terkumpul bukanlah uang dari lotre tetapi sumbangan sukarela. Sesuatu yang di belakangan hari terbantah, oleh pengadilan juga. Nuku menangkap keresahan rakyat kecil yang sudah sekarat hidupnya dan "dipaksa" membeli kupon SDSB. "Dengan demikian," tulis Dhakidae, "pengadilan Nuku Suleiman adalah suatu pengadilan bahasa, pengadilan pikiran tentang siapa yang berkuasa menentukan apakah sesuatu itu kriminal atau bukan."

Eufemisme, penghalusan bahasa, menjadi kata-kata yang teramat lembut di permukaan dan begitu kasar bila kita telisik hingga ke dalam-dalamnya saat ia diucapkan seseorang yang begitu berkuasa. "Aman dan terkendali," akan diterjemahkan bebas oleh semua aparat keamanan untuk melakukan apa saja demi "mengamankan" dan "mengendalikan". Maka, yang kita saksikan kemudian adalah penculikan aktivis-aktivis yang bersuara lantang dan berseberangan dengan suara kekuasaan. "Demi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi," maka, segera setelah itu menyusul datangnya berbondong-bondong pemodal asing mengeksploitasi perut bumi Indonesia dan membawa kabur semua keuntungan ke negeri asalnya. Dan terjadilah penyimpangan makna sesungguhnya dari eufemisme itu: suatu gejala berbahasa yang sangat normal untuk "mengurangi" sedikit demi sedikit intensitas kenyataan itu demi mengungkapkan rasa hormat, suatu substitusi untuk mengungkapkan rasa takut terhadap suatu tabu, atau ketidakberdayaan terhadap kedahsyatan alam dan sebagainya.

Daniel Dhakidae menjelaskan disfemisme dengan: "Ham pir tidak ada pengetahuan yang lebih melekat dalam diri seorang Indonesia daripada pengetahuan tentang akibat dicap pe-ka-i." Dia mengutip anekdot Dr. Abdurrachman Suryomihardjo, sejarawan LIPI, tentang betapa ngerinya terror pe-ka-i itu. "Seorang dikejar oleh kelompok keamanan, tetapi pihak keamanan tidak mampu melewati untuk menangkapnya. Akhirnya karena putus asa mereka berteriak: tangkap itu pe-ka-i! Akhirnya orang yang dikejar tersebut berhenti, dan berbalik kepada orang yang mengejarnya dan berkata: saya bukan pe-ka-i! saya tukang copet! Dia tidak menyerahkan diri. Ketakutan menjadi pe-ka-i begitu merasuk mental semua orang Indonesia, maka lebih baik dia ditangkap karena menjadi maling, daripada dituduh."

Daniel menyimpulkan, "Ba hasa adalah milik semua orang. Yang tidak menjadi milik semua orang adalah kekuasaan yang mampu melaksanakan the will to truth, yaitu kontrol bahwa suatu jenis bahasa boleh dipakai dan tidak boleh dipakai.

Bagaimana kita menjelaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan bahasa? Dengan mengucapkan "the bottlenecking" untuk "hambatan", "national summit" untuk "rembuk nasional", maka SBY menjadi orang pertama yang seharusnya yang paling bertanggung jawab berdiri paling depan melaksanakan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan menjadi pelanggar pertama atas undang-undang yang ia tanda tangani sendiri. Hendak mempertahankan kekuasaankah ia dengan berbahasa begitu? Atau, seperti Kartini, hendak menjadikan bahasa sebagai alat perjuangan, perjuangan mencerdaskan bangsa? Saya kira tidak untuk kedua-duanya. Pencitraan. Semata-mata untuk keperluan itu.

Maka, menjadi relevanlah mengundang Remy Sylado menjelaskan gejala berbahasa ini. Di bukunya, Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005) ia menulis: "…orang-orang Indonesia, khususnya kalangan yang ingin tampil berkesan sebagai orang-orang terpelajar, kini terlihat seperti pelari-pelari tanpa piala yang sedang berlomba, berjor-joran bercakap lisan ataupun tulisan dengan melintaskan banyak kosakata, istilah, dan kalimat bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Saya menyebut gejala ini: ‘nginggris’’.

Lantas, setelah begini, pertanyaan pendekar bahasa Anton Muliono(2009) berikut, menjadi begitu menggoda ditanyakan: "Bagaimana bisa membela Tanah Air, memajukan bangsa, dan mengembangkan bahasa Indonesia jika para pemimpin bangsa dan pemuka masyarakat dengan bangga memamerkan pengenalan bahasa Inggris di muka khalayak ramai?" ***

Penulis Aktif di Komunitas Mata Kata, tinggal di Medan

Revitalisasi Pancasila

Revitalisasi Pancasila

Dian Purba*



Kita niscaya membutuhkan dua tokoh ini guna melacak sepak terjang Pancasila sebagai dasar kita berbangsa dan bernegara: Sukarno dan Suharto. Di tangan mereka berdua Pancasila mendapatkan perlakuan berbeda. Tentunya dengan interpretasi masing-masing. Mencoba membahas Pancasila tanpa menghadirkan kedua tokoh itu sama saja dengan mencoba membuat nasi goreng tanpa nasi.

Salah satu koran nasional mewartakan betapa Pancasila sudah ditinggalkan siswa karena pengajarannya tidak menarik. Kondisi ini bertambah parah karena teramat banyak jumlah anak didik di negeri ini kesulitan sekedar mengurut melafalkan setiap silanya dengan benar. Kita harus memahami ini sebagai akibat dari sebuah kesengajaan yang sudah berlangsung cukup lama. Dan itu terjadi di jaman di mana segala sesuatunya mengacu pada mantra pertumbuhan ekonomi, pembangunan, dan stabilitas politik: Orde Baru. Barangkali tidak terlalu salah mengatakan proses itu masih berlangsung hingga kini.

Semangat awal Pancasila

Semua perangkat yang diperlukan untuk mengaburkan jasa besar Sukarno sebagai penggali Pancasila dikerahkan sedemikian rupa sehingga setiap kepala anak didik negeri ini berkata lain dari sejarah sebenarnya. Terkesan Sukarno tidak cukup besar untuk menelurkan gagasan yang kini kita jadikan sebagai dasar negara itu. Dan itulah yang kita saksikan sepanjang Orde Baru dengan setia menjalankan semua cara demi mempertahankan kekuasaan itu di segelintir orang saja selama tiga dasawarsa lebih. Jalan yang dipilih: memperkecil jasa Sukarno dan memperbesar kehebatan Suharto.

Salah satu koran nasional mengkabarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menghadiri peringatan kelahiran Pancasila tanggal 1 Juni ini. Tentulah ini pertanda baik. Dengan kata lain, SBY sudah tidak mengikuti pendahulunya, Suharto, yang menetapkan hari lahir Pancasila 18 Agustus. Asvi Warman Adam (2004) menulis, kontroversi lahirnya Pancasila dimulai awal Orde Baru dengan terbitnya buku Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi jang Otentik dan Rumusan Pancasila jang Otentik (Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1971). Menurut Nugroho, ada empat rumusan Pancasila: disampaikan Mohammad Yamin 29 Mei; Sukarno (1 Juni 1945); berdasarkan hasil kerja Tim Sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945); dan seperti termaktub dalam UUD 1945 (18 Agustus 1945).

Nugroho berpendapat, rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan 18 Agustus 1945 karena Pancasila seperti dalam pembukaan UUD 1945 dilahirkan secara sah berdasarkan Proklamasi tanggal 18 Agustus 1945. Nugroho berdalih, lahirya Pancasila tidak perlu dikaitkan dengan tokoh secara mutlak. Tentang ini, kita tilik saja pidato Bung Karno pada peringatan lahirnya Pancasila ke XIX 1 Juni 1964 di Jakarta (Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, 2006). “Ada apa dengan diriku sekarang ini?” kata Sukarno. “Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah saya sering katakan bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekadar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia.”

Mari kita lacak pidato presiden pertama Indonesia ini tentang Pancasila tanggal 1 Juni 1945 di muka rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Tubapin: Tudjuh Bahan2 Pokok Indoktrinasi, 1961). Ketua Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (PPKI) mengajukan permintaan kepada sidang PPKI untuk mengemukakan dasar Indonesia merdeka. Sebelum memaparkan dasar Indonesia merdeka, terlebih dahulu Sukarno mengartikan perkataan merdeka itu.

Menurut Sukarno, merdeka ialah political independence. Sukarno tidak sependapat dengan PT Soetardjo yang mengartikan merdeka sebagai: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka. Political independence itu diumpakan seperti satu jembatan. Jembatan emas yang akan menyebrangkan rakyat Indonesia menemui masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi. Sukarno menolak ajakan bahwa untuk memerdekakan sebuah bangsa hendaknya terlebih dahulu rakyatnya berbadan sehat, pemudanya kuat. Karena menurut Sukarno, di seberang jembatan emas itulah, di dalam Indonesia merdeka itulah, kita menyehatkan rakyat, kita mengerahkan segenap masyarakat untuk menghilangkan berbagai penyakit, kita melatih pemuda supaya menjadi kuat.

Lantas Sukarno tiba di inti pidatonya: dasar negara Indonesia merdeka. Dasar pertama adalah dasar kebangsaan. Kebangsaan berarti tidak untuk mendirikan sebuah negara berdasarkan agama, bukan pula berdasarkan satu golongan. Melainkan suatu negara buat semua. Melainkan satu kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian.

Sukarno mencium kelemahan kebangsaan ini karena kemungkian orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme: paham yang melahirkan kebangsaan yang menyendiri, paham yang menganggap bangsa lain tidak memiliki harga sama sekali. Sukarno sangat menekankan bahwa Tanah Air Indonesia hanyalah satu bagian kecil saja dari dunia. Inilah yang disebut Sukarno dengan dasar kedua: internasionalisme. Kebangsaan dan internasionalisme bagaikan saudara kembar: internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.

Dasar ketiga adalah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.” Sukarno mengajak semua agama untuk berkobar-kobar menggerakkan segenap rakyat agar mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan ke dalam perwakilan itu. Islam hendaknya membicarakan tuntutan-tuntutan Islam di permusyawaratan itu. Demikian juga dengan Kristen, Hindu, dan Budha.

Dasar keempat yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Sun Yat Sen, seorang pemimpin nasionalis Tiongkok, menjadi sumber inspirasi Sukarno yang merangkum tiga ideologi: nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme. Dengan berkobar-kobar Sukarno berujar: “Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya.”

Lebih lanjut Sukarno: “Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratie, yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.” Politik demokrasi ekonomi yang dimaksud Sukarno tidak semata-mata persamaan dalam politik, melainkan juga persamaan di lapangan ekonomi, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Kita akan dibantu Atalio A. Boron dalam mengartikan demokrasi ekonomi. Dalam tulisannya The Turth of Capitalism Democracy (2006), Atalio menyimpukan bahwa demokrasi memiliki empat level yang berbeda: electoral democracy (demokrasi elektoral/pemilu); political democracy (demokrasi politik); social democracy (demokrasi sosial); economic democracy (demokrasi ekonomi). Pada level terkahir, demokrasi ekonomi, pemerintahan yang berkuasa dimandatkan untuk menghapus keistimewaan yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang atas sumberdaya ekonomi, dan membuka akses yang luas kepada mayoritas untuk mengontrol dan mengendalikan sumberdaya ekonomi terbatas itu. Dengan demikian, tidak ada lagi pemisahan antara politik dan ekonomi, atau masyarakat sipil dengan politik. Dengan kontrol atas sumber daya ekonomi yang menyebar, politik tidak lagi merupakan hal yang istimewa yang diperebutkan dengan taruhan nyawa.

Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi prinsip kelima yang diajukan Sukarno. Prinsip ini menjelaskan bahwa Indonesia bukan saja bertuhan, tetapi juga masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan sendiri. Kristiani menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, kaum Muslim bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s. a. w., orang Budha dan Hindu menjalankan ibadatnya menurut kitab yang ada padanya. Hendaknya pula segenap rakyat bertuhan dengan berkebudayaan, yakni dengan tidak mengedepankan egoisme agama.

Sepertinya Sukarno begitu gandrung dengan angka lima mengingat Rukun Islam ada lima, indera pun terdiri dari lima. Inilah yang membuat dia awalnya menamakan lima mutiara galiannya itu Panca Dharma. Karena Dharma memiliki arti ‘kewajiban’, dengan demikian tidak tepat mewakili kata dasar, dia lantas menggantinya menjadi ‘Panca Sila’: lima asas atau dasar. Kemudian Sukarno menawarkan lima sila itu menjadi tiga sila saja apabila ada dari anggota PPKI kurang begitu senang dengan angka lima. Ketiga sila itu: sosial-nasionalisme; sosial-demokrasi; dan ketuhanan. Andai angka tiga kurang berkenan, Sukarno kemudian memerasnya menjadi satu sila saja: gotong royong.

Dengan demikian benarlah Asvi Warman Adam yang menuliskan bahwa memang ada tokoh lain yang berbicara tentang dasar negara, tetapi hanya Sukarnolah yang secara eksplisit menyampaikan gagasan tentang Pancasila, bahkan termasuk nama Pancasila.

Orde Baru dan Pancasila

Barangkali tidak ada yang teramat penting bagi Orde Baru selain mengibaratkan peristiwa Gerakan 30 September itu sebagai ajang untuk membuktikan bahwa Pancasila itu sakti mandraguna. Inilah kemudian yang melahirkan Hari Kesaktian Pancasila dirayakan tiap 1 Oktober. Yang kita saksikan kemudian adalah, tentu mengatasnamakan kesaktian Pancasila, pembantaian massal kepada mereka anggota Partai Komunis Indonesia, simpatisan PKI, pendukung Sukarno, dan semua yang dianggap ada hubungannya dengan gerakan kiri. Beberapa sejarawan menyebut angka mengerikan jumlah korban pembantaian, berkisar tiga juta orang. Apakah Pancasila menunjukkan kesaktiannya lewat membunuh jutaan orang?

Bahwa ada unsur PKI terlibat dalam Gerakan 30 September, tidak dengan sendirinya membenarkan perbuatan biadab itu. Karena menurut John Roosa (2006), PKI tidaklah terlibat secara partai, melainkan hanyalah keterlibatan beberapa elit partai itu saja atas nama pribadi. Yang dikaburkan oleh peringatan itu ialah kekerasan yang jauh lebih besar yang dilakukan kepada pendukung komunis segera sesudah usaha kudeta.

Katharine E. McGregor dalam bukunya Ketika Sejarah Berseragam (2008), menyebutkan hari-hari peringatan adalah bagian yang penting dari kegiatan menempa ingatan nasional. Orde Baru lewat militer menggunakan sejarah untuk membenarkan peran politik mereka, karena itu sumber-sumber militer Indonesia lebih tepat digambarkan sebagai melakukan pelembagaan terhadap “ingatan resmi.” Efek lanjutan dari dominasi militer dalam ranah politik, pun penulisan sejarah lewat Pusat Sejarah ABRI yang dimotori Nugroho Notosusanto, memaksa masyarakat sipil menaati versi sejarah yang dibesar-besarkkan mengenai peran militer dalam sejarah.

Katharine lebih lanjut menulis: “Sikap munafik yang terdapat dalam upaya rezim mengaitkan dirinya dengan pelaksanaan Pancasila secara murni, suatu filsafat yang mencakup prinsip “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan prinsip “keadilan sosial”, hanya bisa disadari sepenuhnya dengan mencermati tindakan yang mereka ambil saat itu terhadap musuh-musuh rezim, terutama orang komunis-atas nama menegakkan Pancasila.”

Wacana para petinggi Majelis Permusyawaratan Rakyat merevitalisasi Pancasila mesti ditanggapi positif. Kita, terlebih mereka yang sudah cukup lama menganggap kesejahteraan itu hanyalah di mimpi saja, sudah cukup lama merasakan hilangnya fungsi negara: mensejahterakan rakyatnya. Perangkat untuk mewujudkan itu terjumpai di Pancasila. Kita tentu akan mengutuk penerapan Pancasila laiknya model Orde Baru. Semangat awal Pancasila memberikan penjelasan cukup mendalam bahwa bangsa ini didirikan di atas keluhuran, di atas kebersamaan, di atas persaudaraan, di atas keterwakilan, di atas kemanusiaan, di atas gotong royong. Namun, apakah MPR menyertakan di agenda mereka untuk mengembalikan kemurnian Pancasila dengan membongkar semua sejarah gelap yang dilekatkan di diri Pancasila?


*Bergiat di Komunitas Mata Kata

Solo Menantang Medan

Solo Menantang Medan
Dian Purba*
Analisa, 5 Juli 2010



Pada goresan Drs. Naurat Silalahi, “PKL: "Dilema yang Tak Teratasi"” (Analisa, 21/6), pedagang kaki lima diperlakukan sangat tidak sepantasnya, sekedar berkata tidak manusiawi. Mengutip salah satu berita Analisa di bulan Mei, Naurat menilai pedagang kaki lima dari sudut pandang yang sangat parsial, berat sebelah. Silalahi pun sepertinya merekayasa percakapan dialog antara pemilik toko emas di Pringgan dengan pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di “emperan” toko. Simak kutipan berikut: “Maaf jangan berjualan di sini karena kami terganggu berjualan." Dan menurut Naurat pedagang kaki lima itu tidak mengindahkan dan ngotot berjualan di situ lantaran: “... bisa jadi dia berani bertahan karena ada oknum tertentu yang membeking, sehingga si oknum PKL menjadi nekat.”

Saya mengkuatirkan kalimat tersebut: “... dia berani bertahan karena ada oknum tertentu yang membeking, sehingga si oknum PKL menjadi nekat.” Adalah kenekatan berpikir mengandaikan pedagang kaki lima berlindung di bawah oknum tertentu sehingga mereka bisa berjualan. Barangkali juga kenaifan persepsi mengatakan pedagang kaki lima digolongkan oknum nekat. Dengan mereka dikejar-kejar Satpol PP tiap kali rajia digelar saja telah mematahkan pendapat tersebut.

Bagaimana kita menempatkan pedagang kaki lima dalam kehidupan bernegara? Pertanyaan mengenai tujuan bernegara akan menemukan jawab saat bagaimana negara memperlakukan warganya, dalam hal ini pedagang kaki lima. Tulisan Naurat Silalahi (NS) akan membantu kita menemukan pola pemerintah memperlakukan pedagang kaki lima.

“Tanya yang tak terjawab sampai ke pikiran, kenapa dibiarkan,” cemas NS. “Apa tidak ada pihak berwenang yang menangani mereka ini.” Kenapa dibiarkan? Pertanyaan bernada disfemisme. Andai kita hilangkan prasa sebelum koma di kalimat pertama dan kedua kata terakhir di kalimat kedua, hasilnya: “Kenapa dibiarkan mereka ini?” Dan sepertinya saya tidak teramat keliru menafsirkan tujuan kalimat itu demikian.
Pemerintah memandang pedagang kaki lima laiknya buronan teroris di satu sisi dan gadis jelita di sisi yang lain. Buronan teroris menyangkut perlakuan yang mereka terima: derap langkah angkuh Satpol PP dengan pentungan di tangan dan buldoser penghancur di belakang mereka. Gadis jelita lantaran petugas pemungut pajak tidak pernah absen membawa kuitansi ke pinggiran jalan itu.

Pedagang kaki lima juga mesti mengorbankan segala sesuatunya saat mereka digusur. Termasuk harga diri dengan cara bertelanjang di depan Satpol PP. Tentulah alasan tidak adanya budaya malu dan kesadaran tinggi seperti yang tidak NS jumpai pada pedagang kaki lima di Seoul itu mesti dibuang secepat mungkin ke dasar laut. Karena ketika alasan itu diajukan sama saja kita menghilangkan semua faktor-faktor pendukung yang di Korea Selatan diterapkan berdasarkan hati nurani. Di sini, mereka digusur untuk sebuah alasan yang sangat subjektif: supaya keindahan kota terjaga dengan sempurna. Kita kerap lupa, indah menurut Wali Kota berbeda dengan indah menurut pedagang kaki lima. Dengan sendirinya pula, warga Medan yang berdagang di kaki lima, barangkali warga-warga lain, merasakan betapa tidak enaknya berpemerintah.

Di Solo PKL Bisa Ditata dan Mau

Ternyata kita tidak mesti pergi ke Seoul dan mengambil tempat duduk di bagian kanan bus sembari memainkan peran pengawas: ada atau tidaknya pedagang kaki lima yang berjualan sembarangan di pinggir jalan. Kita punya Solo. Menarik sekali menelaah motto kota ini: Solo masa depan adalah Solo Masa lalu, Solo modern adalah Solo yang tradisional. Majalah Mingguan Tempo memilih kota ini sebagai kota terbaik: Rumah Pedagang Kaki Lima (Tempo, 23 Agustus 2009). Joko Widodo wali kotanya sungguh takkan kita gelari wali kota edan lantaran menjadikan pedagang kaki lima sebagai mitra. Jokowi, panggilan akrab Joko Widodo, melibatkan masyarakat dalam membangun kota. Beberapa hal di bawah ini dia lakukan untuk mewujudkan motto tersebut.

Jokowi berhasil memindahkan hampir seribu pedagang kaki lima dari kawasan Monumen Juang Banjarsari ke Pasar Klitik tanpa gejolak. Di tempat baru itu mereka mendapat shelter, gerobak, dan celemek. Semua gratis. Juga disediakan lapangan parkir, pohon-pohon peneduh di taman. Setiap pedagang yang dipindahkan mendapat kios baru tanpa biaya. Juga mereka dilengkapi dengan surat hak penempatan dan kartu tanda pedagang. Akses transportasi ke sana juga dibuka. Semua tanpa biaya. Kok bisa?

Dialog dibuka buat meredam potensi konflik. Joko butuh 54 kali jamuan makan selama tujuh bulan untuk meyakinkan mereka bahwa pemindahan itu sangat penting. Setelah semua bersepakat, pawai besar-besaran pun digelar menghantar para pedagang kaki lima ke tempat yang baru. Tentu Satpol PP juga ikut serta di sana. Dan tentu pula tidak dengan pentungan, melainkan mengenakan pakaian tradisional Jawa.

Pemerintah Solo berusaha melindungi pedagang kecil dengan Peraturan Wali Kota membatasi berdirinya mal besar dan melarang penjamuran minimarket. Solo hanya memiliki satu mal. Toh, Solo tidak kelihatan tampak kolot ketinggalan jaman lantaran memaksimalkan yang tradisional sebagai penghuni mayoritas sudut-sudut kota.
Kota Medan punya ambisi berbeda. Hendak meniru Jakarta, semua perangkat untuk menjadikan kota ini tampak “indah” diperlengkapi sedemikian rupa. Masyarakat Medan boleh jadi teramat terluka hatinya sebab menjadi korban langsung pemenuhan ambisi itu.

Lihatlah, di beberapa sudut kota Medan, masyarakat berhadap-hadapan langsung dengan pemodal raksasa tanpa mendapat dampingan dari pemerintahnya. Katakanlah misalnya pendirian pusat perbelanjaan Carefour di Padang Bulan. Pedagang tradisional bermodal kere itu dilaga di atas ring yang semua sarana pertandingan tidak pernah akan memihak kepada mereka. Mereka diusir dari ladang penghidupannya yang notabene sudah berada di sana jauh-jauh-jauh sebelum perusahaan dari Perancis itu menjejakkan kaki di Indonesia. Atas nama menjadikan Medan menaikkan statusnya dari kota metropolitan menjadi kota megapolitan, para pembayar pajak ini dihempaskan ke liang teramat gelap sehingga cahaya kehidupan tidak lagi mereka temukan di sana.

Kini para pejabat kota Medan, mengutip B Herry Priyono (Kota dan Harta, 2009), bertindak sebagai “pengusaha” yang menjual kota, wilayah, dan apa yang bisa ditawarkan kepada investor global. Policy disebut sukses apabila pengusaha berdatangan melakukan investasi, dalam supermarkets dan malls, sekolah dan rumah sakit internasional.

Tentulah kota yang begini akan meninggalkan hati nurani dalam derap langkahnya membangun kota. Kota tidak lagi ditujukan untuk manusia, melainkan kota disediakan buat memfasilitasi pemodal mengakumulasi fulus. Dan akan semakin mensemrawutkan akal tatkala penguasa merangkap pengusaha. Meskipun hal-hal yang begini sudah menjadi keumuman di banyak tempat.

Herry Priyono menamai kota yang demikian ini sebagai kota “zona kritis”. Dia menulis, dengan mengutip Henri Levebvre: “jika bukan manusia yang menjadi pusat kota, untuk siapakah kita masih membangun? Bagaimana kita membangun? … Apa yang penting? Siapa yang masih berpikir? Siapa yang masih bertindak? Siapa yang masih berbicara dan berbicara untuk siapa?”


*Bergiat di Komunitas Mata Kata, tinggal di Medan